Jumat, 28 Januari 2011

Takut dan Harap

Setelah kami menurunkan tulisan
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/27/mazhab-ataukah-manhaj/ Tulisan didalamnya ada peringatan disampaikan oleh Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi mengingatkan umat Islam untuk tidak perlu mendengar dukhala ilmi terkait pentakfiran yang dilakukan oleh mereka.

Datang salah satu pesan menanggapi tulisan tersebut dari salah seorang yang mengaku pengikut jejak para ulama salaf (terdahulu) mengingatkan kepada saya tentang vonis kesesatan terhadap Syaikh Yusuf Qaradhawi. Mereka menyampaikan beberapa link, salah satunya adalah http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=641

Dalam situs itu Syaikh Yusuf Qaradhawi dinyatakan sesat oleh mereka, salah satunya karena pernyataan Syaikh Yusuf Qaradhawi,
Aku katakan, jihad kami melawan Yahudi bukan karena mereka Yahudi. Sebagian ikhwan sudah ada yang menulis dan membahas masalah ini. Mereka menganggap bahwa kita ini memerangi Yahudi karena mereka Yahudi padahal kami tidak berpendapat demikian. Kami tidak memerangi Yahudi karena alasan aqidah namun kami memerangi Yahudi karena alasan tanah. Kami tidak memerangi orang-orang kafir karena mereka kafir namun kami memerangi mereka sebab mereka merampas dan menyerobot tanah serta rumah kami tanpa hak.” (Harian Ar Raayah nomor 4696, 24 Sya’ban 1415 H/25 Januari 1995 M)

Pernyataan itu bukanlah sebuah kesesatan.

Kita memerangi Yahudi sama sekali bukan karena mereka Yahudi. Mereka Yahudi adalah kehendakNya. Kita tidak memerangi kehendakNya. Hal yang kita perangi adalah sikap orang-orang Yahudi terhadap kita. Itulah yang disampaikan oleh Syaikh Yusuf Qaradhawi bahwa "kami memerangi mereka sebab mereka merampas dan menyerobot tanah serta rumah kami tanpa hak"

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS Al Maaidah [5]: 8 )

Orang-orang Yahudi ada di dunia ini adalah kehendakNya. Mereka lah yang paling keras permusuhannya kepada kita
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” ( QS Al Maaidah: 82 ).

Kita memerangi orang-orang Yahudi karena sikap/perbuatan mereka terhadap kita

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil" (QS Al Mumtahanah [60]:8 )
Janganlah engkau berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang terbaik, kecuali orang-orang yang zhalim di antara mereka..” (QS Al Ankabut [29]:46 )

Dalam situs itu kaum Salafy menyampaikan pendapatnya atas pernyataan Syaikh Yusuf Qaradhawi sbb:
Mungkin bagi Qaradhawi tanah lebih berharga daripada aqidah. Seandainya Yahudi tidak menyerobot tanah Palestina maka Qaradhawi tidak akan berpendapat tentang adanya jihad melawan Yahudi karena sudah tidak ada alasan tanah yang mengharuskan untuk berjihad memerangi mereka.

Dan kemudian mereka berhujjah dengan firman Allah

Katakanlah : ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (At Taubah : 24).

Begitulah pendapat ulama Salafy bahwa mempertahankan tanah dan rumah saudara-saudara kita di Palestina bukanlah termasuk yang dinamakan berjihad di jalan –Nya.

Bagi kaum Salafy jika orang-orang Yahudi tidak merampas dan menyerobot tanah serta rumah saudara-saudara kita di Palestina tanpa hak, maka kaum Salafy tetap berjihad memerangi orang-orang Yahudi dengan alasan aqidah ?
Apakah yang dimaksud dengan ulama Salafy, jihad di jalan-Nya adalah ”meluruskan” aqidah orang-orang Yahudi ? atau akan membasmi orang-orang Yahudi dari muka bumi ?

