Selasa, 25 Mei 2010

I’tiqad Salafi

I'tiqad aliran salafi (madzhab Taimiyah)

Berikut tulisan-tulisan mengenai perbedaan pada bagian yang mendasar/pokok yakni i'tiqad antara metode pemahaman salafi (madzhab Taimiyah) dengan metode pemahaman Ahlussunnah wal Jama'ah

Subhanallah….! Allah Mahasuci dari Kebutuhan Tempat dan Arah
Memaknai di atas langit dengan mata hati
Pembagian Tauhid Menjadi Tiga
Tuhan Turun Ke Langit Dunia Setiap malam
Taqlid dan Ittiba’

Sedangkan berikut ini tulisan yang  diambil dari buku karya saudara kita, Muhammad Idrus Ramli, semoga beliau dirahmati Allah, dengan judul:  “Madzhab Al-Asy’ari”, Jawaban Terhadap Aliran Salafi, Penerbit KHALISTA Surabaya, 2009.

Buku ini sangat dianjurkan untuk dimiliki umat Muslim sebagai bahan kajian lebih lanjut agar dapat diketahui dan dipahami letak perbedaan Aliran Salafi sesungguhnya.

Untuk melihat cuplikan/bagian dari buku tersebut silahkan klik di sini


Madzhab Al-Asy'ari

Muhammad Idrus Ramli - Madzhab Al-Asy'ari

Dapat pula di download ebook terkait yang menjelaskan perbedaan Madzhab Taimiyah (aliran Salafi) dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah

Inilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah oleh A. Shihabuddin
(Kumpulan Dialog Membela Faham Aswaja Dari Faham Salafy Wahabi)

Penerbit menganjurkan bagi setiap muslim untuk mencetak ulang dan menyebarkan serta mengajarkan materi buku tsb  ke seluruh pelosok dunia, dan semoga baginya pahala dari Allah ‘azza wa jalla.

Untuk download silahkan melalui link dibawah ini.

Alternatif 1
4shared.com

Alternatif 2
docstoc.com

Alternatif 3 (download langsung)
docstoc.com (direct download)

Dalam blog ini ada beberapa tulisan-tulisan saya pribadi dan tulisan-tulisan yang saya sebutkan sumbernya,  dalam rangka untuk mengingatkan saudara-saudaraku Salafy (khusus untuk pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah dan sepemahaman).

Salah satu kelemahan mereka, saya telah tuangkan dalam tulisan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/13/kelemahan-salafiyyah/
salah satu kelemahan mereka adalah menolak pengajaran bidang Ilmu Tasawuf (tentang Ihsan / Ma’rifat).

Andaikan saja saudara-saudaraku salafy mau meluangkan waktu dan membaca kitab/buku, sebagai contoh “Ar Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tashawwuf, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi atau versi terjemahan “Risalah Qusyairiyah”, sumber kajian ilmu tasawuf, penterjemah Umar Faruq, penerbit Pustaka Amani, Jakarta. InsyaAllah dengan buku/kitab tersebut, saudara-saudara ku Salafy dan pembaca pada umumnya dapat memahami tentang dasar-dasar Ma’rifatullah sehingga dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang Allah “di atas langit”.

Syaikh Al-Qusyairy adalah seorang imam dalam majelis tadzkir. Pembicaraannya amat berpengaruh hingga meresap kedalam sanubari para jama’ahnya. Abu Hasan Ali bin Hasan Al-Bakhirizi yang hidup di tahun 462 H/ 1070M, sering menyebut-nyebut kehebatannya, bahkan memujinya dengan sanjungan yang amat istimewa. Beliau mengatakan, “seandainya sebuah batu cadas diketuk dengan “tongkat peringatan”-nya niscaya akan meleleh menangis, dan seumpama iblis tetap aktif mengikuti majelis tadzkirnya, niscaya dia akan tobat.  Subhanallah.

Kesimpulan:

Kita harus bisa membedakan antara Salaf dan Salafi.

Memang kita sebaiknya  mengikuti Rasulullah , Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ Tabi’in.

Namun berhati hati kalau mengikuti orang yang berupaya mengikuti Rasulullah, Sahabat, Tabi’in dan Tabi’Tabi’in.

Salafi adalah mengikuti orang yang berupaya mengikuti Salaf.

Semoga saudara-saudaraku Salafi dapat memahami perbedaannya.

Semua ini karena Syaikh Ibnu Taimiyah menggunakan nama madzhab "generik" sehingga membingungkan orang.

Beliau "membungkus" metode pemahamannya (hasil ijtihadnya) dengan nama madzhab "salaf",  seharusnya  semua yang merupakan upaya/hasil ijtihad beliau, lebih baik diberi nama madzhab Taimiyah. Sehingga umat muslim dapat menilai batas dan bagaimana ijtihad beliau sesungguhnya.

Sekali lagi kami menghimbau untuk berhati-hati mengikuti "orang yang berupaya" mengikuti salaf, apalagi kalau perbedaan pemahaman ada dibidang i'tiqad.

Wassalam

Jonggol,  Mei 2010

.

.

Metode pemahaman Salaf(i) Wahabi dalam I'tiqad atau Akidah.

Kita perhatikan terlebih dahulu pemahaman mereka dalam i'tiqad atau akidah.

Sumber: Studi Kritis Tentang Akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Sikap Pergerakan Islam Modern Terhadapnya, Prof. DR. Nashir bin Abdul Kariem al-’Aql

Allah Subhaanahu Wata'ala menyatakan diri-Nya dan begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwasanya Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Berbicara, Maha Hidup, Maha Berkehendak dan bahwasanya Allah bersemayam (istawa) di atas ‘arasy, di atas hamba-hamba-Nya, dan Allah Subhaanahu Wata'ala itu meridhai, murka, mencintai dan membenci, datang dan turun; tertawa dan kagum sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya (dengan pasti menafikan tasybih) sebagaimana diungkapkan dan dinyatakan oleh Allah tentang diri-Nya dan sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Dia, (bahwasanya Allah itu mempunyai) wajah, tangan (yadd), mata dan lain-lainnya yang dijelaskan oleh al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.

Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini sifat-sifat Allah sebagaimana Allah ungkapkan mengenai Diri-Nya dan sebagaimana pula diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa tasybih, takyif, tamtsil, ta’thil dan tidak juga ta’wil.

Beriman kepada Allah Subhaanahu Wata'ala mengesakan rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya dan nama dan sifat-sifat-Nya.

Sumber: AQIDAH SALAF ASHHABUL HADITS, Abu Isma'il Ash-Shabuni

Mereka menyatakan seperti yang Allah katakan bahwa Allah bersamayam di atas 'Arsy-Nya. Mereka membiarkan makna ayat itu berdasarkan dzhahirnya, dan menyerahkan hakikatnya sesungguhnya kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Mereka mengatakan:"Kami mengimani, semuanya itu dari sisi Rabb kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal"(QS Ali-'Imran:7).
Sebagaimana Allah terangkan tentang orang-orang yang dalam ilmunya mengatakan demikian, dan Allah ridha serta memujinya.

Mereka membiarkan makna ayat itu berdasarkan dzhahirnya, dan menyerahkan hakikatnya sesungguhnya kepada Allah subhanahu wa ta'ala.

Inilah yang saya katakan sebagai metode pemahaman secara lahiriah, tekstual atau dzahirnya.

Allah telah berfirman yang artinya,

Kami, kata Allah, menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu fikirkan dan teliti (memahaminya) .” (Surat Yusuf : 2)

Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali-Imran : 7 ).

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

"Orang-orang berakal" (Ulil Albab).

Jika dipahami dengan metode pemahaman lahiriah, tekstual atau dzahir maka orang-orang berakal adalah mempunyai akal atau menggunakan akal.

Allah telah menerangkan bahwa maksud dari orang-orang berakal, salah satunya adalah sebagaimana firmanNya yang artinya,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).

Oleh karenanya, untuk memahami ayat mutasyabihat, sebaiknya kita tidak bertumpu kepada kemampuan, ilmu kita, pendidikan, penguasaan bahasa Arab, banyaknya kitab yang telah dibaca namun kita harus bertumpu kepada Allah, kita harus "mengingat Allah" agar dapat "menemui" Allah karena Allah-lah yang akan mengajari kita sebagaimana firman Allah yang artinya,
"…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarimu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282).

Kita harus meninggalkan maksud literal (makna dzahir) ayat-ayat mutasyabihat tersebut, dan mengembalikan pemahamannya dan berpegang teguh kepada ayat yang muhkamat seperti ayat, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura : 11)

Allah telah memerintahkan kepada kita agar pikirkan, teliti (memahaminya), dan mengambil pelajaran dengan mengharapkan anugerah dari Allah dalam bentuk al-hikmah (pemahaman yang dalam).

Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat terhadap lafadznya namun kami mengambil pelajaran dengan mengharapkan pertolongan, anugerah dari Allah dalam bentuk al-hikmah (pemahaman yang dalam).

Syaikh Ibnu Athoillah memberikan nasehat,
"Allah Ta’ala menerima engkau dengan apa yang Dia (Allah) karuniakan kepadamu, bukan karena amal perbuatanmu sendiri yang engkau hadapkan kepada-Nya.”

Kita dapat mengenal Allah (ma'rifatullah) bukan karena kemampuan atau upaya kita namun semuanya atas kehendak Allah.

Untuk itulah saya mengajak saudara-saudara muslimku untuk mendalami Tasawuf dalam Islam.
Sebagian ulama-ulama setelah zaman Salafush Sholeh ada yang menampik Tasawuf dalam Islam.

Janganlah terpengaruh oleh fitnah yang dilontarkan oleh musuh-musuh orang beriman atau prasangka buruk terhadap kami yang mendalami Tasawuf atau berdasarkan hasil pengamatan terhadap mereka yang keliru mendalami Tasawuf dalam Islam.

Sebaiknya tidak mengkhawatirkan kami karena kami berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Hadits.

Kami berupaya mengikuti sunnah Rasulullah SAW, antara lain anjuran Beliau agar kita bersikap Zuhud di dunia

Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Harapan kita adalah Allah akan mencintai kita dan begitu pula dicintai oleh manusia lainnya.

Ketika Allah mencintai kita, maka seperti apa yang disampaikan dalam sabda Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits qudsi, bahwa Allah SWT, berfirman: “Apabila Aku (Allah) mencintai seorang hamba, maka pendengarannya adalah pendengaran untuk-Ku, penglihatannya adalah penglihatan-Ku, tangannya (kekuasaannya) adalah kekuasaan-Ku, perjalanan kakinya adalah perjalanan untuk-Ku

Wassalam

Zon di Jonggol

Senin, 24 Mei 2010

Istilah Tasawuf

Kadang kita mendengar saudara muslim kita yang memperturutkan hawa nafsunya, sibuk dengan istilah tasawuf mengatakan,

"kalau tasawuf ajaran Rasulullah ??  dari mana asal kata tasawuf ??"

"Apakah Muhammad Rasulullah saw, pernah bertutur dalam hadist sahih bahwa "Sarana atau ilmu untuk paham seputar mengenal Allah adalah ilmu
Tasawuf"?"

"Apakah Muhammad Rasulullah saw pernah mengaku sebagai sufi dan pendiri aliran tasawuf??"

Berikut tulisan yang menarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan yang senada dengan itu, memperdebatkan masalah yang bukan substansi, yakni istilah tasawuf.

Sumber: http://myquran.com/forum/showthread.php/11149-Tasawuf-dan-Perang-Istilah

Membahas masalah Tasawuf saya jadi ingat pengajian rutin mingguan yang diadakan di Masjid Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar, membahas kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah yang disampaikan langsung oleh Syaikh Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi. Pembahasan terakhir kebetulan sampai pada Bab Tasawuf, setelah selesai membahas Bab Al-Faqr.

Dalam pengajian terakhir (14/5/2010), Syaikh Al-Buthi menerangkan bahwa istilah tasawuf adalah istilah yang tidak memiliki asal. Memang ada yang mengatakan bahwa Tasawuf berasal dari kata Shuuf (bulu domba), Ahlus Shuffah (penghuni Shuffah), Shafaa (jernih), Shaff (barisan) dan lain-lain. Namun teori-teori itu tidak ada yang tepat menurut beliau sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Qusyairi sendiri dalam kitabnya. Namun yang menjadi fokus pembahasan bukanlah itu, yaitu meributkan masalah nama atau istilah yang takkan pernah ada habisnya, karena setiap orang bisa membuat istilah sesuka hatinya. Yang menjadi fokus adalah substansinya. Oleh karena itu, ada sebuah ungkapan yang sudah sangat masyhur di kalangan para ulama dan santri, "La musyahata fil ishthilah (tidak perlu ribut karena membahas istilah)."

