Senin, 27 September 2010

Gigitlah Sunnah

Kesalahpahaman tentang Sunnah Nabi saw dan Perkara Sunnah

Kesalahpahaman-kesalahpahaman telah kami uraikan dan tulisan sebelumnya adalah kesalahpahaman yang mengakibatkan malapetaka dalam dunia Islam atau perihal yang dipermasalahkan sampai saat ini yakni kesalahpahaman tentang bid’ah.

Kesempatan kali ini kami menguraikan kesalahpahaman yang termasuk inti/pokok yakni kesalahpahaman/kerancuan mengenai “sunnah Nabi saw” dan “perkara sunnah”.

Sesungguhnya yang dimaksud “Sunnah Nabi saw” adalah hadits Nabi saw atau as sunnah.

Hadits (bahasa Arab: الحديث ) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad saw. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.

Perkara sunnah adalah perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah yakni perbuatan/ibadah yang dikerjakan/ditaati mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.

Sunnah Nabi saw atau Hadits Nabi saw meliputi perkara syariat (ibadah mahdah atau ibadah ketaatan) dan perkara sunnah (ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan atau amal kebaikan//sholeh )

Pembagian perbuatan/ibadah dalam dua kategori yakni ibadah mahdah dan ghairu mahdah untuk tujuan pengajaran, berlandaskan firman Allah swt dan hadits.

Kami mengkajinya dari Hadits Nabi saw

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

dan firman Allah swt

….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab." (QS Al Mu’min [40]:40 )

dan

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124

Orang dalam keadaan beriman atau orang yang beriman adalah orang dalam ketaatan atau orang yang melaksanakan ibadah mahdah (ibadah ketaatan), orang yang memenuhi syarat sebagai orang beriman atau mukmin.

Orang mengerjakan amal yang shaleh atau amal-amal shaleh adalah orang yang mengerjakan kebaikan atau orang melaksanakan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), orang yang sholeh atau muslim sholeh atau muhsin atau muhsinin atau muslim yang ihsan atau muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah swt atau minimal muslim yang yakin bahwa Allah swt melihat segala perbuatan/perilakunya.

Perbuatan/ibadah seorang muslim ada dua kategori yakni
1. Perbuatan yang Allah swt telah tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman. Kategori ini disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan atau perkara syariat atau “urusan kami” meliputi perkara wajib/fardhu , perkara haram (baik larangan dan pengharaman).

2. Perbuatan yang Allah swt telah diamkan/bolehkan termasuk disini adalah perkara mubah, perkara sunnah (mandub), perkara makruh, kategori ini disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan atau amal kebaikan/sholeh.
Sebagian ulama mendangkalkan/mempersempit kategori ini hanyalah sebagai perkara muamalah.

Contoh sholat wajib termasuk kategori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim, atau hukumnya wajib artinya perbuatan/ibadah yang jika ditinggalkan akan berdosa.

Contoh sholat tarawih (sholat malam di bulan Ramadhan) termasuk kategori ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), amal kebaikan/sholeh merupakan sebuah perbuatan/ibadah hukumnya sunnah artinya perbuatan/ibadah yang jika dikerjakan berpahala jika ditinggalkan tidak berdosa. Level sunnahnya adalah sunnah ghairu muakad (sunnah umum bukan sunnah yang diutamakan atau sunnah muakad).

Rasulullah saw sangat mengkhawatirkan jika sholat tarawih menjadi kewajiban (hukumnya wajib) kalau beliau melaksanakan rutin setiap waktu dan cara/syariat tertentu.

Rasulullah saw menegakkan syariat/hukum sebagaimana yang Allah swt tetapkan dan sholawat tarawih tidak termasuk yang Allah swt tetapkan (ibadah mahdah) mengiringi kewajiban puasa di bulan Ramadhan namun termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt diamkan.

Rasulullah saw pun tidak mengubah hukumnya menjadi sunnah muakad dengan cara tidak menetapkan jumlah ra'kaat atau cara yang sering beliau lakukan.

Hakikatnya menegakkan syariat Islam adalah menegakkan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah swt.

Sebagian muslim salah paham dengan maksud "menegakkan sunnah Nabi saw", yang dimaksud sebenarnya adalah menegakkan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah swt.

Mereka salahpaham/kerancuan apa yang dimaksud "sunnah nabi saw" dengan "perkara sunnah".  Dengan kata lain mereka salah paham antara Sunnah dalam arti hadits Nabi saw dengan Sunnah dalam arti anjuran Nabi saw.

Sunnah dalam arti hadits nabi  yakni perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad Saw, meliputi perkara syariat / wajib  (ibadah mahdah/ibadah ketaatan) maupun perkara sunnah (ibadah ghairu mahdah/ibadah kebaikan).

Sunnah dalam arti anjuran Nabi  adalah perkara sunnah yang dianjurkan/dicontohkan Nabi.

Sehingga akhirnya merekapun salah paham dengan yang dimaksud "Ikutilah / Gigitlah sunnah nabi saw" seolah-olah maknanya kita wajib mengikuti apapun yang dicontohkan oleh Nabi saw.

Padahal makna sebenarnya dari "Gigitlah sunnah nabi saw" adalah tetaplah atau tegakkanlah hukum sesuai yang disampaikan sunnah Nabi / hadits Nabi.

Jadi mengikuti contoh Rasulullah saw itu tidak seluruhnya hukumnya wajib namun sesuai hukum perbuatan/ibadah itu sendiri.

Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang sholat wajib maka hukumnya adalah wajib karena yang dicontohkan adalah perkara/hukum yang wajib

Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang sholat tarawih (sholat malam di bulan Ramadhan) maka hukumnya adalah sunnah karena yang dicontohkan adalah perkara/hukum yang sunnah.

Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang bersholawat maka hukumnya adalah sunnah karena yang dicontohkan adalah perkara/hukum yang sunnah.

Sesungguhnya mendudukan perkara/hukum dalam Islamlah yang dimaksud penegakan syariat Islam. Jadi peneggakan syariat/hukum Islam berlaku atau kewajiban bagi semua muslim tanpa alasan walaupun sistem pemerintahan sebuah negara belum berlandaskan syariat Islam. Apa-apa yang telah ditetapkan/disyariatkan/disyaratkan oleh Allah swt baik berupa kewajiban (perkara/hukum wajib) yang wajib dilaksanakan mapun berupa larangan dan pengharaman (perkara/hukum haram) yang wajib dihindari.

Pengadilan agama di negeri kita dengan wewenang terbatas sebaiknya diperluas untuk perkara syariat Islam baik perkara yang wajib dilaksanakan dan perkara yang wajib dihindari. Sedangkan perkara/perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan atau amal kebaikan/sholeh diserahkan pengerjaan dan ketaatan bagi setiap muslim sesuai kesadaran, keinginan dan kebutuhan masing-masing.

Dalam tulisan diatas dapat kita pahami bahwa Rasulullah saw khawatir apabila perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah berubah/dianggap hukumnya wajib bagi ummat muslim karena Nabi Muhammad saw hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan.

Firman Allah swt yang artinya

Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan". (QS Al Ahqaaf [46]:9 )

Namun kita lihat sekarang sebagian ulama menetapkan/menganggap hukumnya wajib bagi perbuatan/ibadah yang  hukumnya sunnah atau mereka menganggap hukumnya haram/terlarang atau menilai sesat bagi perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah,  inilah yang dinamakan melampaui batas (ghuluw) dan Allah swt tidak menyukai orang yang melampaui batas (ghuluw).

Perhatikanlah firman Allah yang artinya, “Wahai ahli Kitab, janganlah kalian bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian....” (Q.S. an Nisa’: 171)

Nabi Muhammad ShollAllahu Alaihi Wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ

Waspadailah oleh kalian tindakan ghuluw dalam beragama sebab sungguh ghuluw dalam beragama telah menghancurkan orang sebelum kalian.”

Ada satu poin penting yang perlu dicamkan dari hadits ini, yaitu fenomena di mana tak ada satu umat pun (yang pernah ada) yang sepi dari kelompok–kelompok yang bertindak ghuluw (al Mughooliin)”.

"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."  (QS Hud [11]: 112 )



"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui" (QS  Jaatsiyah [45]:18 )

Hakikatnya dikatakan amal shaleh / Kebaikan jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan menjauhi seluruh yang boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai (makruh)

Hakikatnya dikatakan orang beriman jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang wajib dan menghindari seluruh yang dilarang dan yang diharamkan.

Jika seorang muslim menjalankan dan mentaati kedua-duanya sampai akhir hidupnya maka dia dijanjikan Allah swt untuk masuk surga tanpa hisab sebagaimana firmanNya yang artinya

“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )

dan

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124

Sebagai contoh, biasanya kami sampaikan kepada yang merokok bukan bahayanya merokok namun sampaikan apakah mau masuk surga tanpa dihisab. Intinya kami dalam penyampaian membiasakan untuk tidak menakuti-nakuti namun menumbuhkan kesadaran mengingat Allah swt dengan menyampaikan kenikmatan yang akan didapat sesuai janji Allah swt dan Allah swt pasti menepati janjinya. Innallâha lâ yukhliful mî`âd (sesungguhnya Allah Swt. tidak mengingkari janji-Nya) (QS Ali Imran [3]:9 )

"(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka" (QS Al Fatihah [1]:7)

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka". (QS At Taubah [9]:111 )

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

***************

Catatan No: 1

Berikut cara kami memahami kategori ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah.

Hukum perbuatan/ibadah yang telah ditetapkan/disyariatkan/disyaratkan oleh Allah swt adalah perbuatan/ibadah hukumnya wajib dijalankan dan wajib dihindari. Kelompok perbuatan ini adalah ibadah mahdah (ibadah ketaatan).
Hukumnya wajib dijalani adalah perbuatan/ibadah yang hukumnya wajib artinya jika ditinggalkan maka akan berdosa atau mendapat siksa, jika dikerjakan menunjukkan ketaatan atau mendapatkan pahala.
Hukumnya wajib dihindari adalah perbuatan yang hukumnya haram baik yang dilarang maupun yang diharamkan artinya jika dikerjakan atau dilanggar akan berdosa atau mendapat siksa, jika ditinggalkan/dijauhi menunjukkan ketaatan atau mendapatkan pahala

Selain yang telah ditetapkan oleh Allah swt baik yang wajib dijalani dan wajib dihindari adalah perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan sebagai bentuk kecintaan Allah swt kepada hambaNya meliputi perkara boleh yakni boleh-dianjurkan (sunnah/mandub), boleh-boleh (mubah), boleh-tidak disukai (makruh). Kelompok perbuatan ini adalah ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan).

Dikatakan sebagai perbuatan/ibadah yang merupakan amal kebaikan/amal sholeh jika menjalankan perkara boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan sebaiknya menghindari perkara boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai (makruh).