Jihad kita dan saudara-saudara kita di Palestina terhadap orang-orang Yahudi adalah atas perbuatan zhalim mereka terhadap saudara-saudara kita di Palestina.

Jihad atas sikap/perbuatan mereka ! bukan atas keberadaan ataupun aqidah mereka di dunia.

Jika kita berjihad atas keberadaan atau aqidah mereka maka sesungguhnya memerangi kehendakNya, karena keberadaan atau aqidah mereka adalah semata-mata kehendakNya

Firman Allah yang artinya,
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan“. [QS An Nahl [16]:93 )

Kita dapat melihat dengan jelas perbedaan memahami pernyataan Syaikh Yusuf Qardhawi,  begitu pula perbedaan memahami nash-nash Al-Qur'an dan Hadits

Kebenaran itu dari Allah yang Ahad namun kita yang sama-sama telah bersyahadat tidak dapat mengatakan satu upaya pemahaman saja yang benar yang lain sesat. Semua upaya pemahaman adalah berupaya untuk meraih kebenaran, upaya menuju jalan yang lurus.

Kita harus dapat menghargai perbedaan pemahaman diantara hamba-hamba Allah yang telah bersyahadat. Perbedaan pemahaman adalah kehendakNya. Kita tidak dapat mempertanyakan kehendakNya, namun kita di akhirat nanti, akan ditanya bagaimana sikap kita atas kehendakNya.

Sikap ulama Salafy terhadap perbedaan pemahaman dengan Syaikh Yusuf Qaradhawi adalah dengan menjatuhkan vonis sesat kepada Beliau. Mereka akan mempertangung-jawabkan sikap mereka di akhirat kelak.

Semua ini terjadi karena mereka fanatik dengan kaumnya (ta’asub) dan menuhankan pendapat (kaum) sendiri (istibdad bir ro’yi). Menuhankan dalam arti apapun pendapat baik dari diri maupun kaumnya sendiri adalah sebuah kebenaran. Mereka beranggapan, “hanya merekalah yang berada dalam jalan kebenaran dan selain mereka telah terjerumus dalam kesesatan.” Permasalahan inilah yang dimaksud dengan ekstreem/ghuluw dalam pemahaman agama. “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS Al Maa’idah [5]:87 ). Tulisan selengkapnya mengenai ekstrem dalam pemahaman agama, silahkan baca pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/26/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/

Salah satu sebab mereka fanatik adalah salah memahami hadits ”73 golongan masuk neraka dan hanya satu masuk surga”

Mereka yakin bahwa kaum mereka adalah satu yang masuk surga bahkan ada sebagian dari mereka begitu yakin bahwa mereka memegang ”sertifikat” surga

Bagi kami kaum muslim yang mendalami Tasawuf atau tentang Ihsan, hadits 73 golongan bukanlah "digunakan" untuk menetapkan apa yang yang kita pahami atau kaum kita adalah yang dimaksud 1 golongan masuk surga dan selain kita adalah termasuk 73 golongan.

Namun hadits tersebut "digunakan" agar kita selalu dalam keadaan "memeriksa" kesesuaian antara yang kita pahami dan jalani dengan Al-Qur'an dan Hadits.
Keadaan ”memerika” ini harus kita pertahankan sampai kematian menjemput kita karena sesungguhnya keputusan kita termasuk 1 golongan yang masuk surga adalah kehendakNya , tidak ada satupun manusia yang mengetahui atau memastikannnya kecuali apa yang telah ditetapkan Allah ta’ala seperti contoh 10 Sahabat yang pertama-tama mengikuti Rasulullah

Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang petama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dengan mereka dan mereka ridho kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (Qs At-Taubah : 100)

Dalam tasawuf keadaan ”memeriksa” kesesuaian antara yang kita pahami dan jalani dengan Al-Qur'an dan Hadits termasuk bagian ”pengenalan diri sendiri” yakni sikap khauf’ (takut) dan raja (harap).

