Kesalahpahaman-kesalahpahaman telah kami uraikan dan tulisan sebelumnya adalah kesalahpahaman yang mengakibatkan malapetaka dalam dunia Islam atau perihal yang dipermasalahkan sampai saat ini yakni kesalahpahaman tentang bid’ah.
Kesempatan kali ini kami menguraikan kesalahpahaman yang termasuk inti/pokok yakni kesalahpahaman/kerancuan mengenai “sunnah Nabi saw” dan “perkara sunnah”.
Sesungguhnya yang dimaksud “Sunnah Nabi saw” adalah hadits Nabi saw atau as sunnah.
Hadits (bahasa Arab: الحديث ) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad saw. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.
Perkara sunnah adalah perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah yakni perbuatan/ibadah yang dikerjakan/ditaati mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah Nabi saw atau Hadits Nabi saw meliputi perkara syariat (ibadah mahdah atau ibadah ketaatan) dan perkara sunnah (ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan atau amal kebaikan//sholeh )
Pembagian perbuatan/ibadah dalam dua kategori yakni ibadah mahdah dan ghairu mahdah untuk tujuan pengajaran, berlandaskan firman Allah swt dan hadits.
Kami mengkajinya dari Hadits Nabi saw
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
dan firman Allah swt
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab." (QS Al Mu’min [40]:40 )
dan
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Orang dalam keadaan beriman atau orang yang beriman adalah orang dalam ketaatan atau orang yang melaksanakan ibadah mahdah (ibadah ketaatan), orang yang memenuhi syarat sebagai orang beriman atau mukmin.
Orang mengerjakan amal yang shaleh atau amal-amal shaleh adalah orang yang mengerjakan kebaikan atau orang melaksanakan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), orang yang sholeh atau muslim sholeh atau muhsin atau muhsinin atau muslim yang ihsan atau muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah swt atau minimal muslim yang yakin bahwa Allah swt melihat segala perbuatan/perilakunya.
Perbuatan/ibadah seorang muslim ada dua kategori yakni
1. Perbuatan yang Allah swt telah tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman. Kategori ini disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan atau perkara syariat atau “urusan kami” meliputi perkara wajib/fardhu , perkara haram (baik larangan dan pengharaman).
2. Perbuatan yang Allah swt telah diamkan/bolehkan termasuk disini adalah perkara mubah, perkara sunnah (mandub), perkara makruh, kategori ini disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan atau amal kebaikan/sholeh.
Sebagian ulama mendangkalkan/mempersempit kategori ini hanyalah sebagai perkara muamalah.
Contoh sholat wajib termasuk kategori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim, atau hukumnya wajib artinya perbuatan/ibadah yang jika ditinggalkan akan berdosa.
Contoh sholat tarawih (sholat malam di bulan Ramadhan) termasuk kategori ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), amal kebaikan/sholeh merupakan sebuah perbuatan/ibadah hukumnya sunnah artinya perbuatan/ibadah yang jika dikerjakan berpahala jika ditinggalkan tidak berdosa. Level sunnahnya adalah sunnah ghairu muakad (sunnah umum bukan sunnah yang diutamakan atau sunnah muakad).
Rasulullah saw sangat mengkhawatirkan jika sholat tarawih menjadi kewajiban (hukumnya wajib) kalau beliau melaksanakan rutin setiap waktu dan cara/syariat tertentu.
Rasulullah saw menegakkan syariat/hukum sebagaimana yang Allah swt tetapkan dan sholawat tarawih tidak termasuk yang Allah swt tetapkan (ibadah mahdah) mengiringi kewajiban puasa di bulan Ramadhan namun termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt diamkan.
Rasulullah saw pun tidak mengubah hukumnya menjadi sunnah muakad dengan cara tidak menetapkan jumlah ra'kaat atau cara yang sering beliau lakukan.
Hakikatnya menegakkan syariat Islam adalah menegakkan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah swt.
Sebagian muslim salah paham dengan maksud "menegakkan sunnah Nabi saw", yang dimaksud sebenarnya adalah menegakkan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah swt.
Mereka salahpaham/kerancuan apa yang dimaksud "sunnah nabi saw" dengan "perkara sunnah". Dengan kata lain mereka salah paham antara Sunnah dalam arti hadits Nabi saw dengan Sunnah dalam arti anjuran Nabi saw.
Sunnah dalam arti hadits nabi yakni perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad Saw, meliputi perkara syariat / wajib (ibadah mahdah/ibadah ketaatan) maupun perkara sunnah (ibadah ghairu mahdah/ibadah kebaikan).
