Rabu, 30 Juni 2010

Zuhudlah di dunia

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya". HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635.

Berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim di atas, ada tiga kelompok yang merupakan sebaik-baik manusia, yang hidup sezaman dengan Nabi saw yakni para sahabat, zaman setelahnya yakni tabi’in dan zaman setelahnya lagi, yakni generasi tabi’ut tabi’in.

Mereka dipanggil sebagai Salafush Sholeh karena mereka sholeh, baik, berakhlak baik, mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya.

Mereka yakin bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.

Mereka adalah generasi terbaik yang berserah diri (Islam) kepada Allah.

Sehingga mereka mencapai tingkatan muslim yang terbaik yakni Ihsan (muhsin), seolah-olah mereka melihat-Nya walaupun mereka tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat mereka.

Sekarang kita yang jauh dari masa generasi terbaik itu, mulai timbullah sikap "membela diri" yang sesungguhnya adalah memperturuti hawa nafsu.
Nah, memperturuti hawa nafsu inilah yang menghijab kita dari "seolah-olah kita melihatNya"

Apa akibatnya bagi kita kaum muslim yang tidak lagi dapat atau terhijab dari “seolah-olah kita melihatNya”.

Sebagian dari kita berani membuka aurat, setengah bugil bahkan bugil di depan kamera atau di depan orang lain.

Bahkan ada pula yang berani melakukan perbuatan zina di depan kamera atau di depan orang lain.

Jelas sudah bahwa mereka memperturutkan hawa nafsu sehingga menghijabi dirinya dari “seolah-olah melihatNya”.

Sikap “membela diri” mereka adalah atas nama seni, hak asasi manusia atau hak pribadi, kami lakukan atas kesukaan bukan paksaan, tidak mengganggu orang lain, dan lain-lain alasan.

Begitu pula sebagian dari muslim yang mengkhawatirkan akan terjadi kemunduran masyarakat Islam , terutama dari segi ekonomi dan urusan duniawi,  dalam mereka memahami sebuah hadits “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir” (HR Muslim).

Kekhawatirkan mereka sesungguhnya adalah sebuah bentuk sikap “membela diri” karena pandangan mereka yang sebenarnya menjurus kepada materialisme dan mereka terhijab dari “seolah-olah melihatNya”.

Mereka memahami firman Allah yang artinya “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga” (QS ar Rahmaan: 24) dimana bagi mereka yang dimaksud dua syurga adalah syurga dunia dan syurga akhirat.

Padahal Allah telah menggambari tentang dunia pada firmanNya, antara lain yang artinya,

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS  al Hadid : 20)

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Al-Ankabut: 64)

Mereka membela diri, oleh karena mereka muslim maka mereka berhak atas penghidupan yang baik di alam dunia dibandingkan orang kafir.

Mereka yakin bahwa mereka dicintai Allah sehingga mereka merasa wajar meraih kehidupan ekonomi yang lebih baik  bahkan kaya raya.

Padahal anjuran (sunnah) Rasulullah SAW agar kita dicintai Allah dan dicintai manusia adalah sebagaimana sebuah hadits

Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Zuhud adalah tidak adanya ketergantungan dan terpusatnya perhatian terhadapnya.

Bersikap qanaah terhadap rizki yang halal dan ridho terhadapnya serta bersikap ‘iffah dari perbuatan haram dan hati-hati atau bahkan menghindari terhadap syubhat.

Jiwa yang merasa cukup dan iffah serta berkorban dengan harta dan jiwa di jalan Allah merupakan hakekat zuhud.

Zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, bererti menjauhkan diri dari merasa iri hati terhadap apa yang dimiliki oleh manusia serta mengosongkan hati dari mengingati harta milik orang..

... (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Al-Hadiid :23)

Ibnu Mas’ud ra. melihat Rasulullah saw. tidur di atas kain tikar yang lusuh sehingga membekas di pipinya, kemudian berkata, ”Wahai Rasulullah saw., bagaimana kalau saya ambilkan untukmu kasur?” Maka Rasulullah saw. menjawab, ”Untuk apa dunia itu!  Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)

Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takuti atas kalian, tetapi aku takut pada kalian dibukakannya dunia bagi kalian sebagaimana telah dibuka bagi umat sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Kehidupan zuhud ini dicontoh oleh para sahabatnya: Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka adalah beberapa sahabat yang kaya raya, tetapi tidak mengambil semua harta kekayaannya untuk diri sendiri dan keluarganya. Sebagian besar harta mereka habis untuk dakwah, jihad, dan menolong orang-orang beriman.

Mereka adalah tokoh pemimpin dunia yang dunia ada dalam genggamannya, namun tidak tertipu oleh dunia. Bahkan, mereka lebih mementingkan kehidupan akhirat dengan segala kenikmatannya. Abu Bakar berkata, ”Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.

Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang bertanya, ”Dimana orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat?” Lalu Ibnu Umar menunjukkan kuburan Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar, seraya balik bertanya, ”Bukankah kalian bertanya tentang mereka?

Abu Sulaiman berkata, ”Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah dua gudang harta dari sekian banyak gudang harta Allah yang ada di bumi. Keduanya menginfakkan harta tersebut dalam rangka mentaati Allah, dan bersiap menuju Allah dengan hati dan ilmunya.”

Dengan demikian hanya orang yang berimanlah yang dapat memakmurkan bumi dan memimpin dunia dengan baik, karena mereka tidak menghalalkan segala cara untuk meraihnya.

Demikianlah cara umat Islam memimpin dunia, mulai dari Rasulullah saw., khulafaur rasyidin sampai pemimpin berikutnya.

Pemerintahan Islam berhasil menghadirkan keamanan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Perdaban dibangun atas dasar keimanan dan moral. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, salah satu pemimpin yang paling zuhud, masyarakat merasakan ketentraman, kesejahteraan, dan keberkahan. Tidak ada lagi orang yang miskin yang meminta-minta, karena kebutuhannya sudah tercukupi.

Dengan adanya sikap membela diri maka akan sulitlah mengamalkan sunnah Nabi untuk berlaku Zuhud di dunia. Sikap membela diri sesungguhnya adalah memperturutkan hawa nafsu sehingga menghijabi diri kita sehingga tidak mencapai keadaan “seolah-olah melihatNya”.

Sikap diri, akhlak,  budi pekerti, moral, bertalian dengan hati, ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha ,qanaah,  tawakal, mengenal diri, mengenal Allah (ma’rifatullaH) adalah perihal yang wajib kita pahami .

Untuk itulah kami menganggap penting dalam pendidikan agama untuk memperdalam Akhlak sebagaimana yang kami sampaikan dalam tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/

Pendidikan agama dengan akhlak , insyaallah akan menghasilkan muslim yang mencapai tingkatan Ihsan (muhsin) yakni “seolah-olah melihatNya” , sehingga apa pun perbuatan yang dilakukan di alam dunia ini selalu keadaan “seolah-olah melihatNya”  yang akan memotivasi untuk  selalu mentaati perintahNya  serta menjauhi laranganNya.

Wassalam

Zon di Jonggol

Sabtu, 26 Juni 2010

Sampai kehadhirat Allah

Sampai kehadhirat Allah (Wushul)


Dalam tulisan sebelumnya http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/26/tips-sholat-khusyu/ telah diuraikan bahwa tujuan mendirikan sholat adalah untuk mengingat Allah , menuju (mi’raj) kepada Allah, seolah dihadapan atau berjumpa kehadhirat Allah untuk menyembahNya, sehingga kita dapat  terhubung / sampai  (wushul) kepada Allah dalam upaya kita untuk mendapatkan pertolongan Allah.

Dalam sebuah nasehat yang disampaikan oleh ulama sufi, Syaikh Ibnu Athoillah mengatakan,

Seandainya Anda tidak dapat sampai / berjumpa kehadhirat Allah, sebelum Anda menghapuskan dosa-dosa kejahatan dan noda-noda keangkuhan yang melekat pada diri anda, tentulah anda tidak mungkin sampai kepada-Nya selamanya.

Tetapi apabila Allah menghendaki agar anda dapat berjumpa denganNya , maka Allah akan menutupi sifat-sifatmu dengan sifat-sifat Kemahasucian-Nya , kekuranganmu dengan Kemahasempurnaan-Nya.

Allah Ta’ala menerima engkau dengan apa yang Dia (Allah) karuniakan kepadamu, bukan karena amal perbuatanmu sendiri yang engkau hadapkan kepada-Nya.”

Seorang hamba tidak akan bisa sampai berjumpa (wushul) kehadhirat Allah SWT, kecuali dengan jalan melebur dan menghapus sifat-sifat kemanusiaannya yang rendah (menyingkirkan sifat-sifat hawa nafsu manusianya dari dalam diri dan jiwanya) dan memutuskan hati dari segala keterkaitan dengan yang selain Allah  atau menanggalkan sifat syrik dan kemaksiatan diri dalam kehidupannya.

Hal ini, bukanlah sesuatu yang mudah dari sisi si hamba, karena hal itu merupakan sifat-sifat keniscayaan yang melekat kepadanya. Seandainya bukan karena kehendak Allah SWT, yang memberinya kemampuan untuk membersihkan diri dari sifat-sifat itu, tentu dia selamanya tidak akan bisa sampai kehadhiratnya.

Tetapi ketika Allah sudah menghendaki, tidak ada sesuatupun yang sulit bagiNya. Pertolongan Allah itu, semata-mata sebagai anugerah dari-Nya. Allah mengasihi hamba-Nya, Dia menutup atau menanggalkan dari diri hamba itu, sifat-sifat kemanusiaannya yang rendah  dengan sifat-sifat Allah Yang Maha Suci, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Syaikh Abu Abbas Al-Mursyi berkata: ‘Soerang wali tidak akan bisa sampai berjumpa ke hadhirat Allah, selama ia belum bisa memutus syahwat dan keinginannya sendiri untuk sampai kepada Allah Ta’ala”

Syaikh Abu Hasan Asy Syadzili berkata: “Seorang wali tidak akan bisa sampai berjumpa ke hadhirat Allah, selama ia masih menyertakan syahwat dan keinginannya, pengaturan dan ikhtiarnya serta masih masih terikat dengan urusannya sendiri.”

Apabila Allah  SWT. Membiarkan seorang hamba masih terbelenggu dengan nafsunya dan terikat dengan kemauannya sendiri, maka selamanya ia tidak akan bisa sampai berjumpa kehadhirat Allah SWT.

Apabila Allah Ta’ala berkehendak memberi karunia kepada hamba-Nya agar segera sampai kepadaNya, sehingga tanggallah dari dirinya ketergantungan dan keterikatan hamba itu dengan dirinya sendiri dan dengan urusan keduniaannya. Lalu Allah memunculkan dan menampakkan sifat-sifat kesucian yang menanggalkan sifat-sifat kemanusiaan yang rendah pada hamba itu dan memberinya anugerah (pertolongan) untuk bisa sampai kehadhirat-Nya.

Bila hal demikian terjadi pada seorang hamba, maka itu sebagai tanda dari sebuah anugerah besar baginya, yaitu memperoleh kecintaan Allah SWT. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits qudsi, bahwa Allah SWT, berfirman:

Apabila Aku (Allah) mencintai seorang hamba, maka pendengarannya adalah pendengaran untuk-Ku, penglihatannya adalah penglihatan-Ku, tangannya (kekuasaannya) adalah kekuasaan-Ku, perjalanan kakinya adalah perjalanan untuk-Ku

Dengan demikian, maka hamba itu, tidak lagi memiliki pengaturan, kehendak dan pilihan melainkan pengaturan, kehendak dan pilihan Allah SWT semata. Dalam kondisi demikian, ia akan bisa sampai kehadhirat Allah SWT (wushul)  dengan anugerah (pertolongan) Allah semata, bukan atas kehendak dan amal ibadahnya sendiri.

Maha Suci Allah Yang memberikan anugerah besar kepada hamba-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.

Sumber: (kompilasi dari)

1. Menyelam ke Samudera Ma'rifat & Hakekat, terjemahan Al-Hikam, Syaikh Ibnu Athoillah,  Penerbit Amelia Surabaya.

2. Mutu Manikam dari kitab Al-Hikam, terjemahan Al-Hikam, Syaikh Ibnu Athoillah, Penerbit Mutiara Ilmu Surabaya

Jumat, 25 Juni 2010

Tips Sholat Khusyu'

Sholat didirikan karena Allah (Lillah) untuk mendapatkan dan merasakan kebersamaan atau kedekatan dengan Allah (Billah).  Oleh karena menginginkan selalu kebersamaan atau kedekatan dengan Allah (Billah) maka sebagian muslim, selain mendirikan sholat wajib 5 waktu menambah lagi dengan sholat-sholat sunnah dan amalan-amalan sunnah lainnya.  Kesadaran akan kebutuhan sholatlah yang membuat kita rindu,  senang dan selalu merasa butuh untuk melakukannya. Insyaallah, tulisan berikut ini akan menguraikan tips sholat khusyu'

Tips sholat khusyu'

  • Mencari tahu tentang sholat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW

  • Mengetahui tujuan mendirikan sholat dan syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan sholat.

  • Memperhatikan dan kesadaran tumakninah


Perihal awal yang utama adalah mencari tahu tentang sholat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.  Dengan mengetahui sholat seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW, kita akan mendapatkan sholat yang khusyu'.

Dimana ilmu / pengetahuan tentang contoh sholat Rasulullah SAW bisa  kita peroleh ?