Inilah yang dicontohkan oleh Imam Syafi’i ~rahimullah ketika beliau ditanya apakah beliau termasuk sufi. Beliau tidak menjawab atau mengakui sebagai sufi karena sufi sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Abu al-Abbas r.a adalah dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi

Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)

Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47).

Kita tidak boleh mengakui bahwa kita seorang sufi, karena sufi bukanlah sebuah pengakuan.

Imam Syafi’i _ rahimullah menjawab dengan sikap tawadhunya,
Uhibbu as shalihiina walastu minhum la’ali an anaala bihim syafa’ah

"Aku mencintai orang shalih walaupun aku tidak seperti mereka namun aku berharap memperoleh syafa’at dari Rasulullah saw (untuk menjadi/termasuk orang yang Sholeh)".

Imam Syafii mengatakan  ”tidak seperti mereka” karena sikap khauf(takut) , namun beliau berharap (raja’) ”termasuk orang-orang sholeh” karena dapat menjadi orang-orang sholeh atau sufi atau muhsin/muhsinin adalah semata-mata perbuatanNya terhadap manusia.

Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS An Nuur [24]:21 )

Semoga kita dapat menjadi muslim yang sholeh atau muhsin atau muslim yang Ihsan atau muslim yang dapat seolah-olah melihatNya atau minimal selalu yakin dan keadaan sadar bahwa Allah ta’ala melihat segala perbuatan kita setiap saat.

Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin
,

Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.

Wassalam

Zon  di Jonggol, Kab Bogor,  16830

Kamis, 27 Januari 2011

Mazhab ataukah Manhaj

Mazhab ataukah Manhaj

Pernah kita mendengar dari saudara muslim kita kaum Salafi Wahabi sebuah ajakan dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits, agar kita melihat kehidupan Sayyidina Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam dan para Sahabatnya serta Salafush Sholih dibanding mengikuti salah satu mazhab.

Pertanyaannya adalah bagaimana kita "melihat" kehidupan Sayidina Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam dan para Shahabatnya serta salafush sholih ?

Bukankah waktunya sudah berlalu (Al-Ghaibul Madhi) yaitu segala sesuatu atau kejadian yang terjadi pada zaman dahulu.

Jawabannya tentu "melihat" melalui pemahaman (ijtihad).

Jadi siapa orang yang kita ikuti, yang telah "melihat" kehidupan Sayidina Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam dan para Shahabatnya serta salafush sholih ?

Apakah syaikh/ulama kaum Salafi Wahabi telah ”melihat” atau imam-imam madzhab kita tidak ”melihat” kehidupan Sayyidina Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam dan para Shahabatnya serta Salafush Sholih

Imam-imam madzhab telah ”melihat” melalui pemahaman (ijtihad) mereka terhadap hadits yang ”sampai” kepada mereka.

Sebagai contoh Imam Syafi’i ~rahimullah.
Imam Syafi’i sebagai dimaklumi adalah seorang yang sering pindah-pindah tempat tinggal dari satu negeri ke negeri lain.

Beliau tinggal di Mekkah dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, kemudian pindah ke Madinah dan bergaul juga dengan seluruh Tabi’in, pindah lagi ke Yaman dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Iraq dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Persia, kembali lagi ke Mekkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.

Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama.

Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimullah, lebih banyak mendapatkan hadits daripada Tabi’in yang lain, melebih dari yang didapat oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki ~rahimullah.

Ilmu beliau pun lebih banyak dari kedua Imam sebelumnya karena beliau banyak melihat, banyak mendengar, banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain bukan Arab (dari Persia, Turki dll).

Hadits-hadits dicari beliau kemana-mana. Para Tabi’in yang telah berjauhan tempat tinggalnya dijumpai dan ditemui beliau. Oleh karena itu beliau banyak sekali mendapat Hadits.

Selengkapnya tentang sekilas proses ”sampai” hadits kepada imam mazhab, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/03/madzhab-empat/

Lalu bagaimana syaikh/ulama kaum Salafi Wahabi ”melihat” melalui pemahaman (ijtihad) mereka terhadap hadits yang ”sampai” kepada mereka.