Sunnah dalam arti anjuran Nabi adalah perkara sunnah yang dianjurkan/dicontohkan Nabi.
Sehingga akhirnya merekapun salah paham dengan yang dimaksud "Ikutilah / Gigitlah sunnah nabi saw" seolah-olah maknanya kita wajib mengikuti apapun yang dicontohkan oleh Nabi saw.
Padahal makna sebenarnya dari "Gigitlah sunnah nabi saw" adalah tetaplah atau tegakkanlah hukum sesuai yang disampaikan sunnah Nabi / hadits Nabi.
Jadi mengikuti contoh Rasulullah saw itu tidak seluruhnya hukumnya wajib namun sesuai hukum perbuatan/ibadah itu sendiri.
Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang sholat wajib maka hukumnya adalah wajib karena yang dicontohkan adalah perkara/hukum yang wajib
Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang sholat tarawih (sholat malam di bulan Ramadhan) maka hukumnya adalah sunnah karena yang dicontohkan adalah perkara/hukum yang sunnah.
Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang bersholawat maka hukumnya adalah sunnah karena yang dicontohkan adalah perkara/hukum yang sunnah.
Sesungguhnya mendudukan perkara/hukum dalam Islamlah yang dimaksud penegakan syariat Islam. Jadi peneggakan syariat/hukum Islam berlaku atau kewajiban bagi semua muslim tanpa alasan walaupun sistem pemerintahan sebuah negara belum berlandaskan syariat Islam. Apa-apa yang telah ditetapkan/disyariatkan/disyaratkan oleh Allah swt baik berupa kewajiban (perkara/hukum wajib) yang wajib dilaksanakan mapun berupa larangan dan pengharaman (perkara/hukum haram) yang wajib dihindari.
Pengadilan agama di negeri kita dengan wewenang terbatas sebaiknya diperluas untuk perkara syariat Islam baik perkara yang wajib dilaksanakan dan perkara yang wajib dihindari. Sedangkan perkara/perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan atau amal kebaikan/sholeh diserahkan pengerjaan dan ketaatan bagi setiap muslim sesuai kesadaran, keinginan dan kebutuhan masing-masing.
Dalam tulisan diatas dapat kita pahami bahwa Rasulullah saw khawatir apabila perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah berubah/dianggap hukumnya wajib bagi ummat muslim karena Nabi Muhammad saw hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan.
Firman Allah swt yang artinya
Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan". (QS Al Ahqaaf [46]:9 )
Namun kita lihat sekarang sebagian ulama menetapkan/menganggap hukumnya wajib bagi perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah atau mereka menganggap hukumnya haram/terlarang atau menilai sesat bagi perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah, inilah yang dinamakan melampaui batas (ghuluw) dan Allah swt tidak menyukai orang yang melampaui batas (ghuluw).
Perhatikanlah firman Allah yang artinya, “Wahai ahli Kitab, janganlah kalian bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian....” (Q.S. an Nisa’: 171)
Nabi Muhammad ShollAllahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ
“Waspadailah oleh kalian tindakan ghuluw dalam beragama sebab sungguh ghuluw dalam beragama telah menghancurkan orang sebelum kalian.”
Ada satu poin penting yang perlu dicamkan dari hadits ini, yaitu fenomena di mana tak ada satu umat pun (yang pernah ada) yang sepi dari kelompok–kelompok yang bertindak ghuluw (al Mughooliin)”.
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS Hud [11]: 112 )
"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui" (QS Jaatsiyah [45]:18 )
Hakikatnya dikatakan amal shaleh / Kebaikan jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan menjauhi seluruh yang boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai (makruh)
Hakikatnya dikatakan orang beriman jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang wajib dan menghindari seluruh yang dilarang dan yang diharamkan.
Jika seorang muslim menjalankan dan mentaati kedua-duanya sampai akhir hidupnya maka dia dijanjikan Allah swt untuk masuk surga tanpa hisab sebagaimana firmanNya yang artinya
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )
dan
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Sebagai contoh, biasanya kami sampaikan kepada yang merokok bukan bahayanya merokok namun sampaikan apakah mau masuk surga tanpa dihisab. Intinya kami dalam penyampaian membiasakan untuk tidak menakuti-nakuti namun menumbuhkan kesadaran mengingat Allah swt dengan menyampaikan kenikmatan yang akan didapat sesuai janji Allah swt dan Allah swt pasti menepati janjinya. Innallâha lâ yukhliful mî`âd (sesungguhnya Allah Swt. tidak mengingkari janji-Nya) (QS Ali Imran [3]:9 )
"(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka" (QS Al Fatihah [1]:7)
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka". (QS At Taubah [9]:111 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830
***************
Catatan No: 1
Berikut cara kami memahami kategori ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah.