Tahapannya adalah

1. Menjadi Muslim, mengucapkan syahadat,  sholat, puasa, zakat dan haji (rukun Islam)
2. Menjadi Mukmin, menjalankan perbuatan/ibadah yang wajib dijalankan dan wajib dihindari serta meyakini seluruh rukun iman (QS Lukman [31]:4)
3. Menjadi Muhsin (muhsinin), menjalankan perbuatan/ibadah yang boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan berupaya menjauhi perbuatan boleh-boleh (mubah) , boleh-tidak disukai (makruh) (QS Lukman [31]:3)

Muhsin artinya baik, sempurna atau muslim yang terbaik atau muslim yang sholeh , muslim yang selalu didoakan oleh seluruh kaum muslim

Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.

Tahapan tersebut kami pahami dari firman Allah swt yang artinya
(QS Lukman [31]:1-7)
[31:1] Alif Laam Miim
[31:2] Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmah (pemahaman yang dalam).
[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
[31:6] Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
[31:7] Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.

Beberapa firman Allah swt lainnya yang menjelaskan adanya ibadah khusus/Ibadah Mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah umum/ibadah ghairu mahdah/amal sholeh/amal kebaikan
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al Baqarah [2]:277 )
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Baqarah [2]:110 )

dan Janji Allah swt bagi muslim yang menyadari dan menjalankan ibadah mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaiakan) akan masuk surga tanpa hisab

….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )

dan

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa" [4]:124

Dikatakan sebagai Orang beriman (mukmin) adalah bagi muslim yang menjalankan segala ibadah yang wajib dijalankan (hukumnya wajib) dan menjauhi yang wajib dihindari/ditinggalkan (hukumnya haram, baik yang dilarang atau diharamkan)

Dikatakan sebagai Orang yang mengerjakan Amal Shaleh/Kebaikan adalah bagi muslim yang menjalankan ibadah boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan sebaiknya menjauhi ibadah boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai(makruh).

Mukmin = Muslim yang menjalankan Ibadah Mahdah (ibadah ketaatan)

Muhsin/Muhsinin = Mukmin yang menjalalankan Ibadah Ghairu Mahdah (ibadah kebaikan)

*********************************

Catatan No. 2:


Alih-alih kaum Wahabi atau Salaf(i) menggigit sunnah Nabi saw , namun kenyataannya bisa jadi malah mereka menjauhi sunnah Nabi saw

Kaum Wahabi atau Salaf(i) telah melampaui batas (ghuluw) jika yang mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atau jika mereka mencegah/melarang/mengharamkan hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.

Intinya mereka menetapkan perkara/hukum wajib padahal sesungguhnya sunnah/mandub atau menetapkan perkara/hukum terlarang/haram padahal sesungguhnya sunnah/mandub.

Mari kita perhatikan sekali lagi bagian dari makalah Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani tentang ghuluw atau ekstreem atau berlebih-lebihan pada Dialog Nasional kedua di Makkah al Mukarromah
Ekstremisme (Sikap ghuluw) Nashrani tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya, tetapi menjalar pada keyakinan bahwa para pastur dan pendeta berhak menentukan suatu hukum selain (ketentuan hukum) dari Allah. Lebih jauh lagi, mereka bahkan menyatakan kesanggupan secara total untuk patuh kepada pastur dan pendeta dalam segala hal yang bertentangan dengan syariat dan hukum Allah. Ini semua terdorong oleh ulah para pastur dan pendeta yang menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal atas mereka serta menetapkan hukum dan syariat yang sesuai dengan selera dan hawa nafsu sehingga mereka sangat antusias menerima dan menaatinya.

Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah: 31)

Dalam aspek kehidupan dunia, kaum Nashrani juga memiliki banyak sikap yang termasuk dalam kategori tindakan ghuluw yang di antaranya seperti dijelaskan oleh firman Allah:

…وَرَهْبَانِيَّةَ نِابْتَـدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا …“

…. Dan mereka mengada–adakan rohbaaniyyah. Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada–adakannya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya ….“ (Q.S. al Hadid: 27)

Sungguh bibit tindakan ghuluw dari sebagian orang pernah tampak pada masa Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, tetapi segera dicegah dan dibabat sampai ke akarnya meski bibit itu tidak dalam lapangan Aqidah, melainkan dalam medan ibadah.

Dalam masalah ini, Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam benar–benar meneliti dan melakukan pengawasan ketat serta memberikan pengarahan menuju arah yang benar. Hal itu seperti diceritakan oleh Anas ra bahwa ada tiga orang datang ke rumah–rumah isteri Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam guna meminta informasi tentang ibadah beliau.

Setelah mendapat penjelasan, mereka sepertinya menganggap ibadah Nabi SAW terbilang sedikit. Karena itulah, mereka saling berkata, “Di mana kita (dibandingkan) dengan Nabi SAW yang telah diampuni segala yang telah berlalu dan yang akan berlaku.” Seorang kemudian berkata, “Adapun aku, maka sungguh aku akan terus sholat semalam suntuk selamanya!” Yang lain juga berkata, “Aku akan terus berpuasa selamanya dan tak akan berbuka!” Sementara itu, orang ketiga berkata, “Aku menjauh dari wanita dan tak akan pernah menikah selamanya!” Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam datang lalu bersabda yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.

Pengarahan yang diberikan oleh Rasulullah SAW ini kiranya sama sekali tidak menyisakan alasan apa pun bagi mujtahid untuk berijtihad guna menetapkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat, melarang hal yang tidak dilarang oleh syariat atau memfatwakan suatu produk hukum sesuai dengan selera dan pendapatnya.

Hadits tersebut bukan berarti melarang secara mutlak untuk berijtihad dalam beribadah sebab berijtihad dalam ibadah (seperti dimaklumi) merupakan tuntutan syariat selama berada dalam koridor syariat seperti dijelaskan oleh Allah:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْـنَا لَنَهْدِيَنَّـهُمْ سُبُـلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar–benar beserta orang–orang yang berbuat baik.“ (Q.S. al Ankabuut: 69)

Allah juga berfirman, “Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian serta surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang disiapkan bagi orang–orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imron: 133)

“Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang banyak dan sucikanlah Dia di waktu pagi dan sore hari.” (Q.S. al Ahzaab: 41– 42).

Sungguh hadits tersebut hanya mengajak dan mendorong pada keseimbangan (Muwaazanah) dalam segala tuntutan dan kewajiban. Hal ini (sebagai langkah antisipatif atas) tindakan ekstrem (ghuluw) yang mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.

Ini adalah tindakan ghuluw yang sebenarnya. Karena itulah sikap dan sisi pandang (ittijaah) yang diambil dan dianut oleh para sahabat (yang disebut dalam hadits riwayat Anas ra di atas) tidak diakui dan segera ditangani oleh Nabi SAW dengan memberi penjelasan langsung bahwa sikap dan sisi pandang demikian merupakan bentuk ghuluw.

Selanjutnya Nabi SAW memberikan bimbingan bahwa esensi takut dan takwa kepada Allah bukanlah dengan bersikap ekstrem, terlalu, atau teledor, melainkan dengan sikap yang seimbang terhadap aneka ragam tuntutan (mathoolib).

Atas dasar ini, (bisa dimengerti bahwa tabir) perbedaan antara giat (ijtihad) dalam ibadah dan ghuluw sangat tipis.Sungguh sangat disayangkan, ketika sebagian dari para pelaku kebaikan yang getol memperjuangkan kebaikan justru melakukan kekeliruan dalam menggunakan dan menerapkan istilah ini (ghuluw) atas diri mereka dan orang–orang selain mereka.

Hal itu akan berakibat pada terjadinya keburukan yang luas serta pintu–pintu fitnah besar yang terbuka lebar dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dalam bukunya (Iqoomatul Hujjah alaa Annal Iktsaar fil Ibaadah Laisa bi Bid’ah), Syekh Abul Hasanaat Abdul Hayyi al Lacknawi menjelaskan perbedaan dalam topik penting ini dengan tuntas.

Bahkan, termasuk tindakan yang jelas–jelas bagian dari sikap ekstrem adalah klaim sebagai pelaku bid’ah yang ditumpahkan atas sebagian ulama ahli suluk dan tarbiyah yang memfokuskan diri dalam beribadah.

(Sekali lagi ) saya mengatakan, “Hal ini adalah bagian dari sikap ekstrem!! Laa Haula walaa Quwwata illa Billaah al Aliyyil Azhiim”

Inti dari sebagian makalah Abuya ini adalah adanya kecenderungan sebagian ulama (tanpa mereka sadari) bersikap ghuluw/ekstrem/berlebihan/melampaui batas.

Mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah/melarang hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.  Maknanya mereka mengubah hukum perbuatan yang semula sunnah/mandub menjadi wajib atau hukum perbuatan yang semula sunnah/mandub menjadi haram/dilarang

Contoh  ada ulama yang mengharamkan peringatan maulid Nabi saw.

Kalau ada ulama yang mengharamkan/melarang tata cara mengisi peringatan maulid Nabi saw masih dibenarkan karena  dapat kita temukan dalil/hujjah dalam Al-Qur'an dan Hadits, seperti tata cara peringatan Maulid dengan pesta foya-foya dll.

Contoh lain,  keliru jika ada ulama yang melarang/mengharamkan matan/isi sholawat Nabi berdasarkan ungkapan kecintaan pribadi karena sesungguhnya sholawat itu hukum dasarnya/awalnya adalah boleh sehingga perkara baru/bid'ah dalam hal ini sejauh tidak melanggar larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits adalah perkara baik, hasanah atau mahmudah.

Hal yang perlu diinggat bahwa perkara baru (bid'ah) dalam perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan / bolehkan asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits merupakan perkara baik walaupun perbuatan tersebut tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw, Salafush Sholeh maupun ulama salaf.

Oleh karenanya ada ulama berpendapat bahwa hadits dhoif dapat digunakan sebagai landasan amal (ibadah ghairu mahdah ) asalkan matan/isi hadits tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits lainnya.

Namun hadits dhoif dilarang untuk landasan hukum perbuatan, baik hukumnya wajib maupun hukumnya haram

Berikut pemetaan hukum perbuatan/ibadah.

Ibadah mahdah (ibadah ketaatan), ibadah wajib yakni

  • wajib dilakukan (perbuatan/ibadah yang hukumnya wajib)

  • wajib dihindari (perbuatan/ibadah yang hukumnya haram, berupa yang dilarang dan diharamkan)


Ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), ibadah boleh yakni

  • sebaiknya dilakukan (perbuatan/ibadah yang hukumnya boleh-dianjurkan / sunnah / mandub)

  • sebaiknya dihindari (perbuatan/ibadah yang hukumnya boleh-boleh / mubah dan boleh-tidak disukai / makruh)


Pemetaan perbuatan/ibadah ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman terhadap segala perbuatan yang akan kita lakukan.

Dengan tumbuhnya kesadaran sebelum melakukan perbuatan inilah yang merupakan bagian akhlakul karimah atau kesadaran mengingat Allah swt.
Sebagaimana yang telah saya sampaikan bahwa akhlakul karimah adalah kesadaran atau perbuatan/perilaku secara sadar dan mengingat Allah swt.

Dengan pemetaan perbuatan/ibadah ini kita dapat menghindari dari paham sekularisme yang membolehkan perbuatan memperturutkan kepada hawa nafsu atau menghamba kepada hawa nafsu.