Sebagai contoh Syaikh Ibnu Taimiyah (yang diakui sebagai “guru” oleh Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab, pendiri Salafi Wahabi).  Zaman kehidupan Syaikh Ibnu Taimiyah jauh terpaut dengan imam-imam mazhab, tentu hadits sampai kepada beliau tidak melalui pergaulan dengan tabi’in atau tabi’ut tabi’in sekalipun.

Hadits “sampai” kepada Syaikh Ibnu Taimiyah pertama kali dari Syihabuddin (bapaknya) seorang ulama muqolid, pengikut Mazhab Hanbali dan selanjutnya melalui guru/ulama yang diikuti oleh Syaikh Ibnu Taimiyah

Lalu bagaimana sampainya dari Syaikh Ibnu Taimiyah kepada Syaikh Muhammad bin AbdulWahhab yang zaman hidupnya beratus tahun setelah wafatnya Syaikh Ibnu Taimiyah ?  tentulah melalui upaya pemahaman melalui guru/ulama yang diikuti oleh beliau. Inilah yang kami sampaikan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab  "mengangkat" kembali pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah. Dalam penyiaran pemahamannya Syaikh Muhammad bin Abdulwhahab bersekutu dengan penguasa Muhammad bin Sa’ud pendiri dinasti/kerajaan Saudi.

Seorang pengunjung blog kami menyampaikan bahwa ustadz mereka mengajak orang-orang yang menuduh Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab membawa pemahaman baru, untuk menunjukkan satu saja perkataan Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab yang tidak didahului oleh ulama’-ulama’ sebelum beliau.”

Ada kesalahpahaman selama ini yang tidak disadari bahwa seolah-olah Syaikh/Imam kaum Salafi/Wahabi tidak membawa pemahaman baru atau tidak melakukan pemahaman (ijtihad). Sesungguhnya setiap kita menyatakan pendapat dan mengambil firman Allah atau hadits Rasulullah sesungguhnya termasuk kedalam upaya pemahaman (ijtihad)

Contohnya dalam sebuah forum diskusi, ada salah satu peserta diskusi yang mengaku bukan pengikut Salafi Wahabi (mungkin seorang pendukung) namun dia mengaku paham minhaj ilahi, "memperbolehkan" dirinya menghujat ataupun mengolok-olok saudara muslim lain dalam forum diskusi (menurut pemahaman dia) berdasarkan firman Allah antara lain,

atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” (QS Al Furqan [25]:44 )
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.” (QS Al Anfaal [8]: 22 )
Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti” [QS Al Baqarah [2]:171 )

Benarkah kaitan firman Allah dengan pendapat dia ?
Inilah contoh upaya pemahaman (ijtihad).
Jelaslah bahwa pemahaman yang disampaikan saudara kita itu bukanlah pemahaman Salafush Sholeh.

Disinilah kesalahpahaman pengikut kaum yang menisbatkan kepada manhaj Salaf. Apapun yang disampaikan oleh syaikh/ulama mereka maka para pengikutnya menganggap pastilah itu pemahaman Salafush Sholeh , sedangkan ulama/syaikh diluar kaum mereka pastilah bukan pemahaman Salafush Sholeh.

Jadi ketika kita menyatakan pendapat dan berhujjah dengan nash-nash Al-Qur'an dan hadits, atau pendapat-pendapat ulama salaf/terdahulu termasuk upaya pemahaman (ijtihad)

Syaikh/Ulama Salafi/Wahabi yang menyertakan nash-nash Al Qur'an, Hadits, dan pendapat-pendapat ulama salaf/terdahulu, yang terkait pendapat mereka adalah termasuk upaya pemahaman (ijtihad).

Berdasarkan pengamatan kami, syaikh/ulama Salafi/Wahabi ada berhujah dengan nash-nash untuk orang kafir (yang tidak bersyahadah) untuk pendapat mereka terhadap orang yang bersyahadah, saudara muslim mereka sendiri.