Hukum perbuatan/ibadah yang telah ditetapkan/disyariatkan/disyaratkan oleh Allah swt adalah perbuatan/ibadah hukumnya wajib dijalankan dan wajib dihindari. Kelompok perbuatan ini adalah ibadah mahdah (ibadah ketaatan).
Hukumnya wajib dijalani adalah perbuatan/ibadah yang hukumnya wajib artinya jika ditinggalkan maka akan berdosa atau mendapat siksa, jika dikerjakan menunjukkan ketaatan atau mendapatkan pahala.
Hukumnya wajib dihindari adalah perbuatan yang hukumnya haram baik yang dilarang maupun yang diharamkan artinya jika dikerjakan atau dilanggar akan berdosa atau mendapat siksa, jika ditinggalkan/dijauhi menunjukkan ketaatan atau mendapatkan pahala
Selain yang telah ditetapkan oleh Allah swt baik yang wajib dijalani dan wajib dihindari adalah perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan sebagai bentuk kecintaan Allah swt kepada hambaNya meliputi perkara boleh yakni boleh-dianjurkan (sunnah/mandub), boleh-boleh (mubah), boleh-tidak disukai (makruh). Kelompok perbuatan ini adalah ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan).
Dikatakan sebagai perbuatan/ibadah yang merupakan amal kebaikan/amal sholeh jika menjalankan perkara boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan sebaiknya menghindari perkara boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai (makruh).
Tahapannya adalah
1. Menjadi Muslim, mengucapkan syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji (rukun Islam)
2. Menjadi Mukmin, menjalankan perbuatan/ibadah yang wajib dijalankan dan wajib dihindari serta meyakini seluruh rukun iman (QS Lukman [31]:4)
3. Menjadi Muhsin (muhsinin), menjalankan perbuatan/ibadah yang boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan berupaya menjauhi perbuatan boleh-boleh (mubah) , boleh-tidak disukai (makruh) (QS Lukman [31]:3)
Muhsin artinya baik, sempurna atau muslim yang terbaik atau muslim yang sholeh , muslim yang selalu didoakan oleh seluruh kaum muslim
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Tahapan tersebut kami pahami dari firman Allah swt yang artinya
(QS Lukman [31]:1-7)
[31:1] Alif Laam Miim
[31:2] Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmah (pemahaman yang dalam).
[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
[31:6] Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
[31:7] Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.
Beberapa firman Allah swt lainnya yang menjelaskan adanya ibadah khusus/Ibadah Mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah umum/ibadah ghairu mahdah/amal sholeh/amal kebaikan
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al Baqarah [2]:277 )
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Baqarah [2]:110 )
dan Janji Allah swt bagi muslim yang menyadari dan menjalankan ibadah mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaiakan) akan masuk surga tanpa hisab
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )
dan
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa" [4]:124
Dikatakan sebagai Orang beriman (mukmin) adalah bagi muslim yang menjalankan segala ibadah yang wajib dijalankan (hukumnya wajib) dan menjauhi yang wajib dihindari/ditinggalkan (hukumnya haram, baik yang dilarang atau diharamkan)
Dikatakan sebagai Orang yang mengerjakan Amal Shaleh/Kebaikan adalah bagi muslim yang menjalankan ibadah boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan sebaiknya menjauhi ibadah boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai(makruh).
Mukmin = Muslim yang menjalankan Ibadah Mahdah (ibadah ketaatan)
Muhsin/Muhsinin = Mukmin yang menjalalankan Ibadah Ghairu Mahdah (ibadah kebaikan)
*********************************
Catatan No. 2:
Alih-alih kaum Wahabi atau Salaf(i) menggigit sunnah Nabi saw , namun kenyataannya bisa jadi malah mereka menjauhi sunnah Nabi saw
Kaum Wahabi atau Salaf(i) telah melampaui batas (ghuluw) jika yang mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atau jika mereka mencegah/melarang/mengharamkan hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.
Intinya mereka menetapkan perkara/hukum wajib padahal sesungguhnya sunnah/mandub atau menetapkan perkara/hukum terlarang/haram padahal sesungguhnya sunnah/mandub.