Ingat selalu pepatah orang tua kita dahulu, "Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna"

Setiap tindakan atau perbuatan itu hendaknya dipikirkan dahulu baik-baik (mengingat Allah, merujuk kepada petunjukNya) sebelum dikerjakan agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari atau di akhirat kelak.

*******

Memusuhi Dunia Sufi

Mereka Yang Memusuhi Dunia Sufi


Syeikh Abdul Qadir Isa

Sumber:  http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=293%3Amereka-yang-memusuhi-dunia-sufi&catid=83%3Apledoi-sufi&Itemid=301&lang=en

Orang-orang yang menusuk dunia Sufi dalam Islam dan ingin merobohkan bahkan ingin menghancurkan dengan berbagai kedustaan, dengan melemparkannya melalui pandangannya yang sesat terbagi menjadi berbagai kelompok: Ada yang memusuhi karena benci dan dendam pada Islam, ada juga karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf, lalu mereka terkubang dalam kebodohan yang mendustakan.

Kelompok Pertama:
Adalah musuh-musuh Islam dari kaum Zindiq Orientalis dan anthek-antheknya melalui rentetan perang Salib dan aktivitas kolonialisme yang penuh dendam, semata mereka hanya ingin merobohkan benteng-benteng Islam, menghancurkan rambu-rambu utamanya, dan menebarkan racun permusuhan dengan mengembangkan konflik antar barisan Islam.

Mohammad Asad, salah satu orientalis yang masuk Islam telah membuka kedok mereka dalam bukunya, al-Islam fi Muftariqit Thuruq, ketika membicarakan pengaruh perang Salib.

Mereka memiliki semangat besar untuk meneliti Islam dalam rangka mengetahui rahasia kekuatannya, agar mereka tahu dari mana pintu-pintu masuknya, dan dari gerbang mana jalan menuju umat Islam untuk merobohkan dan merekayasa keburukannya. Diantara para orientalis itu, yang paling berpengaruh adalah RA Nicholson dari Inggris, Goldziher Yahudi, Louis Massignon dari Perancis dan lainnya."

Di satu sisi mereka menebar racun dalam madu, dan memuji Islam dalam sebagian buku-bukunya agar menarik respon pembaca. Ketika mulai tertarik, mereka membuat pengaruh pada akidahnya, lalu menebar kebatilan dalam hatinya untuk ditaburkan pada Islam, dengan berbagai dosa dan dusta.
Kadang-kadang mereka membuat rincian akademik yang spesifik, bahkan berjubah keagamaan, lalu mengenalkan Tasawuf sebagai ruhnya Islam. Namun di satu sisi mereka menegaskan bahwa Tasawuf itu sesungguhnya warisan dari Yahudi, Nasrani dan Budha. Mereka membuat keraguan pada pembacanya bahwa Tasawuf adalah pandangan yang telah menyimpang dan sesat, seperti pandangan tentang Hulul dan Ittihad, Wahdatul Wujud, dan Wahdatul Adyan.

Kita tahu, dan kita tidak asing dengan tudingan mereka, karena mereka adalah musuh. Karena demikian watak musuh dan pemakar. Kita tidak perlu lagi merinci hujatan mereka, karena kita sudah mengenal watak para musuh dunia Sufi dengan tujuannya yang begitu kotor.

Namun yang memprihatinkan kita adalah mereka yang mengaku sebagai tokoh Islam, tetapi mereka mengadopsi pandangan-pandangan musuh Islam itu untuk dijadikan pegangan demi menusuk Islam dari dalam, yaitu Ruhul Islam dan Mutiara Islam, yang tidak lain adalah Tasawuf. Apakah dibenarkan bagi seorang muslim yang berakal, mengambil pandangan dari musuh-musuh Islam yang kafir demi menusuk sesama saudaranya yang muslim? Maha Suci Allah, sungguh sebuah kebohongan besar.

Kalau saja para orientalis itu benar-benar membela Islam, benar-benar tulus dalam tesis mereka dengan keinginannya memurnikan Islam dari kotoran, kenapa mereka juga tidak memeluk Islam?
Kenapa mereka tidak menggunakan metode muslim bagi pandangan hidupnya?

Kelompok Kedua:
Adalah mereka yang bodoh terhadap ajaran hakikat Tasawuf Islam, karena mereka tidak mendapatkan bimbingan dari tokoh Sufi yang benar dan dari kalangan Ulamanya yang Ikhlas. Bahkan mereka mengambil analisa tentang tasawuf dengan pandangan yang mengaburkan, jauh dari kejelasan dan fakta.
Mereka ini terbagi-bagi:

  1. Mereka mengambil pandangan Sufi dari kalangan yang mengamalkan tasawuf secara menyimpang yang mengaku sebagai gerakan Tasawuf, tanpa membedakan antara hakikat Tasawuf yang terang dengan peristiwa-peristiwa penyimpangan tasawuf.

  2. Ada kalangan yang terpeleset karena sesuatu yang ditemukan dalam kitab-kitab Tasawuf, sebagai rahasia tersembunyi, lantas menafsirkan menurut selera mereka tanpa adanya pendalaman hakikatnya, bahkan mereka memahami menurut perspektif mereka sendiri, menurut pengetahuan mereka yang terbatas dan dangkal. Tanpa mereka mau merujuk pada wacana dunia Tasawuf yang terang dan jelas yang tidak melanggar syariat. Mereka tidak menerjemahkan melalui pandangan kaum Sufi sendiri terhadap hal-hal yang tersembunyi itu.


Mereka ini semisal orang yang dalam qalbunya ada penyimpangan dan penyakit jiwa, lalu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang Mutasyabihat dengan penafsiran dangkal mereka yang menyimpang, tanpa mereka memahami ayat-ayat Muhkamat (tegas) dan jelas makna dan tujuannya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dialah yang menurunkan kepadamu Kitab, darinya ada ayat-ayat Muhkamat dan disanalah ada Ummul Kitab, dan ayat lain bersifat Mutasyabihat. Sedangkan mereka yang hatinya ada penyimpangan, mereka mengikuti yang kabur dari ayat itu demi menimbulkan fitnah dan meraih rekayasa pemahaman.”

Karena itu agar tidak disalahpahami, sejumlah Ulama Sufi menjelaskan berbagai rahasia Tasawuf dalam kitab-kitabnya, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby dalam kitabnya Al-Futuhatul Makkiyyah dan Ar-Risalah oleh al-Qusyairy.

********************************

Definisi Tasawuf  menurut pendapat Syeikh Abdul Qadir Isa Al-Halabi As-Syazily

"Tasawuf semuanya adalah akhlak, barang siapa yang bertambah akhlaknya maka bertambah pula nilai ketasawufannya

Riwayat tentang  Syeikh Abdul Qadir Isa Al-Halabi As-Syazily

silahkan baca tulisan pada

http://www.darulhasani.com/melayu/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=43

Tulisan terkait dalam blog ini  silahkan baca

Kesalahpahaman tentang Tasawuf
Mengenal Tasawuf
Istilah Tasawuf
Perlunya Tasawuf
Tentang Tasawuf

Wassalam

Rabu, 22 September 2010

Melampaui batas

Berserah diri - Terimalah batas sebagaimana yang telah Allah swt tetapkan.


Masih saja ada umat muslim mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama yakni tentang peringatan maulid Nabi saw.

Perbuatan/ibadah memperingati kejadian pada masa lampau sebagai pelajaran untuk masa akan datang merupakan perbutan/ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan, amal sholeh) atau termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt diamkan/bolehkan namun termasuk pula yang dianjurkan oleh Allah swt sehingga bagi yang melaksanakannya akan mendapatkan kebaikan/pahala sebagaimana firmanNya,

Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad
Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu (QS al Hasyr [59] : 18 )

Bagaimana kita bisa memenuhi anjuran Rasulullah saw agar hari esok kita lebih baik dari hari yang lampau ?

Bagaimana bisa tahu bahwa hari esok kita lebih baik kalau kita tidak mengetahui/memperingati/mengingat hari yang lampau ?

Perbuatan/ibadah memperingati hari kelahiran tidak ada larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Tidak ada satupun fatwa ulama atau ijma ulama yang menyatakan larangan atau pengharaman perbuatan memperingati hari kelahiran seorang muslim atau organisasi muslim atau jama'atul minal muslimin.

Mentaati larangan ulama tanpa dalil dalam Al-Qur'an dan hadits merupakan sebuah sikap melampaui batas (ghuluw) dalam beragama. Inilah yang tanpa disadari menyembah kepada selain Allah swt sebagaimana yang diuraikan berikut
Al-Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal dan haram, kewajiban dan larangan dengan firmannya sebagai berikut: “Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan.” (at-Taubah: 31)

‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu.

Maka jawab Nabi s.a.w.: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Perbuatan/ibadah memperingati hari kelahiran seorang bayi / anak kecil merupakan perbuatan/ibadah ghairu mahdah. Tidak ada satupun ulama yang menetapkan memperingati hari kelahiran sebagai ibadah kewajiban (ibadah mahdah). Perbuatan/ibadah memperingati hari kelahiran sorang bayi / anak kecil merupakan perwujudan rasa syukur atas ketetapan Allah swt, dan penyelenggaraan perayaannya merupakan perwujudan menjaga hubungan silaturahim.

Perbuatan/ibadah memperingati hari kematian, intinya sama saja dengan ziarah kubur yakni mengingat kematian dan menghormati/mengenang/berterima kasih/bersyukur atas jasa-jasa orang yang telah wafat bagi kita yang telah ditinggalkan.

Sekali lagi kami mengingatkan bahwa memperingati hari kelahiran khususnya maulid Nabi saw merupakan perbuatan/ibadah ghairu mahdah. Kita sudah paham perkara baru (bid'ah) dalam ibadah ghairu mahdah adalah bid'ah hasanah atau bid'ah mahmudah karena kita tahu tidak ada larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Bahkan perbuatan/ibadah memperingati masa lampau merupakan sebuah anjuran dari Allah swt. Sehingga bagi mereka yang melaksanakan perbuatan/ibadah yang termasuk perbuatan yang Allah swt diamkan/bolehkan dan termasuk anjuran maka yang melaksanakannya tentu mendapatkan kebaikan / pahala. Perbuatan/ibadah dalam bidang ibadah ghairu mahdah boleh kita tidak mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, Salafush sholeh ataupun ulama-ulama terdahulu.

Kaum Wahabi atau salaf(i) (kita harus selalu bisa membedakan dengan ulama salaf) salah paham tentang ghuluw.

Salah satunya mereka menyikapi hadits berikut

وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ (رواه أحمد)

Rasulullah Saw. bersabda: “Jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw (berlebihan) di dalam agama” (HR. Ahmad).

Mengenai kesalah pahaman tentang ghuluw atas dalil/hadits ini, saya ambil uraian yang jelas dan baik dari saudara kita Abdurrahman At-Tsauri ~ semoga Allah swt meridhoinya ~
Kaum Salafi & Wahabi menggunakan dalil ini untuk menuduh orang-orang yang melakukan amalan Maulid, tahlilan, ziarah wali, dan lain sebagainya sebagai pelaku “ghuluw” (berlebihan) dalam beragama. Sisi “berlebihan” yang mereka maksud di sini sepertinya adalah merasa tidak cukup dengan apa yang dicontohkan formatnya oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, lalu membuat amalan-amalan baru yang –menurut mereka—dimasukkan ke dalam agama. Padahal seharusnya mereka bisa membedakan antara “amalan bernuansa agama” dengan “amalan di dalam agama”.