Sumber awal tentu adalah dari Al-Qur’an dan hadits.

Jikalau kemampuan kita terbatas untuk menggali hukum tentang sholat dari dalam Al-Qur’an dan Hadits maka kita dapat mengikuti imam yang telah mengeluarkan / menggali  hukum (istinbath)  tentang sholat dari dalam Al-Qur’an dan Hadits yang dikenal sebagai Imam Mujtahid. Tulisan tentang imam mujtahid, silahkan baca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/31/imam-mujtahid/

Imam Mujtahid yang kita ketahui ada empat yakni, Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi), Imam Malik bin  Anas (Madzhab Maliki), Imam Muhammad bin Idris (Madzhab Syafi’i), Imam Ahmad bin Hanbal (Madzhab Hanbali). Masa kehidupan Imam yang empat ini adalah pada masa salafush sholeh, yakni pada masa Tabi’in (orang yang berjumpa dengan Sahabat Nabi) maupun Tabi’ Tabi’in (orang yang berjumpa dengan orang telah berjumpa dengan Sahabat Nabi). Imam Empat ini diibaratkan mengumpulkan hadits-hadits, menghafalnya yang kemudian menjadikan sebagai dasar untuk mengeluarkan / menggali hukum-hukum yang kita kenal sebagai Fiqh atau fikih. Sehingga mereka pun dikenal sebagai Ulama Besar Fikih. Ikutilah salah satu dari mereka, umumnya adalah mengikuti hukum-hukum (madzhab) yang terbanyak diikuti disuatu wilayah / negara agar dapat saling mengingatkan. Untuk mengetahui sedikit riwayat tentang Imam Madzhab yang empat, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/03/madzhab-empat/

Untuk mengetahui mengapa perlunya madzhab silahkan baca tulisan pada, http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/07/2010/05/07/perlunya-madzhab/

Untuk mengetahui Madzhab yang banyak diikuti di wilayah/negara kita, silahkan baca tulisan pada, http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/10/riwayat-ahlussunah-wal-jamaah/

Sebelum kita mendirikan sholat,  hal yang perlu kita ketahui adalah syarat yang harus dipenuhi dan tujuan kita mendirikan sholat. Dengan mengetahui syarat dan tujuan sholatlah, insyaallah akan mendapatkan sholat yang khusyu'.

Apakah tujuan kita mendirikan sholat ?

Petunjuk Allah dalam Al –Qur’an, yang artinya

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.”  (QS  Thaha 20: 14)

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat  sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS al Baqarah 2 : 153)

Tujuan mendirikan sholat adalah untuk mengingat Allah , menuju (mi’raj) kepada Allah, seolah dihadapan atau berjumpa ke hadhirat Allah untuk menyembahNya, sehingga kita dapat  terhubung / sampai  (wushul) kepada Allah dalam upaya kita untuk mendapatkan pertolongan Allah.

Nabi Muhammad Saw bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi'rajul Mu'minin,  “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.

Dalam sebuah hadist Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”

Allah berfirman yang artinya,

“Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu' yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).

Sholat adalah amal / perbuatan yang merupakan kelanjutan atau perwujudan dari syahadat (kesaksian) yang telah diucapkan atau kita janjikan.

Apakah syarat agar amal / perbuatan sholat kita dapat berhasil, dilakukan khusyu', terhubung / sampai (wushul) kepada Allah ?

Kita harus mencontoh peristiwa ketika kita pernah terhubung / sampai (wushul) kepada Allah.

Ketika kita masih bayi dalam kandungan yang bersih dan suci telah keadaan  “menemui” Allah.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7: 172)

Ketika kita masih bayi dalam kandungan tidak melakukan aktifitas inderawi secara sempurna. Dengan kata lain seorang bayi tidak makan dan tidak minum atau berbicara dengan mulut, tidak bernapas dengan hidung, tidak melihat dengan mata, tidak mendengar dengan telinga, dan tidak buang air besar atau kecil melalui anus atau kemaluan. Tetapi bayi tersebut mendapatkan semua kebutuhan jasmaninya melalui saluran plasenta yang menghubungkan antara pusar bayi dengan dinding rahim ibu.

Dalam kandungan, seorang bayi juga tidak berpikir dikarenakan fungsi otaknya belum sempurna, tetapi kemampuan ruhani bayi telah hidup sempurna.

Sayangnya setelah bayi itu tumbuh dewasa, dia tidak dapat mengingat perjalanannya ketika berada dalam kandungan rahim ibunya. Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan, agar dirinya dapat kembali menemui Allah.

Jadi syarat agar dapat mendirikan sholat khusyu'  sehingga kita dapat ”menemui”, mi’raj,  terhubung (wushul) kepada Allah adalah kita harus mencontoh keadaan ketika kita masih bayi dalam kandungan yakni, bersih dan suci (fitrah),  mengistirahatkan panca indera atau aktifitas inderawi, meninggalkan ikatan hawa nafsu, mengistirahatkan apapun yang dipikirkan ,   memutuskan hati dari segala keterkaitan dengan yang selain Allah

Syarat ini diwujudkan secara amal lahiriah dalam bentuk wudhu, bersuci (thaharah) sebagai hukum syarat sholat, namun hakikat atau secara bathinnya  adalah menghapuskan dosa atau pensucian diri (tobat),  menyingkirkan sifat-sifat hawa nafsu manusianya dari dalam diri dan jiwanya, memutuskan hati dari segala keterkaitan dengan yang selain Allah atau menanggalkan sifat syirik dan kemaksiatan diri dalam hidupnya,  sebagai contoh  mendirikan sholat tidak lalai ataupun riya. Selengkapnya tentang sholat yang lalai, silahkan baca tulisan pada, http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/09/mereka-lalai/

Diantara waktu wudhu saat ini dengan sholat terakhir kita ada kemungkinan secara tidak sengaja hati kita ada keterkaitan dengan selain Allah atau syirik, maka teguhkanlah kesaksian kembali dengan mengucapkan syahadat agar sholat yang akan dikerjakan diterima Allah dengan baik, karena kita  sebagai seorang muslim.  Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,

"Seorang yang selesai berwudhu dengan baik lalu mengucapkan dua kalimat syahadat, maka akan terbuka baginya pintu-pintu surga yang delapan dan dia dapat memasuki pintu yang mana saja dia kehendaki". (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Peneguhan kesaksian kembali sangat diperlukan agar kita sebagai muslim karena Allah memperingatkan dalam firmanNya yang artinya,

“Sungguh, bila kamu berbuat syirik, maka hapuslah amalanmu, dan sunguh kamu tergolong orang-orang yang rugi” (QS Az Zumar: 65 )

“Amalan-amalan mereka (orang-orang musyrik/kafir) adalah bagaikan debu yang diterpa oleh angin kencang di hari yang penuh badai” (QS Ibrahim: 18 )

“Siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia beramal shalih dan tidak menyekutukan sesuatupun dalam ibadah kepada Tuhannya” (QS Al Kahfii: 110 )

“Dan siapa yang melakukan amal shalih, sedang dia itu mukmin, maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya dan sesungguhnya Kami tuliskan bagi dia apa yang dia lakukan” (QS Al Anbiya: 94 )

“Siapa yang melakukan amal shalih, baik laki-laki atau perempuan sedang dia itu mukmin, maka Kami akan berikan kepadanya penghidupan yang baik serta Kami akan memberikan kepadanya balasan dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan” (QS An Nahl: 97 )

"Siapa yang melakukan amal shalih, baik laki-laki atau perempuan sedangkan dia mukmin, maka mereka masuk surga seraya mereka diberi rizqi di dalamnya tanpa perhitungan" (QS al Mukmin : 40 )

Agar mendapatkan khusyu' dalam sholat adalah dengan memperhatikan dan kesadaran tumakninah.

Diriwayatkan dari Abu  Hurairah:

Rasulullah Saw masuk ke dalam masjid dan seseorang mengikutinya. Orang itu mengerjakan shalat kemudian menemui Nabi Saw dan mengucapkan salam. Nabi Saw membalas salamnya dan  berkata, "Kembalilah dan shalatlah karena kau belum shalat". Orang mengerjakan shalat dengan cara sebelumnya, kemudian menemui dan mengucapkan salam kepada Nabi Saw. Beliau pun kembali berkata, "Kembalilah dan shalatlah karena kau belum shalat". Hal itu terjadi tiga kali. Orang itu berkata, "Demi  Dia  yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku tidak dapat mengerjakan shalat dengan cara yang lebih baik selain cara ini. Ajarilah aku bagaimana cara shalat". Nabi Saw bersabda, "Ketika kau berdiri untuk shalat, ucapkan takbir lalu bacalah (surah) dari Al Quran kemudian rukuklah hingga kau merasa tenang (thuma'ninah). Kemudian angkatlah kepalamu dan berdiri lurus, lalu sujudlah hingga kau merasa tenang selama sujudmu, kemudian duduklah dengan tenang, dan kerjakanlah hal yang sama dalam setiap shalatmu".  (1:724 - Shahih Al Bukhari).

Diantara gerakan dalam Sholat, berikan waktu sejenak (tinggalkan aktifitas jasmani/ jasad) agar ada kesempatan ruhNya dapat  mi'raj, bertemu dan terhubung (wushul) kepada Allah.

Sebagaimana Imam Al-Ghazali mengibaratkan gerakan dan bacaan dalam shalat itu seperti jasad, sedangkan khusyu' dan tumakninah adalah ruhnya. Masih banyak para mushallin yang ‘berjasad’ baik, bahkan sempurna tanpa cacat, namun tak memiliki ‘ruh’. Akhirnya, shalatnya hanya sebatas ritual, bukan sumber spiritual.

Selengkapnya tentang tumakninah, silahkan baca pada tulisan pada, http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/09/mereka-lalai/tumakninah/

Dasar dari Tumakninah,  kita harus mengetahui dan mempunyai  kesadaran tentang RuhNya,  sebagaimana firman Allah yang artinya,

“Kemudian Dia menyempurnakan penciptaannya dan Dia tiupkan padanya sebagian dari Ruh-Nya dan Dia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tapi sedikit sekali kamu bersyukur” (QS As Sajadah 32 : 9 )

Dengan melakukan sholat khusyu', InsyaAllah akan membekas yang dalam keadaan selalu mengingat Allah, sehingga waktu  diantara mendirikan  sholat  akan tercegah perbuatan keji dan mungkar dan kita termasuk orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring (ulil albab).

Sebagaimana firman Allah yang artinya,

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS al Ankabut : 45)

Bagi sebagian muslim yang mendalami tasawuf, mereka mengikuti thariqah/tarekat dengan memperbanyak dzikir (wirid) terhadap Allah untuk menambah frekeunsi atau waktu untuk mengingat Allah. Sehingga, dengan pertolongan Allah, tiada waktu lagi tanpa mengingat Allah atau dengan kata lain, dengan pertolongan Allah, mencapai keadaan selalu mengingat Allah dan sebenar-benarnya bersaksi,

لا إِلَهَ إِلا اللهُ


La illa ha illallah


Wassalam

Zon di Jonggol


.


.



Berikut sebuah contoh petunjuk latihan sholat khusyu

Khusyu itu Mudah di tulis oleh Mardibros dari Sholatcenter

Rabu, 16 Juni 2010

Hidup bukan pilihan

Kebahagian sejati adalah menjalani kehidupan sesuai pilihan Allah


Petunjuk Allah bagi hambaNya untuk melakukan “perjalanan”  di alam dunia, kita ketahui dan imani semua ada dalam Al-Qur’an dengan penjelasan dalam Hadits. Allah menciptakan makhlukNya sudah berikut dengan petunjuk untuk “perjalanan”, sehingga aneh sekali ada manusia dengan hawa nafsunya, ke-aku-an atau egonya mencoba membuat petunjuk sendiri atau pemahaman sendiri sehingga kehidupannya gelisah dan khawatir,  bingung dan bimbang, kecewa, kesedihan dan tidak bahagia, keimanannya turun-naik dan lain-lain persoalan hidup. Begitu pula kita temukan manusia yang bersikap pragmatis (serba kepentingan) dan bersikap permisif (serba boleh)  sehingga yang terjadinya bukan taat pada kebenaran atau menegakkan kebenaran , namun kenyataannya mereka melakukan pembenaran pada perbuatan atau pemahaman, yang pada akhirnya serba kebohongan dan ada yang larut dalam sikap munafik.

Intisari Petunjuk Allah bagi hambaNya untuk melakukan “perjalanan” di alam dunia atau bisa kita katakan sebagai “konsep menjalani kehidupan”, Alhamdulillah bisa kita temukan dalam al Qur’an pada surah Al-Fatihah khususnya ayat ke 5, yang artinya

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (Al-Fatihah : 5)

Tahukah pembaca, bahwa upaya pertama dan utama serta sungguh-sungguh yang harus dilakukan manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia adalah upaya "menyembah Allah".

Itulah apa yang Allah inginkan (keinginan Allah)  sebagaimana firmanNya yang artinya,
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Az Zariyat : 56)

Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (al Hijr: 99)

Memenuhi keinginan Allah adalah tujuan hidup manusia.
Selengkapnya mengenai tujuan hidup, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/10/08/2010/04/12/tujuan-hidup/

Upaya yang harus dilakukan manusia adalah "menyembah Allah", lalu apa upaya selanjutnya ?