Mari kita perhatikan sekali lagi bagian dari makalah Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani tentang ghuluw atau ekstreem atau berlebih-lebihan pada Dialog Nasional kedua di Makkah al Mukarromah
Ekstremisme (Sikap ghuluw) Nashrani tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya, tetapi menjalar pada keyakinan bahwa para pastur dan pendeta berhak menentukan suatu hukum selain (ketentuan hukum) dari Allah. Lebih jauh lagi, mereka bahkan menyatakan kesanggupan secara total untuk patuh kepada pastur dan pendeta dalam segala hal yang bertentangan dengan syariat dan hukum Allah. Ini semua terdorong oleh ulah para pastur dan pendeta yang menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal atas mereka serta menetapkan hukum dan syariat yang sesuai dengan selera dan hawa nafsu sehingga mereka sangat antusias menerima dan menaatinya.
Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah: 31)
Dalam aspek kehidupan dunia, kaum Nashrani juga memiliki banyak sikap yang termasuk dalam kategori tindakan ghuluw yang di antaranya seperti dijelaskan oleh firman Allah:
…وَرَهْبَانِيَّةَ نِابْتَـدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا …“
…. Dan mereka mengada–adakan rohbaaniyyah. Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada–adakannya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya ….“ (Q.S. al Hadid: 27)
Sungguh bibit tindakan ghuluw dari sebagian orang pernah tampak pada masa Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, tetapi segera dicegah dan dibabat sampai ke akarnya meski bibit itu tidak dalam lapangan Aqidah, melainkan dalam medan ibadah.
Dalam masalah ini, Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam benar–benar meneliti dan melakukan pengawasan ketat serta memberikan pengarahan menuju arah yang benar. Hal itu seperti diceritakan oleh Anas ra bahwa ada tiga orang datang ke rumah–rumah isteri Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam guna meminta informasi tentang ibadah beliau.
Setelah mendapat penjelasan, mereka sepertinya menganggap ibadah Nabi SAW terbilang sedikit. Karena itulah, mereka saling berkata, “Di mana kita (dibandingkan) dengan Nabi SAW yang telah diampuni segala yang telah berlalu dan yang akan berlaku.” Seorang kemudian berkata, “Adapun aku, maka sungguh aku akan terus sholat semalam suntuk selamanya!” Yang lain juga berkata, “Aku akan terus berpuasa selamanya dan tak akan berbuka!” Sementara itu, orang ketiga berkata, “Aku menjauh dari wanita dan tak akan pernah menikah selamanya!” Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam datang lalu bersabda yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Pengarahan yang diberikan oleh Rasulullah SAW ini kiranya sama sekali tidak menyisakan alasan apa pun bagi mujtahid untuk berijtihad guna menetapkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat, melarang hal yang tidak dilarang oleh syariat atau memfatwakan suatu produk hukum sesuai dengan selera dan pendapatnya.
Hadits tersebut bukan berarti melarang secara mutlak untuk berijtihad dalam beribadah sebab berijtihad dalam ibadah (seperti dimaklumi) merupakan tuntutan syariat selama berada dalam koridor syariat seperti dijelaskan oleh Allah:
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْـنَا لَنَهْدِيَنَّـهُمْ سُبُـلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar–benar beserta orang–orang yang berbuat baik.“ (Q.S. al Ankabuut: 69)
Allah juga berfirman, “Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian serta surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang disiapkan bagi orang–orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imron: 133)
“Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang banyak dan sucikanlah Dia di waktu pagi dan sore hari.” (Q.S. al Ahzaab: 41– 42).
Sungguh hadits tersebut hanya mengajak dan mendorong pada keseimbangan (Muwaazanah) dalam segala tuntutan dan kewajiban. Hal ini (sebagai langkah antisipatif atas) tindakan ekstrem (ghuluw) yang mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.
Ini adalah tindakan ghuluw yang sebenarnya. Karena itulah sikap dan sisi pandang (ittijaah) yang diambil dan dianut oleh para sahabat (yang disebut dalam hadits riwayat Anas ra di atas) tidak diakui dan segera ditangani oleh Nabi SAW dengan memberi penjelasan langsung bahwa sikap dan sisi pandang demikian merupakan bentuk ghuluw.
Selanjutnya Nabi SAW memberikan bimbingan bahwa esensi takut dan takwa kepada Allah bukanlah dengan bersikap ekstrem, terlalu, atau teledor, melainkan dengan sikap yang seimbang terhadap aneka ragam tuntutan (mathoolib).