Dalam dunia ushul fikih kita mengenal istilah Wajib dan Fardhu, menurut Jumhur Fuqoha keduanya memiliki arti yang sama, namun menurut Hanafiyah keduanya berbeda. Dalam dunia Mushtolah Hadis kita mengenal istilah Hadis Mursal yang menurut ahli hadis artinya adalah hadis yang dinaikkan oleh seorang tabii tanpa menyebutkan siapa perantaranya kepada Nabi SAW, namun menurut ahli ushul artinya adalah hadis yang terputus secara mutlak, di mana pun letaknya dan berapa pun jumlah perawinya, mirip Hadis Munqathi'. Imam Asy-Syafii mengingkari Istihsan dan mengatakan bahwa "Barangsiapa ber-istihsan maka ia telah membuat syariat (baru)", sedangkan Ulama Hanafiyah paling banyak menggunakan Istihsan. Setelah diselidiki dan diteliti ternyata perbedaan mereka hanya sampai pada tataran istilah saja (ikhtilaf lafzhi), namun pada substansinya mereka sepakat. Istihsan yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafii bukanlah Istihsan yang selama ini dipakai oleh Ulama Hanafiyah. Kata Sunnah pun memiliki pengertian yang bebeda-beda menurut ahli fikih, ushul fikih dan mustholah hadis. Demikianlah seterusnya, perdebatan dalam masalah istilah takkan pernah menemui titik temu dan takkan memberikan manfaat yang signifikan.

Demikian pula dalam masalah Tasawuf. Banyak orang berbondong-bondong mengumandangkan genderang dan mengibarkan bendera perang terhadap apa yang disebut Tasawuf. Buku-buku ditulis, pengajian-pengajian digelar, perang opini dikobarkan. Semuanya dengan satu tujuan, memberangus Tasawuf dari muka bumi. Sementara itu, di sisi lain berbondong-bondong pula orang yang siap membela mati-matian Tasawuf. Padahal, banyak di antara mereka yang tidak mengerti dan tidak memahami apa hakikat dari istilah Tasawuf itu sendiri. Ironis.

Syaikh Al-Buthi berkata, "Jika Tasawuf yang kalian maksud itu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat seperti ikhtilath (campur baur) laki-laki dengan perempuan dan lain-lain, maka aku akan berdiri bersama kalian dalam memerangi Tasawuf. Namun jika yang kalian perangi adalah perkara-perkara yang memang berasal dari Islam seperti tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), akhlak dan lain-lain, maka berhati-hatilah!"

Beliau juga sering mengulang-ulang perkataan ini, "Namailah sesuka kalian: Tasawuf, Tazkiyah, Akhlak atau yang lainnya selama substansinya sama."

Ya, ternyata istilah tidaklah sedemikian penting dibandingkan dengan subtansinya selama dalam batas-batas yang bisa ditolerir. Syaikh Al-Buthi bahkan menegaskan dalam ceramahnya, "Saya sengaja berusaha sebisa mungkin untuk tidak menggunakan istilah tasawuf dalam kitab saya, Syarah Hikam Atho’iyah, demi menjaga perasaan saudara-saudara kami yang sudah termakan opini bahwa tasawuf bukanlah dari Islam."

Namun, apakah dengan demikian beliau mengingkari inti atau substansi Tasawuf? Jawabannya seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Apapun istilahnya, jika memang terbukti berupa pelanggaran terhadap syariat maka kita harus berdiri dalam satu barisan untuk memeranginya. Namun jika hal-hal itu adalah bagian dari Islam atau bahkan inti ajaran Islam, maka tidak semestinya kita menolaknya.

Jadi, kita mesti banyak berhati-hati dalam menggunakan istilah sebelum memahami makna sebenarnya. Jangan sampai kita terjebak dalam perangkap musuh yang sengaja mengkotak-kotakkan umat Islam dengan cara menciptakan istilah-istilah agar umat Islam disibukkan membahasnya lalu terlupakan akan tugas yang lebih penting dan lebih besar manfaatnya daripada itu. Jangan sampai kita terpecah-pecah karena masalah furu'iyyah sementara kita melupakan prinsip-prinsip agama kita. Wallahu a'lam.

Damaskus, 26 Mei 2010 7:26 a.m.

Minggu, 09 Mei 2010

Mereka Lalai

Ada kalanya kita melihat atau mendengar sebagian saudara muslim kita, walaupun telah menjalankan sholat namun tidak tercegah perbuatan keji dan mungkar, yang pada intinya mereka belum dapat merasakan keberadaan Allah sehingga mereka masih bertanya "Bagaimana Allah?" atau "di mana Allah?"

Saking mereka tidak merasakan keberadaan Allah, maka meraka berani melakukan perbuatan yang dilarang Allah seperti korupsi, memimpin dengan zhalim, tidak menepati janji, berkata atau menulis perkataan yang keji, mengumpat, memberi sebutan yang tidak baik kepada saudara muslim lainnya, bahkan mensesatkan atau mengkafirkan saudara muslim lain berlandaskan keterbatasan pemahaman mereka.

Mereka gemar tajrih, tahdzir, boikot, hajr, tabdi, takfir. Seolah mereka
"mewakili" Allah dalam "menilai" saudara muslim lainnya namun ada kemungkinan sesungguhnya belum merasakan "keberadaan" Allah.

Tentang sholat, Allah telah berfirman yang artinya, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab dan dirikan sholat. Sesungguhya sholat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah dalam (sholat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah lain)" (QS Al Ankabut 29: 45)

Allah memberikan gelar kepada orang yang shalat tidak sesuai dengan
ikrar/sumpahnya sebagai sholatnya orang munafik.  "Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas
tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk Sholat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka dzikrullah (menyebut Allah) kecuali hanya sedikit sekali
" (QS An-Nisa 4: 142)

Ketika melakukan sholat, ada kalanya mengalami rasa jenuh dan tidak kusyu',
padahal dalam doa iftitah kita telah berikrar bahwa kita sedang menghadapkan wajah kita kepada Allah. Hal ini terjadi karena tidak mengetahui bagaimana cara melakukan, sebagai contoh mulai cara Takbiratul Ihram dengan baik.

Nabi Muhammad Saw bersabda, bahwa "sholat itu adalah mi'rajnya orang-orang mukmin". Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.

Apakah kita bisa "bertemu" dengan Allah ketika Sholat ?

Sebagian orang menanggapi hadits tersebut dengan sikap apriori dan berkeyakinan bahwa manusia tidak mungkin bertemu dengan Allah di dunia. Akibatnya kebanyakan orang tak mau pusing mengenai hakikat Sholat atau bahkan hanya menganggap sholat sebagai kewajiban yang harus dilakukan tanpa harus memikirkan fungsi dan tujuannya.

Dilain pihak ada orang yang melakukan sholat, telah mengerahkan segenap daya untuk mencapai kusyu', akan tetapi tetap saja pikiran masih menerawang tidak karuan sehingga tanpa disadari sudah keluar dari "kesadaran sholat". Allah telah mengingatkan hal ini, bahwa banyak orang sholat akan tetapi kesadarannya telah terseret keluar dari keadaan sholat itu sendiri, yaitu bergeser niatnya bukan lagi karena Allah.

`…. maka celakalah orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya, dan orang-orang yang berbuat riya" (QS Al-Ma'un 107: 4-6)

Perihal itu terjadi bagi orang yang dalam sholatnya tidak menyadari bahwa ia
sedang berhadapan dengan Tuhannya sehingga pikirannya melayang liar tanpa kendali. Sholat yang demikian adalah sholat yang shahun. Keadaan tersebut bertentangan dengan firman Allah yang menghendaki sholat sebagai jalan untuk mengingat Allah.

"… maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku" (QS Thaha 20: 14)

"… dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai"(QS Al A'raaf 7: 205)

Inilah rangkaian ayat yang menunjukkan kepada masalah kedalaman ibadah sholat, yaitu untuk mengingat Allah, bukan sekedar membungkuk, bersujud dan komat-kamit tiada sadar dengan yang dilakukan. Sholat yang hanya komat-kamit inilah yang banyak dilakukan orang, sehingga sampai sekarang banyak yang tak mampu mencerminkan watak mushallin yang sebenarnya, yaitu tercegah dari perbuatan keji dan mungkar.

"Jangan engkau mendekati sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk (tidak sadar)… " (QS An nisa 4: 43)

Nahyi (larangan) ditujukan kepada mushalilin agar tidak melakukan sholat jika masih belum sadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan Sang Khaliq. Larangan itu merupakan syarat mutlak dari Allah. Coba kita renungkan, untuk mendekati saja kita dilarang, apalagi untuk melakukannya. Jika tetap dilakukan maka Allah akan murka, yang ditunjukkan dengan perkataan yaitu "maka celakalah orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya dan orang-orang yang berbuat riya" (QS Al-ma'un 107: 4-6)"

Allah juga memberikan pujian kepada orang-orang mukmin yang khusyu dalam sholatnya

"Sungguh beruntunglah mereka yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu' dalam sholatnya" (QS Al Mukminun 23: 1-2)

Al-Quran menyebutkan penyebab dicabutnya ilmu khusyu', yaitu karena
memperturutkan hawa nafsu dan melalaikan sholatnya. Dalam Al-Qur'an Allah juga telah menunjukkan jalan bagi yang mendapatkan kekhusyu'an

"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (QS Al Baqarah 2: 45-46)

Semoga kita dapat merasakan menemui Allah, kedekatan dengan Allah, memahami keberadaan Allah. Sehingga terwujudlah apa yang dikatakan dengan ihsan (mencapai seorang muhsin).

Ihsan (bahasa Arab: احسان) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti "kesempurnaan" atau "terbaik." Dalam terminologi agama
Islam, Ihsan berarti seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.

Kembalilah kepada Allah, jadilah muslim yang terbaik, muhsin.
Silahkan juga baca tulisan berikut
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/01/28/menjadi-muslim-terbaik/

Wassalam

Zon di Jonggol

Catatan:

Tips mudah agar mendapatkan khusyuk dalam sholat adalah dengan memperhatikan dan kesadaran tumakninah. Diantara gerakan dalam Sholat, berikan waktu sejenak (tinggalkan aktifitas jasmani/jasad) agar ada kesempatan ruhNya dapat  mi'raj, bertemu dan terhubung(wushul) kepada Allah.

Sebagaimana Imam Al-Ghazali mengibaratkan gerakan dan bacaan dalam shalat itu seperti jasad, sedangkan khusyuk dan tumakninah adalah ruhnya. Masih banyak para mushallin yang 'berjasad' baik, bahkan sempurna tanpa cacat, namun tak memiliki 'ruh'. Akhirnya, shalatnya hanya sebatas ritual, bukan sumber spiritual.

Khusyuk dan Tumakninah dalam Sholat

Sedangkan kesadaran tentang RuhNya, sebagaimana firman Allah yang artinya,

“Kemudian Dia menyempurnakan penciptaannya dan Dia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Dia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tapi sedikit sekali kamu bersyukur” (QS As Sajadah (32):9)

Sabtu, 08 Mei 2010

Ibnu Arabi

Sumber: http://myquran.com/forum/showthread.php/11080-Klarifikasi-Tentang-Syaikh-Muhyiddin-Ibnu-Arabi

Klarifikasi Tentang Syaikh Muhyiddin Ibnu 'Arabi




Mukaddimah

Setelah mengikuti diskusi di MyQuran tentang Ibnu 'Arabi dan kontroversi seputar tokoh itu, saya menjadi tertarik untuk mengetahui lebih lanjut siapa sebenarnya tokoh yang banyak diperbincangkan ini. Saya langsung membuka perpustakaan digital di laptop saya, Maktabah Syamilah versi 3.28.