Oleh karenanya kita harus menghindari kekeliruan berhujjah dengan nash-nash Al-Quran, Hadits, pendapat para ulama salaf atas pendapat yang akan kita sampaikan sehingga kita tidak termasuk yang dikatakan

"....orang-orang muda berpemahaman kurang baik. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyah” (maksudnya firman-firman Allah dan hadis Rasul) namun iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati) ..." (Hadits sahih riwayat Imam Bukhari).

Yang dimaksud orang-orang muda disini adalah penuntut ilmu yang baru, ulama-ulama yang belum dikenal keulamaannya, dukhala ilmi (mereka yang berkecimpung dalam ilmu namun bukan ahlinya)

Syeikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi dalam pembukaan Forum Alumni Al Azhar VI, yang mengangkat tema tentang "Persatuan dalam Komunitas Ahlu Sunnah" mengingatkan umat islam untuk tidak perlu mendengar dukhala ilmi terkait pentakfiran yang dilakukan oleh mereka. Syaikh Yusuf Al Qaradhawi mengingatkan bahaya terpecah-belahnya umat Islam karena sikap kita menghadapi perbedaan pemahaman.

Selengkapnya baca berita di http://www.hidayatullah.com/read/15001/26/01/2011/al-qaradhawi:-%E2%80%9Djangan-dengar-dukhala%E2%80%99-ilmi dan
http://hidayatullah.com/read/15006/26/01/2011/syeikh-al-azhar:%E2%80%9Dada-pihak-yang-berusaha-rusak-karya-ulama%E2%80%9D.html

Perbedaan pemahaman tidak dapat kita ingkari. Kebenaran itu dari Allah yang Ahad namun kita tidak dapat mengatakan satu pemahaman saja yang benar yang lain sesat. Semua upaya pemahaman adalah berupaya untuk meraih kebenaran, upaya menuju jalan yang lurus.

Kita harus dapat menghargai perbedaan pemahaman diantara hamba-hamba Allah yang telah bersyahadat. Perbedaan pemahaman adalah kehendakNya. Kita tidak dapat mempertanyakan kehendakNya, namun kita di akhirat nanti, hakikatnya akan ditanya bagaimana sikap kita atas kehendakNya.

Wassalam

Zon di Jonggol

 

Tulisan terkait:
 
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/23/2010/05/07/perlunya-madzhab/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/03/madzhab-empat/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/23/2010/03/31/imam-mujtahid/

 

Ikhtilaf dalam Persatuan

Marilah kita sabar dan menghargai perbedaan pemahaman ( ikhtilaf) dalam bingkai persatuan.

Sebaiknya jangan pernah memaksakan keinginan bahwa hanya pemahaman (kaum) kita saja yang benar selain pemahaman (kaum) kita adalah sesat. Apalagi diikuti dengan langkah-langkah seperti mengubah atau merusak  karya ulama-ulama terdahulu.

Ikhtilaf adalah kehendak Allah ta'ala. Allah ta'ala telah meperlihatkan kepada kita bahwa Dia menerima hamba Allah dengan berbagai metode pemahaman, dengan izinNya mengunjungi rumah Allah, Baitullah, Ka'bah. Namun Allah ta'ala telah mempersiapkan agar tidak terjadi perselisihan (khilaf) dengan larangan berdebat selama berkunjung ke rumahNya. Kita harus dapat membedakan antara ikhtilah (perbedaan pemahaman dengan khilaf (perselisihan pemahaman). Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/20...nya-keragaman/

Lalu kalau ada masalah baru kemana kita bertanya ?

Setiap permasalahan yang kita hadapi, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah komunikasikan dengan Allah ta'ala karena pada hakikatnya segala permasalahan , segala cobaan, segala kebutuhan dan keinginan kita merupakan kehendakNya. Allah ta'ala lah yang akan membimbing kita kemana kita akan bertanya atau dengan kehendakNya bisa saja Dia "menunjukkan" langsung firmanNya atau hadits atau melalui mimpi , firasat atau apapun yang dikehendakiNya. Allah ta'ala akan mencintai hambaNya yang mengadukan segala permasalahan kepadaNya untuk kesempatan pertama. Jika Allah ta'ala mencintai kita maka tidak ada lagi rasa khawatir dan tidak pula bersedih hati.