Kegiatan tersebut adalah sebagai kegiatan positif (amal shaleh) yang mengandung kebaikan dan maslahat bagi orang banyak. Dan dalam mengupayakan kebaikan atau amal shaleh tidak ada kata “berlebihan”, sebab rumusnya di dalam agama,

“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik” (QS. At-Taubah: 120).

Jadi, “semakin banyak kebaikan yang dilakukan, semakin besar pula pahala atau ganjaran yang diberikan”. Orang yang banyak berzikir bahkan setiap waktu, atau orang yang bersedekah setiap hari, atau orang yang banyak melakukan shalat, mereka tidak bisa dikatakan “berlebihan di dalam agama”, sebab semuanya itu diberi pahala sesuai dengan amalannya.

Para ulama hadis menafsirkan kata “ghuluw” (berlebihan) pada hadis di atas dengan makna bersikap keras atau melampaui batas. Konotasinya –sebagaimana konteks hadis itu—adalah bersikap keras dan melampaui batas dalam hal mencari-cari sesuatu di balik perkara agama yang sebenarnya mudah dipahami. Hal ini bisa dipahami dari hubungan ghuluw di dalam hadis tersebut dengan ungkapan “telah binasa orang-orang sebelum kalian”.

Di antara gambaran yang paling umum adalah kasus Bani Israil yang ketika diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mempersulit diri dengan banyak bertanya atau mencari-cari perkara yang sangat mendetail dari sapi itu. Makna seperti ini sesuai dengan riwayat hadis di atas yang berkenaan dengan peristiwa melontar Jamratul-’Aqabah di Mina, saat Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah bin Abbas Ra. untuk mengambilkan batu melontar, yang tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan batu seukuran kerikil atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua jari). Maka Rasulullah Saw. berkata, “Dengan (batu) yang seperti ukuran inilah hendaknya kalian melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw di dalam agama.”

Maka, siapakah yang semestinya lebih pantas dibilang “berlebihan di dalam agama”, apakah para ulama dan umat Islam yang berupaya melakukan kebaikan dan amal shaleh untuk orang banyak; ataukah kaum Salafi & Wahabi yang selalu mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama, kemudian mudah memvonis dan menuduh dengan vonis dan tuduhan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.??!

Perhatikanlah vonis-vonis “berlebihan” yang sering dilontarkan oleh kaum Salafi & Wahabi tentang amalan Maulid, tahlilan, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya, di mana mereka berkata: “Tidak ada pahalanya!”, “sesat!”, “sia-sia”, “musyrik!”, “kafir!”, “masuk neraka!”, “tidak ada dalilnya!”, “menambah-nambahi agama!”, “mengada-ngada!”, “haram!”, “jangan bergaul dengan ahli bid’ah!”, dan lain sebagainya.

Tidak cukup dengan itu semua, mereka juga membuat istilah khusus yang mencibir umat Islam yang senang berziarah kubur para wali dengan sebutan “Quburiyyun”, bahkan lebih tega lagi ketika mereka menyindir umat Islam yang senang memuji dan menyanjung Rasulullah Saw. dengan sebutan “Abdun-Nabi” (hamba Nabi) yang mengesankan bahwa para penyanjung Rasulullah Saw. benar-benar telah menyembah beliau alias melakukan syirik (lihat Tafsir Seper Sepuluh Dari Al-Qur’an Al-Karim, hal. 95, buku ajaran Wahabi yang dibagikan Cuma-Cuma).

Perhatikanlah semua ungkapan itu, apakah Rasulullah Saw. mengajarkan umatnya untuk menghukumi perkara yang tidak jelas larangannya dengan kalimat-kalimat tersebut?

Pembahasan di atas hanyalah satu contoh dari sekian banyak keserampangan di dalam berdalil yang dilakukan oleh kaum Salafi & amp; Wahabi dalam berfatwa tentang bid’ah. Sikap serampangan itu bukan hanya menunjukkan kecerobohan atau kekeliruan pemahaman mereka dalam mencari-cari alasan untuk memvonis dan menghukumi amalan mayoritas umat Islam yang mereka anggap sebagai bid’ah. Bahkan lebih dari itu, mereka tega menggunakan dalil-dalil yang sebenarnya berbicara tentang orang-orang kafir dan musyrik penyembah berhala, mereka berlakukan untuk saudara-saudara mereka yang muslim!!

Sekali lagi saya tegaskan bahwa sebuah larangan atau pengharaman yang telah ditetapkan oleh Allah swt adalah nash muhkamat, selalu jelas dan ada batasnya.

Seperti hadits diatas menjelaskan berlebihan (ghuluw) dalam agama.

Kita sudah paham kalau dikatakan "dalam agama", "urusan kami", "perkara syariat" yang dimaksud adalah ibadah mahdah/ketaatan atau ibadah yang telah Allah swt tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman sedangkan selebihnya adalah perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan atau yang disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan atau amal kebaikan/sholeh.

Berikut uraian lengkap tentang ghuluw yang disampaikan Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani dalam makalahnya pada pertemuan Dialog Nasional kedua di Makkah al Mukarromah
Selengkapnya silahkan baca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/
Definisi ghuluw sebagai suatu tindakan keluar dari batas sedang dan tengah–tengah yang sudah digariskan dan dianjurkan oleh Islam serta sangat ditekankan agar dipegang dengan teguh dan jangan sampai dilepaskan sebagaimana disebut dalam firman Allah:

وَكَذَلِكَ جَعَلْناَكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ …

“Dan demikian (pula) Kami jadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia… “ (Q.S. al Baqoroh: 142)

Dengan pengertian seperti ini, bisa disimpulkan bahwa ghuluw (sikap ekstrem) bukanlah suatu hal baru, tetapi telah sangat lama dan berumur tua sejajar dengan umur manusia.

Perhatikanlah firman Allah yang artinya, “Wahai ahli Kitab, janganlah kalian bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian….” (Q.S. an Nisa’: 171)

Nabi Muhammad ShollAllahu Alaihi Wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ

“Waspadailah oleh kalian tindakan ghuluw dalam beragama sebab sungguh ghuluw dalam beragama telah menghancurkan orang sebelum kalian.”   Ada satu poin penting yang perlu dicamkan dari hadits ini, yaitu fenomena di mana tak ada satu umat pun (yang pernah ada) yang sepi dari kelompok–kelompok yang bertindak ghuluw (al Mughooliin)”.

Jadi, ghuluw merupakan bencana lama yang terbukti menjadi sebab kehancuran banyak umat. Yahudi, misalnya, sejarah menceritakan betapa banyak kisah–kisah seputar kehadiran mereka yang sangat aktif dalam lapangan tindakan ekstrem yang berbentuk aksi teror, kebiadaban, dan keangkuhan yang salah satunya terwujud dalam aksi mendustakan (takdziib), mengintimidasi, dan bahkan membunuh sebagian para nabi.

Al Qur’an telah mencatat dan menyuguhkan aksi–aksi penghinaan tersebut dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan al Kitab (Taurot) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut–turut) sesudah itu dengan rasul –rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruuhul Qudus. Apakah setiap datang kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian angkuh, maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh.“ (Q.S. al Baqarah: 87)

Dalam berakidah, orang Nashrani juga bertindak ghuluw dengan mengangkat Isa bin Maryam alaihissalaam sampai pada tingkat ketuhanan dan mereka pun menyembahnya. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya telah kafirlah orang–orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al Masih putera Maryam’, padahal al Masih sendiri berkata, ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada seorang penolong pun bagi orang–orang zholim itu. Sesungguhnya kafirlah orang–orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’. Padahal, sekali–kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang–orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (Q.S. al Maidah: 72 – 74).

Ekstremisme Nashrani tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya, tetapi menjalar pada keyakinan bahwa para pastur dan pendeta berhak menentukan suatu hukum selain (ketentuan hukum) dari Allah. Lebih jauh lagi, mereka bahkan menyatakan kesanggupan secara total untuk patuh kepada pastur dan pendeta dalam segala hal yang bertentangan dengan syariat dan hukum Allah. Ini semua terdorong oleh ulah para pastur dan pendeta yang menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal atas mereka serta menetapkan hukum dan syariat yang sesuai dengan selera dan hawa nafsu sehingga mereka sangat antusias menerima dan menaatinya.

Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah: 31)

Dalam aspek kehidupan dunia, kaum Nashrani juga memiliki banyak sikap yang termasuk dalam kategori tindakan ghuluw yang di antaranya seperti dijelaskan oleh firman Allah:

…وَرَهْبَانِيَّةَ نِابْتَـدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا …“

…. Dan mereka mengada–adakan rohbaaniyyah. Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada–adakannya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya ….“ (Q.S. al Hadid: 27)

Sungguh bibit tindakan ghuluw dari sebagian orang pernah tampak pada masa Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, tetapi segera dicegah dan dibabat sampai ke akarnya meski bibit itu tidak dalam lapangan Aqidah, melainkan dalam medan ibadah.

Dalam masalah ini, Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam benar–benar meneliti dan melakukan pengawasan ketat serta memberikan pengarahan menuju arah yang benar. Hal itu seperti diceritakan oleh Anas ra bahwa ada tiga orang datang ke rumah–rumah isteri Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam guna meminta informasi tentang ibadah beliau.

Setelah mendapat penjelasan, mereka sepertinya menganggap ibadah Nabi SAW terbilang sedikit. Karena itulah, mereka saling berkata, “Di mana kita (dibandingkan) dengan Nabi SAW yang telah diampuni segala yang telah berlalu dan yang akan berlaku.” Seorang kemudian berkata, “Adapun aku, maka sungguh aku akan terus sholat semalam suntuk selamanya!” Yang lain juga berkata, “Aku akan terus berpuasa selamanya dan tak akan berbuka!” Sementara itu, orang ketiga berkata, “Aku menjauh dari wanita dan tak akan pernah menikah selamanya!” Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam datang lalu bersabda yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”

Pengarahan yang diberikan oleh Rasulullah SAW ini kiranya sama sekali tidak menyisakan alasan apa pun bagi mujtahid untuk berijtihad guna menetapkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat, melarang hal yang tidak dilarang oleh syariat atau memfatwakan suatu produk hukum sesuai dengan selera dan pendapatnya.

Hadits tersebut bukan berarti melarang secara mutlak untuk berijtihad dalam beribadah sebab berijtihad dalam ibadah (seperti dimaklumi) merupakan tuntutan syariat selama berada dalam koridor syariat seperti dijelaskan oleh Allah:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْـنَا لَنَهْدِيَنَّـهُمْ سُبُـلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar–benar beserta orang–orang yang berbuat baik.“ (Q.S. al Ankabuut: 69)

Allah juga berfirman, “Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian serta surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang disiapkan bagi orang–orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imron: 133)

“Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang banyak dan sucikanlah Dia di waktu pagi dan sore hari.” (Q.S. al Ahzaab: 41– 42).