Setelah saya ketik nama Ibnu 'Arabi di daftar nama kitab, saya langsung dibawa ke sebuah folder berisi kitab-kitab yang berkaitan dengan Ibnu 'Arabi dalam sebuah rak khusus. Ada beberapa nama kitab tertera di situ, di antaranya adalah Al-Futuhat Al-Makkiyah karya terbesar Ibnu 'Arabi yang banyak dijadikan rujukan dalam penilaian terhadap tokoh besar ini. Ada juga kitab bernama Ar-Radd 'Ala Ibni 'Arabi (Sanggahan Terhadap Ibnu 'Arabi) karya Ibnu Taimiyah.

Ada juga sebuah kitab bernama Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn 'Arabi (Info Buat Orang Tolol Tentang Bersihnya Ibnu 'Arabi) karya imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi. Yang menjadi perhatian saya adalah kitab terakhir ini. Di samping ukurannya kecil (sekitar 16 halaman) juga judulnya yang unik.

Setelah saya baca, pada kata pengantar penerbit disebutkan bahwa kitab itu sengaja ditulis untuk membantah kitab berjudul Tanbiat Al-Ghabiy Bi Takfir Ibn 'Arabi (Info Buat Orang Tolol Tentang Kafirnya Ibnu 'Arabi) karya Burhanuddin Al-Biqa'i.

Pandangan Ulama Terhadap Ibnu 'Arabi

Secara ringkas, Imam As-Suyuthi membagi para ulama menjadi beberapa kelompok dalam menyikapi Ibnu 'Arabi:

Kelompok pertama, mengatakan bahwa Ibnu 'Arabi adalah wali. Di antaranya adalah Tajuddin bin 'Atha'illah, ulama dari kalangan Mazhab Maliki dan Syaikh Afifuddin Al-Yafii dari kalangan Mazhab Syafii.

Kelompok kedua, menganggap bahwa Ibnu 'Arabi adalah sesat. Pendapat ini diambil oleh sebagian besar para ahli fikih.

Kelompok ketiga, menyatakan ragu terhadap perkara Ibnu 'Arabi. Di antaranya adalah Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan.

Adapun Izzuddin bin Abdissalam, semula beliau mengingkari Ibnu 'Arabi, kemudian setelah berjumpa langsung, beliau berbalik memuji dan menganggapnya wali.

Dalam kitab Lathaiful Minan karangan Tajuddin bin Atha'illah disebutkan bahwa Syaikh Izzuddin bin Abdissalam semula mengikuti pendapat ahli fikih, yaitu segera mengingkari kaum sufi. Kemudian ketika Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili pulang dari haji, beliau mendatangi Syaikh Izzuddin sebelum memasuki rumahnya, lalu menyampaikan salam dari Rasulullah SAW untuknya. Sejak saat itu, Syaikh Izzuddin menjadi lunak lalu mengikuti majelis Asy-Syadzili. Sejak saat itu pula, beliau selalu memuji-muji kaum sufi setelah memahami metode mereka dengan sebenar-benarnya.

Imam As-Suyuthi berkata:

"Syaikh kami, Syaikhul Islam Al-Mujtahid Syarafuddin Al-Manawi juga pernah ditanya tentang Ibnu 'Arabi, beliau menjawab yang intinya bahwa diam lebih selamat, ini pendapat yang paling layak bagi seseorang yang ingin menyelamatkan dirinya."

Kemudian beliau menukil salah satu perkataan yang dinisbatkan kepada Ibnu 'Arabi, "Kami adalah kaum yang (siapapun) diharamkan menelaah kitab-kitab kami."

Hal itu dikarenakan kaum sufi sering menggunakan istilah-istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh orang yang sudah terjun ke dalam dunia mereka. Istilah-istilah itu jika dipahami secara literal atau tekstual akan membawa kepada pemahaman keliru yang dapat mengakibatkan kekufuran. Hal itu disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dalam beberapa kitabnya, sebagaimana dinukil oleh As-Suyuthi, beliau berkata, "(Perkataan-perkataan mereka) itu menyerupai (ayat-ayat) mutasyabihat dalam Al-Quran dan sunnah. Barangsiapa memahaminya secara literal (zhohir) dia kafir. Ia memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap memahami kata wajah, yad (tangan), ain (mata) dan istiwa (bersemayam) sebagaimana makna yang selama ini diketahui, ia kafir secara pasti."

Lalu bagaimana seharusnya menyikapi kitab-kitab karangan Ibnu 'Arabi?

Pertanyaan ini sangat perting untuk dijawab mengingat banyaknya orang yang menghukumi Ibnu 'Arabi hanya berdasarkan kitab-kitab yang konon adalah karangan beliau.

Imam As-Suyuthi menjawab:

Pertama, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa kitab itu adalah karangan Ibnu 'Arabi. Cara ini tidak mungkin lagi dilakukan karena tak ada bukti yang kuat bahwa kitab-kitab itu adalah asli karangan Ibnu 'Arabi, meskipun kitab-kitab itu sudah sangat populer di masyarakat, karena popularitas di zaman ini tidak cukup. Hal ini penting untuk memastikan bahwa perkataan itu benar-benar berasal dari penulis sendiri. Selain itu juga agar dipastikan tidak ada sisipan penambahan atau pengurangan yang tidak ilmiah yang bertendensi untuk menciptakan citra buruk terhadap penulisnya, karena ada indikasi kuat bahwa kitab-kitab karangan beliau sengaja disisipi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Kedua, istilah-istilah di dalamnya harus dipahami sesuai dengan maksud penulisnya. Cara ini juga tidak mungkin dilakukan, karena di dalamnya berisi hal-hal yang berkaitan dengan hati yang hanya diketahui oleh Allah SWT.

Sebagian ahli fikih pernah bertanya kepada sebagian kaum sufi, "Apa yang mendorong kalian menggunakan istilah-istilah yang secara literal mengundang rasa risih di hati?". Mereka menjawab, "Sebagai bentuk rasa kecemburuan kami terhadap metode kami, agar orang-orang yang bukan dari golongan kami tidak dapat mengaku-ngaku bahwa mereka dari golongan kami dan supaya orang yang bukan ahlinya tidak masuk ke dalam golongan kami."

Siapapun yang membaca atau mendengarkan isi kitab-kitab karangan Ibnu 'Arabi pasti akan menyarankan bagi dirinya sendiri, terlebih orang lain, untuk tidak membacanya karena hanya akan membahayakan diri mereka sendiri dan kaum muslimin secara umum, terutama mereka yang masih dangkal pengetahuannya tentang ilmu syariat dan ilmu-ilmu zhohir lainnya. Mereka dapat tersesat dan menyesatkan. Bahkan, sekalipun yang membacanya adalah seseorang yang 'arif dan 'alim, mereka takkan mau mengajarkannya kepada murid-murid mereka, karena ilmu mereka tak bisa dipahami dari kitab-kitab.

Alangkah indahnya jawaban salah seorang wali ketika ia diminta oleh seseorang untuk membacakan kitab Taiat Ibn Al-Faridh, beliau menjawab, "Tinggalkan itu! Orang yang telah berlapar-lapar sebagaimana mereka berlapar-lapar, terjaga di malam hari sebagaimana mereka terjaga, ia akan melihat (mengetahui) apa yang mereka lihat."

Imam As-Suyuthi pernah ditanya tentang seorang pemuda yang menyuruh membakar kitab-kitab Ibnu 'Arabi sambil mengatakan bahwa Ibnu 'Arabi lebih kafir dari orang Yahudi, Nasrani dan kaum yang berkeyakinan bahwa Allah punya anak. Beliau menjawab, "Wajib bagi pemuda itu untuk bertaubat dan beristighfar serta tunduk dan kembali kepada Allah agar ia tidak termasuk orang yang memusuhi wali Allah, yang berarti telah mengumandangkan perang terhadap Allah."

Dalam hadis Qudsi, Rasulullah SAW pernah bersabda:

إن الله قال من عادى لى وَلِيًّا فقد آذَنْتُهُ بالحرب

"Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumandangkan perang terhadapnya." (HR. Al-Bukhari no. 6134)

Imam As-Suyuthi melanjutkan, "Jika ia tetap enggan bertaubat, cukuplah hukuman Allah baginya, tanpa hukuman dari makhluk. Apa kiranya yang akan diperbuat oleh hakim atau pihak yang berwajib? Inilah jawabanku mengenai masalah itu. Wallahu A'lam."

Banyak ulama yang memuji Ibnu 'Arabi, di antaranya adalah Asy-Syaikh Al-'Arif Shafiyyuddin bin Abi Manshur dalam Risalah-nya, beliau berkata, "Aku telah melihat di Damaskus, seorang syaikh imam yang tiada duanya, seorang alim dan amil, namanya Muhyiddin Ibnu 'Arabi, salah seorang pembesar ulama tarekat. Ia telah menggabungkan antara ilmu-ilmu Kasbi (ilmu yang didapatkan dari proses belajar) dan ilmu-ilmu Wahbi (ilmu yang didapatkan dari anugerah Allah secara langsung). Popularitasnya tak diragukan lagi. Karya-karyanya pun terlampau banyak. Jiwanya telah dipenuhi oleh tauhid, baik dari segi ilmu maupun akhlaknya."

Asy-Syaikh Abdul Ghaffar Al-Qushi berkata dalam kitabnya, Al-Wahid, "Syaikh Abdul 'Aziz pernah bercerita bahwa di Damaskus terdapat seorang lelaki yang berjanji ingin melaknat Ibnu 'Arabi setiap hari selepas Shalat Ashar sebanyak sepuluh kali. Setelah itu ia meninggal dunia. Ibnu 'Arabi datang bersama kerumunan manusia untuk menjenguk jenazahnya, lalu pulang dan duduk di rumah salah seorang sahabatnya. Beliau lalu menghadap kiblat. Ketika waktu makan siang tiba, makanan dihidangkan untuk beliau, tapi beliau tak mau makan. Beliau masih terus berada dalam keadaan seperti itu dan melakukan shalat, hingga waktu makan malam tiba. Setelah itu beliau menoleh dengan wajah gembira, lalu meminta makanan itu. Ketika ditanya tentang yang baru saja diperbuat, beliau menjawab, "Aku berjanji kepada Allah untuk tidak makan dan tidak minum sampai Dia mau mengampuni dosa-dosa lelaki yang dulu melaknatku ini. Aku terus-menerus seperti itu sambil membaca kalimat La Ilaha Illallah sebanyak tujuh puluh ribu kali. Akhirnya aku melihat lelaki itu, ia telah diampuni dosanya."

Salah seorang pelayan Syaikh Izzuddin bin Abdissalam pernah bertanya kepada beliau, "Bukankah tuan telah berjanji ingin mempertemukan saya dengan seorang wali?". Syaikh Izzuddin menjawab, "Dialah wali itu." Sambil menunjuk ke arah Ibnu 'Arabi yang sedang duduk dalam majelis halaqohnya. Pelayan itu bertanya lagi, "Tuan, bukankah ia adalah orang yang selama ini anda ingkari?". Syaikh tetap menjawab, "Dialah wali itu." Beliau selalu mengulang-ulang jawaban itu setiap kali ditanya.

Imam As-Suyuthi berkomentar, "Seandainya dia bukan wali, niscaya perkataan Syaikh Izzuddin itu pun tidak bertentangan, karena beliau pernah menilainya dari segi zhohirnya (yang tampak) saja demi menjaga keselamatan syariat. Sedangkan rahasia di balik itu, diserahkan kepada Allah. Dia yang berhak melakukan apa saja yang Dia kehendaki."

Oleh karena itu, para ulama jika menemukan hal-hal yang secara zhohir bertentangan dengan apa yang selama ini dipahami orang biasa, mereka mengingkari hal itu demi menjaga hati orang-orang yang lemah dan demi menjaga batas-batas syariat. Jadi mereka memberikan masing-masing orang haknya secara utuh.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani menyebutkan dalam kitabnya, Inba Al-Ghumur Bi Akhbar Al-'Umur, nama-nama ulama yang memuji Ibnu 'Arabi. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Syaikh Badruddin bin Ahmad bin Syaikh Syarafuddin Muhammad bin Fakhruddin bin Ash-Shahib Bahauddin bin Hana (w. 788 H)
2. Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Ibrahim bin Ya'qub, yang lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Al-Wudhu'
3. Abu Abdillah Muhammad bin Salamah At-Tuziri Al-Maghribi
4. Syaikh Najmuddin Al-Bahi
5. Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Ash-Shufi
6. Syaikh Ismail bin Ibrahim Al-Jabaruti Az-Zubaidi
7. Al-'Allamah Majduddin Asy-Syirazi
8. Syaikh Alauddin Abul Hasan bin Salam Ad-Dimasyqi Asy-Syafii (w. 829 H)
9. Qadhi Al-Qudhat Syamsuddin Al-Bisathi Al-Maliki.