Berita terkait :

Syeikh Al Azhar:”Ada Pihak yang Berusaha Rusak Karya Ulama”

Rabu, 26 Januari 2011

Hidayatullah.com--Syeikh Al Azhar, Dr. Ahmad At Thayyib menyatakan bahwa pengkafiran dan pemfasikan adalah perkara penyebab rusaknya masyarakat Muslim. Hal itu beliau sampaikan dalam sesi pembukaan "Forum Alumni Al Azhar VI," yang mengangkat tema tentang persatuan dalam komunitas Ahlu Sunnah, demikian lansir onislam.net, (25/1).

Selain itu, Dr. Ahmad Thayyib juga menyatakan, “Penyakit umat Islam adalah perpecahan dan perselisihan intern. Ini adalah penyakit yang buruk, yang merupakan titik lemah yang dimanfaatkan oleh para penjajah, yang masih menggunakan strategi belah bambu.”

Masalah perpecahan juga berpengaruh kepada umat Islam khususnya para pemuda. Menurut beliau, para pemuda Muslim saat ini terlibat perselisihan kuat di antara mereka karena madzhab. Perselisihan ini memalingkan perhatian mereka dari masalah al-Quds, serta penyerangan Amerika terhadap Iraq, Afghanistan serta Sudan.

Dr. Ahmad At Thayyib juga memperingatkan adanya pihak-pihak yang jelas-jelas “mempermainkan” fiqih madzhab imam empat dan menggantinya dengan fiqih baru dan mewajibkannya kepada masyarakat.

Beliau juga memperingatkan adanya upaya negatif terhadap buku para ulama, “Demikian juga adanya permainan terhadap buku-buku peninggalan para ulama, dan mencetaknya dengan ada yang dihilangkan atau dengan ditambah, yang merusak isi dan menghilangkan tujuannya.”

Syeikh Al Azhar juga berpesan bahwa umat mestinya belajar bagaimana mereka toleransi kepada sesama mereka dan Al-Azhar pada waktu yang akan datang di forum ulama Ahlu Sunnah akan membahas tema, ”Ikhtilaf dalam Bingkai Persatuan”, yang juga akan membahas masalah takfir dan perseteruan. * OIN

Sumber: http://hidayatullah.com/read/15006/26/01/2011/syeikh-al-azhar:%E2%80%9Dada-pihak-yang-berusaha-rusak-karya-ulama%E2%80%9D.html

Ulama bukan ahlinya

Al-Qaradhawi: ”Jangan Dengar Dukhala’ Ilmi!"

Dukhala 'Ilmi (ulama bukan ahlinya)

Rabu, 26 Januari 2011

Hidayatullah.com--Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam pembukaan Forum Alumni Al Azhar VI, yang mengangkat tema tentang "Persatuan dalam Komunitas Ahlu Sunnah" itu memperingatkan bahwa pengkafiran dan penyesatan sesama umat Islam membuat umat ini akan terpecah-belah, demikian lansir onislam.net (25/1).

Dalam sesi mudakhalat (masukan) Syeikh Dr. Yususf Al Qaradhawi, selaku Ketua Himpunan Ulama Muslim Internasional memperingatkan adanya usaha kelompok fanatik yang menyesatkan Al-Asy’ariah (pengikut theologi Sunni yang banyak dianut ulama madzhab As Syafi’I dan Al Azhar sendiri).

Kalau umat Islam berjalan di belakang kelompok fanatik ini, maka ummat akan lenyap dan terpecah-belah.”