Upaya selanjutnya adalah semua atas pertolongan Allah sesuai dengan firmanNya yang artinya "hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan"
atau Laahaulaa walaaquw-wata il-laabillahil ‘aliy-yil ‘adziim, ”Tiada daya upaya dan kekuatan selain atas izin/pertolongan Allah

Kalau boleh kita simpulkan upaya manusia selanjutnya adalah Islam atau "Berserah diri" kepada Allah.
Selengkapnya mengenai "berserah diri" silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/03/24/berserah/

Allah telah memberi tahu bahwa kalau manusia bersandar(berserah) kepadaNya, berarti berada pada jalan yang lurus, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

“Siapa yang bersandar kepada Allah, berarti ia telah diberi petunjuk ke jalan yang lurus” (QS Al Imran : 101 )

Allah mengatakan jika manusia mengikuti jalan yang lurus maka manusia merupakan bagian dari manusia yang telah diberi ni’mat sebagai contoh kebahagian dalam melakukan  perjalanan di dunia. Selengkapnya mengenai “bahagia” silahkan baca tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/10/08/2009/10/08/bahagia/

Allah telah berjanji jika manusia memenuhi keinginan Allah (upaya utama manusia) yakni beribadah / menyembah pada Allah, maka Dia akan memenuhi segala kebutuhan manusia dalam perjalanannya di alam dunia.



“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka”. (QS Al Thalaq : 2)

Siapa yang bertawakal kepada Allah, Dia akan mencukupinya” (QS Al Thalaq : 3)

Jadi sebenarnya manusia tidak perlu bingung, khawatir, bimbang, gelisah akan kebutuhannya dalam perjalanan di alam dunia karena Allah yang akan mencukupinya.

Juga, manusia dalam menjalani perjalanannya di alam dunia, Allah pula yang akan mengajari atau memimpin hambaNya.

…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarimu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282).

Sedangkan ulama, pembimbing spiritual, guru,  mursyid adalah alat atau sarana yang "dipergunakan" oleh Allah untuk mengajari atau memimpin hambaNya dalam melakukan perjalanan hidup.

Selengkapnya mengenai "alat atau sarana", silahkan baca tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/13/alat-atau-sarana/

Setelah upaya kita berserah diri kepada Allah adalah upaya menjalankan "pilihan" Allah, secara  ikhlas/rido, sabar , istiqomah, profesional dan diakhiri dengan tawakal.

Sebagaimana firman Allah yang artinya "Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan". (QS Qashash : 68)

Jadi kelirulah ungkapan orang pada umumnya bahwa "hidup adalah pilihan kita (manusia)".   Hidup bukan pilihan kita !

Pilihan kita semata-mata hanyalah "beribadah / menyembah kepada Allah".

Kebahagian sejati adalah menjalani kehidupan sesuai dengan pilihan Allah.

Lalu bagaimana kita bisa mengetahui ”pilihan” Allah, jalan satu-satunya adalah mendekat kepada Allah, mengenal Allah (ma’rifatullah) atau terhubung (wushul) dengan Allah. Syarat untuk mengenal Allah atau terhubung dengan Allah adalah manusia harus dalam keadaan suci dan bersih baik jasmani maupun ruhani, yakni harus mengetahui ”pakaian” ruhani  diantaranya mengenal diri, hawa nafsu, akhlak, seputar hati, tazkiyatun nafs sehingga manusia dapat ”bersaksi” dengan sebenar-benarnya ”bersaksi” kepada Allah.

Selengkapnya bacalah tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/03/saya-bersaksi/

Manusia dengan ”pakaian” ruhani yang suci dan bersih akan hidup terpuji

Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang artinya

”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji, dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah)

Dalam hal ini makna kata kiasan dari “pakaian yang baru” adalah “pakaian” ruhani yang suci dan bersih.

Akhir dari perjalanan hidup manusia di dalam dunia adalah kematian.  Manusia yang selalu menjaga “pakaian” ruhani tetap baru atau suci dan bersih akan mati dalam keadaan syahid (bersaksi). "Matilah dalam keadaan mati syahid"

لا إِلَهَ إِلا اللهُ


La illa ha illallah


Sebagaimana yang disampaikan ulama sufi, imam Al Qusyairi bahwa “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.

Selalu ingat kepada Allah dan menguasai hati seorang manusia sebagaimana Allah telah sampaikan dalam firmanNya yanga rtinya

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).

Sebagaimana nasehat yang disampakan ulama sufi, Syaikh Ibnu Athoillah, "Marilah kita  menyerahkan kendali (perjalanan hidup) kita pada Allah. Kita mempersembahkan diri kita di hadapanNya.  Kita tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan kita cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, InsyaAllah,  Allah akan  memberi kita sesuatu yang lebih daripada apa yang kita berikan untuk diri kita sendiri".

Dengan mengetahui dan memahami konsep menjalani kehidupan ini, InsyaAllah kita akan selamat dunia dan akhirat.

Wassalam

Zon di Jonggol

Minggu, 13 Juni 2010

Alat atau Sarana

Alat atau sarana menuju kepada Allah


Saya mengingatkan baik diri saya pribadi dan pembaca pada umumnya, sebaiknya kita tidak berpuas diri dengan ilmu, amal, kelompok, madzhab, manhaj, jama’ah minal muslimin, aliran, tarekat, harokah/pergerakan karena semua itu adalah bukan tujuan hidup kita namun semata mata alat atau sarana menuju kepada Allah.

Saya sangat sedih melihat ada muslim yang begitu bangga dan "mendebatkan" dengan kaum muslim lainnya atau "membela mati-matian" akan kaumnya bahwa menurut dia,  mereka berada pada "jalan yang lurus" atau "jalan yang benar", namun pada kenyataannya dia tidak "melakukan" atau "melanjutkan" perjalanannya. Ibaratnya dia terpaku di jalan itu dan pada hakikatnya dia masih berada pada alam dunia.

Untuk itu,  saya hadirkan blog ini,  InsyaAllah dalam rangka saling mengingatkan baik diri saya pribadi maupun para pembaca agar marilah kita "melakukan" atau "melanjutkan" perjalanan "menuju" kepada Allah, "bersaksi" sebenar-benarnya "saya bersaksi", kembali kepada Allah bahkan ada sebagian muslim mengingatkan agar kita "Fafirruu Ilallah", Larilah kembali kepada Allah !

Marilah kita hentikan saling hujat-menghujat ataupun berdebat yang tidak jelas, jangan mau diadu domba baik oleh hawa nafsu maupun oleh orang-orang yang memusuhi orang mukmin yakni orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik. jangan mau masuk dalam kancah perang pemikiran (ghazwul fikri).

Cukuplah dengan pendapat saya atau kami begini , pendapat antum begitu. Tidak lebih dari itu, karena sesungguhnya pendapat atau pemahaman adalah sekedar apa yang "dilhat" atau "disaksikan" oleh seorang muslim selama dalam "perjalanan".  Dimana bisa saja terjadi perbedaan diantara muslim, karena tergantung karunia pemahaman (al-hikmah) yang Allah kehendaki, sebagaimana Allah telah sampaikan dalam firmanNya yang artinya,
Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

Saya membenci terhadap pensesatan atau pengkafiran muslim lain, yang dilakukan orang-perorang atau satu kelompok saja. Semua muslim yang sudah paham rukun Islam, rukun Iman tidak dilebihkan dan tidak dikurangi, maka InsyaAllah pada jalan yang lurus, yakni jalan orang-orang yang telah Allah beri ni'mat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Semua muslim, InsyaAllah berada pada jalan yang lurus. Sedangkan yang perlu kita pahami, bagaimanakah perjalanan yang telah dan akan kita lakukan. Umat muslim yang senang menghujat, berdebat, membela mati-matian kaum atau pemahamannya adalah semata-mata membanggakan "kendaraan" atau alat atau sarana yang dia/mereka pergunakan.

Periksa, intropeksi diri maupun alat atau sarana yang kita pergunakan dalam perjalanan menuju kepada Allah. Apakah alat atau sarana tersebut mempercepat kita mencapai tujuan kepada Allah ? ataukan kita berpuas diri dengan "kecepatan" yang ada sekarang ? ataukah kita terjerembab atau terkubur pada "lubang" (dosa) ?

Beruntunglah orang-orang yang "dilipatkan perjalanannya" oleh Allah atau "ditarik" atas Kehendak Allah. Mereka adalah yang telah menyerahkan kendali (kendali perjalanan) mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.

Begitu juga adanya kekeliruan yang tidak disadari oleh kita pada zaman modern ini, yakni tentang ulama, pembimbing spiritual, guru.

Mereka sama sekali bukan yang berkehendak dan mereka wajib menghilangkan "keakuan" atau ego diri pribadi. "Keakuan" akan memungkinkan timbulnya sifat ujub, yakni mereka melihat pada kemampuan dan kekuasaan dirinya dalam ilmu, ketaatan dan ibadahnya,  tidak melihat pada kekuasaan dan keagungan Tuhan,  Sikap semacam ini, sangat berbahaya, tidak ada yang lebih bahaya daripada ini.! Selengkapnya tentang bahaya ujub, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/13/memandang-dosa/ dan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/10/kesombongan/

Tugas utama/pertama bagi  ulama, pembimbing spritual, guru adalah semata-mata membantu, membimbing, mendidik, menghantarkan murid (hamba Allah)  kepada Allah, membuat murid (hamba Allah) dapat mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, “bertemu” Allah atau “terhubung”(wushul) dengan Allah .

Sesungguhnya Allahlah yang memimpin/mengajari hambaNya, sebagaimana firmanNya yang artinya,  “…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282).

Cara membantu, membimbing, mendidik, menghantarkan murid (hamba Allah) kepada Allah adalah dengan mempersiapkan murid (hamba Allah) untuk "bertemu" Allah yakni mengajarkan pencapaian keadaan suci dan bersih baik ruhani maupun jasmani, meliputi pengetahuan dan latihan tentang Tazkiyatun Nafs, Akhlak,Hati, Pengenalan diri dan Ma'rifatullah. Selengkapnya, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/03/saya-bersaksi/

Jadi itulah sesungguhnya hakikat fungsi utama/pertama  bagi ulama, pembimbing, guru   bukan sebagai yang dikultuskan, dipuja atau bahkan ada sampai tersesat sebagai yang disembah, tempat meminta pertolongan, dll. Juga  kekeliruan seperti "menilai", memberikan "raport", menghakimi, mensesatkan bahkan mengkafirkan murid atau hambaNya.

Selengkapnya tentang pendidikan agama dan akhlak, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/

Setelah murid(hamba Allah) sampai pada Allah, barulah ulama, pembimbing, guru mengajarkan apa-apa yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits tanpa dicampur dengan  hawa nafsu, kepentingan (pragmatis), kreasi sendiri atau bahkan sesuatu bid'ah dalam Islam.

Dalam mengajarkan sebaiknya dalam kesadaran bahwa segala sesuatu yang diajarkan adalah semata-mata bersumber dari Allah dan berserah diri kepada Allah.

Wassalam

Zon di Jonggol

Memandang Dosa

Bagaimana Kita Memandang Dosa


Tulisan kali ini merupakan kelanjutan tulisan sebelumnya tentang kesombongan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/10/kesombongan/

Nasehat ulama sufi, Syaikh Ibnu Athoillah,

Jangan beban berat akan besarnya dosa-dosa yang telah anda lakukan, menjadikan penghalang bagi anda untuk bersangka baik kepada Allah.

Sesungguhnya apabila orang yang mengenal Tuhannya, tentu ia akan memandang kecil dosa-dosa bila dibandingkan dengan sifat-sifat Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengampun.

Tidak ada dosa kecil, apabila Allah menghadapi anda dengan keadilan-Nya, dan tidak ada dosa besar, apabila Allah menghadapi anda dengan karunia dan kemurahan-Nya

Besarnya dosa bagi orang melakukan dosa dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu:

Pertama:

Hendaklah seorang hamba memandang dosa yang dilakukannya itu sebagai dosa besar, sehingga mendorongnya untuk segera bertobat, kembali sadar, lalu bertobat dengan tobat yang sungguh-sunguh, dengan niat tidak akan kembali melakukan dosa-dosa yang pernah dikerjakannya, dan berharap rahmat Allah terus-menerus, agar tidak tidak tergoda dan tergilincir untuk kedua kalinya ke lembah dosa. (itulah yang disebut “taubatan nasuha”).

Memandang besarnya dosa yang demikian ini adalah baik dan terpuji, dan merupakan tanda-tanda keimanannya.

Sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya orang mukmin yang merasa  dosa-dosanya seperti setinggi gunung, dia kuatir kalau-kalau dosa yang besar dan tinggi itu akan jatuh dan menimpa dirinya (seperti gunung yang bisa roboh menimpa manusia di bawahnya). Sebaliknya, orang yang durhaka / pendosa, menganggap remeh dosa dan kesalahan yang pernah diperbuatnya, laksana lalat yang hinggap di ujung hidungnya, yang begitu mudah ia menghalaunya

Seorang mukmin yang merasa dosa-dosanya seperti setinggi gunung bukanlah seorang pendosa! Namun jika orang itu mengulang atau menganggap remeh dosanya maka dia menjadi durhaka / pendosa.

Kedua:

Jika pandangan akan besarnya dosa itu, akan menjatuhkannya pada putus asa dari rahmat Allah dan sikap buruk sangka (su-uzhan) kepada Allah, maka pandangan akan besarnya  dosa semacam ini, adalah tercela dan mengotori iman.



Sikap yang demikian itu, tidaklah baik dan menunjukkan akan kebodohannya terhadap sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Pemurah lagi Maha menerima tobat.