Mengenai nama terakhir ini, Ibnu Hajar menyebutkannya kisah menarik dalam peristiwa yang terjadi pada tahun 831 H. Suatu hari Ibnu Hajar pergi bersama Al-Bisathi menuju Syaikh Alauddin Al-Bukhari. Dalam perbincangan, mereka menyinggung nama Ibnu 'Arabi. Syaikh Alauddin langsung menjelek-jelekkan Ibnu 'Arabi dan mengkafirkan orang-orang yang meyakini isi kitabnya. Al-Bisathi menyanggah tuduhan Syaikh Alauddin dan membela Ibnu 'Arabi, "Sebenarnya orang-orang mengingkari Ibnu 'Arabi hanya karena berdasarkan kata-kata zhohir yang beliau ucapkan itu. Jika tidak, maka tak ada satu pun dari ucapannya itu yang patut untuk diingkari jika ia mau memahaminya sesuai dengan maksud penulisnya atau dengan sedikit takwil." Demikian sanggahnya. Lalu Syaikh Alauddin mengajukan pengingkaran terhadap konsep Al-Wihdah Al-Muthlaqah ala Ibnu 'Arabi. Al-Bisathi menjawab, "Apakah Anda tahu apa itu Al-Wihdah Al-Muthlaqah?". Syaikh Alauddin marah besar mendengarnya dan bersumpah kalau pemerintah tidak mau menonaktifkan Al-Bisathi dari jabatannya sebagai Qadhi (hakim), ia sendiri yang akan mengusirnya dari Mesir.

Syaikh Alauddin meminta sekretaris untuk mengajukan permasalahan ini kepada pemerintah. Hampir saja pemerintah mengabulkan permintaan itu dan mengangkat Asy-Syihab bin Taqi sebagai ganti Al-Bisathi. Namun kemudian majelis itu ternyata dibatalkan.

Imam As-Suyuthi berkomentar, "Ini adalah salah satu berkah membela salah satu wali Allah."

Akhirnya Al-Bisathi meneruskan jabatannya dan tak seorang pun yang menonaktifkannya sampai beliau wafat setelah dua puluh satu hari sejak kejadian itu.

Dan masih banyak lagi pujian dan sanjungan yang dilontarkan oleh para ulama kepada Ibnu 'Arabi. Bagi yang ingin mengetahuinya lebih lanjut bisa membaca langsung kitab karangan Imam As-Suyuthi yang saya sebutkan di atas atau kitab-kitab tentang biografi Ibnu 'Arabi.

Penutup

Pagi tadi (25 Mei 2010 M), selepas Shalat Shubuh di Jami Al-Buthi, saya bertanya langsung kepada Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (semoga Allah menjaga beliau), mengenai Ibnu 'Arabi dan kontroversi seputar tokoh besar itu. Syaikh menjawab, "Beliau (Ibnu 'Arabi) adalah Al-Imam Al-Akbar yang telah dicemarkan namanya. Kaum Bathiniyah dari kalangan Ismailiyah telah menyusupkan perkataan-perkataan bathil ke dalam kitab-kitab karangan beliau. Dan sekarang kaum Wahabi sering mengkafirkan beliau berdasarkan isi kitab-kitab itu."

Jawaban Syaikh Al-Buthi tersebut ternyata sesuai dengan jawaban Imam As-Suyuthi di atas.

Demikianlah ringkasan mengenai masalah ini. Wallahu A'lam Bis Showab.

Damaskus, 25 Mei 2010 6:06 a.m.

Tambahan dari komentar pengunjung yang lain pada thread tsb,

Syeikh 'Abdullah al-Talidi (حفظه الله) di dalam al-Mutrib bi Masyahir Awliya' al-Maghrib, mengatakan :

"Beliau(Ibn 'Arabi) sebenarnya adalah lambang kebanggaan dan tokoh besar umat ini. Khususiyyah dan ma'rifah beliau dengan Allah Taala serta keteguhan pendiriannya di dalam tauhid dan berpegang dengan syarak telah disaksikan oleh ramai tokoh-tokoh besar seperti Abu Madyan al-Ghawth, al-'Izz bin 'Abdil Salam, Fakhruddin al-Razi, katanya: Beliau adalah wali yang agung. al-Syihab al-Suhrawardi, al-'Arif Sayyidi Mustafa al-Bakri, al-'Arif Sayyidi 'Abdul Qadir al-'Idrus, Syeikh Zakariyya al-Ansari, Ibn Hajar al-Haytami, al-'Arif al-Yafi'i, al-Fairuzabadi pengarang al-Qamus, al-'Arif Ibn 'Ata'illah,... "

"... penyusun al-Hikam, al-Qutb al-Sya'rani, al-Hafiz al-Suyuti, al-'Arif al-Nabulusi, al-'Arif Ibn 'Ajibah, Abu 'Abdillah ibn Ja'far al-Kattani, Khatimah al-'Arifin Sayyidi Muhammad bin al-Siddiq, dan lain-lain lagi dari kalangan tokoh-tokoh sepanjang zaman.

Ia adalah penyaksian adil para imam besar berkenaan ketokohan beliau (Ibn 'Arabi), sifat istiqamah dan khususiyyah beliau, serta kebebasan beliau daripada kecaman-kecaman yang ditujukan kepadanya. Sesungguhnya mereka itu adalah imam-imam hidayah, serta pemimpin-pemimpin tarbiah dan islah. Maka penyaksian mereka adalah didahulukan ke atas sesiapa yang mengecam dan mengkritiknya, kerana mereka mengkritiknya dengan perkara yang mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan lengkap tentangnya, dan tidak sampai kepada mereka takwilnya. Maka mereka tidak mengetahui maksud beliau berbanding tokoh-tokoh tersebut."

- Masih ada banyak lagi tokoh besar yang tidak disebutkan oleh Syeikh al-Talidi seperti Ibn Kamal Basya, Ibn al-'Imad al-Hanbali, al-'Allamah al-Munawi, Syeikh Ahmad al-Sirhindi, Syeikh Hayat al-Sindi, Syeikh Abu al-Mahasin al-Qawuqji, Imam 'Abdullah al-Haddad, al-Amir 'Abdul Qadir al-Jaza'iri dan sebagainya.
Allahu'alam

*Dulu ada situs forum yg khusus menelaah/mendiskusikan tentang segala yg berkaitan dengan beliau, tentang karya2 kitabnya, dllnya, forum stb dinamai dg "forum mempertahankan Ibnu Arabi",..(berbahasa arab),..namun sayang sekarang situs tsb di blokir ga bs di buka linknya.

Umuman semoga ada hikmah dibalik semua ini, Allahu Musta'an.


Jumat, 07 Mei 2010

Jaharkan Bismillah

Kewajiban Membaca Basmalah di Awal surat Al-Fatihah


Setiap orang yang melakukan sholat diwajibkan membaca Basmalah pada awal surat Al-Fatihah karena basmalah merupakan ayat pertama darinya. Hal tersebut didasarkan pada hadits shohih dan kuat dari Rasulallah saw.. Antara lain yang dikemukakan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Rasulalallah saw. bersabda: “Jika kamu sekalian membaca Alhamdulillah, maka bacalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Sesungguhnya Al-Fatihah itu Ummu Al- qur’an (induk Alqur’an), Ummul-Kitab (induk Kitab), As-Sab’ Al-Matsani dan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Adalah salah satu ayatnya”. (HR.Daruquth- ny [I:312], Imam Baihaqi [II:45] dan lain-lainnya dengan isnad shohih baik secara marfu’ mau pun secara mauquf).

Syeikh Saqqaf (pengarang) merasa aneh terhadap at-tanaqudhat (kontradiksi) bahwa muhaddits ash-shuhuf wa al-auraq (pembaharu lembaran-lembaran koran dan kertas), bukanlah pembaharu intelek yang benar dan jujur.

(Dia) menshohihkan hadits diatas tersebut dalam beberapa tempat dari kitabnya dan dalam beberapa kitab karangan yang dinisbatkan kepada dirinya, antara lain kitab Shohih Al-Jam’ Wa Ziyadatuh [I:261] dan Shihatuh [III : 179].  Meski pun demikian dia tetap saja berkata dalam kitab Sifat Sholat Nabi–nya halaman 96:  “Kemudian Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, dan tidak mengeraskan bacaannya”. Jika Basmalah diakui (oleh dia) sebagai salah satu ayat dari Al-Fatihah, lalu mengapa tidak dikeraskan juga bacaannya?)

 Ibnu ‘Abbas ra. meriwayatkan bahwa dia membaca Al-Fatihah, lalu membaca wa laqad atainaaka sab’an min al-matsaaniya wal Qur’anal ‘Adhiim. Lalu dia berkata, “Itulah Fatihat al-Kitab (Pembuka Al-Kitab/Alqur’an) dan Bismillahir Rahmaanir Rahiim adalah ayat yang ketujuh” (Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath VIII:382 mengatakan hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan isnad Hasan).

 Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa, “Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalamn sholat, dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”. (HR.Abu Dawud dalam as-Sunan [IV:37], Imam Daraquthni [I:307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi [II:44] dan lain-lainnya dengan isnad shohih).

 Imam Ishak bin Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Maka dia menjawab; “Siapa yang meninggalkan ba’, atau sin, atau mim dari basmalah, maka sholatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr A’lam Al-Nubmala’ [XI:369] karangan Ad-Dzahabi).

 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah [ra] serta yang lainnya: “ Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. menjaharkan (bacaan) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”. (Hadits dari Ibnu ‘Abbas, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar [I:255]; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:308] dan lain-lainnya ; Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:109] mengatakan, hadits tersebut di riwayatkan oleh Al-Bazzar dan rijal-nya mautsuuquun (terpercaya) ;

Al-Daraquthni [I:303-304] telah meriwayatkan dalam berbagai macam isnad siapa pun yang menemukannya tidak akan meragukan keshohihannya. Rincian pembicaraannya dapat dilihat pada jilid III dari At-Tanaqudhat. Ada pun hadits dari Abu Hurairah ra., diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam Al-Mustadrak-nya [I:232] dan perawi lainnya. Haditsnya shohih.

Al-Dzahabi rupanya berusaha melemahkan hadits tersebut dalam Talkhish Al-Mustadrak. Dia mengatakan, ‘Muhammad itu dhaif’, yang dia maksud adalah Muhammad bin Qais, padahal tidak demikian. Muhammad bin Qais sebetulnya orang baik dan terpercaya, termasuk rijal (sanad) Imam Muslim sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib [IX:367]. Disitu disebutkan Muhammad bin Qais diakui mautsuuq oleh Ya’qub bin Sufyan Al-Fusawi dan Abu Dawud, Al-Hafidh pun mengakui hal itu juga dalam At-Taqrib-nya)

 Disebutkan dalam shohih Bukhori [II:251 dalam Al-Fath al-Bari], bahwa Abu Hurairah ra. berkata: “Pada setiap sholat dibaca (Al-Fatihah dan surah—Red.). Apa yang yang beliau perdengarkan (jaharkan) maka kami pun memperdengarkannya (menjaharkannya), dan apa yang beliau samarkan (lirihkan), maka kami pun menyamarkannya (melirihkannya)…”.

Perkataan orang yang menyebutkan bahwa Rasulallah saw. kadang-kadang melirihkan dan kadang-kadang menjaharkan (bacaan basmalah), itu tidak benar. Karena mereka juga berdalil dengan hadits-hadits mu’allal yang ditolak. Bahkan sebagiannya hanya disimpulkan dari hasil pemahaman (al-mafhum) yang berlawanan dengan hadits al-manthuq, yang jelas menyatakan adanya menjahar bacaan basmalah. Sedangkan yang manthuq itu harus didahulukan atas yang mafhum, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.

 Imam Muslim dalam Shohih-nya [I:300] meriwayatkan hadits dari Anas ra. yang mengatakan: “Ketika suatu hari Rasulallah saw. berada disekitar kami, tiba-tiba beliau mengantuk (tidur sebentar), lalu mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Kami bertanya; ‘Apa yang menyebabkan engkau tertawa wahai Rasulallah’? Beliau menjawab; ‘Tadi ada surah yang diturunkan kepadaku, lalu beliau membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, innaa a’thainaaka al-kautsar….sampai akhir hadits’ “.