Sungguh hadits tersebut hanya mengajak dan mendorong pada keseimbangan (Muwaazanah) dalam segala tuntutan dan kewajiban. Hal ini (sebagai langkah antisipatif atas) tindakan ekstrem (ghuluw) yang mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.

Ini adalah tindakan ghuluw yang sebenarnya. Karena itulah sikap dan sisi pandang (ittijaah) yang diambil dan dianut oleh para sahabat (yang disebut dalam hadits riwayat Anas ra di atas) tidak diakui dan segera ditangani oleh Nabi SAW dengan memberi penjelasan langsung bahwa sikap dan sisi pandang demikian merupakan bentuk ghuluw.

Selanjutnya Nabi SAW memberikan bimbingan bahwa esensi takut dan takwa kepada Allah bukanlah dengan bersikap ekstrem, terlalu, atau teledor, melainkan dengan sikap yang seimbang terhadap aneka ragam tuntutan (mathoolib).

Atas dasar ini, (bisa dimengerti bahwa tabir) perbedaan antara giat (ijtihad) dalam ibadah dan ghuluw sangat tipis.Sungguh sangat disayangkan, ketika sebagian dari para pelaku kebaikan yang getol memperjuangkan kebaikan justru melakukan kekeliruan dalam menggunakan dan menerapkan istilah ini (ghuluw) atas diri mereka dan orang–orang selain mereka.

Hal itu akan berakibat pada terjadinya keburukan yang luas serta pintu–pintu fitnah besar yang terbuka lebar dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dalam bukunya (Iqoomatul Hujjah alaa Annal Iktsaar fil Ibaadah Laisa bi Bid’ah), Syekh Abul Hasanaat Abdul Hayyi al Lacknawi menjelaskan perbedaan dalam topik penting ini dengan tuntas.

Bahkan, termasuk tindakan yang jelas–jelas bagian dari sikap ekstrem adalah klaim sebagai pelaku bid’ah yang ditumpahkan atas sebagian ulama ahli suluk dan tarbiyah yang memfokuskan diri dalam beribadah.

(Sekali lagi ) saya mengatakan, “Hal ini adalah bagian dari sikap ekstrem!! Laa Haula walaa Quwwata illa Billaah al Aliyyil Azhiim”

Kesimpulannya Ghuluw adalah tindakan melampaui batas, tindakan ekstrem atau tindakan meremehkan.

Kalau kita gambarkan secara diagram,

Titik 0 kita anggap batas yang telah ditetapkan oleh Allah swt

- - - -3 - - - -2 - - - -1 - - - - 0 + + + +1 + + + +2 + + + +3 + + + +

Bergerak kearah -1, -2, -3 dst.  yang dinamakan tindakan meremehkan
Bergerak kearah +1, +2, +3 dst. yang dinamakan tindakan ekstrem

Sikap menerima batas sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah swt merupakan wujud sikap berserah diri.

Sikap ghuluw sebagai tindakan ekstrem adalah dapat kita pelajari dari kaum Khawarij
Sikap ghuluw sebagai tindakan merehmehkan adalah dapat kita pelajari dari kaum Murjiah.
Tentang contoh sikap ghuluw dari kaum Khawarij dan Kaum Murjiah, silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/07/berdalil-atau-berdalih/

Bagi saya berpemahaman bahwa perbuatan/ibadah yang seharusnya ibadah ghairu mahdah dan menganggap sebagai ibadah mahdah adalah termasuk tindakan ekstrem. Oleh karenanya ada sebagian ulama menganggap kaum wahabi atau salaf(i) dapat termasuk neo khawarij. Wallahu a'lam

Bagi saya pribadi, kaum Wahabi atau Salaf(i) bukanlah kaum yang sesat. Kaum Wahabi atau Salaf(i) dengan segala kesalahpahaman-kesalahpahaman mereka dan melakukan perbuatan yang melampaui batas merupakan perbuatan yang melanggar larangan Allah swt sehingga tidak disadari, mereka melakukan perbuatan yang berdosa.

Perbuatan-perbuatan yang berdosa menyebabkan hati menjadi keras.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati.

Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah swt. Inilah yang dinamakan buta mata hati. Sehingga mereka terhalang dari seolah-olah melihat Allah swt.
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/20...melihat-allah/

Tentang buta hati, kita dapat meengingat firman Allah swt yang artinya,

Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)

maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

Jumat, 17 September 2010

Urusan kami

Sungguh tepatlah ketiga kaidah ini

Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)

Segala sesuatu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah

Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya“

atau selengkapnya

"Hukum asal perbuatan / ibadah manusia adalah mubah (boleh) namun jika mereka mengingat Allah, memandang Allah, mengaku sebagai hamba Allah, merujuk kepada petunjukNya (al-Quran dan Hadits) akan berubah hukumnya sesuai petunjukNya yakni bisa berubah menjadi haram (larangan) atau wajib, atau sunnah atau makruh atau syubhat atau pula tetap sebagai mubah".

Kita sudah paham bahwa Allah swt telah menetapkan seluruh kewajiban, larangan dan pengharaman sedangkan selebihnya Allah swt telah diamkan/bolehkan. dan Allah swt tidak lupa. Seluruh yang Allah swt telah tetapkan, sudah dijelaskan, disampaikan oleh Rasulullah saw kepada umatnya, kepada hamba Allah swt. Seluruh kewajiban, seluruh "urusan kami" telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Itulah yang disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan.

Seluruh kewajiban, larangan dan pengharaman atau seluruh syariat bagi hamba Allah swt telah ditetapkan oleh Allah swt dalam Al-Qur'an dan Hadits, selebihnya adalah perbuatan/ibadah yang boleh dilakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya.

Apalagi jika perbuatan/ibadah yang dibolehkan tersebut termasuk perbuatan/ibadah yang dianjurkan maka mereka yang melaksanakan akan mendapatkan kebaikan/pahala.

Seluruh perbuatan/ibadah yang dibolehkan dan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan, sebagai tanda kasih Allah swt pada hambaNya.

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

Oleh karenanya dapat kita pahami kesalah-pahaman ulama/syaikh selama ini dengan kaidah "Hukum asal ibadah adalah bathil/haram/terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkan” karena seluruh yang bathil, yang diharamkan, yang dilarang, telah Allah swt syariatkan, telah Allah swt tetapkan dan telah disampaikan, dijelaskan Rasulullah saw, seluruh kewajiban, seluruh "urusan kami" telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Allah swt tidak lupa !

Tidak ada perkara baru lagi yang termasuk kewajiban, larangan dan pengharaman selain yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Allah swt tidak lupa. Kalau ada fatwa ulama atau ijma ulama tentang kewajiban, larangan atau pengharaman mutlak berlandaskan Al Qur'an dan Hadits artinya kewajiban, larangan dan pengharaman yang dikeluarkan fatwa dan ijma ulama hakikatnya adalah turunan/rujukan dari Al-Qur'an dan Hadits.

Sekali lagi kami ingatkan bahwa tidak diperkenankan melarang/mengharamkan perbuatan/ibadah seorang muslim hanya berdasarkan sebuah kaidah, bukan berdasarkan dalil dalam Al Qur'an dan Hadits. Sebagaimana telah kami uraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/06/pengharaman-ibadah/

Apakah yang dimaksud atau termasuk perkara syari'at ?

Perkara syariat = Perbuatan syariat = Ibadah syariat = Perbuatan / Ibadah yang disyaratkan bagi seluruh muslim / seluruh umat Islam = Perbuatan / Ibadah yang disyaratkan bagi hamba Allah = Perbuatan / Ibadah yang mau tidak mau harus dilaksanakan dan ditaati bagi seluruh muslim = Perbuatan / Ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt yakni berupa kewajiban, larangan dan pengharaman = ibadah mahdah = ibadah ketaatan = syarat yang harus dipenuhi sebagai orang beriman = perbuatan/ibadah yang wajib mengikuti apa yang telah dijelaskan/disampaikan/dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Sedangkan perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan = amal kebaikan = amal sholeh = ibadah ghairu mahdah = perbuatan/ibadah kebaikan = perbuatan/ibadah yang tidak disyaratkan atau tidak dikerjakan tidaklah berdosa = perbuatan/ibadah yang dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw namun boleh dikerjakan sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits.

Dapat kita simpulkan bahwa perkara syari'at hanyalah untuk ibadah mahdah sedangkan ibadah ghairu mahdah adalah perkara amal sholeh = amal kebaikan = ibadah kebaikan

Jika kita melaksanakan perkara syari'at (memenuhi syarat sebagai orang beriman) + perkara amal sholeh maka sesuai janji Allah swt, kita akan dimasukkan kedalam surga tanpa di hisab atau tanpa dianiaya walau sedikitpun,

Janji Allah swt dalam firmanNya yang artinya.

….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab. (QS Al Mu’min [40]:40 )

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124

Orang dalam keadaan beriman atau orang yang beriman adalah orang dalam ketaatan atau orang yang melaksanakan ibadah mahdah (ibadah ketaatan), orang yang memenuhi syarat sebagai orang beriman atau mukmin.

Orang mengerjakan amal yang shaleh atau amal-amal shaleh adalah orang yang mengerjakan kebaikan atau orang melaksanakan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), orang yang sholeh atau muslim sholeh atau muhsin atau muhsinin atau muslim yang ihsan atau muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah swt atau minimal muslim yang yakin bahwa Allah swt melihat segala perbuatan/perilakunya.

Begitu menariknya janji Allah swt itu, sehingga membuat kami kukuh untuk menyampaikan kaidah-kaidah yang telah kami kaji dan berlandaskan Al-Qur'an dan hadits dan kukuh pula untuk menyampaikan kesalah-pahaman kesalahpahaman berdasarkan apa yang kami kaji dalam Al-Qur'an dan Hadits. Mohon maaf sebesar-besarnya, jika dalam penyampaian kami, ada yang kurang berkenan.

Sedangkan salah satu kaidah yang telah saya sampaikan bahwa
Segala sesuatu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“ merupakan kaidah untuk ibadah mahdah / ibadah ketaatan.

maknanya adalah

"Segala sesuatu (perbuatan/ibadah) tidak boleh dianggap kewajiban, larangan atau pengharaman selain apa yang Allah swt telah tetapkan".

Kaidah ini sesuai dengan hadits,

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

Sekali lagi kami mengingatkan bahwa fatwa ulama atau ijma ulama tentang kewajiban, larangan dan pengharaman wajib/mutlak berlandaskan Al-Qur'an dan Hadits.

Sedangkan kaidah “Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)” , hakikatnya adalah bagian dari kaidah "Segala sesuatu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“.

Kaidah "Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)” saya sampaikan untuk menegaskan dan mengingatkan baik diri saya sendiri maupun lainnya bahwa kita tidak boleh melarang perbuatan/ibadah seorang muslim tanpa dalil dalam Al-Qur'an dan Hadits atau kita tidak boleh menganggap perbuatan/ibadah seorang muslim sebuah kesesatan tanpa dalil dalam Al-Qur'an dan Hadits.