Atas dasar ini, (bisa dimengerti bahwa tabir) perbedaan antara giat (ijtihad) dalam ibadah dan ghuluw sangat tipis.Sungguh sangat disayangkan, ketika sebagian dari para pelaku kebaikan yang getol memperjuangkan kebaikan justru melakukan kekeliruan dalam menggunakan dan menerapkan istilah ini (ghuluw) atas diri mereka dan orang–orang selain mereka.
Hal itu akan berakibat pada terjadinya keburukan yang luas serta pintu–pintu fitnah besar yang terbuka lebar dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dalam bukunya (Iqoomatul Hujjah alaa Annal Iktsaar fil Ibaadah Laisa bi Bid’ah), Syekh Abul Hasanaat Abdul Hayyi al Lacknawi menjelaskan perbedaan dalam topik penting ini dengan tuntas.
Bahkan, termasuk tindakan yang jelas–jelas bagian dari sikap ekstrem adalah klaim sebagai pelaku bid’ah yang ditumpahkan atas sebagian ulama ahli suluk dan tarbiyah yang memfokuskan diri dalam beribadah.
(Sekali lagi ) saya mengatakan, “Hal ini adalah bagian dari sikap ekstrem!! Laa Haula walaa Quwwata illa Billaah al Aliyyil Azhiim”
Inti dari sebagian makalah Abuya ini adalah adanya kecenderungan sebagian ulama (tanpa mereka sadari) bersikap ghuluw/ekstrem/berlebihan/melampaui batas.
Mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah/melarang hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka. Maknanya mereka mengubah hukum perbuatan yang semula sunnah/mandub menjadi wajib atau hukum perbuatan yang semula sunnah/mandub menjadi haram/dilarang
Contoh ada ulama yang mengharamkan peringatan maulid Nabi saw.
Kalau ada ulama yang mengharamkan/melarang tata cara mengisi peringatan maulid Nabi saw masih dibenarkan karena dapat kita temukan dalil/hujjah dalam Al-Qur'an dan Hadits, seperti tata cara peringatan Maulid dengan pesta foya-foya dll.
Contoh lain, keliru jika ada ulama yang melarang/mengharamkan matan/isi sholawat Nabi berdasarkan ungkapan kecintaan pribadi karena sesungguhnya sholawat itu hukum dasarnya/awalnya adalah boleh sehingga perkara baru/bid'ah dalam hal ini sejauh tidak melanggar larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits adalah perkara baik, hasanah atau mahmudah.
Hal yang perlu diinggat bahwa perkara baru (bid'ah) dalam perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan / bolehkan asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits merupakan perkara baik walaupun perbuatan tersebut tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw, Salafush Sholeh maupun ulama salaf.
Oleh karenanya ada ulama berpendapat bahwa hadits dhoif dapat digunakan sebagai landasan amal (ibadah ghairu mahdah ) asalkan matan/isi hadits tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits lainnya.
Namun hadits dhoif dilarang untuk landasan hukum perbuatan, baik hukumnya wajib maupun hukumnya haram
Berikut pemetaan hukum perbuatan/ibadah.
Ibadah mahdah (ibadah ketaatan), ibadah wajib yakni
- wajib dilakukan (perbuatan/ibadah yang hukumnya wajib)
- wajib dihindari (perbuatan/ibadah yang hukumnya haram, berupa yang dilarang dan diharamkan)
Ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), ibadah boleh yakni
- sebaiknya dilakukan (perbuatan/ibadah yang hukumnya boleh-dianjurkan / sunnah / mandub)
- sebaiknya dihindari (perbuatan/ibadah yang hukumnya boleh-boleh / mubah dan boleh-tidak disukai / makruh)
Pemetaan perbuatan/ibadah ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman terhadap segala perbuatan yang akan kita lakukan.
Dengan tumbuhnya kesadaran sebelum melakukan perbuatan inilah yang merupakan bagian akhlakul karimah atau kesadaran mengingat Allah swt.
Sebagaimana yang telah saya sampaikan bahwa akhlakul karimah adalah kesadaran atau perbuatan/perilaku secara sadar dan mengingat Allah swt.
Dengan pemetaan perbuatan/ibadah ini kita dapat menghindari dari paham sekularisme yang membolehkan perbuatan memperturutkan kepada hawa nafsu atau menghamba kepada hawa nafsu.
Ingat selalu pepatah orang tua kita dahulu, "Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna"
Setiap tindakan atau perbuatan itu hendaknya dipikirkan dahulu baik-baik (mengingat Allah, merujuk kepada petunjukNya) sebelum dikerjakan agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari atau di akhirat kelak.
*******