Imam Nawawi mengatakan dalam Syarh Muslim-nya [IV:111) bahwa basmalah itu merupakan satu ayat dari setiap surah kecuali surah Bara’ah atau at-Taubah berlandaskan dalil bahwa basmalah itu ditulis didalam mushaf dengan khath (tulisan/ kaligrafi) mushaf.

Hal itu didasarkan kepada kesepakatan sahabat dan ijma’ mereka bahwa mereka tidak akan menetapkan sesuatu didalam Alqur’an dengan khath Alqur’an yang selain Alqur’an. Ummat Islam sesudah mereka pun sejak dahulu sampai sekarang, sepakat atau ber-ijma’ bahwa basmalah itu tidak ada pada awal surah Bara’ah dan tidak ditulis padanya. Hal itu semua menguatkan apa yang telah kami katakan.

 Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-Mujmir seorang Imam, Faqih, terpercaya termasuk periwayat hadits Shohih Enam sempat bergaul dengan Abu Hurairah ra. selama 20 tahun : “Aku melakukan sholat dibelakang Abu Hurairah ra., maka dia membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim lalu dia membaca Ummu Alqur’an hingga sampai kepada Wa laadh dhaalliin kemudian dia mengatakan amin. Dan orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan Allahu Akbar. Dan apabila bangun dari duduk dia meng ucapkan Allahu Akbar. Dan jika bersalam (mengucapkan assalamu‘alaikum). Dia kemudian mengatakan, ‘Demi Tuhan yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah saw.  daripada kalian”. (Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134; Imam Bukhori mengisyaratkannya hadits tersebut dalam shohihnya [II:266 dalam Al-Fath] ; Ibnu Hibban dalam shohihnya [V:100] ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:251 ; Ibn Al-Jarud dalam Muntaqa halaman 184 ;Al-Daraquthni [I:300] mengatakan semua perawinya tsiqah ; Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232] ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371] dan mengatakan isnadnya shohih. Dan hadits itu dishohihkan oleh sejumlah para penghafal hadits seperti Imam Nawawi, Ibn Hajar dalam Al-Fath [II:267] bahkan dia mengatakan bahwa Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah hadits yang paling shohih mengenai hal tersebut).

Sedangkan menurut Syeikh Saqqaf (pengarang), hadits itu bukan yang paling shohih, justru hadits Anas yang diriwayatkan Imam Bukhori lah yang paling shohih yaitu “Rasulallah saw. me-mad-kan (memanjangkan bacaan) bismillah, me-mad-kan Ar-Rahmaan dan me-mad-kan Ar-Rahiim”. Ibn Hajar dalam Al-Fath II:229 telah menetapkan untuk menggunakan hadits yang menetapkan adanya jahar dalam membaca basmalah. Selanjutnya dia mengatakan, ‘Maka jelaslah (benarnya) hadits yang menetapkan adanya jahar dengan basmalah’.

 Dalam Shohih Bukhori [IX:91 dalam Al-Fath] disebutkan bahwa Anas bin Malik ra. pernah di tanya mengenai bacaan Nabi Muhammad saw.. Dia men- jawab: “Bacaan Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar-Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.

Ada pun hadits Anas ra. yang antara lain mengatakan: “Aku melakukan shalat dibelakang Nabi Muhammad saw., Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Mereka membuka (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shohih-nya [I:299 no.50 dan 52]. Hadits tersebut mu’allal (hadits yang mempunyai banyak ‘ilat atau yang menurunkannya dari derajat shohih). Diantara ‘ilat atau penyakit yang melemahkan derajat hadits itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadits tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’. Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadits) Anas, tetapi hanya perkataan salah seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.

Argumentasi ini dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah ra., disebutkan bahwa Rasulallah saw. bersabda, ”Alhamdulillah rabbil ‘aalamiin sab’u ayat ihdaa- hunna Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, wa hiya as-sab’u al-matsaani wa al-Quraani al-‘adhiim, wa hiya Ummu Al-Qur’an wa Fatihat Al-Kitaab, (Al-Fatihah itu tujuh ayat, salah satunya adalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim.  Itulah tujuh (ayat) yang diulang-ulang Al-qur’an yang agung dan itulah induk Alqur’an dan Fatihat (Pembuka) Al-Kitab (Alqur’an)”. Al-hafidh Al-Haitami dalam Al-Mujma’ [II:109] mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan Imam Thabarani dalam Al-Ausath, rijal-nya tsiqat”.

Dari keterangan itu semua dapat ditetapkan ada empat indikasi mengenai ke- lemahan hadits Anas ra diatas tersebut:

a). Hadits yang shohih dan tsabit (kuat) yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Anas berlawanan dengan hadits tersebut. Dalam hadits itu disebutkan, “Baca- an Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.

b). Semua Hafidh pakar penghafal hadits yang menulis dalam Mushthalah Hadits dan mengarang mengenai hadits, menyebutkan hadits Anas tersebut sebagai contoh hadits mu’allal yang meniadakan menjahar basmalah dalam Al-Fatihah itu

c). Hadits Anas tersebut, disamping mu’allal, bersifat meniadakan, sedangkan hadits Anas yang lainnya beserta hadits-hadits lain dari para sahabat menetapkan (istbat) adanya jahar dalam membaca basmalah. Padahal seperti yang di tetapkan dalam ilmu ushul fiqh ialah yang menetapkan (al-mutsbit) itu harus didahulukan daripada yang meniadakan, apalagi yang meniadakan itu masih mengandung ‘ilat (berupa hadits mu’allal). Menjam’u (mengkompromikan) pun tidak bisa dilakukan.

d) Diriwayatkan secara kuat dan benar, bahwa para sahabat yang empat -radhiyallahu ‘anhum- khususnya khalifah Umar dan khalifah ‘Ali semuanya menjaharkan bacaan basmalah dalam Al-Fatihah (lihat umpamanya kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar [II:372 dan 378] ).

Wallahu a’lam.

(Dinukil dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. oleh Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf [Syeikh Saqqaf, Jordania] cet. pertama, 1993 hal.107 s/d hal.111, diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim diterbitkan oleh Pustaka Hidayah Bandung).

Sumber:   http://nujekulo.blogspot.com/2010/04/kewajiban-membaca-basmalah-di-awal

Beberapa hadits lain yang senada,

"Dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad Saw, bahwasanya Nabi Muhammad Saw, apabila membaca (Fatihah)  sedang beliau menjadi Imam, beliau mulai bacaan Fatihahnya itu dengan Bismillah, lalu Abu Hurairah berkata, bahwa Bismillah itu salah satu ayat dari Kitab Allah" (H. Riwayat Daruquhtni, lihat al Majmu' II hal.345)

"Dari Ibnu Abbas Rda, beliau berkata : Adalah Nabi Muhammad Saw, memulai sholatnya dengan Bismillah" (Hadits Riwayat Imam Tirmidzi - Sahih Tirmidzi juzu' 2 pagina 44).

"Dari Qutadah, beliau berkata:  Anas ditanya tentang bacaan Nabi Muhammad Saw, maka beliau menjawab : Adalah panjang,  Beliau baca Bismillah, Beliau panjangkan ar Rahman, Beliau panjangkan ar Rahim" (H.R Bukhari)

"Dari Ummi Salamah Ummil mu'miniin Rda, beliau ditanya tentang bacaan Nabi Muhammad Saw, maka beliau menjawab : Adalah bacaan Nabi Muhammad Saw, memotong satu ayat satu ayat, Bismillahirrahmannirrahim, Alhamdulillahi rabbil alaamiin, Arrahmanirrahim, Maliki yaumiddin ..." (H riwayat Imam Ahmad dan Abu Daud, lihat Musnad Ahmad bin Hambal jilid 6 hal 302).

"Dari Anas bin Malik beliau berkata : Bahwasanya Saidina Mu'awiyah sholat jahar di Madinah. Ia menjaharkan al Fatihah, tidak membaca Bismillah untuk Fatihah, tidak pula pada ketika membaca Surat sesudah al Fatihah, tidak takbir ketika hendak turun. Pada ketika ia sudah selesai sholat dan sudah memberi salam, lantas orang-orang Muhajirin dan Anshar (sahabat-sahabat Nabi yang utama) berteriak sambil bertanya: Hai Mu'awiyah, apakah engkau mencuri bacaan-bacaan sholat atau lupa ?
Berkata Anas bin Malik:  Sesudah itu beliau (Mu'awiyah) tidak pernah sholat kecuali dengan membaca Bismillah untuk Fatihah dan untuk Surah dan ia takbir ketika hendak turun" (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Daruquthni dalam kitab Sahih Daruquthni, pada halaman 117).

Ulil Albab

Sebagian ulama sekarang membuat pendapat, memutuskan, menilai atau bahkan membuat fatwa berdasarkan kemampuan pemahaman mereka semata. Bahkan sebagian ulama dengan kemampuan pemahaman yang ada pada mereka, gemar tajrih, tahdzir, boikot, hajr, tabdi, takfir.  Seolah mereka "mewakili" Allah namun ada kemungkinan sesungguhnya belum merasakan "keberadaan" Allah.

Saya mengingatkan saya pribadi dan pembaca, bahwa dalam memahami Al-Qur'an dan Sunnah / Hadits bukanlah disebabkan semata-mata karena aku atau saya atau ilmu atau akal/pendapat/asumsi atau apalagi dengan hawa nafsu. Allah telah sampaikan bahwa pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah dilakukan hanya oleh orang-orang yang berakal (ulil albab) sebagaimana firmanNya yang artinya,

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

Semua manusia diciptakan mempunyai akal. Namun yang dimaksud orang-orang yang berakal (ulil albab) sebagaimana firman Allah yang artinya,
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka" (Ali Imran: 191).

Jadi kita memahami Al-Qur'an dan Sunnah hanya melalui cara/jalan "mengingat" Allah. "Berkomunikasi" dengan Allah yang mengeluarkan firman. Syarat untuk "berkomunikasi" dengan Allah adalah dengan "mengenal" Allah terlebih dahulu atau yang dikenal dengan ma'rifatullah. Ujung-ujungnya kita perlu memahami ilmu Tasawuf.

Sayangnya sebagian ulama sekarang, tanpa menyadarinya, menolak Ilmu Tasawuf, mereka bersandar pada akal, keakuannya, kemampuannya, keilmuannya. Sehingga mereka tersibukkan dengan "perdebatan" tanpa mendapatkan pembeda (al-furqan).

Sedangkan ulama-ulama sufi, kembali kepada Allah dengan kebenaran iftiqar (butuh dan menggantung pada kehadiran dan peran Allah) dan hati yang remuk redam karena Allah.
Sebagaimana yang saya sampaikan, dari  Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah,  dalam http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/07/kaum-sufi/

Sungguh benar apa yang telah disampaikan Allah dalam firmanNya yang artinya,
"Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan" (Al-Fatihah : 5)

Kaum Sufi

Sebagaimana yang disampaikan Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah,   “Kaum Sufi, Allah benar-benar telah menjadikan kaum ini sebagai kelompok para waliyullah terpilih; mengutamakan mereka atas semua hambaNya setelah para Rasul dan Nabi-Nya. Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada mereka.
Allah menjadikan hati mereka tambang berbagai rahasiaNya; dan mengkhususkan mereka lebih dari umatNya yang lain dengan pantulan cahayaNya. Mereka bagai hujan bagi mahlukNya yang selalu berputar dan berkeliling bersama Al-Haqq dengan kehakikatanNya ditengah “keumuman” tingkah laku manusia.
Allah menjernihkan mereka dari segala kekotoran sifat manusia; melembutkan hati dan rohani mereka pada pencapaian tempat-tempat (maqam) musyahadat (persaksian ruhani pada kebesaran dan kegaiban Allah) dengan “penampakan Al-Haqq dari segala hakikat keesaanNya; menempatkan mereka untuk “tetap tegak” dengan sikap penyembahan dan mempersaksikan pada mereka saluran-saluran hukum ketuhanan.
Karena itu mereka mampu menunaikan segala bentuk kewajiban yang dibebankan kepada mereka; mampu menghakikati segala yang dianugerahkanNya, berupa perubahan-perubahan dan berbagai putaran hidup, kemudian kembali kepada Allah dengan kebenaran iftiqar (butuh dan menggantung pada kehadiran dan peran Allah) dan hati yang remuk redam karena Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Luhur dan Tinggi; bebas berbuat apa yang dikehendakiNya; bebas memilih siapa saja yang dikehendakiNya; tidak ada yang memberi ketentuan hukum kepada Nya; tidak ada kebenaran bagi makhluk yang mengharuskan pada Allah; sebab pahalaNya adalah awal keutamaan dan siksaanNya adalah hukum keadilanNya; perintahNya adalah ketentuan yang mutlak dari Allah.