Perlu kami sampaikan dasar atau alasan perubahan kaidah yang telah kami sampaikan pada awalnya,
Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya", adalah karena timbul pertanyaan, bagaimana kalau ada yang merasa lebih baik kalau sholat subuhnya empat rakaat bukankah tidak ada larangan ? Pertanyaan ini pada dasarnya merupakan pengujian kaidah.
Ketika itu saya jawab , larangan hakikatnya berbeda dengan melarangnya. Melarangnya bisa termasuk pula pengaturan yakni kewajiban, larangan dan pengharaman. Namun apa yang saya pahami belum tentu dapat diterima oleh orang lain dan juga meninggat akan timbulnya kesalahpahaman maka kami ubah kaidahnya menjadi
Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya
Mengaturnya = syariat = yang telah Allah swt tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman.

Sehingga akan tercegahlah kemungkinan ibadah baru seperti sholat subuh 4 rakaat, karena sudah ada dalil/hujjah yang mengaturnya. Begitu pula akan tercegah kemungkinan timbulnya segala ibadah-ibadah baru dalam bentuk kewajiban, larangan dan pengharaman karena sudah ada dalil/hujjah yang mengaturnya.

Sekali lagi saya sampaikan kesalahpahaman kaidah "Hukum asal ibadah adalah bathil/haram/terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkan” karena kita sudah paham bahwa ada perbuatan/ibadah yang pada asalnya, pada awalnya memang telah Allah swt telah diamkan/bolehkan.

Adakah dalil/hujjah yang menjelaskan bahwa perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan, pada asalnya, pada awalnya adalah bathil/haram/terlarang ?

Juga kita paham bahwa perbuatan/ibadah mahdah, pada asalnya, pada awalnya bukanlah bathil/haram/terlarang namun hakikatnya pada awalnya, pada asalnya adalah mubah(boleh) dan kemudian ditetapkan oleh Allah swt dalam berupa kewajiban, larangan dan pengharaman sampai pada hari yang Allah swt katakan sebagai "hari ini telah Kusempurnakan".

Sebagaimana firman Allah swt yang artinya
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu". (QS Al Maaidah [5]:3 )

Hakikat bahwa pada asalnya atau pada awalnya adalah mubah (boleh) berlandaskan kejadian pada asalnya/awalnya yakni pada masa Nabi Adam as sebagaimana firman Allah swt yang artinya

"(Dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim." (QS Al A'raaf [7]:19 )
Pada awalnya, pada asalnya  Nabi Adam as dan istrinya dibolehkan untuk tinggal di surga dan Allah swt membolehkan makan makanan yang tersedia kecuali suatu larangan.

Kemudian kaidah tsb berlaku pula ketika manusia pada awalnya dibolehkan untuk memilih masuk agama Islam atau tidak , artinya tanpa paksaan namun pada hakekatnya ada sebuah larangan untuk tidak menyekutukan Allah swt.

Sebagaimana bisa kita pahami kebolehan/tidak ada paksaan pada firman Allah swt yang artinya
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat" (QS Al Baqarah [2]: 256)

"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Q.S. Asy-syams: 8-10)

Hanya kepada Allah sujud (tunduk) siapapun yang berada di langit dan di bumi secara patuh dan terpaksa". (QS Ar-Rad [13]:15 ).

"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi". (QS Az Zumar [39]:65 )

"Sesungguhnya Allah mela'nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka)" (QS Al Ahzab [33]:64 )

"Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka." (QS al Maaidah [5]: 10 )

"Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka". (QS Ibrahim [14]:30 )

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami penuhi balasan pekerjaan-pekerjaannya di dunia dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun. Tetapi di akhirat tidak ada bagi mereka bagian selain neraka. Dan sia-sialah apa-apa yang mereka perbuat di dunia dan batallah apa-apa yang mereka amalkan”. (QS. Hud : 15-16)


Intinya, pada dasarnya, pada asalnya, pada awalnya seluruh perbuatan/ibadah adalah mubah(boleh) atau memilih, namun yang ada pada hakekatnya ada larangan yang ditetapkan Allah swt yakni untuk tidak menyekutukan Nya.

Manusia diberikan pilihan oleh Allah swt jalan kefasikan dan jalan ketakwaan. Jika manusia memilih jalan kefasikan (beribadah kepada selain Allah swt) maka mereka mengerjakan larangan Allah swt yakni kafir (menyekutukan Allah swt) maka mereka akan menempati neraka di akhirat kelak.

Akibat kesalahpahaman sebuah kaidah tentang ibadah

Disebabkan oleh kaidah “Hukum asal ibadah adalah bathil/haram/terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkan” , kaum wahabi atau salaf(i) dan sebagian ulama lainnya menganggap seluruh perbuatan/ibadah seorang muslim wajib mengikuti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Salafush Sholeh sehingga kerap kali mereka bertanya, "Apakah perbuatan/ibadah itu pernah dikerjakan Rasulullah saw dan Salafush sholeh ?"

Pada akhirnya mereka melarang segala perbuatan/ibadah yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw atau Salafush Sholeh atau ulama-ulama terdahulu (ulama salaf). Sehingga secara tidak disadari mereka telah melarang perbuatan/ibadah seorang muslim hanya bersandarkan pada sebuah kaidah yang sesungguhnya tidak mempunyai dalil dalam Al-Qur'an dan hadits.

Bahkan gara-gara kaidah tersebut mereka salah memahami tentang bid'ah sehingga secara tidak disadari mereka keliru menjuluki saudara-saudara muslim lainnya sebagai ahli bid'ah. Mereka tidak dapat membedakan perkara baru (bid'ah) dalam ibadah mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), dikarenakan mereka salah paham kaidah tentang ibadah.

Sebagian dari mereka bahkan mensesatkan suadara muslim lainnya berdasarkan kesalah-pahaman tentang bid'ah, yang sesungguhnya perbuatan mensesatkan itu lebih mendekati perbuatan pentakfiran. Kerap kali mereka yang mensesatkan, "menggunakan" firman Allah swt untuk "menilai" atau "menghukum" saudara muslim lainnya salah satunya yang artinya,
"Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus" (QS Al An'aam [6]:39 )
atau
"Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan". (QS Al A'raaf [7]:186 )

Untuk itulah kami bersikukuh untuk menyampaikan segala kesalah-pahaman yang telah terjadi, sekali lagi kami mohon maaf, jika ada yang kurang berkenan dalam hal penyampaian.

Ikutilah jalan/manhaj/tarekat yang berupaya agar  masuk surga tanpa hisab.

"..Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu" (QS Al Maaidah [5]:48)

"dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa". (QS Al An'aam [6]:153 )

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan".(QS Al Maaidah [5]:35 )

"Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". (QS An Nisaa' [4]:26 )

Jalan/manhaj/tarekat agar kita masuk surga tanpa hisab atau tanpa dianiaya walau sedikitpun adalah mengikuti apa yang telah diajarkan oleh malaikat Jibril dan telah disampaikan oleh Rasulullah saw,  memahami dan melaksanakan keseluruhan pokok ajaran Islam yakni tentang Islam (rukun Islam/fikih), tentang Iman (rukun iman/ushuluddin) dan tentang Ihsan (akhlak/tasawuf).

Janji Allah swt dalam firmanNya yang artinya.

….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab. (QS Al Mu’min [40]:40 )

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124

Jadilah Muslim Sholeh sebagaimana Rasulullah saw dan Salafush Sholeh.

Allah SWT telah menyatakan tentang keluhuran akhlak Rasulullah, sebagaimana diterangkan dalam surat al-Qolam : 4 “wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim” (dan sungguh kamu benar-benar berbudi pekerti yang Agung).

Di antara keistimewaan Nabi Muhammad saw adalah keberadaannya sebagai manusia yang memiliki akhlak tinggi, mulia dan agung. Akhlak ini dimiliki beliau saw semenjak belum menjadi nabi dan rasul, sebagaimana pernyataan Ummul Mukminin Khadijah ra, “Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, demi Allah, engkau menyambung hubungan silaturrahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, membantu yang tidak berpunya, menyuguhkan penghormatan untuk tamu dan membantu mereka yang terkena musibah.” (HR Bukhari)

Suatu ketika ‘Aisyah, istri Rasulullah ditanya oleh sahabat beliau tentang akhlak Rasulullah. ‘Aisyah menjawab: “Kaana khuluquhul quran” (akhlak beliau adalah ajaran-ajaran Al-Quran). Jadi Rasulullah SAW adalah teladan manusia Qur’any. Kalau kita ingin melihat Al-Qur’an hidup, Al-Qur’an berjalan adalah pada diri Rasulullah SAW.

Rasulullah saw pernah bersabda, “Kebajikan itu adalah akhlak yang baik” (HR Muslim).

Rasulullah saw diutus untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabda Rasulullah, “Aku tidak diutus oleh Allah swt kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR Malik).

Rasulullah saw bersabda, “Orang-orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan manusia yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi)

Rasulullah saw bersabda, “Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga adalah ketaqwaan kepada Allah swt dan akhlak yang baik, sementara yang paling banyak menyebabkan manusia masuk neraka adalah mulut dan kemaluan.” (hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Muslim yang sholeh adalah muslim yang ihsan atau muhsinin, muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah swt atau muslim yang dapat melihat Allah swt dengan hati (bashirah) atau minimal muslim yang yakin bahwa Allah swt melihat seluruh perbuatan/perilaku.

Muslim yang sholeh adalah muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang mempunyai kesadaran atau berbuat dan berperilaku secara sadar dan selalu mengingat Allah swt.

Jika kita menjadi muslim sholeh maka kita akan selalu didoakan oleh seluruh umat muslim sepanjang masa.

Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
"Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh".

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

Kesalahpahaman Bid’ah

Kesalahpahaman tentang bid’ah


Kesalahpahaman yang satu ini telah membawa malapetaka berkelanjutan bagi dunia Islam. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sunnah & bid’ah yang selalu dibahas oleh kaum Wahabi atau Salaf(i)  adalah pembahasan lama yang sudah tuntas dijelaskan oleh para ulama sejak masa salaf dan seterusnya di dalam kitab-kitab mereka.  Para ulama itu seolah sudah menghidangkannya untuk umat dalam bentuk “makanan siap saji” yang dapat langsung diikuti atau diamalkan. Bahkan perbedaan pendapat dalam urusan furu’ (cabang) sekalipun sudah selesai dibahas dengan hasil sangat memuaskan diiringi rasa solidaritas serta saling menghormati antara yang satu dengan yang lain.

Singkatnya, apa yang disampaikan para imam 4 mazhab dalam pembahasan perkara syariat yakni apa yang telah Allah swt tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman, merupakan hasil ijtihad yang sangat maksimal dalam mengkaji seluruh dalil-dalil agama. Itu adalah hadiah yang sangat berharga bagi seluruh umat Islam, terlebih lagi umat belakangan yang bila disuruh mengkaji sendiri dalil-dalil tersebut maka tidak mungkin dapat mencapai hasil yang sama. Mengapa tidak mungkin, apakah pintu ijtihad telah tertutup? Pintu ijtihad memang belum tertutup, tetapi kemampuan dan kriteria berijtihad itulah yang sulit dipenuhi oleh orang belakangan.  Syarat orang  berijtihad atau mujtahid, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/31/imam-mujtahid/

Apa yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam dakwahnya yang mengajak umat untuk langsung kembali kepada al-Qur’an & Sunnah Rasulullah Saw., apalagi dengan pemahaman secara tekstual, harfiah,  tersurat  terhadap ayat-ayat atau hadis-hadis tersebut, adalah bagaikan mengurai kembali benang yang sudah selesai disulam. Artinya, semua itu sudah dikerjakan oleh para ulama terdahulu, dan kesimpulan-kesimpulan hukum dari proses panjang yang rumit dalam mengkaji dalil dengan menggunakan metodologi yang maksimal sudah dihasilkan. Mengapa justru umat yang seharusnya tidak perlu bersusah payah melakukan hal yang sama (apalagi tanpa kemampuan yang dimiliki para ulama tersebut) dan tinggal memanfaatkan pembahasan para ulama itu malah diajak oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menggali lagi dasar-dasar agama tersebut.