Nabi Saw bersabda:

Demi dzat yang menguasai diriku, seandainya  anda sekalian tidak pernah melakukan dosa, tentu Allah melenyapkan anda, kemudian mendatangkan kaum (menggantikan anda) yang berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Allah mengampuninya

Seyognya seorang hamba tidak memandang berlebihan besar dosanya, kalau pandangan akan kebesaran dosanya itu membuatnya putus asa dari rahmat Allah dan berburuk sangka kepada Nya. Tetapi hendaklah hal-hali itu, sebagai pendorong baginya untuk segera bertobat, dan beri’tikad untuk tidak akan mengulanginya lagi.

Apabila seorang hamba merasa besar sekali dosanya terhadap Allah, setiap saat ada saja dosa yang dikerjakannya walaupun dosa-dosa yang kecil, maka perasaan seperti ini akan memperburukkan dirinya sendiri.

Sesungguhnya rahmat dan kasih saying Allah itu lebih banyak dan lebih luas dari siksa-Nya.  Sifat adil dan bijak Allah itu meliputi langit dan bumi dengan segala isinya.

Allah Swt, mengetahui tentang manusia yang ada di muka bumi ini, kemampuan ilmu dan kekuatan imannya. Sehingga tuangan rahmat dan kasih-Nya bagi yang ada di permukaan bumi ini, sangat sempurna dan sangat bijaksana. Sifat Allah Ta’ala yang pemaaf dan pengampun adalah bagian anugerah Alla Swt, kepada manusia dan semua makhluk yang ada di alam semesta.

Manusia tidak perlu berlebih-lebihan merasa dosa dan kesalahannya terhadap Allah Swt, setelah mengetahui/mengenal sifat Allah dan besarnya rahmat dan anugerah Allah kepada seisi alam ini. Tugas seorang hamba terhadap Allah Swt, karena dosa-dosa dan kesalahan yang diperbuatnya adalah kembali sadar, lalu bertobat seperti yang diuraikan sebelumnya.

Hubungan dosa dan ujub

Disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Nabi saw, bersabda:

Seandainya dosa itu tidak lebih baik bagi orang mukmin daripada ujub (merasa sombong dan membangga-banggakan amal kebaikan), tentu Allah tidak akan membiarkan orang-orang mukmin berbuat dosa selama-lamanya.”

Melalui hadits tersebut Nabi Saw, mengingatkan kepada kita bahwa adanya dosa itu sesunggunnya sebagai penghalang yang dapat mencegah timbulnya ujub !

Dimana ujub itu merupakan hijab yang paling tebal antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Karena orang yang bersikap ujub. ia melihat pada kemampuan dan kekuasaan dirinya dalam ketaatan dan ibadahnya,  tidak melihat pada kekuasaan dan keagungan Tuhan,  Sikap semacam ini, sangat berbahaya, tidak ada yang lebih bahaya daripada ini.!

Sebaliknya, dosa menyebabkan seorang menjadi takut dan cemas lalu ia berlari mendekat kepada Allah karena kesalahan dan dosanya itu.

Sikap ujub membuat sesorang (disadari atau tidak disadari) berpaling dari Allah (tidak menuju kepada Allah).

Sementara dosa, membuat seseorang menghadap dan mendekat kepadaNya. Sifat ujub, menyebabkan seseorang merasa tidak butuh dan mengandalkan kemampuan dirinya.

Sementara dosa menyebabkan seseorang merasa terhina, merendahkan diri di hadapan Ilahi. Sifat seorang hamba yang merasa terhina dan butuh kepada Allah swt, merupakan sikap seorang mukmin yang paling disukai Allah swt, sebaik-baik sikap yang membuatnya sampai kepada Allah, dan Allah pun berkenan menerimanya.

Yahya bin Mu’adz berkata: “Jika Allah menghadapi hamba-hambaNya dengan keadilanNya, maka tidak tersisa satu kebaikan pun bagi mereka. Tetapi jika mereka memperoleh kemurahan anugerah-Nya, maka tidak akan tersisa satu keburukan mereka.”

Diantara do’a Yahya bin Mu’adz ialah: “Jika Engkau berkenan mencintaiku, tentu Engkau akan mengampuni kesalahan-kesalahanku. Tetapi jika Engkau murka kepadaku, tentu Engkau tidak akan menerima kebaikan-kebaikanku”.

Pahamilah, bahwa sombong, riya, ujub dan sejenisnya akan membuat Allah murka, sehingga tidak akan menerima amal, ibadah dan kebaikan-kebaikan kita.

Kita memohon perlindungan Allah dari sifat-sifat tercela itu.

Wassalam

Zon di Jonggol

Sumber tulisan dari beberapa terjemahan “Al-Hikam”, Syaikh Ibnu Athoillah, antara lain,

  • “Menyelam ke samudera ma’rifat & hakekat”, Penerbit “Amelia”, Surabaya

  • “Mutu Manikam dari kitab Al Hikam”, Penerbit “Mutiara Ilmu”, Surabaya

Sabtu, 12 Juni 2010

Hadits Jariyah

Benarkah Allah berada di langit berdasarkan hadits shahih ?


Sumber tulisan : http://alnof.multiply.com/journal/item/145

Sebagian kawan kita yang menyatakan Allah berada di langit atau bersemayam di atas `arsy berdalil dengan sebuah hadits yang menceritakan tentang kisah seorang budak wanita yang berdialog dengan Rasul Saw.. Dalam hadits tersebut  Rasul Saw. melakukan dialog untuk mengetahui keimanan atau indikasi yang menunjukkan bahwa budak wanita yang dimaksud sudah beriman atau belum? Budak dimaksud apakah telah memenuhi persyaratan untuk bisa menjadi kafarah, berupa pembebasan seorang budak beriman bagi muslim yang melanggar perbuatan tertentu di dalam syariat atau tidak?!

Pada penghujung sebuah hadits riwayat Imam Muslim dengan sanad Mu`awiyah bin Hakam direkamkan dialog antara Rasul Saw. dengan budak seperti redaksi berikut:
Rasulullah Saw. berkata: "datangkanlah ia kesini". Kemudian  akupun mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapaan beliau. Beliau kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah" Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim)

Secara umum jumhur umat menolak hadits ini, disebabkan karena faktor:
1. Hadits ini bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat secara naqli dan `aqli[1].
1. Diantara dalil naqli:
a. QS: An Nahl: 17
Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)?

b. QS: Al Syura: 11:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia
c. Banyak hadits yang menyatakan bahwa Rasul Saw. ketika menanyakan atau menguji keimanan seseorang selalu dengan menggunakan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan syahadat Muhammad adalah utusan Allah. Hadits seperti ini mencapai kapasitas mutawatir!

2. Dalil `aqly
a. Allah mahasuci dari tempat dan bertempat pada sesuatu apapun dari makhluqNya. Allah mahasuci dari waktu dan pengaruh ruang waktu. Karena keduanya adalah milik Allah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al Razi di dalam menafsirkan firman Allah QS: Al An`am: 12:  "Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah"."
Ayat ini menjelaskan bahwa tempat dan semua yang berada pada tempat adalah milik Allah.

Dan firman Allah QS: Al An`am: 13:
"Dan kepunyaan Allah-lah segala yang ada pada malam dan siang hari."
Ayat ini menjelaskan bahwa waktu yang bergulir dan semua yang masuk ke dalam ruang waktu adalah kepunyaan Allah,
bukan sifatNya.

b. Akal manusia secara pasti dan tegas menyatakan bahwa Allah, al Khaliq pasti beda dengan makhluqNya. Bila makhluq bertempat/tidak terlepas dari tempat tertentu, maka Allah tidak bertempat tertentu. Karena Allah beda dengan makhluqNya. Bila makhluq berada atau dipengaruhi oleh dimensi waktu, sedangkan Allah tidak!

c. Allah bersifat qadim, oleh karena itu Allah tidak berada pada ruang tempat tertentu, baik sebelum diciptakan `arsy dan langit ataupun setelahnya. Apabila Allah berada di atas langit atau di atas `arsy setelah Allah menciptakan keduanya, berarti Allah memiliki sifat hadits, karena keberadaan Allah di atas langit dan `arsy telah didahului oleh ketiadaan langit dan `arsy dan Allah tidak berada di atas langit dan `arsy sebelum diciptakan keduanya. Setelah ada,  baru kemudian bersemayam diatasnya. Ini artinya kita menyifati Allah dengan sifat hadits. Sedangkan secara kaidah dinyatakan: bahwa semua yang bisa dihinggapi oleh sifat hadits adalah hadits.

2. Hadits ini merupakan hadits yang menjadi perbincangan para ulama sejak dahulu dan sampai kini, yang tidak diterima oleh sebagian orang karena bid`ah yang mereka lakonkan[2]. Para hafiz di bidang hadits dan para pakar hadits yang mu`tabar sepanjang sejarah sepakat menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits mudltharib, yang disebabkan oleh banyaknya versi dari hadits ini, baik secara redaksional maupun secara sanad hadits. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan hadits ini adalah sahih tapi syadz dan tidak bisa dijadikan landasan menyangkut masalah akidah!

Mari kita kaji lebih lanjut hadits yang menceritakan tentang kisah budak wanita ini secara komprehensif, komparatif dan kritis.

Perhatikanlah redaksi hadits di dalam Sahih Muslim secara lengkap:

روى عن معاوية بن الحكم السلمي قال: بينا أنا أصلي مع رسول الله صلى الله عليه و سلم إذ عطس رجل من القوم فقلت يرحمك الله فرماني القوم بأبصارهم فقلت واثكل أمياه ما شأنكم ؟ تنظرون إلي فجعلوا يضربون بأيديهم على أفخاذهم فلما رأيتهم يصمتونني لكني سكت فلما صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فبأبي هو وأمي ما رأيت معلما قبله ولا بعده أحسن تعليما منه فوالله ما كهرني ولا ضربني ولا شتمني قال إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس إنما هو التسبيح والتكبير وقراءة القرآن  أو كما قال رسول الله صلى الله عليه و سلم قلت يا رسول الله إني حديث عهد بجاهلية وقد جاء الله بالإسلام وإن منا رجالا يأتون الكهان قال فلا تأتهم قال ومنا رجال يتطيرون قال ذاك شيء يجدونه في صدورهم فلا يصدنهم (قال ابن المصباح فلا يصدنكم ) قال قلت ومنا رجال يخطون قال كان نبي من الأنبياء يخط فمن وافق خطه فذاك قال وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [ الذئب ؟ ؟ ] قد ذهب بشاة من غنمها وأنا رجل من بني آدم آسف كما يأسفون لكني صككتها صكة فأتيت رسول الله صلى الله عليه و سلم فعظم ذلك علي قلت يا رسول الله أفلا أعتقها ؟ قال ائتني بها فأتيته بها فقال لها أين الله ؟ قالت في السماء قال من أنا ؟ قالت أنت رسول الله قال أعتقها فإنها مؤمنة

Diriwayatkan dari Mu`awiyah Bin Hakam Al Sulamiy: Ketika saya shalat bersama Rasulullah Saw. ada seorang laki-laki yang bersin, lantas saya mendo`akannya dengan mengucapkan yarhamukaLlah. Semua orang yang shalat lantas melihat kepadaku dan aku menjawab: "Celaka kedua orangtua kalian beranak kalian, ada apa kalian melihatku seperti itu?!" Kemudian mereka memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Aku tahu mereka memintaku untuk diam, maka akupun diam. Ketika telah selesai Rasul Saw. menunaikan shalat, demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat sebelum dan sesudahnya seorang guru yang lebih baik cara mendidiknya daripada Rasul saw.. Demi Allah, beliau tidak menjatuhkanku, tidak memukulku, dan juga tidak mencelaku. Beliau hanya berkata: "Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada perkataan manusia di dalamnya. Di dalam shalat hanyalah terdiri dari tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an." Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul saw.. Aku kemudian menjawab: "Wahai Rasul Saw. sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang islam. Dan sesungguhnya diantara kami masih ada yang mendatangi para dukun. Beliau berkata: "Jangan datangi mereka!" Aku kemudian menjelaskan bahwa diantara kami masih ada yang melakukan tathayyur (percaya terhadap kesialan dan bersikap pesimistis). Beliau mengatakan: "Itu hanyalah sesuatu yang mereka rasakan di dalam diri mereka, maka janganlah sampai membuat mereka berpaling (Kata Ibnu Shabbah: maka janganlah membuat kalian berpaling). Kemudian ia melanjutkan penjelasan: Aku berkata: dan sesungguhnya diantara kami ada yang menulis dengan tangan mereka. Rasul Saw. berkata: dari kalangan Nabi juga ada yang menulis (khat) dengan tangan, barangsiapa yang sesuai apa yang mereka tulis, maka beruntunglah ia. Dia kemudian berkata: saya memiliki seorang budak perempuan yang mengembalakan kambing di sekitar bukit Uhud dan Jawwaniyyah. Pada suatu hari aku memperhatikan ia mengembala, ketika itu seekor srigala telah memangsa seekor kambing. Aku adalah seorang anak manusia juga. Aku bersalah sebagaimana yang lain. Kemudian aku menamparnya (budak wanita) dengan sekali tamparan. Maka kemudian aku mendatangi Rasul Saw.. Rasul Saw. menganggap itu adalah suatu hal yang besar bagiku. Akupun berkata: "Apakah aku mesti membebaskannya?" Rasul  Saw. menjawab: "Datangkanlah ia kesini!". Kemudian akupun mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapan Rasul Saw.. Rasul Saw. kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia (budak wanita) menjawab: “Di langit”, Rasul Saw. bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu Rasul Saw. bersabda: “Bebaskanlah ia karena ia adalah seorang yang beriman” (HR. Muslim)

Hadits ini menjelaskan beberapa hal penting kepada kita, diantaranya
1. Sekelumit pelajaran yang bisa dipetik dari hadits, diantaranya;
a. Rasul Saw. mencontohkan metode mengajar yang tauladan.
b. Hadits ini menceritakan tentang masalah membayar kafarah berupa pembebasan seorang budak yang disyaratkan mesti beriman. Rasul Saw. memastikan apakah budak yang akan dibebaskan sudah beriman?!
c. Di dalam hadits menceritakan tentang status periwayat hadits yang baru masuk islam.
d. Di dalam hadits menceritakan keadaan kaum si periwayat hadits.
e.  Di dalam hadits diceritakan cara Rasul Saw. mengetahui bahwa si budak seorang beriman atau bukan? Berdasarkan indikasi yang nampak oleh Rasul Saw..[3]

2. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim pada bab "Haram berbicara di dalam shalat". Beliau tidak meriwayatkan pada bab "iman", bab "kafarah dengan pembebasan budak beriman", dan juga bukan pada bab "pembebasan budak". Artinya hadits ini beliau kelompokkan ke dalam masalah-masalah `amaliyah, bukan bersifat masalah akidah. Karena hadits ini tidak cukup kuat untuk berdalil di dalam masalah akidah.