Sumber: “Ar Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tashawwuf, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi atau versi terjemahan “Risalah Qusyairiyah”, sumber kajian ilmu tasawuf, penterjemah Umar Faruq, penerbit Pustaka Amani, Jakarta

=========================================
Catatan tentang sufi seperti yang ditulis oleh Ibnu Athaillah.

=========================================

Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah saw. yang didiami para ahli shuffah.

Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat.

Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.

Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.

Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu(kesuciannya)

Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya)

Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu(kefanaannya).

Huruf ya’ adalah huruf nisbat.

Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya.

Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.

================================

Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)

Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)

======================================

Tasawuf Atha’illah

Pemikiran Ibnu Atha’illah

Berdasarkan biografi dan karya-karya tulis Ibnu Atha’ilah, sudah jelas, bahwa ia seorang ahli hukum mazhab mailki, ia juga sebagai seorang guru sufi tarekat Syadziliyah. Oleh sebab itu sepantasnya ia dijuluki sebagai ahli Hikmah, yang melahirkan salah satu dari pemikiranya adalah Kitab al-Hikam.

Untuk memudahkan mendalami pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, perlu memahami terlebih dahulu perkembangan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, mulai dari karir hingga wafatnya. Hal ini dilakukan untuk memperjelas dalam mengklasifikasikan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, yang sedikit banyak berorientasi pada nilai-nilai Taswuf yang melekat pada dirinya.

Perkembangan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dapat diketahui dari karya tulisnya al-Hikam. Kitab al-Hikam merupakan  ciri khas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah pada khusunya dalam paradigma Tasawuf. Diantara para tokoh sufi  yang lain, seperti al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen Annuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi, tetapi diseimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadat dan suluk, artinya diantara syari’at, tharikat dan hakikat ditempuh  dengan cara metodis. Kenyataan ini terbukti dalam karya-karya tulis dan warisan spiritualnya dan selain ia seoarang ahli hukum yang bermazhab Maliki dan sebagai penganut teologi Asy’ariyah juga ia memiliki posisi sebagai  dalam tahrekat Sydziliyah.

Corak Pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya ia lebih menekankan nilai Tasawuf  pada Ma’rifat.  Selain itu juga bahwa Ibnu ‘Atha’illah merupakan guru ketiga dari taharikat Syadziliyah, maka ia memilki pandangan tasawuf pada kahususnya tentang ma’rifat berdasarkan pandangan tarekat Syadziliyah.

Adapun pemikiran-pemikiran tarekat tersebut adalah :
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan,  dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah. dan mengenal rahmat Illahi.  Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah Swt. dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Kedua, tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir serarah dengan al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan  kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiat an-Nafs), dan pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.

Ketiga,  zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain dari pada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahw) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi.

Keempat,  tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan samapi menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan ketika berlebihan ketika harta datang. Sejalan dengan itu pula, seorang salik harus memakai baju lusush yang tidak berharga, yang akhirnya akan menjatuhkan martabatnya.

Kelima,  berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjebatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Abu hasan al-Syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa di samping berupaya mencari ‘langit’, juga harus beraktivitas dalam realitas sosial di ‘bumi’ ini. Beraktivitas sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil kontemplasi.

Keenam,  tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Tasawuf memiliki empat aspek penting  yakni berakhlak dengan akhlak Allah Swt., senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh

Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’riaft al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan

1). Mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha  dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugrah tersebut.

2). Makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.

Karena itu, maka dalam mengupas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah ini akan berangkat dari teori ma’rifat yang digunakan oleh Abi Hasan al-Syadzili serta tulisan tulisan Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Hikam.

Alasan digunakannya teori ini, karena Kitab Al-Hikam meletakan Transendental mengenai eksistensi Tuhan secara empiris,  sehingga dari sini kita dapat memahami pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dari penglaman puncak (Fick eksperience).

Ibnu ‘Atha’illah telah memahami ajaran konsep Tasawuf yang banyak mengandung dari ajaran Syadziliyah, yang mana ajaran taswuf tersebut diringkas menjadi lima bagian yaitu :

  • Secara lahir dan batin melakukan Taqwa kepada Allah Swt

  • Berkata dan berbuat sesuai dengan As Sunnah

  • Dalam penciptaan dan pengaturan menolak akan kekuasaan Makhluk

  • Baik dalam keadaan sedikit maupun banyak ridha kepada Allah Swt.

  • Baik dalam keadaan senang maupun susah selalu ingat kepada Allah Swt.


Selain kelima kosep Tasawuf diatas, Ibnu ‘Atha’illah memiliki ajaran pokok dalam Tasawuf antara lain :

  1. Peniadaan kehendak dibalik kehendak Tuhan

  2. Pengaturan manusia dibanding kehendak Tuhan

  3. Pengaturan manusia dibanding pengaturan Allah SWT.


Mengenai konsep yang pertama dan kedua,. Ibnu ‘Atha’illah memberikan penegasan dalam hikmah sebagai berikut.
مَا تَرَاكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْأً مَنْ اَرَادَنَ يُحْدِثُ فِى اْلوَقْتِ غَيْرَ اَظْهَرَهُ اللهُ فِيْه

Artinya : “tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat bodoh) orang yang menghendaki perubahan di dalam waktu (yang telah ditentukan) menuju kelain waktu yang Allah telah menampakannya didalam waktu itu”.

Allah Swt adalah Dzat yang maha merajai diseluruh alam semesta ini. Dia mengetahui segela sesuatu yang ada didalam kerajaannya, itu dengan kebijaksanaan dan kehendak-Nya sendiri. Maka dari itu apa saja yang terjadi apa saja dialam semesta ini,  misalnya jatuh sakit, orang yang berada ditingkat tajrid, orang berada ditingkat kasab, miskin serta kaya, semua itu berjalan dengan kehendak dan iradat yang telah direncanakan sejak semula oleh Allah Swt dan juga mengikuti peraturan yang telah ditetapkan dalam alam wujud ini.  Dalam Hal ini Allah Swt berfirman :

وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ

Artinya : “…Dan segala sesuatu pada sisi Allah adalah dengan ketentuan taqdir” (Q.S: Ar-rod :8)

Oleh sebab itu jika ada sesorang yang ingin merubah suatu keadaan yang telah ditentukan oleh Allah pada waktu itu juga, orang yang semacam ini adalah sedungu-dungu atau sebodoh-bodohnya orang, yang tidak memahami akan qudrat dan iradat Allah Swt. Dengan alasan, karena ia menghendaki suatu keadaan yang belum dikehendaki Allah, berarti dalam garis besarnya ia tidak rela akan ketetapan  dan keputusan Allah yang telah diberikan kepadanya. Padahal apa saja yang telah ditetapkan Allah kepadanya bukanlah termasuk suatu keadaan yang tercela.

Jadi usahanya untuk merubah suatu keadaan yang telah ditetapkan oleh Allah itu termasuk perbuatan yang tidak sopan (tercela). Sebaiknya setiap manusia harus menerima ketetapan (taqdir) Allah ini harus dengan lapang dada dan rela hati yang dibarengi dengan ikhtiar.

Ketiga, pengaturan manusia dibanding pengaturan Tuhan,  Ibnu ‘Atha’illah menegaskan pula dalam hikmah sebagi berikut :

لاَ ِنهَايَةَ ِلمَذَامِكَ اِنْ أَرْجَعَكَ إِليَْكَ وَلاَ تَفْرَغُ مَدَ فَحِكَ إِنْ أَظْهَرَوُجُوْدَهُ عَلَيْكَ

Artinya “ tidak ada batas akhirnya (tidak ada selesainya) kejelekanmu jika Allah mengembalikan kamu kepada kekuatan usaha dan daya upayamu sendiri. Dan tidak akan ada habisnya kebaikanmu, jika Allah memperlihatkan kemurahan-Nya kepadamu”

Tidak akan ada pangkal ujungnya atau batas akhirnya orang yang mengerjakan kejahatan jika amal itu dikendalikan hawa nafsunya, sebab nafsu itu cenderung pada kejelekan. Sebaliknya orang yang merasa bosan atau tidak henti-hentinya untuk mengerjakan amal kebaikan jika Allah memberikan sifat kemurahannya kepadanya.

Penjelasan menganai hikmah diatas, seseorang seharusnya lepas terhadap amal usahanya, tidak memepedulikan apa hasilnya baik atau buruk. Artinya manusia harus bergantung pada Tuhan, jangan bergantung pada perbuatan atau tindakan diri sendiri. Untuk menegakkan adab Sufi dan kehalusan budi kepada Allah Swt. Maka  hanya kehendak dan daya kekuatan Allahlah yang ditegakkan dalam setiap pembicaraan tasawuf.

Pemikiran  Ibnu ‘Atha’illah tentang Tuhan tersebut sangat berimplikasi pada struktur internal kitab al-Hikam tentang ma’rifat. Tema dasar kitab tersebut adalah ma’rifat. Ia adalah ma’rifat iluminatif dimana disana terdapat benang yang merentang batu-batu permata, sehingga memberikan karya itu keutuhan dan pandangan  yang mendasarinya.

Dalil metafisikanya adalah terbaik dalam sufisme: ke Esaan Tuhan sendiri adalah absolut atau hakiki (al-haqq), atau tidak terbatas. Sementara selain Dia adalah relatif atau tidak riil, atau terbatas. Ini adalah doktrin tauhid  (Devine Unity), dasar islam yang dinyatakan sebagai kesimpulan akhir metafisika. Dilihat dari sudut pandang kebenaran (al-haqq), dunia adalah tidak ada, tidak ada “selain” al-Haqq (the Real). Konsekuensi-konsekuensi` spiritual mendalam yang mengalir dari doktrin tauhid ini adalah prosesi realisasi itu sendiri.

Mengenai tiga prinsip agama Islam, yang disebutkan dalam hadits Nabi yakni Iman Islam dan Ihsan, memainkan ajaran penting dalam ajaran Sufi Ibnu ‘Atha’illah mengambil syahadah islam dan mengimplikasikannya dalam tekhnik dzikir yang penting: “manusia terbagi kedalam tiga kategori kelompok dalam kaitannya dengan penegasan dirinya terhadap keEsaan.

Tuhan dalam Dzikir.
Ketegori kelompok peratama adalah diantara para pemula pada umumnya. Pada kategori ini,  penegasan keesaan dengan lisan, kata, kepercayaan  dan kepatuhan dengan jalan pencerahan-pencerahan dalam kesaksian keesaan, bahwa “tidak adan Tuhan selain Allah  Muhammad adalah utusaan-Nya, ‘ dan itu adalah Islam”.

Kategori kelompok kedua, adalah orang-orang yang tepilih tingkat menegah.  Pada kelompok ini, penegasan keesaannya dengan hati,  secara bebas  dan dengan kehendak sendiri,  dalam keyakinan dan kepatuhan. Dan itu adalah Iman.

Kategori kelompok ketiga adalah orang-orang pilihan dari orang-orang yang terpilih. Pada kelompok ini penegasan keesaan dengan akal (al-aql), mata (‘iyan),  yakin (yakin) dan kontemplasi (Musyahadah).  Dan itu adalah ihsan.

Selain pandangan diatas, Ibnu ‘Atha’illah membagi dzikir kedalam tiga tingkatan.

Pertama dzikir dengan lidah. Ia merupakan dzikir yang sifatnya umum. Kedua dzikir yang dilakukan dengan hati. Ini adalah dzikir orang-orang terpilih yang mempunyai keyakinan.
Ketiga dzikir dengan jiwa. Ini adalah dzikir orang-orang pilihan dari yang terpilih yang merupakan dzikir orang-orang gnostik (‘arifun) yang menghentikan dzikir mereka sendiri dengan mengingat (kontemplasi) Tuhan.

b.    Metafisika Ibnu ‘Atha’illah
Dalam berbagai hal yang bertkaitan dengan kehidupan, Ibnu ‘Atha’illah lebih memprioritaskan pada qalb meskipun sedikit berbeda dengan al-Ghazali yang lebih mengedepankan Riydhah Fisik.