Sebagai  contoh bagaimana memahami hadits berikut,

Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah menerangkan sbb: “Jauhilah olehmu sesuatu yang diada-adakan karena yang diada-adakan itu bid’ah dan sekalian bid’ah adalah dholalah (sesat)

Hadits ini diterangkan oleh hadits yang lain seperti

Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)

Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah azza wajalla telah menyatakan: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)

Kedua hadits itu menjelaskan bid’ah dholalah yang dimaksud adalah bid’ah dalam urusan kami atau bid’ah di dalam Islam.

Hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, adalah masih dapat menerima pengecualian, karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah, sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian. Untuk itulah dijelaskan oleh hadits yang lain dengan istilah “di dalam Islam”  atau “urusan kami”.

Arti kata-kata “kebid’ahan di dalam Islam” , “dalam urusan kami”  ialah kebid’ahan dalam hal yang telah ditetapkan oleh Allah swt yakni berupa kewajiban, larangan dan pengharaman atau disebut ibadah mahdah (ibadah ketaatan),  Ibadah yang mau tidak mau harus dilaksanakan dan ditaati bagi seluruh muslim, perkara syariat,  Ibadah yang disyaratkan bagi seluruh  umat Islam, ibadah yang wajib mengikuti apa yang telah dijelaskan/disampaikan/dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Sedangkan kebid’ahan dalam hal perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan tentu dibolehkan. Logikanya segala sesuatu yang Allah swt telah diamkan/bolehkan tentu juga perkara baru, bid’ah, inovasi, kreatifitas dibolehkan asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan, sebagian adalah termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt anjurkan sehingga bagi muslim yang melaksanakaannya akan mendapatkan kebaikan/pahala.

Perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan dinamakan ibadah ghairu mahdah, ibadah kebaikan, amal kebaikan,  amal sholeh,  perbuatan/ibadah yang tidak disyaratkan atau tidak dikerjakan tidaklah berdosa,  perbuatan/ibadah yang dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw namun boleh dikerjakan sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kebid’ahan dalam ibadah ghairu mahdah disebut bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

Rujukan Bid’ah dalam bidang ibadah ghairu mahdah

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:

Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)

Perhatikan perkataan Rasulullah saw, “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik” maknanya adalah bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah

Pendapat Imam Syafi’i –semoga Allah meridlainya-

Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)

Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)"

Perhatikan perkataan Imam Syafii ra “apa yang baru terjadi dari kebaikan”  maknanya adalah  bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah.

Contoh ibadah ghairu mahdah , berdoa dan bersholawat

Berdoa dan bersholawat bukanlah ibadah mahdah atau  ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt sebagai kewajiban atau ibadah yang tidak wajib artinya jika ditinggalkan tidaklah berdosa.

Berdoa dan bersholawat adalah termasuk ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan atau ibadah ghairu mahdah namun termasuk pula ibadah yang dianjurkan sehingga bagi yang mengerjakan akan mendapatkan kebaikan / pahala.

Oleh karenanya berdoa dan bersholawat dapat dikerjakan sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan memperhatikan adab berdoa dan bersholawat.

Kita boleh berdoa menggunakan bahasa Indonesia namun dianjurkan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Kita boleh bersholawat sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri atau berdasarkan keinginan kita mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah saw namun dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw seperti sholawat ibrahimiyah.  Bacaan sholawat dalam bahasa kita yang sering diucapkan adalah “Salam dan Sholawat atas junjungan kita Nabi Muhammad Saw”.  Contoh sholawat lain yang diucapkan oleh Imam Syafi’i  ra yang artinya “Ya Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Muhammad, selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu

Dari kesalahpahaman tentang bid’ah kaum wahabi atau salaf(i) secara tidak disadari, mereka dapat keliru menjuluki saudara-saudara muslim lainnya sebagai ahli bid’ah karena mereka tidak dapat dengan baik membedakan perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan)

Sebagian dari mereka bahkan mensesatkan suadara muslim lainnya berdasarkan kesalahpahaman tentang bid’ah, yang sesungguhnya perbuatan mensesatkan itu lebih mendekati perbuatan pentakfiran.

Pen-takfir-an secara gegabah tersebut tidak hanya berdampak negatif bagi yang tertuduh, namun juga bagi dirinya sendiri. Maka siapapun dari kalangan Muslim dilarang memvonis kafir kepada siapapun sebelum ada bukti nyata yang mengarah terhadap perbuatan kafir secara konkrit (qoth’iy). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ ِلأَخِيْهِ يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Apabila ada seseorang berkata kepada saudaranya (sesama muslim), “Hai kafir !“, maka sungguh di antara keduanya itu pulang dengan membawa predikat (kafir) tersebut.“ (HR. Bukhari dari Abu Hurairah RA).

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW adalah suri tauladan bagi kita dalam menyerukan keimanan yang benar dan lurus. Beliau tidak pernah menggunakan takfir kepada para sahabat beliau. Bahkan disebutkan dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, beliau amat marah terhadap sahabat Usamah RA. lantaran ia bertindak gegabah membunuh seorang kafir yang telah bersyahadat yang dikala itu ia sedang terdesak dalam sebuah peperangan. Sahabat Usamah RA sempat memberikan alasan kepada Rasulullah mengapa ia tetap membunuhnya meski telah mengucapkan kalimah syahadat. Besar kemungkinan orang kafir tersebut bersyahadat karena takut di bunuh. Maka apa jawab Nabi Saw. ?
“Halla syaqogta qolbuhu?” Artinya, Apakah engkau telah membelah hatinya, sehingga engkau mengerti kalau ia bersayahadat karana takut kau bunuh?

Dari hadis ini semakin jelas kiranya bahwa sebaik apapun niat dan tujuan kita dalam melaksanakan kebaikan, harus menghindari cara-cara yang mendeskriditkan (menyudutkan) orang lain dengan takfir atau semisalnya. Karena hal itu sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam, sebelum ada bukti nyata bahwa ia benar-benar telah kafir.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

Kamis, 16 September 2010

Syariat bukanlah beban

Bagi kami yang mendalami tasawuf (tentang akhlakul karimah), perkara sya'riat bukanlah beban (taklif)



Perkara syariat = Perbuatan syariat = Ibadah syariat = Perbuatan / Ibadah yang disyaratkan bagi seluruh muslim / seluruh umat Islam = Perbuatan / Ibadah yang disyaratkan bagi hamba Allah = Perbuatan / Ibadah yang mau tidak mau harus dilaksanakan dan ditaati bagi seluruh muslim = Perbuatan / Ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt yakni berupa kewajiban, larangan dan pengharaman = ibadah mahdah = ibadah ketaatan = syarat yang harus dipenuhi sebagai orang beriman = perbuatan/ibadah yang wajib mengikuti apa yang telah dijelaskan/disampaikan/dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Bagi kami, perkara syaria't
atau ibadah mahdah atau ibadah ketaatan atau ibadah yang disyaratkan Allah swt bagi kami sebagai hamba Allah swt merupakan sebuah kesenangan/kesukaan karena kami paham bahwa ibadah mahdah merupakan "makanan"/kebutuhan ruhNya dan kami melakukan ibadah mahdah sebagai wujud bersyukur kepada Allah swt, sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah saw.

Dari Anas Ra, Rasulullah saw berkata "....kesenanganku dijadikan dalam shalat"

Rasulullah saw sangat menikmati ibadah, bahkan beliau pernah berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. 'Aisyah pernah bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?" Beliau menjawab: "afala akuuna ‘abadan syakuuraa"
"Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?"

Oleh karenanya wajarlah bagi saudara-saudaraku yang berpemahaman secara dzahir, lahiriah atau tekstual menyatakan sesat bagi kami yang mendalami tasawuf yang berkata "Bagi kami yang mendalami tasawuf maka hilanglah beban syari'at"

Padahal hikmah (pemahaman yang dalam) dari pernyataan tersebut adalah hilanglah beban syariat berganti dengan kesenangan/kesukaan akan syari'at.

Kami juga mengakui ada mereka yang mengaku-aku mendalami tasawuf telah sesat karena mereka benar-benar meninggalkan perkara sya'riat.

Tulisan  ini kami buat, agar saudara-saudaraku kaum wahabi atau salaf(i), dapat belajar memahami orang lain dan tidak menilai/menghukum orang lain berdasarkan pemahaman sendiri apalagi mengatakan/mengakui bahwa apa yang dipahami adalah sebagaimana/serupa pemahaman Salafush sholeh.

Apakah mereka meyakini bahwa para Salafush Sholeh berpahaman dzahir, tekstual, harfiah atau tersurat?
Apakah mereka meyakini bahwa para Salafush Sholeh tidak mendapatkan karunia dari Allah swt berupa pemahaman yang dalam (al hikmah) ?

"(Ibrahim berdo'a): "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh" (QS asy Syu'ara' [26]: 83 )

"Demi Al Quraan yang penuh hikmah" (QS Yaasiin [36]: 2 )

"Dan sesungguhnya Al Qur'an itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah" (QS Zukhruf [43]: 4 )

"Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)". (QS Al Baqarah [2]:269 )

Begitu juga ketika mereka (yang berpahaman dzahir,lahiriah, tekstual, tersurat) memahami perkataan orang-orang yang mendalami tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka

Maka mereka memahami bahwa orang-orang yang mendalami tasawuf membatasi ibadah hanya pada aspek al-mahabbah (kecintaan) saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek al-khauf (rasa takut) dan ar-raja` (pengharapan).

Padahal maksud pernyataan orang-orang yang mendalami tasawuf bahwa perkara sya'riat, kewajiban, larangan dan pengharaman adalah sebuah bentuk kecintaan (ke Maha Pemurahan dan ke Maha Penyayangan) dari Allah swt kepada hambaNya.

Kalau kita ambil pelajaran dari kehidupan seorang anak. Seorang anak dilarang oleh orang tuanya untuk menaiki dan berjalan di sebuah tembok yang tinggi.

Anak pada umumnya akan mengikuti larangan orangtuanya karena
mengerti perintah larangan orang tua itu secara harfiah atau
aspek rasa takut pada (hukum jika melanggar larangan) orangtuanya atau
mengetahui akibat jika larangan itu dilanggar.

Namun bagi anak yang telah “mengenal” orangtuanya, dia akan mengikuti larangan orang tuanya, karena dia paham bahwa orang tuanya melarangnya merupakan wujud rasa sayang orang tua kepadanya. Jadi anak itu ikhlas mengikuti larangan orangtuanya tanpa peduli dengan akibat jika larangan itu dilanggar.