3. Imam Nawawi dalam menjelaskan penghujung hadits yang merupakan dialog antara Rasul Saw. dengan  budak wanita, mengatakan bahwa ulama memiliki banyak persepsi dalam memahaminya, secara ringkas ulama memahaminya dengan 2 metode;
a. Mengimani hadits sebagaimana yang disampaikan oleh Rasul Saw. tanpa mengkaji lebih jauh makna yang dimaksud dan meyakini bahwa tidak ada yang semisal dengan Allah sesuatupun serta mensucikan Allah dari segala sifat makhluq.
b. Takwil dengan makna sesuai dengan sifat yang layak bagi Allah.[4]

Berkenaan dengan hadits Muslim ini, Imam Baihaqi berkomentar di dalam kitabnya Al Asma` Wa Al Shifat[5]:

وهذا صحيح ، قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث الأوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير دون قصة الجارية ، وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف الرواة في لفظه . وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في لفظ الحديث

"Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang kisah budak wanita. Saya mengira ia meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya perbedaan riwayat pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi hadits."

Dari pernyataan Imam Baihaqi ini dipahami secara jelas bahwa pemaparan kisah budak wanita yang merupakan bagian dari hadits[6];
1. Tidak terdapat di dalam sahih Muslim menurut versi Imam Baihaqi.
2. Bahwa kisah ini terjadi perbedaan riwayat dari segi redaksi hadits.

Penjelasan lebih lanjut dari pernyataan Imam Baihaqi;
1.       Naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah dengan naskah yang lain tentang kisah budak wanita ini. Boleh jadi Imam Muslim menarik kembali hadits ini dan merevisinya pada periode selanjutnya serta menghapusnya atau redaksi hadits yang ada tidak ditemui pada naskah Sahih Muslim yang dimiliki oleh Imam Baihaqi[7].  Sebagaimana juga dilakukan oleh imam Malik di dalam kitab Muwatha` riwayat Laits, yang tidak menyebutkan redaksi "sesungguhnya ia adalah seorang yang beriman". Samahalnya dengan Imam Bukhari yang menyebutkan potongan hadits ini pada bab af`al al `ibad, dan hanya mengambil potongan yang berhubungan dengan masalah mendo`akan orang yang bersin, tanpa mengisyaratkan sedikit pun tentang masalah "Allah berada di langit".  Imam Bukhari meringkas hadits tanpa menyebutkan sebab beliau meringkasnya. Namun beliau tidak berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak wanita ini, karena melihat perbedaan riwayat tentang kisah ini yang menunjukkan bahwa periwayat hadits tidak kuat hafalan (dhabit) dalam periwayatan.

2. Terjadinya perbedaan riwayat antara riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah Bin Hakam dengan riwayat yang lain. Bahkan menurut DR. Umar Abdullah Kamil terjadi perbedaan riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah bin Hakam sendiri. Sebagaimana penjelasan berikut:

DUA RIWAYAT YANG BERSUMBER DARI MU`AWIYAH BIN HAKAM:

RIWAYAT PERTAMA[8]
Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Muslim diatas dengan menggunakan redaksi:

فقال لها: أين الله ؟ قالت: في السماء. قال: من أنا ؟ قالت: أنت رسول الله. قال: أعتقها فإنها مؤمنة

Beliau (Rasul Saw.) kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim)

RIWAYAT KEDUA
أوردها الذهبى وذكر سندها الحافظ المزى من طريق سعيد بن زيد عن توبة العنبرى عن عطاء بن يسار قال حدثنى صاحب الجارية نفسه -يشير إلى معاوية بن الحكم- وذكر الحديث وفيه: ( فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده إليها وأشار إليها مستفهما: (من فى السماء؟) قالت: الله

Diriwayatkan oleh Imam Al Dzahaby dan ia menyebutkan bahwa pada sanad riwayat ini terdapat al Hafiz Al Mizziy dari jalur Sa`id bin Zaid dari Taubah al `Anbarry dari Atha` bin Yassar, ia berkata: disampaikan kepadaku oleh pemilik budak -mengisyaratkan kepada Mu`awiyah Bin Hakam-  dan menyebutkan hadits, dan di dalam hadits terdapat redaksi: kemudian Nabi Saw. menjulurkan tangannya kepadanya (budak) seraya mengisyaratkan pertanyaan, "siapa di langit?" ia menjawab: "Allah"

Untuk mengkaji lebih jauh tentang jalur-jalur hadits secara komprehensif, silahkan rujuk kitab al `Uluww, Imam Dzahaby, Kitab Tauhid, Ibnu Khuzaimah dan syarah-syarah dari kitab Al Muwatha`, Imam Malik.[9]

Sebagaimana diketahui pada riwayat ini, Rasul Saw. tidak mengatakan "dimana Allah?" dan juga tidak mengatakan "siapa yang ada di langit?", namun Rasul Saw. hanya menggunakan bahasa isyarat! Perkataan Rasul Saw dan budak wanita pada kedua riwayat merupakan pengungkapan dan redaksi dari periwayat hadits dan pemahamannya, bukan dari Rasul Saw.![10]

Sanad hadits ini insya Allah berderajat hasan. Sa`id Bin Zaid merupakan periwayat hadits yang tsiqah dan beliau merupakan salah seorang rijal Imam Muslim. Beliau juga dinyatakan tsiqah oleh: Ibnu Ma`in, Ibnu Sa`ad, Al `Ajaly dan Sulaiman Bin Harb. Imam Bukhari dan Al Darimy berkomentar tentangnya: "Ia adalah seorang yang sangat bisa dipercaya dan ia adalah seorang yang hafiz". Meskipun Yahya Bin Sa`id dan yang lainnya menyatakannya sebagai seorang periwayat yang dha`if. Oleh karena itu hadits yang diriwayatkannya tidak akan turun, kecuali kepada derajat hasan.

Pada riwayat pertama yang diriwayatkan oleh Imam Muslim terdapat Hilal Bin Ali Bin Usamah (Hilal Bin Abi Maimunah). Abu Hatim berkomentar tentangnya: "Beliau merupakan seorang syaikh yang ditulis hadits-haditsnya". Imam Nasa`i juga mengomentari: "tidak apa-apa dengannya, artinya sanad darinya adalah berderajat hasan". Sebagaimana juga diisyaratkan oleh Al Hafiz Ya`cub Bin Sofyan Al Qasawy. Al Hafiz Ibnu `Abdil Barr pun berkomentar senada dengan itu.[11]

Dari dua riwayat ini tidak bisa dielakkan bahwa terjadi idlthirab (keraguan karena banyak versi) di dalam riwayat dan tentang kepastian adanya lafaz "dimana Allah?" Beghitu juga dengan pernyataan: "berada di langit". Keduanya merupakan redaksi yang bersumber dari periwayat hadits.

Sangat perlu dipahami bahwa periwayat hadits, Mu`awiyah Bin Hakam bukanlah seorang ulama, bukan seorang fuqaha di kalangan sahabat serta jarang menyertai Rasul Saw. sehingga tidak mempelajari banyak ilmu secara lebih mendalam. Bahkan sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadits pada sahih Muslim di awal, "saya baru saja terlepas dari kaum jahiliyah dan masuk islam". Ketika itu beliau tidak tahu bahwa menjawab (mendo`akan) orang yang bersin dapat menyebabkan batal shalat dan berbicara dengan orang lain juga membatalkan shalat. Oleh karena itu beliau belum memahami syariat -yang di dalamnya termasuk masalah tauhid- secara lebih matang.

Tentang keadaan periwayat hadits, Muawiyah Bin Hakam ini, akan semakin jelas ketika kita melakukan komparasi dengan riwayat hadits lain, yang diriwayatkan bukan melalui jalur beliau.[12]

Selanjutnya mari kita perhatikan pemaparan Imam Baihaqi:
Ada riwayat lain yang disebutkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitab sunan kubra di dalam Bab zhihar pada sub bab "membebaskan budak yang bisu ketika mengisyaratkan bahwa dirinya telah beriman".

Riwayat ini dari jalur `Aun bin Abdullah dari Abdullah bin Uthbah dari Abu Hurairah;

عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- بِجَارِيَةٍ سَوْدَاءَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَىَّ عِتْقَ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَقَالَ لَهَا :« أَيْنَ اللَّهُ؟ ». فَأَشَارَتْ إِلَى السَّمَاءِ بِإِصْبَعِهَا فَقَالَ لَهَا :« فَمَنْ أَنَا؟ ». فَأَشَارَتْ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَإِلَى السَّمَاءِ تَعْنِى : أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ ».

Dari Abi Hurairah Ra. bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw dengan seorang budak wanita yang berkulit hitam dan ia berkata kepada Nabi Saw: Wahai Rasulullah Saw., sesungguhnya saya memiliki kewajiban untuk membebaskan seorang budak beriman. Kemudian Rasul Saw. berkata kepadanya (budak wanita): "dimana Allah?" kemudian ia (budak wanita) memberi isyarat ke arah langit dengan jarinya. Rasul Saw. kemudian bertanya lagi kepadanya "dan saya siapa?" Ia kembali mengisyaratkan kepada Nabi Saw. dan selanjutnya menunjuk ke arah langit, maksudnya "engkau adalah seorang utusan Allah". Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada laki-laki tadi: "Bebaskanlah ia, karena ia adalah seorang yang beriman".[13]

Jika melihat kepada keumuman riwayat, ini sama dengan riwayat yang sebelumnya, menceritakan tentang kisah yang sama dan di dalam riwayat juga disebutkan bahwa ada redaksi:

فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده اليها وأشار اليها مستفهما وقال (من فى السماء) قالت: الله


Berarti dialog terjadi dengan bahasa isyarat dari kedua sisi dan redaksi yang didakwakan sebenarnya tidak ada. Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali menambahkan bahwa budak wanita ini adalah seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit. Dialog ini dilakukan oleh Rasul Saw. karena para sahabat menyangka budak wanita sebagai seorang penyembah berhala di rumah-rumah penyembahan berhala. Rasul Saw. ingin mengetahui kebenaran prasangka mereka terhadap keyakinan sang budak, maka sang budak memberitahukan kepada mereka keyakinannya bahwa sembahannya bukanlah berhala-berhala yang ada di rumah-rumah penyembahan berhala, sebagaimana yang disangkakan terhadapnya[14]. Isyarat ini selain menujukkan bahwa budak adalah seorang yang bisu juga mengisyaratkan bahwa si budak adalah seorang non arab sebagaimana disebutkan oleh sebagian riwayat. Isyarat ke langit ini juga adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh orang awam dan mereka tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan Tuhan mereka. Jikalaupun dialog ini benar terjadi sesuai dengan redaksi pada Sahih Muslim, maka Rasul Saw. menyetujui dialog ini sebagai perwujudan metode dakwah yang menempatkan seseorang sesuai dengan kemampuan akal mereka[15]

Bagaimana mungkin kita berpegang kepada riwayat yang menjadi perbincangan sepanjang sejarah ini dan realitanya menyatakan tidak adanya redaksi dari Rasul Saw. dan budak secara tegas dan pasti, seperti yang didakwakan?![16]

ANALISA RIWAYAT DARI JALUR SELAIN MU`AWIYAH BIN HAKAM YANG MENCERITAKAN KISAH YANG SAMA DENGAN MENGGUNAKAN REDAKSI  أَتَشْهَدِينَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ؟  "(APAKAH ENGKAU BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH?)"

RIWAYAT PERTAMA:
Bersumber dari periwayat Atha` bin Yassar -juga terdapat di dalam kitab Mushannaf Abdul Razzaq-:

عن ابن جريج قال: أخبرنى عطاء أن رجلا كانت له جارية فى غنم ترعاها وكانت شاة صفى- يعنى غزيرة فى غنمه تلك- فأراد أن يعطيها نبى الله صلى الله عليه وسلم فجاء السبع فانتزع ضرعها فغضب الرجل فصك وجه جاريته فجاء نبى الله صلى الله عليه وسلم فذكر ذلك له وذكر أنها كانت عليه رقبة مؤمنة وافية قد هم أن يجعلها إياها حين صكها، فقال له النبى صلى الله عليه وسلم: إئتنى بها! فسألها النبى صلى الله عليه وسلم: أتشهدين أن لا إله إلا الله؟ قالت: نعم. وأن محمدا عبد الله ورسوله؟ قالت: نعم. وأن الموت والبعث حق؟ قالت: نعم. وأن الجنة والنار حق؟ قالت: نعم. فلما فرغ، قال: اعتق أو أمسك!

Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Aku dikhabarkan oleh `Atha`, bahwasanya seorang laki-laki memiliki seorang budak perempuan yang dipekerjakannya untuk mengembalakan kambingnya dan kambing-kambing ini merupakan kambing pilihan - yakni dari kambingnya yang banyak itu-. Kemudian ia bermaksud memberikannya (kambing tersebut) kepada Nabi Saw.. Lalu tibalah binatang buas dan menerkam kambingnya. Si laki-laki kemudian marah dan menampar wajah budak perempuan. Si lak-laki lantas mendatangi Nabi Saw. dan menyebutkan semua yang terjadi kepada Nabi Saw.. Ia juga menyebutkan bahwa ia mesti membebaskan seorang budak yang beriman sebagai kafarah dan ia bermaksud untuk menjadikan budak ini sebagai budak yang dibebaskannya ketika ia menamparnya itu. Maka Rasul Saw. berkata kepadanya: "Datangkanlah ia kepadaku!". Rasul Saw. kemudian menanyainya (budak wanita): "Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?" Ia menjawab: "Iya". Dan "bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah?" Ia menjawab: "Iya". Dan "kematian serta kebangkitan adalah sesuatu yang haq?" Ia menjawab: "Iya". Dan "surga dan neraka dalah haq?" Ia menjawab: "Iya". Ketika selesai dialog tersebut, Rasul Saw. mengatakan: "Bebaskanlah ia atau tetap bersamamu!"[17]

Ini adala riwayat dengan sanad shahih, `aliy (paling dekat) kepada `Atha` (periwayat hadits Mu`awiyah bin Hakam), sebagaimana telah diketahui!

Ini adalah riwayat ketiga tentang hadits yang menceritakan kisah budak wanita yang diriwayatkan dari jalur Atha`.

Sudah disebutkan sebelumnya bahwa dari segi redaksi, hadits diriwayatkan dengan redaksi:
1. Riwayat pertama diriwayatkan dengan redaksi: " أين الله  (dimana Allah)?".
2. Sedangkan riwayat kedua diriwayatkan dengan redaksi: فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده إليها وأشار إليها مستفهما وقال (من فى السماء) قالت: الله (Menggunakan isyarat kepada si budak untuk bertanya, "siapa yang berada di langit?").
3. Dan riwayat ketiga dengan redaksi "أَتَشْهَدِينَ (Apakah engkau bersaksi)?".

Beghinilah kita lihat, redaksi hadits menyatakan bahwa Rasul Saw. tidak mengatakan "dimana Allah?"

Pembaca budiman cobalah perhatikan secara lebih seksama ada keraguan lagi yang ditemui pada riwayat lain tentang hadits budak perempuan ini, yang bersumber dari jalur selain periwayat Atha`. Bahkan riwayat berikut ini lebih meragukan lagi dibandingkan dengan riwayat `Atha` yang sedang kita bahas ini.

RIWAYAT KEDUA
- وَحَدَّثَنِى مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِجَارِيَةٍ لَهُ سَوْدَاءَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَىَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً فَإِنْ كُنْتَ تَرَاهَا مُؤْمِنَةً أُعْتِقُهَا. فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَشْهَدِينَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ؟ ». قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ « أَتَشْهَدِينَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ « أَتُوقِنِينَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ؟ ». قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَعْتِقْهَا ».

Disampaikan kepadaku oleh Imam Malik: dari Syihab dari `Ubaidillah Bin Abdullah Bin `Uthbah Bin Mas`ud bahwasanya seorang laki-laki dari kalangan Anshar mendatangi Rasul Saw. ia memiliki seorang budak wanita berkulit hitam dan berkata: Wahai Rasul Saw. sesungguhnya saya mesti membebaskan seorang budak beriman, jikalau engkau melihatnya beriman, maka bebaskanlah ia. Maka Rasul Saw. berkata kepadanya (budak wanita) "Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?" Ia menjawab: "Iya". Dan "apakah engkau bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah?" ia menjawab: "Iya". Dan "apakah engkau meyakini adanya kebangkitan setelah kematian?! Ia menjawab: "Iya". Rasul Saw. kemudian mengatakan : "bebaskanlah ia"[18]

Dan diriwayatkan oleh Imam Abdur Razaq[19], ia berkata: saya dikhabarkan oleh Ma`mar dari Zhuhry dari Ubaidillah dari seorang laki-laki dari kaum Anshar dengan hadits ini. Dan dari jalurnya (Abdul Razaq) juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad[20], sebagaimana juga diriwayatkan oleh periwayat lain.

Adapun tentang `Ubaidillah Bin `Abdullah Bin `Uthbah Bin Mas`ud, maka beliau adalah salah seorang dari tujuh fuqaha di Madinah yang terkenal dan merupakan rijal ahli hadits yang enam juga. Selain itu, beliau termasuk seorang imam yang tsiqah. Berkata Al Hafiz Ibnu Hajar di dalam kitab Al Taqrib tentang beliau: "Ia adalah seorang yang tsiqah, seorang faqih, diterima riwayatnya, kuat hafalannya, tidak diketahui bahwa beliau seorang yang mudallis dan riwayat beliau yang diriwayatkan dengan riwayat `an `anah bisa diterima sebagai riwayat yang bersumber dari pendengaran langsung (sama`). Dan ia benar-benar telah berkomentar tentang seorang laki-laki yang berasal dari kaum Anshar ini.

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya:  "Sanadnya (hadits diatas) adalah sahih dan sifat jahalah (tidak dikenal) seorang sahabat yang melekat pada dirinya tidak mempengaruhi periwayatannya."

Berkata Ibnu Abdil Barr, di dalam kitabnya Al Tamhid Lima Fie Al Muwatha` Min Al Ma`anie Wa Al Asanid: "Secara zhahir haditsnya adalah hadits mursal, akan tetapi dipercayai bahwa haditsnya adalah terjadi ketersambungan riwayat (ittishal), karena adanya pertemuan `Ubaidillah dengan sekelompok sahabat.

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Al Haitsami, di dalam kitab Majma` Al Zawaid: "Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para rijalnya adalah rijal yang sahih."

Jelaslah bagi kita bahwa hadits tentang kisah budak wanita di dalam kitab Sahih Muslim dan pertanyaan Nabi kepadanya, minimal merupakan riwayat yang mudltharib secara redaksional. Jikalau kita ambil dengan cara mentarjih dengan berdasarkan syahid[21] dan indikasi yang mendukungnya, maka riwayat dengan redaksi: أَتَشْهَدِينَ (apakah engkau bersaksi)?" adalah riwayat yang rajih (terkuat). Karena riwayat ini sesuai dengan akidah islam secara yakin dan merupakan hadits yang paling sahih jika di pandang dari sisi sanad.

Jika dipandang dari seluruh sisi, kita tidak boleh mengambil riwayat yang mengatakan: "dimana Allah?" berdasarkan zahir (makna yang langsung dipahami) dari lafaznya. Oleh karena itu riwayat ini ditakwil oleh para ulama, seperti Imam Nawawi, Qadhi Ibnu Al `Arabi, al Bajiy dan masih banyak selain mereka.

Imam Nawawi berkata dalam menjelaskan tentang hadits mudltharib: Hadits mudltharib adalah: hadits yang diriwayatkan dengan pelbagai redaksi yang berbeda namun berdekatan. Apabila ditarjih salah satu riwayat, maka tarjih dengan cara melihat hafalan periwayatnya atau melihat banyaknya sahabat yang meriwayatkan tentang hadits ini, atau dengan cara selain itu. Maka kemudian baru bisa dihukumi bahwa hadits tersebut adalah hadits yang rajih, sehingga tidak lagi menjadi hadits yang mudltharib. Dan idlthirab menyebabkan sebuah hadits menjadi dha`if (lemah) karena hadits menunjukkan ketidak patenan (dhabit) dalam meriwayatkan. (Idlthirab) ini kadang bisa terjadi pada sanad dan kadang bisa terjadi pada matan (redaksi)  hadits. Pada kedua keadaan, (idlthirab) bisa jadi bersumber dari satu periwayat atau dari banyak periwayat.

Al Hafidz Ibnu Daqid Al `Id di dalam kitab Al Iqtirah, memaparkan: Hadits mudltharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan pelbagai redaksi yang berbeda-beda dan ini merupakan salah satu yang menyebabkan hadits memiliki illat menurut mereka (kalangan ahli hadits) dan menyebabkan hadits berkedudukan dha`if (lemah)

DIANTARA SYAHID YANG MEMPERKUAT HADITS DENGAN RIWAYAT أَتَشْهَدِينَ (APAKAH ENGKAU BERSAKSI)?"
Syahid adalah hadits lain yang diriwayatkan senada secara makna, namun berbeda secara redaksi. Sedangkan laki-laki yang disebutkan pada beberapa riwayat hadits yang disebutkan pada pembahasan ini semuanya dimaksudkan kepada Mu`awiyah Bin Hakam[22]

1.      Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Darimiy[23];
أخبرنا أبو الوليد الطيالسي ثنا حماد بن سلمة عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن الشريد قال : أتيت النبي صلى الله عليه و سلم فقلت إن على أمي رقبة وإن عندي جارية سوداء نويبية أفتجزىء عنها قال ادع بها فقال أتشهدين أن لا إله إلا الله؟ قالت: نعم. قال: اعتقها فإنها مؤمنة!

Pada bab "Apabila seseorang mesti membebaskan seorang budak beriman"
Dikhabarkan kepada kami oleh Al Walid Al Thayalisiy bersumber dari Hamad Bin Salamah dari Muhammad Bin `Amru dari Abu Salamah dari Syarid, ia berkata: Aku mendatangi Rasul Saw. dan aku berkata bahwa saya mesti membebaskan seorang budak perempuan dan saya memiliki seorang budak perempuan berkulit hitam dari suku Nuwaibah, apakah cukup dengan membebaskannya sebagai kafarah bagiku? Rasul Saw. berkata: "Panggillah ia!"  maka Rasul saw. kemudian bertanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?" Ia menjawab: "Iya". Rasul memerintahkan: "Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia adalah seorang yang beriman."

Berkata Husain Salim Asad: sanadnya hasan karena adanya periwayat hadits yang bernama Muhammad Bin `Amru.

2.      Hadist yang diriwayatkan oleh Al Thabraniy[24];

روى عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَقَالَ: إِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً وَعِنْدِي جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ أَعْجَمِيَّةٌ , فَقَالَ: ائْتِنِي بِهَا, فَقَالَ:أَتَشْهَدِينَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ , قَالَ:أَتَشْهَدِينَ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ, قَالَ:فأَعْتِقْهَا!

Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas bahwasanya seorang laki-laki mendatangi Rasul Saw. dan ia berkata: sesungguhnya saya mesti membebaskan seorang budak beriman dan saya memiliki seorang budak berkulit hitam dari kalangan non arab. Rasul Saw. berkata: "Bawalah ia kesini!". Rasul Saw. kemudian menanyainya: "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Ia berkata: "Iya". Kemudian beliau berkata: "Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasul Allah? Ia menjawab: "Iya". Rasul Saw. kemudian memerintahkan: "bebaskanlah ia!"

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Haitsamy di dalam kitabnya Majma` Al Zawaid, berkomentar:
Pada sanad hadits ada seorang periwayat yang bernama Muhammad Bin Abi Layla dan beliau adalah seorang yang jelek hafalannya, tetapi beliau sebelumnya adalah seorang yang tsiqah.

3.      Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dengan redaksi: "siapa tuhanmu?" yang juga merupakan  hadits sahih secara sanad[25];

روى عن الشريد بن السويد الثقفى، قال: قلت: يا رسول الله إن أمى أوصت أن نعتق عنها رقبة وعندى جارية سوداء، قال: ادع بها! فجاءت فقال: من ربك؟ قالت: الله، قال: من أنا؟ قالت: رسول الله. قال: أعتقها فإنها مؤمنة!

Diriwayatkan dari Syarid Bin Suwaid Al Tsaqafiy, ia berkata: aku berkata: Wahai Rasul saw., sesungguhnya ibuku telah mewasiatkan kepadaku untuk membebaskan seorang budak atas dirinya dan saya memiliki seorang budak berkulit hitam. Rasul Saw. berkata: "Panggilah ia!" Maka datanglah budak itu dan Rasul Saw. bertanya: "Siapa tuhanmu?" Ia menjawab: "Allah". Rasul Saw. bertanya lagi: "siapa saya?" Ia menjawab: "Utusan Allah." Rasul Saw. berkata: "Bebaskanlah ia, karena ia adalah seorang yang beriman."

Riwayat ini semakna dengan riwayat yang memiliki redaksi " أَتَشْهَدِينَ (apakah engkau bersaksi)?"