Nilai-nilai Metafisika Ibu ‘Atha’illah dapat dilihat dari berbagai macam pemikirannya, terutama tentang wujud dibalik alam fisik/ragawi, dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan : “ sesungguhnya alam dapat mencukupi kamu dari segi jasmanimu dan dia tidak mencukupi dari segi ketetapan ruhanimu”

Benda yang ada di alam sama bentuknya dengan badan manusia (sama dalam bentuk kasarnya). Oleh karena itu anggota badan selalu bergantung dengan benda-benda tersebut bahkan mencukupinya. Sebaliknya ruh itu tidak sejenis badan atau benda-benda alam ini, maka kehidupan dan pertumbuhan ruh tidak bergantung pada benda-benda dunia akan tetapi bergantung dan berhubungan kepada terciptanya benda-benda alam tersebut yakni Allah Swt.

Jadi benda-bemnda alam itu tidak dapat memuat atau mencukupi kebutuhan ruhaniayah. Oleh karena itu untuk menyempurnakan kehidupan ruh tersebut sebaiknya setiap orang haus selalau berdzikir dan menyingkirkan segala hawa nafsu yang ada pada diri manusia, sehingga ruh itu bersih dari segala kotoran yang menempel pada kita.

Secara biologis, manusia tersusun dari dua macam unsur yakni tubuh kasar (jasmani) dan ruh halus. Dengan tubuhnya, maka manusia itu dapat menemukan, mengingat, berfikir, mengetahui, berkehendak, memilih, mencintai, membenci, dan sejenisnya.

Ibnu ‘Athaillah berpendapat tentang tubuh manusia, ia mengemukakan bahwa tubuh mansia tercipta dari tanah. Hal ini sudah merupakan kepastian yang mau tidak mau harus di akuinya. Sedangkan mengenaui ruh,  Ibnu ‘Atha’illah tetap berpegang pada al-qur’an, sebagaimana firman Allah Swt.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً

Artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". Q.S. Al-Isra : 85)

Ruh termasuk urusan dan perkataan Allah Swt. Sendiri yang selain-Nya itu pasti tidak akan dapat mengetahui, tidak dahulu, tidak sekarang dan tidak nanti, bahkan tidak untuk selama-lamanya.

Sebenarnya setinggi-tingginya pengetahuan yang dapat diperoleh mengenai hal ruh itu ialah bahwa ruh itu berdiam didalam tubuh manusia  dan bahwa dengan adanya ruh itu lalu tampaklah gerak kehidupan dari tubuh itu dan dapat diketahui pula apa yang diakibatkan oleh adanya kehidupan berfikir, mencintai, menbenci dan sejenisnya, selain itu yang dapat  diketahui mngenai ruh ialah bahwa ruh itu sewaktu-waktu berpisah dengan tubuh yang merupakan media kediamannya dan tubuh yang sudah ditinggalkan oleh ruh tersebut lalu menjadi benda mati, beku dan tidak lagi memiliki gerakan.

Dapat disimpulkan bahwa ruh yang dikaruniakan kepada manusia itu merupakan zat yang membedakan antara manusia dan benda-benda yang lain dialam semesta. dengan adanya ruh manusia menjadi pandai dan alim secara sendirinya, sehingga seluruh mala’ikat diperintah oleh Allah untuk tunduk memberi penghormatan kepada manusia tadi. Sebagian ulama Islam berpendapat bahwa “ruh adalah zat yang memiliki sifat yang tersendiri, dan berada dalam benda-benda lain. Ia adalah jisim Nuraniyah (Nur atau cahaya), dan kedudukannya tinggi dalam kehidupan manusia.

Selain ia dapat meninggalkan tubuh kasar dan dapat menjalar kerongga-rongga, tubuh itu bagaikan mengalirnya air dalam tangkai yang hijau hidup. Ruh itu tidak dipisah-pisahkan, atau dibagi. Kepada tubuh ruh memberikan kesan kehidupan dan apa-apa yang berhubungan dengan adanya kehidupan itu, selama tubuh masih dapat menerima berdiamnya ruh di dalamnya.

Adanya zat yang disebut ruh itu seudah disepakati oleh seluruh agama yang datangnya dari langit (agama samawi) yakni dari Allah Swt. Manusia meyakinkan adanya ruh itu dan dan mempercayainya sejak mereka mengenal agama-agamanya.

Bahkan aliran yag semata-mata berdasarkan materi atau kebendaan, sebelumnya mereka mempercayainya adanya ruh sampai tersebar tiga abad terakhir,  kemudian mereka mengingkari dan tidak mengakui bagi adanya kenyataan ruh tersebut.

Paham materialis mengumumkan bahwa di balik alam materi tidak ada alam lain, kecuali alam yang sama-sama disaksikan secara empiris, juga tidak ada benda lain, kecuali benda-benda yang tampak lagi untuk apa yang dinamakan ruh itu dalam alam semesta yang maujud ini.

Berdasarkan beberapa keterangan diatas, Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan juga selain manusia tersusun dari dua unsur yaitu jasad dan ruh atau materi dan imateri,  ia berpandangan bahwa, akal (aql) dan hati (qalb) sangat berpengaruh dalam kehidupan dan pencapaian ma’rifat. Karena itu Ibnu ‘Atha’illah pempriortiskan keduanya untuk melakukan suluk agar jiwa dapat bersih dari ketergantungan materi, sebagaimana hikmah yang ditulisnya :
اُخْرُجْ مِنْ اَوْصَافِ بَشَرِيَّتِكَ عَنْ كُلِّ وَصْفٍ مُنَاقِصٍ لِعُبُوْدِيَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِاْلحَقِّ مجُِيْبًاوَمِنْ حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا.

Artinya : “keluarlah kamu dari sifat-sifat kemanusiaanmu (materi) yang buruk dari setiap sifat yang dapat merusak sifat kebudihanmu agar kamu berada untuk menyambut panggilan Zat yang haq (Allah Swt.), dan dari kehadirat-Nya adalah lebih dekat.”

B.    Pengertian Ma’rifat Pandangan Ibnu ‘Atha’illah
Dari sisi bahasa ‘arif  memiliki sighat isim fa’il yang berarti orang yang mengenal atau mengetahui, Perkataan ‘arif adalah perkataan umum dalam tasawuf kerenanya ‘arif ditinjau dari segi tasawuf memiliki kriteria diantaranya:

  • a). Cintanya hanya kepada Allah yang agung

  • b). tidak pernah mengendahkan yang banyak atau yang sedikit, yakni disegala hal.

  • c). mematuhi segala perintah Allah,

  • d). terlalu bimbang dari pertukaran keadaan.


Tetapi Ibnu ‘Atha’illah nampaknya disini menegaskan pengertian ‘arif sebagai orang yang bijak dalam melakukan segala sesuatu dan mengetahui segala sesuatu. Seiring pula dengan Abul Abbas Al-Mursi  memprediksi pribadi Ibnu ‘Atha’illah sebagai orang yang bijak dan menjadi tokoh sufi yang bijak pula.

Adapun Ma’rifat secara istilah adalah cara mengenal atau mengetahui eksistensi Tuhan dan orang yang mengetahui eksistensi Tuhan disebut ‘arif. Pengertian tersebut dapat diperluas lagi menjadi cara mengenal atau mengetahui  eksistensi Tuhan melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berupa makhluk-makhluk Ciptaan-Nya.  Karena itu, pengertian diatas menegaskan dua penjelasan.

Penjelasan yang pertama berupa Nur anugrah dari Allah yang diberikan secara langsung. Dalam istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut mawahib atau ‘ain al-ujd. Ibnu ‘Atha’illah menuliskan hikmah sebagai berikut :
مَنْ اَشْرَ قَتْ بِدَا َيتُهُ اَشْرَقَتْ نِهَا يَتُهُ

Artinya : “Barang siapa bercahaya pada permulaannya, niscaya bercahaya pada akhirnya”.

Cahaya dalam pengertian disini, adalah Nur Iman (Cahaya ketauhidan) dengan cahaya ini manusia dapat melihat Allah dengan mata hatinya dan cahaya tersebut merupakan Hakikat cahaya yang sebenarnya.
Adapun tempat Cahaya ketuhanan tersebut ada di dalam hati. Sumber dari segala sumber, yakni sinar Ilmu, sinar ma’rifat,  dan sinar tauhid. Keterangan ini sesuai dengan hikmah yang ditulisnya :
مَاطَاِلعُ ْاَلاْنوَارِ اْلقُلُوْبُ َواْلاَسْرَارُ

Artinya : “ tempat terbitnya berbagai cahaya Illahi itu ada dalam hati manusia dan rahasia-sahasianya”

Pada kesempatan lain, Ibnu ‘Atha’illah menyebutkan ada tiga cahaya yang merupakan bekal bagi manusia untuk dapat mengetahui kedekatan dengan Tuhan dan mensifati wujud Tuhan. Tiga macam cahaya tersebut adalah ,pertama Syu’aa’ul Bashiirah yakni dengan akalnya manusia dapat mengetahui akan hakikat dirinya dan mengarti bahwa Allah itu dekat dengannya. Kedua, ‘Ainul Bashiirah yakni dengan Ilmunya, manusia bisa mengetahui bahwa dirinya itu sama sekali tidak ada di dalam wujud Allah. Ketiga, Haqqul Bashirah, yakni dengan kesaksiannya, manusia bisa mengetahui bahwa dirinya yang semula tidak ada menjadi ada, kemudian menjadi tidak ada lagi, sama sekali tidak disamakan dengan ada-Nya Allah yang tidak berawal dan tidak berakhir.

Dengan ketiga cahaya itulah manusia dapat mengetuhi, menghayati, mensifati tentang Wujud Tuhan.

Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan pula cahaya Illahi yang masuk kedalam hati sebagai Hidayah (petujuk) terdiri dari dua macam hati :
Cahaya yang masuk kedalam hati tetapi hanya di bagian luarnya saja (belum meresap kedalam hati). Hal ini menyebabkan  pandangan seseorang tidak bisa sepenuhnya tertuju kepada Allah, karena sebagian hati yang lain masih tertambat pada kesenangan dunia.
Cahaya yang masuk dan meresap kedalam hati. Hal ini menyebabakan seseorang bisa dengan sepenuhnya mencintai dan mencurahkan perhatiannya hanya kepada Allah semata.
Sehubungan dengan hal ini, sebagian ahli Ma’rifat berkata :

“Apabila Iman itu ada dibagian luar hati, maka seorang hamba akan mencintai dunia dan akhirat, yakni sebagian mencintai Allah dan sebagian mencintai dirinya.  Dan apabila iman telah masuk kedalam lubuk hati maka dia akan membenci dunianya dan ditolak kehendak hawa nafsunya”

Di satu sisi Ibnu ‘Atha’illah memaknai cahaya yang ditulis diatas sebagai “hidayah” dalam melakukan suluk (Ibadah). Sebagaimana yang dilontarkan oleh Ust Labib Mz. Dalam Kitab Al-Hikam sebagai berikut :
“Apa bila seesorang itu pada awalnya sudah bercahaya, yakni banyak beribadah kepadanya, maka pada akhirnyapun ia akan bercahaya, yakni bisa berma’rifat kepada Allah, yang dengan Ma’ifatullah ini ia akan mancapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat”

Penjelaskan kedua, bahwa Ma’rifat dapat diraih dengan cara (tarekat) kesungguhan dalam melakukan suluk (kesungguhan dalam beribadah), dan kesungguhan ini merupakan tonggak titik awal untuk mendapatkan puncak akhir dari  Ikhsan (kebajikan spiritual), yang memainkan peran penting dalam ajaran Sufi.

Pada kelompok Ikhsan ini, penegasan keesaannya adalah dengan akal (al-aql), mata (‘iyan), yakin (yaqin) dan kontemplasi (Musyahadah). Dalam istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut sebagai makasib atau atau badzi al-majhud.