Anak yang “mengenal” orangtua itu adalah ibarat murid Tasawuf “mengenal” Allah swt atau pada kalangan ahli Tasawuf dikenal dengan istilah ma’rifatullah.

Sungguh kita menjalankan kewajiban, menjauhi larangan dan mentaati pengharaman-Nya, hakikatnya adalah bagi kebaikan/keperluan kita sendiri.

Apapun perbuatan/ibadah yang kita lakukan sesungguhnya bukan untuk keperluan Allah swt namun semata-semata untuk kebaikan/keperluan kita sendiri.

"Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji" (QS Al Faathir [35]:15 )

"...maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam" (QS Al Imran [3]:97 )

"...Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia" (QS An Naml [27]:40 ).

"Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam".(QS Al Ankabut [29]:6 )

"Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (QS Luqman [31]:12 )

"Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul mereka membawa keterangan-keterangan lalu mereka berkata: "Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?" lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS at Taghaabun [64]:6 )

Kita  dapat meyakini adanya sisi bathiniyah dalam Al-Qur'an dan kita juga harus taat dan menerima apapun yang difirmankan oleh Allah swt. Juga kita paham bahwa sisi bathiniyah adalah semata-mata karunia Allah swt yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.

Sangat disayangkan sebagian saudara-saudara kita masih belum dapat meyakini adanya sisi bathiniyah dalam Al-Qur'an karena mereka secara tidak sadar hanya meyakini sebagian dari firman-firman Allah swt sebagai contoh yang artinya
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”.(QS Yusuf [12]:2 ).
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui.”. (QS Fushshilat [41]:3 ).

Bagi mereka cukup dengan kemampuan berbahasa Arab, mereka yakin dapat memahami Al-Qur'an secara keseluruhan tanpa pertolongan Allah swt dalam bentuk karunia hikmah.

Hal yang saya sangat sayangkan adalah saudara-saudara kita kaum wahabi atau salaf(i) di kerajaan Arab Saudi telah mengklaim bahwa orang-orang yang mendalami / kaum Tasawuf adalah syirik dan telah keluar dari agama.

Pentakfiran terhadap saudara-saudara muslim yang mendalami tasawuf dilakukan mereka secara sadar dan masih berlangsung sampai saat ini.

Hal ini tercantum dalam kurikulum pembelajaran pada sekolah-sekolah mereka sebagaiman yang disampaikan Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani dalam makalahnya pada pertemuan Dialog Nasional kedua di Makkah al Mukarromah
Selengkapnya silahkan baca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/



Pembagian Klaim Syirik & Kufur kepada Kelompok–Kelompok Islam dalam Kurikulum Pembelajaran, dalam pertemuan dan kesempatan yang baik ini, saya ingin mengingatkan kepada Anda sekalian tentang sebagian kurikulum sekolah, khususnya materi tauhid.

Dalam materi tersebut terdapat pengafiran, tuduhan syirik dan sesat terhadap kelompok-kelompok Islam sebagaimana dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiy (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah yang berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari agama.

Materi kurikulum tersebut menjadikan sebagian pengajar terus memperdalam luka dan memperlebar wilayah perselisihan. Padahal, 3/4 penduduk muslim seluruh dunia adalah Shuufiyyah dan seluruhnya terikat dan meramaikan padepokan (zaawiyah) mereka dengan tashowwuf.

Bahkan, harus dimengerti bahwa zawiyah–zawiyah tersebut memiliki jasa besar dalam memerangi penjajahan, membela negara, menyebarkan agama, dan memberikan pengajaran kepada kaum muslimin. Inilah sikap dan perilaku zawiyah Sanusiyyah, Idrisiyyah, Tijaaniyyah, Qoodiriyyah, Rifaa’iyyah, Syadziliyyah, Mahdiyyah, Naqsyabandiyyah, dan Marghoniyyah.

Sejarah yang objektif dan terpercaya mengakui akan hal ini. Sementara itu, generasi berikut dari para imam thoriqot tersebut seperti Syekh Umar al Mukhtar, Syekh Abdul Qodir al Jazairi, al Imam al Mahdi, Syekh Umar al Fauti at Tiijani, Syekh Utsman bin Faudi al Qodiri juga mempunyai jasa–jasa yang perlu dihargai dalam berjihad di jalan Allah. Para imam tersebut melayani agama dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan untuk memerangi kebodohan dan tindakan bid’ah.

Adapun (lebih jauh lagi) para imam tashowwuf pendahulu mereka yang terkenal dalam abad–abad terdahulu seperti Imam Rifai, Imam al Badawi, Imam Syadzili, dan para imam lain setingkat mereka serta para imam dari generasi tabi’in dan para pengikutnya dari para ahli Hilyah, Shofwah, Risalah dan Madarijis saalikin. Usaha dan jihad mereka semua di jalan Allah merupakan suatu hal yang banyak memenuhi sejarah dan telah banyak dikisahkan oleh buku–buku biografi (Manaaqib/Taroojim).

Meskipun begitu, kita tidak mengatakan mereka ma’shum sebab setiap kita dan mereka (adalah sama,) diambil dan juga ditolak. Ijtihad yang mereka lakukan juga berputar antara daerah kebenaran dan kesalahan, diterima dan dibantah.

Kendati begitu, kita semua tidak ingin mereka dihujat dengan tuduhan keluar dari Islam, kafir, syirik, dan fanatik dalam bermadzhab.

Saya ingin bertanya kepada Saudara–Saudara yang berijtihad dalam menetapkan hukum dan klaim–klaim tersebut, dalam hitungan mereka berapa banyak mereka akan kehilangan saudara sesama kaum muslimin?

Dengan hukum mereka yang menyimpang, berapa banyak tali silaturrahim dan persaudaraan Islam yang akan mereka putuskan di antara ratusan juta kaum muslimin yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah?

Karena itulah, marilah kembali meninjau perhitungan kita bersama saudara–saudara kita!

Tiga Pembagian Tauhid sebagai Faktor Dominan

Di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajaran tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi tiga bagian:

1) Tauhid Rububiyyah,

2) Tauhid Uluhiyyah,

3) Tauhid Asma’ was Shifaat.

(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa sahabat, tabi’in maupun tabi’it taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.

Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid.

Selanjutnya taqsiim ini juga akan senantiasa menjadi sarana yang mudah didapat untuk terus mengeluarkan klaim–klaim dan keputusan seenaknya tanpa didasari pemikiran dan perenungan.

Taqsiim ini, terlepas dari penelitian apakah memiliki dasar dalam aqidah Islaamiyyah atau tidak, yang jelas dan sangat disayangkan kini telah menjadi dasar kuat (dan alat) untuk mengafirkan banyak kelompok Islam. Andai saja yang menjadi korban dari taqsiim ini hanya sebagian orang, tentu bencana sangat ringan dan mudah diatasi.

Akan tetapi, musibah ini ternyata menimpa mayoritas umat: ulama dan awam, pemikir, juga para sastrawan. (Dengan demikian), pada hakikatnya taqsiim ini merupakan goresan yang memotong tali hubungan di antara umat Islam.

Jika kita berniat membersihkan Makkah Madinah –dengan standar pendapat mereka– dari orang–orang yang dicurigai sebagai pemilik kesyirikan, penyembah para wali, pengagum Ahlul Bait, dan pengikut pemahaman umum dalam sifat–sifat-Nya, tentu akan terjadi penolakan terhadap banyak jamaah haji dan para peziarah.

Para jamaah haji dan para peziarah tersebut, dalam musim–musim agama, berasal dari berbagai kelompok umat Islam yang seluruhnya mendapat sambutan dan pelayanan dari pemerintah serta kebebasan menjalankan apapun sesuai dengan prinsip (madzhab) mereka yang sedikitpun tidak bertentangan dengan syariat Islam.

(Sungguh, betapapun perbedaan itu ada), tetapi hanya berputar dalam masalah khilaafiyyah, hal di luar yang sudah disepakati bersama (ijma’) seperti halnya para pelaku kesalahan dan pelanggaran syariat. Para ulama tidak pernah sepakat (berijma’) mengafirkan para pelakunya, karena termasuk dalam firman-Nya:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“ Sesungguhnya Allah tidak mengampuni apabila Dia disekutukan dan Dia memberikan ampunan kepada selain itu kepada orang yang Dia kehendaki.” (QS an Nisa’: 48)

Telah kami jelaskan di awal sambutan bahwa semua pihak dituntut untuk melakukan penjernihan (tashfiyah), pembersihan (tanqiyah), saling mengingatkan, mengoreksi, dan dengar pendapat (murooja’ah), berusaha saling memahami (mufaahamah), dan mengadakan dialog (muhaawaroh) dengan memegang satu prinsip, “

Sesungguhnya setiap jalan pemikiran ilmiah dalam agama, cabang–cabang, dan rinciannya yang masuk dalam medan ijtihad harus mau dikoreksi untuk perbaikan, pergantian, dan perubahan. Pemiliknya tidak boleh meyakini cabang dan rincian tersebut sebagai suatu masalah pasti yang wajib diterima dan dihormati seperti dua dasar pokok, yaitu al Qur’an dan al Hadits.”

Jika semua pihak memegang prinsip ini, niscaya semuanya bisa bertemu, saling mendekat, menerima alasan orang lain, dan saling memaafkan satu sama lain. Sudah barang tentu, ini merupakan pondasi langkah–langkah pertama untuk membangun persatuan Islam yang diinginkan dan didambakan serta menjadi keinginan kuat setiap muslim. Kendati begitu, ini tidak lantas harus menghapus, memberantas, membuang, dan menolak secara total serta tidak memberikan pengakuan akan keberadaan komunitas yang berbeda yang telah ada di muka bumi dan memiliki akar kuat, para penjaga, dan pengikut yang loyal dan siap menjadi pembela.

Sesungguhnya mayoritas kaum muslimin, dari saudara–saudara kita yang dikenal dengan tashowwuf dan meresapi betapa tashowwuf telah menyematkan kemulian dan keagungan besar kepada mereka serta merasa bangga memiliki hubungan dengannya. Itulah tashowwuf yang benar dan sesuai syariat serta berdiri di atas landasan maqom ihsan, maqom yang dibanggakan.

Semestinya, setiap orang Islam berusaha mengenal dan memiliki hubungan denganNya yang digambarkan dalam sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam:

…أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ …

“…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim)

Sungguh, mereka semua dituntut untuk kembali meneliti dan meninjau ulang kurikulum kemudian mengoreksi, membenarkan, dan meluruskan sesuai kebenaran, keadaan, kenyataan, dan selaras dengan semangat persatuan nasional dalam perlindungan dan perawatan satu pemerintahan yang melihat semuanya dengan satu pandangan keadilan.

Ibaratnya seperti anak–anak seorang lelaki yang semuanya harus memperoleh hak–hak dan kewajibannya masing–masing. Mereka mendapat kesempatan yang sama, perhatian dan kasih sayang yang seimbang. Semuanya berhak mengingatkan, “Takutlah kepada Allah dan berbuatlah adil terhadap anak–anak kalian.”


Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830