HADITS-HADITS INI TIDAK TERDAPAT DI DALAM KUTUB AL SITTAH
Apabila ada yang mengklaim bahwa hadits-hadits yang dijadikan rujukan dalam pembahasan ini tidak terdapat di dalam kutub al sittah (Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmudzi, Sunan Abi Daud, Sunan Nasa`i, dan Sunan Ibnu Majah) sehingga tidak bisa diterima, dijadikan pedoman dan pijakan kita, apalagi dalam masalah akidah, mari kita perhatikan komentar Al Hafiz Abu Al Fadl `Abdillah Muhammad Shiddiq Al Ghumary[26]:

Bila ada yang menolak hadits dengan statement bahwa "hadits ini tidak ditemui di dalam dua kitab sahih (bukhari-Muslim), atau tidak diriwayatkan oleh kutub al sittah". Pernyataan seperti ini, akan disangka oleh orang-orang yang sedikit ilmu, bahwa setiap hadits yang tidak diriwayatkan di dalam dua kitab sahih (Bukhari-Muslim) dan juga tidak diriwayatkan di dalam kutub al sittah lainnya, adalah hadits dha`if atau maudhu`! Pernyataan ini sesungguhnya adalah statement bathil yang tidak berdasarkan kepada pijakan ilmu yang benar, akan tetapi sebagai bagian dari bid`ah yang mereka munculkan pada zaman sekarang ini. Tidak ada di dunia ini seorangpun `alim, fuqaha` mujtahid, dan para muhadits yang hafiz mensyaratkan bahwa standar kesahihan hadits harus diriwayatkan di dalam salah satu kutub sittah! Akan tetapi ulama sepakat bahwa "hadits apabila memenuhi persyaratan sahih, wajib beramal dengan hadits tersebut, baik diriwayatkan di dalam kutub sittah ataupun tidak.

STUDI KRITIS DAN ANALISA TERHADAP HADITS
Apakah pertanyaan "dimana Allah?" yang biasa digunakan untuk menanyakan tempat secara indrawi menunjukkan terhadap ketuhanan Zat yang ditanyakan?

Dengan kata lain: Apakah pertanyaan ini diajukan untuk mengetahui bahwa si budak wanita seorang yang murni menyembah Allah atau menyekutukan Allah dengan sembahan lainnya? Si budak wanita -yang ditanya oleh Rasul Saw.,- adalah seorang yang telah hidup di arab dengan keyakinan penduduk yang menyektukan Allah dengan sembahan mereka berupa berhala.

Jikalau demikian, bukankah sebagian orang arab juga menyembah berhala sebagai Tuhan mereka yang berada di bumi dan mereka juga mengakui adanya Tuhan di langit?! Menilik kepada sejarah, bukankah sudah ada sebagian umat yang menyembah matahari, bulan dan bintang-bintang, dan ini telah disebutkan oleh Al Quran?! Ternyata Tuhan-tuhan mereka adalah di langit juga!

Maka pertanyaan yang disebutkan "dimana Allah?" tidak bisa diklaim untuk menunjukkan terhadap ketuhanan dan jawaban yang ada di dalam redaksi hadits "di langit" juga tidak tidak menunjukkan terhadap ketauhidan!

Maka atas dasar apa disebutkan riwayat yang syadz dan tertolak ini, bahwa Rasul Saw bersaksi terhadap keimanan budak wanita?!

Contoh-contoh dari hadits sebelumnya dan sesudahnya menguatkan bahwa yang diinginkan sebagai bukti terhadap keislaman seseorang adalah syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Bukan persaksian bahwa Allah -sebagaimana mereka katakan- memiliki tempat, yaitu di langit! Maka pertanyaannya sebenarnya ditujukan untuk menyatakan bahwa Allah tinggi secara maknawi bukan secara indrawi, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab syarah Sahih Muslim. Hal senada juga disebutkan oleh Imam Al Ghazali.[27]

AKIDAH DAN HADITS AHAD
Sesungguhnya akidah kaum muslim tidaklah dibangun, kecuali di atas keyakinan yang bersifat qath`iy (tegas) dan yaqiniy (yakin) serta tidak mungkin dibangun ditas dalil-dalil yang bersifat zhanniy. Para ulama tauhid sepakat bahwa sumber dalil-dalil pada permasalahan akidah harus bersifat qath`iy (tegas) dan yaqiniy (yakin), baik diambil dari dalil naqli maupun dalil aqly.

Zhan sebagaiman diketahui adalah segala sesuatu yang secara umum adalah benar, akan tetapi ada potensi terdapatnya kesalahan. Jikalau hadits Ahad termasuk ke dalam kategori zhanniyyat (dalil-dalil yang bersifat zhanny), maka tidak bisa berdalil dengannya dalam masalah akidah, sebagaimana dijelaskan pada beberapa statement berikut:

1. Berkata Al Hafiz Al Khatib Al Baghdady, di dalam kitab Al Faqih wa Al Mutafaqqih: Dan apabila seorang, yang bisa dipercaya, yang tsiqah meriwayatkan sebuah khabar yang bersambung sanadnya, bisa ditolak periwayatannya dengan beberapa perkara; salah satunya, apabila riwayatnya bertentangan dengan dalil `aqli (hukum akal), maka bisa langsung diketahui bahwa riwayat tersebut adalah bathil!

2. Berkata Imam Nawawi di dalam Syarah Sahih Muslim:
Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa hadits Ahad di dalam Shahih Bukhari dan Sahih Muslim bisa menghasilkan ilmu, bedahalnya dengan riwayat selainnya (Bukhari-Muslim) terhadap hadits-hadits ahad. Kami telah menyebutkan masalah ini sebelumnya dan kami juga membatalkan pendapat ini, pada beberapa sub bab. Kemudian (Imam Nawawi) berkomentar -setelah beberapa baris-: dan adapun yang berkata: khabar Ahad menghasilkan ilmu, maka ini adalah mengabaikan fungsi indra manusia, bagaimana mungkin menghasilkan ilmu, sedangkan kemungkinan salah, waham, bohong dan selainnya sangat mungkin disematkan kepadanya. Wallahu a`lam.

KETERANGAN SECARA JELAS PARA IMAM, HUFAZH DAN PAKAR HADITS TERHADAP STATUS HADITS YANG MENCERITAKAN KISAH BUDAK WANITA INI SEBAGAI HADITS MUDLTHARIB

1.      Imam Baihaqi
Sebagaimana telah disebutkan di awal kajian, Imam Baihaqi menyatakan: Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang kisah budak wanita. Saya mengira ia meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya perbedaan riwayat pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi hadits.  Imam Baihaqi juga menyebutkan secara terang dan jelas bahwa hadits ini bukan merupakan bagian dari hadits Sahih Muslim.

Dari sisi lain yang sangat penting diperhatikan, Imam Baihaqi menyebutkan secara terang bahwa hadits ini adalah hadits mudltharib, maksudnya terjadi perbedaan para periwayat hadits dari segi redaksional hadits. Jikalaupun diterima riwayat Imam Muslim, maka hadits ini adalah hadits mudltharib, tanpa diragukan dibimbangkan lagi, sebagaimana telah kita tetapkan pada bagian-bagian sebelumnya ketika mengkaji jalur hadits.

Dari sisi ketiga, hadits tentang kisah budak wanita ini juga tidak disebutkan oleh Imam Muslim pada bab pembebasan budak, juga bukan pada bab sumpah dan nazar. Ini merupakan penguat pernyataan Imam Baihaqi dan selain beliau.

2.      Imam Al Hafiz al Bazzar,  di dalam kitab Kasyfu Al Astar:
Imam al Bazzar juga menyatakan dengan terang bahwa hadits ini adalah hadits yang mudltharib di dalam kitab musnad beliau. Beliau berkata setelah meriwayatkan hadits dari salah satu jalur dari pada jalur-jalur yang ada: "Dan hadits ini juga diriwayatkan semisal dengannya dengan redaksi yang berbeda-beda".

3.      Al Hafiz Ibnu Hajar :
Ibnu Hajar di Dalam kitab Al Talkhis Al Habir, menyatakan secara jelas dan terang bahwa hadits ini adalah hadits yang mudltharib dan beliau berkomentar: "Dan pada lafaz hadits terjadi perbedaan yang sangat banyak".

Ibnu Hajar di dalam kitab Fath Al Bari, juga menyebutkan secara jelas bahwa tidak boleh meyakini  "dimana" kepada Zat Allah dan tidak diamalkan hadits ini, meskipun sanadnya sahih menurut beliau, akan tetapi ini disebabkan karena idlthirab pada hadits! Karena idlthirab pada hadits menyebabkan sebuah hadits berkedudukan dha`if, meskipun sanadnya sahih. Oleh karen itu Al Hafiz berkomentar: Sesungguhnya pengetahun akal terhadap rahasia-rahasia Ilahi sangatlah terbatas, tidak mungkin dihukumi Allah dengan pertanyaan "kenapa" dan "bagaimana?" Sebagaimana juga tidak bisa diajukan pertanyaan "dimana" dan "dalam kondisi apa?"

Oleh karena itu pernyataan Allah berada di langit atau di atas `arsy adalah konsekuensi dari pertanyaan "dimana?" dan "bagaimana?", meskipun tidak menyebutkan secara jelas pertanyaan tersebut! Meskipun pernyataan Allah berada di langit atau di atas `arsy dikunci dengan pernyataan "jangan fikirkan bagaimana Allah berada di langit atau di atas `arsy", ini tidak menafikan mereka menisbahkan sifat makhluq kepada Al Khaliq, yaitu keduanya sama-sama berada pada suatu tempat!

Ketika anda menyatakan bahwa Allah berada di atas `arsy atau di atas langit itu artinya anda sudah duluan menentukan kaifiyah terhadap Allah dengan menetapkan langit atau `arsy sebagai tempat Allah berada. Ketika ini disampaikan kepada orang lain maka anda sudah membuat orang berfikir. Ketika anda sudah dahuluan memikirkan zat Allah dan membuat orang berfikir kemudian anda melarang orang memikirkan tentang kaifiah zat Allah! Justru pemikiran anda yang seperti ini sangat sulit dipahami oleh orang lain, karena kontradiktif secara akal!

Maka dengan pernyataan-pernyataan para ulama hadits seperti disebutkan, kita bisa meyakini seyakin-yakinnya dan tidak diragukan lagi terhadap status dan kedudukan hadits tentang budak wanita yang mudltharib, yang dipandang  berdasarkan kaidah ilmu hadits (ilmu Mushtalah Hadits) yang juga diperkuat oleh keterangan secara jelas para ahli hadits  dari dulu sampai sekarang. Oleh karena itu tidak mungkin lafaz hadits dijadikan `Illat (pijakan). Sebagaimana juga dijelaskan bahwa hadist yang diriwayatkan dengan redaksi "apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?" adalah merupakan riwayat yang paling sahih.

Jikalau seandainya dilakukan tarjih, diantara riwayat-riwayat yang ada, maka riwayat yang paling rajih- tidak diragukan lagi- adalah riwayat dengan redaksi  "apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?"

Karena riwayat ini merupakan riwayat yang paling sahih dan yang bisa diyakini sesuai dengan apa yang selalu dilakukan oleh Nabi Saw.. Jikalau kita telisik kembali lembaran sejarah Nabi Saw. akan kita temui  bahwa beliau selalu menyuruh seseorang yang masuk islam atau menanyakan keimanan seseorang dengan syahadatain (dua syahadat). Kisah-kisah seperti ini telah diriwayatkan kepada kita secara mutawatir bahwa beliau menyuruh manusia, memerangi mereka dan menguji keimanan mereka dengan syahadatain (dua syahadat). Oleh karena itu maka riwayat "dimana Allah?" merupakan riwayat syadz yang diingkari.

HADITS-HADITS NABI SAW. YANG MENYATAKAN BUKTI KEISLAMAN SESEORANG, DENGAN "BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH", BUKAN MENANYAKAN "DIMANA ALLAH?"

1.      Hadits riwayat Bukhari[28]
روى البخارى عن ابن عمر أن النبى صلى الله عليه وسلم  قال لابن الصياد: ( أتشهد أني رسول الله )؟

Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits Ibnu `Umar, bahwasanya Nabi Saw., berkata kepada Ibnu Shayyad: Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?

2.      Hadits Bukhari – Muslim[29]

عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليع وسلم قال: أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله

Dari Ibnu `Umar bahwasanya Rasul Saw. bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah!

Setelah menyebutkan hadits ini, Imam Suyuthi berkomentar: hadits ini adalah hadits mutawatir[30]

3.      Hadits Sahih Muslim[31]

عن ابن عباس أن معاذا قال بعثني رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: إنك تأتي قوما من أهل الكتاب فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله

Dari Ibnu `Abbas bahwasanya Mu`adz berkata: Aku diutus oleh Rasul Saw. , beliau berkata: sesungguhnya engkau akan mendatangi sebuah kaum dari golongan ahlul kitab. Maka serulah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah.

4.      Hadits Sahih Muslim[32]
روى أن رسول الله أبا هريرة نعليه، قال: يا أبا هريرة اذهب بنعلي هاتين فمن لقيت من وراء هذا الحائط يشهد أن لا إله إلا الله مستيقنا بها قلبه فبشره بالجنة.

Diriwayatkan dari Rasul Saw. Wahai Abu Hurairah pergilah engkau dengan membawa kedua sandalku ini, siapapun yang engkau temui di balik kebun ini yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan meyakini (syahadat itu) di hati mereka, maka kabarkanlah mereka dengan surga!