Beliau juga memperingatkan agar umat tidak perlu mendengar mereka yang bukan ahli ilmu, “Tidak sepatutnya umat Islam melakukan pengkafiran dan tidak perlu mendengar dukhala ilmi (mereka yang berkecimpung dalam ilmu namun bukan ahlinya).”

Beliau juga memberikan masukan dalam forum agar memberikan pencerahan kepada umat dengan pengetahuan yang membuat mereka bersatu. Dan para ulama bertanggung jawab dalam menyatukan umat.

"Maka kita perlu melakukan upaya untuk mendekatkan kelompok yang terpacah belah untuk menyatukan mereka."

Ulama yang menetap di Qatar ini optimis bahwa perbaikan umat juga akan datang dari Al-Azhar, karena alumninya menyebar di berbagai wilayah dunia Islam. * ONN

Sumber:

http://www.hidayatullah.com/read/15001/26/01/2011/al-qaradhawi:-%E2%80%9Djangan-dengar-dukhala%E2%80%99-ilmi

Rabu, 26 Januari 2011

Virus Salafy Wahabi

Himbauan untuk saudara-saudaraku yang menganggap salafi wahabi adalah virus.
Tentu akan berupaya/berikhtiar untuk menangkal dan menghambat virus tersebut.

Betul kita berikhtiar untuk itu namun lakukanlah dengan langkah-langkah yang dicintaiNya

Virus Wahabi adalah kehendakNya, bagi kita adalah cobaan namun kita tidak boleh berselisih dengan mereka yang telah bersyahadat.

Hak kita adalah menyampaikan apa yang kita pahami , hak mereka adalah menyampaikan apa yang mereka pahami.

Kalau mereka menyampaikan dengan hujatan, olok-olokan, itu tanggung jawab mereka kepada Allah ta'ala.

Hak kita adalah menyampaikan nasehat agar mereka tidak menghujat dan berolok-olok. Hak mereka untuk tidak mengikuti nasehat kita.

Namun hal yang perlu kita ingat selalu jika kita telah tahu perbuatan itu salah namun tetap melakukannya maka kita bisa termasuk orang-orang yang dimurkai Allah ta'ala.

Tafsir Ibnu Katsir tentang orang-orang yang dimurkai dan mereka yang sesat.
“Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”,
yakni bukan jalan orang-orang yang dimurkai. Mereka adalah orang yang rusak kehendaknya; mereka mengetahui kebenaran, namun berpindah darinya.
Dan “bukan jalannya orang-orang yang sesat”, yaitu mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan menggandrungi kesesatan. Mereka tidak mendapat petunjuk kepada kebenaran.

Wassalam

Menuhankan Pendapat Sendiri

Menuhankan pendapat (kaum) sendiri

Sebagian kaum muda muslim dalam pemahaman agama, secara tidak disadari menjadi fanatik dengan kaumnya (ta'asub)  dan menuhankan pendapat (kaum) sendiri (istibdad bir ro’yi). Menuhankan dalam arti apapun pendapat baik dari diri maupun kaumnya sendiri adalah sebuah kebenaran. Mereka beranggapan, “hanya merekalah yang berada dalam jalan kebenaran dan selain mereka telah terjerumus dalam kesesatan.”   Permasalahan inilah yang dimaksud dengan ekstreem/ghuluw dalam pemahaman agama. "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (QS Al Maa'idah [5]:87 ).
Tulisan selengkapnya mengenai ekstrem dalam pemahaman agama, silahkan baca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/26/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/

Sebagai contoh bagaimana penilaian Ustadz Ahmad Sarwat Lc terhadap kaum muda muslim kita yang fanatik dan menuhankan pendapat Syaikh/Ulama mereka Syaikh Al Albani.  Penilaian ini merupakan bagian dari tanggapan Ustadz Ahmad Sarwat LC dalam bedah buku guru besar ilmu fiqih, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy dengan judul  Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam.
***awal kutipan ***
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa seorang Al-Albani ketika membaca Quran dan Sunnah, lalu dia pun berjtihad dengan pendapatnya. Apa yang dia katakan tentang Quran dan Sunnah, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu dia sendiri. Sumbernya memang Quran dan Sunnah, tapi apa yang dia sampaikan semata-mata lahir dari kepalanya sendiri.