Dalam hal suluk Ibnu Athaillah menjelaskan dalam kitab Al-Hikam bahwa Ma’rifat bisa dicapai dengan jalan memperbanyak beribadah (suluk) kepada Allah. dalam hikmah yang ditulis sebagai berikut :
اَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ اْلبِدَايَاتِ مَجَلاَّتُ النِّهَايَاتِ وَاِنَّ مَنْ كَانَتْ بِااللهِ ِبدَايَتُهُ كَانَتْ اِلَيْهِ ِنهَايَتُهُ

Artinya : “ Amma Ba’du : sesungguhnya permulaan (suatu perkara) itu cermin yang memperlihatkan pada puncak kesudahannya. Dan sesungguhnya orang sejak permulaannya itu selalu bersandar kepada Allah, maka puncak kesudahannya akan samapai kepada-Nya,”

Permulaan yang baik akan membuahkan hasil yang baik, dan permulaan yang jelek akan membuahkan hasil yang jelak pula.  Demikian pula apabila seseorang itu mempunyai keinginan untuk bertemu dengan Allah kemudian ia memulainya dengan cara yang baik dan usaha yang sungguh sungguh (suluk), niscaya pada akhirnya apa yang diinginkannya itu akan tercapai dengan baik pula.

Sebaliknya jika keinginan untuk bertemu dengan Allah tidak dimulai dengan cara yang baik dan tidak pula disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh (suluk), maka sudah barang tentu keinginannya itu hanya tinggal keinginan belaka tanpa ada hasil yang memuaskan.

Dalam hal penegasan dengan akal (al-aql). Ibnu ‘Atha’illah menuliskan dalam Kitab Al-Hikam bahwa ‘arif  dapat menyaksikan eksistensi Tuhan semata, sebagaimana Hikmah dibawah ini :

Artinya : “ bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu padahal Allah yang mendahirkan (menampakkan) segala sesuatu”.

Artinya : “bagaimana akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu”.

Dalam hal mata hati (iyan) menjelaskan bahwa satu mata dapat melihat Tajalli (penzahiran) sifat-sifat dan nama-nama Allah. Pandangan ini akan terus berlanjut sepanjang evolusi keruhanian berlangsung (yaitu pengalaman-pengelaman dalam tingkat-tingkat keruhania menuju Allah).

Mata yang lainnya dapat melihat apa yang diterangi oleh cahaya atau nur tauhid dan keEsaan. Seorang salik yang telah masuk ke peringkat “disisi Allah” saja yang dapat melihat ke Esaan yang mutlak (yaitu Allah) yaitu mereka yang berada dalam peringkat tinggi yaitu Tajalli Dzat. Dalam hal ini Ibnu athaillah menyebutkan :

فَاِنَّهَا لاَتَعْمَىْ اْلاَبصَْارُ وَلكِنْ تَعْمَىْ اْلقُلُوْبُ التَّىِ فِى الصُّدُوْرِ.

Artinya : “ Sesungguhnya bukan matanya yang buta, tapi mata hatinyalah (yang buta) yang ada dalam rongga dada”.

Sedangkan dalam hal Musyahadah lebih dari apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman Al-Makky r.a. arti yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi qalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya. Sebagaimana perkiraan kilatan dalam kilatan yang bersambung. Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya siang.

Begitupun qalbu, apabila keadaan tajalli tampat terus menerus, akan menjadi siang yang nikmat, tiada malam sama sekali.  Sejalan dengan Ibnu ‘Atha’illah yang menyebutkan :

Artinya : “Bagaimana mungkin dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) yang tampak dhahir pada segala sesuatu”

Berangkat dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahawa ma’rifat pandangan Ibnu Athai’llah adalah salah satu tujuan dari tarekat atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan.
Pertama, adalah mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan memberikannya tanpa usaha  dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugrah tersebut.
Kedua, adalah makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.

C.    Macam macam Ma’rifat Pandangan Ibnu Atha’illah
Karya Al-hikam sejak beredarnya, telah banyak melahirkan syarah  (komentar) dari beberap komentator  atau pensyarah. Hikam adalah jamak dari hikmah  yaitu kitab khusus yang menerangkan tiga bagian pokok; aforisme, risalah dan munajat (do’a). aforisme atau aksioma-aksioma spiritual merupakan bagian pertama al-Hikam dan merupakan subtansi dari seluruh bagian lainnya, dimana muatan  dua bagian lainnya terbahas/tersaji dalam bagain aforisme.

Aforisme mengenai Ma’rifat adalah tema dasar kitab tersebut. Ia adalah ma’rifat iluminatif, dimana di sana terdapat benang yang merentang batu-batu permata, sehingga memberikan karya itu keutuhan dan pandangan yang menadsarinya.
Aforisme Tentang Tingkatan Ma’rifat
Aforisme-aforisme yang mendasar mengenai Ma’rifat, dapat dilihat dari tinggkatan-tingkatan sufisme yang ditulis Ibnu Atha’ilah yakni dibagi mejadi tiga tingakatan yaitu : Sinar mata hati (syu’aa’u lbashirah) atau dapat disebut  cahaya akal,  mata hati (Ainul bashirah) atau dapat disebut Cahaya Ilmu dan Hakikat Mata hati (Haqqul bashirah) atau dapat disebut cahaya Illahi

“Sinar Mata hati itu dapat memeperlihatkan kepadamu dekatnya Allah kepadamu. Dan Mata hati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu karena wujud (adanya) Allah, dan Hakikat Mata hati itulah yang menunjukan kepadamu, hanya adanya Allah, bukan ‘adam (ketiadaanmu) dan bukan pula wujudmu.”

“Fikiran itu dua macam : fikiran yang timbul dari iman percaya, dan fikiran yang timbul karena melihat kenyataan, maka bagi yang pertama bagi orang salik yang mengambil dalil : Adanya makhluk menunjukan adamnya Khalik, ialah mereka ahli I’tibar. Sedangkan yang kedua mereka yang terbuka hijab hingga dapat melihat kenyataan dengan mata hatinya.”
Kemudian mereka yang kedua ini berdalil : ada yang menjadikan itulah yang menunjukan adanya benda yang dijadikan.

Mengenai yang pertama dapat disebut dengan ma’rifat orang salih dan mengenai yang kedua dapat disebut ma’rifat orang mahjdzub Orang yang memfikirkan adanya alam, ada yang langsung melihat pada yang menjadikan, sehingga ia berkata : Karena adanya pencipta, maka terjadilah yang dicipta, dan sebaliknya ada yang terpengaruh oleh bendanya, sehingga berkata adanya ciptaan ini menunjukan adanya pencipta.
“hakikat ilmu yang diturunkan Allah kepada arifiin ketika tajalli itu Mujmal (Singkat), tetapi setelah tertangkap terjadinya penerangan (keterangan)nya ayat : maka apabila kami bacakan, ikutilah bacaannya, kemudian kami sedndiri yang akan menerangkannya (penjelasan perincian).

Ilmu adalah sesuatu yang didapat dengan belajar, dan hakikat dari sebuah ilmu adalah ilham dari Allah kedalam hati tanpa perantara. Hakikat ilmu itu dapat juga disebut ilmu ladunni.

D.    Metode Pencapaian Ma’rifat Pandangan Ibnu ‘Atha’illah
“Seorang salik mencari kebenaran (himmat salik) hampir ingin terus, tidak ingin berhenti ketika sebagian yang baik tersingkap baginya, melainkan suara hakikatnya (hawatif al haqiah) segera memeperingatkan kepadanya, “bukan itu tujuan yang engkau cari, karena ia masih berada di depanmu!” demikian pula hampir tidak tampak keindahan alam baginya, melainkan diperingatkan oleh hakikatnya, bahwa kami semata-mata adalah sebagian batu ujian, maka janganlah engkau menjadi orang kafir.”

Aforisme Tentang Pencapaian Ma’rifat

اَلعَْاِرفُ لاَ يَزُوْلُ اْضطِرَارُهُ وَلاَ يَكُوْنُ مَعَ غَيْرِاللهِ قَرَارُهُ

“Seorang arif tidak kunjung hilang rasa kebutuhannya, dan tidak merasa tenang, atau bersandar pada sesuatu selain Allah.”

Sumber: http://ridwanpsi.net23.net/1_12_Tasawuf-Ibnu-Atha-illah.html

Perlunya Tasawuf

Perlunya kita memahami ilmu Tasawuf (sarana kembali kepada Allah)

Sesungguhnya, kita sejak bayi dalam kandungan Ibu, dalam keadaan bersih dan suci, telah bersaksi "sebenar-benarnya" bersaksi bahwa La ilaha illallah , tiada tuhan selain Allah. Kesaksian ketika kita dalam kandunagn Ibu,  sebagaimana firman Allah yang artinya

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)

Setelah anak manusia terlahir ke dunia,  keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. Ibu dan ayah adalah manusia-manusia dewasa kepada siapa anak belajar kata-kata yang pertama. Khususnya kepada Ibu, anak belajar kasih sayang. Kepada ayah, anak belajar tanggung jawab dan kepemimpinan. Bagaimana sikap ibu dan ayah kepada anak, sikap ayah kepada ibu dan sebaliknya ibu kepada ayah, adalah pola interaksi yang pertama dipelajari anak.

Dengan telinga dan matanya, anak belajar menyerap fakta dan informasi. Semakin banyak yang terekam, itulah yang paling mudah ditirunya. Bagaikan kertas putih bersih, orang tuanya yang akan memberinya coretan dan warna yang pertama. Betapapun sederhananya pola pendidikan dalam sebuah keluarga, tetap-lah sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Keluarga merupakan awal bagi pertumbuhan pola pikir dan perasaan anak.

Untuk itu bagi kita yang telah menjadi orang tua, dalam mendidik anak, sebaiknya selalu berharap atau memohon pertolonganNya karena segala sesuatu atas kehendakNya. Kita hanya menjalankan keinginanNya. Janganlah dengan hawa nafsu kita, memberikan "coretan" pada "kertas putih" anak kita. Kesadaran dan selalu mengingat Allah setiap saat dalam kehidupan kita dunia mutlak kita hadirkan agar segala perbuatan kita sesuai dengan kehendakNya.

Setelah kita mencapai akil balik dengan segenap ilmu yang telah kita pelajari dan pahami, baik dari pengajaran orang tua, guru dan lingkungan beserta karunia Allah akan pemahaman Al-Qur'an dan Hadits, kita "memulai" mengarungi kehidupan dunia. Kemanakah tujuan arungan kehidupan kita ?

Sebagaimana keinginan Allah yang disampaikan dalam firmanNya yang artinya,

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Az Zariyat : 56)

“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (al Hijr: 99)

Arungan kehidupan kita di dunia sesungguhnya adalah menuju kepada Allah, selalu sadar dan yakin akan keberadaan Allah,  selalu mengingat Allah, sepanjang kehidupan kita di dunia sampai kematian menjemput kita.

Sehingga kita bisa bersaksi kepada Allah yang Maha Esa dalam sebenar-benarnya "bersaksi" sebagaimana kita dalam kandungan Ibu dahulu. Sayangnya setelah bayi dan kita tumbuh dewasa, kita tidak dapat mengingat perjalanan ketika berada dalam kandungan rahim ibu. Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan,agar dirinya dapat kembali menemui Allah.

“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada aat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)

“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).

Dengan segenap ilmu dan pemahaman yang kita peroleh, kembalilah kepada Allah. Kembali pada sisi Allah yang sebaik-baiknya.

Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)

Sekali-lagi saya mengingatkan saya pribadi dan pembaca sekalian. sebaiknya kita tidak bergantung pada ilmu dan pemahaman, semua itu hanyalah sarana, bergantunglah hanya pada Allah. Semakin dalam ilmu dan pemahaman yang kita peroleh maka semakin tertunduk kita kepada Allah dan pada satu titik nanti, InsyaAllah kita akan "lebur" karena kita akan syahid yakni sebenar-benar bersaksi kepada Allah yang Maha Esa.

Sesungguhnya karunia Allah akan pemahaman tentang ma'rifatullah bisa kita lalui  jika mendalami ilmu Tasawuf.

Merugilah mereka yang menolak memahami ilmu Tasawuf.

Untuk itulah, Insyaallah, saya hadirkan blog ini untuk mengingatkan diri saya pribadi dan saudara-saudaraku Salafy (pengikut pemahaman Ibnu Taimiyah dan yang sepemahaman), teruntuk saudara-saudara muslimku yang anti tasawuf, teruntuk para pembaca pada umumnya serta  juga teruntuk saudara-saudaraku yang terbiasa mengikuti "motivator-motivator" kehidupan yang cenderung mengikuti atau menginginkan materi semata atau memperturutkan hawa nafsu dan menjurus mencintai dunia. Semoga Allah melindungi kita semua.

Wassalammualaikum Wr. Wb

Zon di Jonggol