5.      Hadits Sahih Muslim[33]

حديث عتبان بن مالك قال إن جماعة من الصحابة أحبوا أن يدعو النبى صلى الله عليه وسلم على مالك ابن دخشم ليهلك  فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أليس يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله ؟ قالوا إنه يقول ذلك وما هو في قلبه. قال لا يشهد أحد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فيدخل النار أو تطعمه قال أنس فأعجبني هذا الحديث فقلت لابني اكتبه فكتبه

Hadits `Itban bin Malik, ia berkata: Sesungguhnya sekelompok sahabat Rasul Saw. berharap agar Rasul Saw. mendoakan Malik Bin Dukhsyum celaka. Rasul Saw. menjawab: Bukankah ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah? Mereka menjawab: sesungguhnya ia mengatakan itu hanyalah di lisan saja dan ia tidak meyakini di hatinya. Rasul Saw. bersabda: Tidak ada seorangpun yang besaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Aku adalah utusan Allah akan masuk neraka dan dimakan oleh neraka. Anas berkata: Hadits ini mengagumkanku, maka aku berkata kepada anakku: Tulislah hadits ini! Maka ia pun menulisnya.

Inilah sekelumit pemaparan hadits dan selain hadits-hadits ini sangat banyak sekali -bahkan sampai derajat mutawatir- semuanya menguatkan kita untuk merajihkan riwayat hadits dengan redaksi: اتشهدين أن لا إله إلا الله (apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)?. Disamping hadits ini merupakan hadist yang paling sahih sanadnya.

KESIMPULAN
Dari pemaparan tentang hadits budak wanita yang dibebaskan Rasul Saw. ini kita ketahui bahwa:
1. Hadits yang diriwayatkan dengan redaksi: اتشهدين أن لا إله إلا الله (apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)? Adalah hadits yang paling sahih secara sanad dan paling kuat pegangan untuk beramal dengannya, terutama dalam masalah akidah.
2. Hadits Sahih Muslim dengan redaksi pertanyaan Rasul Saw: أين الله؟  (dimana Allah)? dan jawaban budak wanita: فى السماء  adalah hadits mudltharib -sebagaimana diakui oleh para imam dan pakar hadits- yang tidak sah dijadikan pijakan di dalam masalah akidah. Pertanyaan Rasul Saw. dan jawaban budak yang selalu dijadikan pegangan dalil, bisa diyakini  bukanlah bersumber dari Rasul Saw. dan budak wanita, akan tetapi bersumber dari periwayat hadits.
3. Tidak dijadikannya Hadits Sahih Muslim sebagai landasan berdalil dikuatkan oleh; bahwa hadits ini bertentangan dengan dalil yang qath`iy (tegas) dan yaqini (yakin), baik itu secara naqli maupun secara `aqli serta bertentangan dengan ijma` kaum muslimin dari dulu sampai sekarang bahwa Allah berbeda dengan makhluqNya dan Allah tidak bertempat/butuh kepada tempat layaknya makhluq.

Oleh karena itu maka keyakinan bahwa Allah berada di langit tidak bersandarkan kepada dalil yang sahih dan kuat. Adapun orang awam dan anak-anak yang biasa mengatakan/mengisyaratkan bahwa Allah berada di langit tidaklah bisa dijadikan pijakan dalil, karena hanya itulah kemampuan mereka untuk menunjukkan wujud Allah. Orang awam atau anak-anak kecil ketika mengucapkan/mengisyaratkkan hal tersebut sangat ditoleransi oleh syariat, tidak dianggap bid`ah apalagi kafir, akan tetapi dipahami perkataan mereka dengan makna majaz, bahwa maksud mereka adalah ketinggian Allah Yang Maha Kamal tidak sama dengan semua makhluq! Apakah mungkin orang-orang yang berilmu akan berdalil dengan perbuatan orang awam dan anak-anak?! Beghitu juga halnya bahwa ketika kita berdo`a dengan menengadahkan tangan ke langit, bukan berarti Allah berada di langit, tapi karena langit adalah kiblatnya do`a, sebagaimana Ka`bah adalah kiblatnya shalat!

Kepada sahabat-sahabat yang berpegang teguh dengan hadits tentang budak wanita yang diriwayatkan di dalam sahih Muslim ini saya ajak untuk tidak fanatis dengan doktrinan sepihak. Bukalah fikiran sejernih-jernihnya dan lapangkanlah hati untuk menerima dan menganalisa ilmu yang diperoleh oleh orang lain. Saya yakin bahwa tidak ada yang ma`shum, selain Rasulullah Saw.. Kenapa tidak mencoba mengkritisi apa yang disampaikan oleh guru kita dan mencoba menanyakan akal,  apakah masih netral dan objektif?

Kita selalu mendakwa bahwa al haq (kebenaran) lebih didahulukan daripada figuritas seseorang! Jikalau benar demikian, bukankah kebenaran tidak hanya dimonopoli oleh guru-guru yang semanhaj dengan kita?! Jikalau kita mengaku bahwa kita adalah orang yang kuat berpegang dengan al Qur`an dan sunnah -jikalau benar demikian-, adalah tidak layak bila mengambil secara parsial atau tidak mengkaji secara detail kesahihan nash syariat yang kita terima? Generasi salaf itu sangat banyak, maka adalah sangat aib bila kita memilah dan memilih salaf yang kita pedomani dengan mengabaikan salaf yang lain! Sahabat tidak mesti menerima orang lain, tapi tidak bijak bila menolak analisa orang lain, hanya karena alasan berbeda dengan apa yang diyakini!

Jikalau sahabat selalu mendakwa bahwa pemahaman sahabat adalah pemahaman generasi salaf, sekali-kali bertanyalah kepada diri sahabat, apakah benar pemahaman generasi salaf seperti yang saya pahami dan seperti yang saya aplikasikan?! Jikalau generasi salaf merupakan orang yang tunduk kepada kebenaran dan sangat tawadhu`, kenapa kita tunduk kepada guru doktrinan guru saja dan terlalu sulit menerima orang lain yang beda manhaj?! Jikalau generasi salaf sangat mendahulukan husnuzhan kepada saudaranya, kenapa kita justru mendahulukan su`u zhan kepada saudara kita yang sama-sama muslim?!

Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa kita sama-sama bermaksud untuk menetapkan segala sifat kesempurnaan bagi Allah dan menafikan segala sifat yang menunjukkan kekurangan, aib dan kelemahan.
Wallahu a`lam

Ya Allah berikanlah kepada kami cahaya kebenaran dan mudahkanlah kami untuk istiqomah dengan kebenaran serta hilangkan sikap fanatisme buta dari diri kami sampai akhir hayat kami. Amiin

Referensi dan rujukan kajian :
1. Al Qur`an Al Karim
2. Kitab-kitab hadits dan sunan
3. DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009
4. Abu Hamid Al Ghazali, Al Iqtishad Fie Al I`tiqad, Dar Al Bashair, Kairo, cet. ke I, 2009, editing dan komentar: DR. Musthafa `Imran.
5. Abu Hamid Al Ghazaly, Iljam Al `Awwam `An Ilmi Al Kalam, Al Maktabah Al Azhariyyah li al Turats, Kairo.
6. Imam Baihaqi, Al Asma` Wa Al Shifat, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, 2010, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
7. Taqiyyuddin Al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
8. Taqiyyuddin Abi Bakar Al Hishniy Al Dimasqiy, Daf`u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary, 2010.
9. `Abdurrahman Abi Al Hasan Al Jauziy, Daf`u Syubhat al Tasybih, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary, 2010.
10. Muhammad Zahid Al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Imam Baihaqi, Al Asma` Wa Al Shifat, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, 2010, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
11. Muhammad Zahid al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Taqiyuddin Al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
12. Al Hafiz Abu al Fadl `Abdillah Muhammad Shiddiq Al Ghumary, Nihayat Al Amal Fie Shihati Wa Syarh Hadits `Ardl Al A`mal, Maktabah al Qahirah, Kairo, 2006.
13. DR. Thaha Al Dusuqiy Hibisyi, Al Janib Al Ilahy Fie Fikri Al Imam Al Ghazali, Fak. Ushuluddin Al Azhar University, Kairo, 2010.
14. DR. Muhyiddin Al Shafi, Muhadharat Fie Al `Aqidah Al Islamiyyah Qism Al Ilahiyyat, Maktabah Iman dan Maktabah Al Jami`ah Al Azhariyyah, Kairo, cet. ke II, 2010
15. DR. Manshur Muhammad Muhammad `Uwais, Ibnu Taimiyyah Laisa Salafiyyan, Dar Al Nahdah Al `Arabiyyah, Kairo, cet. ke I, 2010.
16. DR. Muhammad Abdil Fadhil Al Qushy, Hawamisy ` Ala Al `Aqidah Al Nizhamiyyah Li Al Imam Al Haramain, Maktabah Iman, Kairo, cet. ke II, 2006.
17. DR. Ahmad `Umar Hasyim, Qawaid Ushul Al Hadits, Fak. Ushuluddin Al Azhar University, Kairo

Endnote:
[1] Muhammad Zahid al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Taqiyuddin al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, hal.: 83. Editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.

[2] Taqiyuddin Al Subky Al Kabir, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, hal.: 83. editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary

[3] Muhammad Zahid al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Taqiyuddin al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, hal.: 83. editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.

[4] Imam Nawawi, Syarah Sahih Muslim, Dar Al Hadits, Kairo, cet. ke IV, 2001, Vol. III, Hal.:30 , Editing, takhrij dan indeks: `Isham Al Shababithy, dkk.

[5] Imam Baihaqi, Al Asma` Wa Al Shifat, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, hal.: 391. editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.

[6]  DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah -Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009, hal.:338

[7]  Muhammad Zahid Al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Imam Baihaqi, Al Asma` Wa Al Shifat, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, 2010, hal.:392. editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.

[8]  DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah -Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009, hal.:338 dan setelahnya.

[9] Muhammad Zahid al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Taqiyuddin al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, hal.: 83. Tahqiq: Muhammad Zahid Al Kautsary.

[10] DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah -Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009, hal.:339.

[11] DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah -Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009, hal.:339

[12] DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah -Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009, hal.:340.

[13] Imam Baihaqi, Sunan Kubra, hadits no. : 15045

[14] Lihat juga: Abu Hamid Al Ghazali, Al Iqtishad Fie Al I`tiqad, Dar Al Bashair, Kairo, cet. ke I, 2009, Hal.: 245, editing dan komentar: DR. Musthafa `Imran.

[15]  Lihat: DR. Thaha Al Dusuqiy Hibisyi, Al Janib Al Ilahy Fie Fikri Al Imam Al Ghazali ` Ardl Wa Al Tahlil, Fak. Ushuluddin Al Azhar University, Kairo, 2010, hal.: 103. Dan lihat juga:  DR. Muhyiddin Al Shafi, Muhadharat Fie Al `Aqidah Al Islamiyyah Qism Al Ilahiyyat, Maktabah Iman dan Maktabah Al Jami`ah Al Azhariyyah, Kairo, cet. ke II, 2010, Hal.: 79

[16] DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah -Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009, hal.:340.

[17]  `Abdul Razzaq, Mushannaf, hadits no.: 16815

[18] Imam Malik, Al Muwatha`, hadits no.: 1469

[19]`Abdul Razzaq, Mushannaf, hadits no.: 16815

[20] Imam Ahmad, Al Musnad, hadits no.: 15781

[21]  Syahid adalah hadits lain yang diriwayatkan senada secara makna, namun berbeda secara redaksi

[22] Muhammad Zahid al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Taqiyuddin al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, hal.: 83. editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.

[23]  Imam al Darimiy, Sunan Al Darimiy, hadits no.: 2348

[24] Imam Thabraniy, Al Kabir, hadits, no.: 12369

[25] Imam Ahmad, Musnad Ahmad, hadits no.: 17974, Imam Al Nasa`i pada kitabnya Al Kubra: hadits no.: 6480, Imam Al Darimiy pada kitab Sunan, hadits no.: 2348 dengan redaksi " أَتَشْهَدِينَ (apakah engkau bersaksi)?", Imam Ibnu Hibban: hadits no.: 189, Imam Baihaqi pada sunan Kubra, hadits no.: 15049

[26] Al Hafiz Abu al Fadl `Abdillah Muhammad Shiddiq Al Ghumary, Nihayat Al Amal Fie Shihati Wa Syarh Hadits `Ardl Al A`mal, Maktabah al Qahirah, Kairo, 2006, hal.: 28

[27]  Lihat: Imam Nawawi, Syarah Sahih Muslim, Dar Al Hadits, Kairo, cet. ke IV, 2001, Vol. III, Hal.: , Editing, takhrij dan indeks: `Isham Al Shababithy, dkk.. Abu Hamid Al Ghazali, Al Iqtishad Fie Al I`tiqad, Dar Al Bashair, Kairo, cet. ke I, 2009, Hal.: 252, editing dan komentar: DR. Musthafa `Imran. DR. Thaha Al Dusuqiy Hibisyi, Al Janib Al Ilahy Fie Fikri Al Imam Al Ghazali ` Ardl Wa Al Tahlil , Fak Ushuluddin Al Azhar University, Kairo, 2010, hal.: 106

[28]  Imam Bukhari, hadits no.: 2890 dan Imam Muslim, hadits no.: 2930

[29]  Imam Bukhari, hadits no.: 25 dan Imam Muslim, hadits no.: 22

[30]  Imam Suyuthi, Al Jami` Al Shagir, hadits no.: 1630

[31] Imam Muslim, hadits no.:19

[32] Imam Muslim, hadits no.: 31

[33] Imam Muslim, hadits no.: 33