Sayangnya, para pendukung Al-Albani diyakinkan bahwa yang keluar dari mulut Al-Albani itulah isi dan makna Quran yang sebenarnya. Lalu ditambahkan bahwa pendapat yang keluar dari mulut para ulama lain termasuk pada imam mazhab dianggap hanya meracau dan mengada-ada. Naudzu billahi min dzalik.

Disinilah letak ketidak-adilan para pendukung Al-Albani. Seolah-olah mereka mendudukkan Al-Albani sebagai orang yang paling mengerti dan paling tahu isi Quran dan Sunnah. Apa pun yang dikatakan Al-Albani tentang pengertian Quran dan Sunnah, dianggap kebenaran mutlak. Sedangkan kalau ada ulama lain berbicara dengan merujuk kepada Quran dan Sunnah juga, dianggap sekedar ijtihad dan penafsiran.

Padahal kapasitas Al-Albani yang sebenarnya bukan ahli tafsir, juga bukan ahli fiqih. Bahkan sebagai ahli hadits sekalipun, banyak para ulama hadits di masa sekarang ini yang masih mempertanyakan kapasitasnya. Sebab secara tradisi, seorang ahli hadits itu idealnya punya guru tempat dia mendapatkan riwayat hadits. Al-Albani memang tidak pernah belajar hadits secara tradisi lewat perawi dan sanad, sebagaimana umumya para ulama hadits. Al-Albani hanya sekedar duduk di perpustakaan membolak-balik kitab, kemudian tiba-tiba mengeluarkan statemen-statemen yang bikin orang bingung

Al-Albani adalah tokoh hadits yang cukup kontroversial. Setidaknya menurut sebagian kalangan. Baik di kalangan ulama hadits sendiri, apalagi . di kalangan ulama fiqih. Tetapi yang menarik, Al-Albani memang sangat produktif dalam menerbitkan buku. Dan dahsyatnya, buku-buku karyanya memang cukup menghebohkan dunia ilmu syariah.

Selama ini para ulama dan ahli ilmu kebanyakan hanya diam saja dan tidak terlalu menanggapi ulah Al-Albani. Dan hanya sedikit ulama yang secara serius menanggapi dan meladeninya. Salah satunya yang pernah langsung menghadapinya adalah Dr. Said Ramadhan Al-Buthy.

Sumber: http://www.warnaislam.com/syariah/hadis/2009/12/4/2760/Paham_Anti_Mazhab_Ingin_Meruntuhkan_Syariah_Islam.htm
***akhir kutipan***

Seperti kami sampaikan dalam beberapa tulisan, permasalahan ini sebenarnya mulai terasa sejak  Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengangkat kembali pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah. Fatwa beliau yang cukup terkenal dan diikuti oleh sebagian muslim saat ini.
***awal kutipan***
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Tidak ada aib bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya, dan bangga dengan madzhab salaf. Bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan para ulama, karena tidaklah madzhab salah kecuali di atas kebenaran. Apabila dia sesuai dengan salaf secara lahir dan batin, maka dia bagaikan seorang mukmin yang berada di atas kebenaran secara lahir dan batin” [Majmu Fatawa 4/149]

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2111/slash/0
**akhir kutipan***


Dengan fatwa ini maka apapun pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah atau pemahaman syaikh/syaikh Salafi/wahabi yang lain, dianggap oleh para pengikutnya sebagai pemahaman Salafush Sholeh

Padahal apapun Syaikh Ibnu Taimiyah atau pemahaman syaikh/syaikh Salafi/wahabi yang lain ketika membaca Quran dan Sunnah, lalu dia pun berjtihad dengan pendapatnya. Apa yang dia katakan tentang Quran dan Sunnah, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu dia sendiri. Sumbernya memang Quran dan Sunnah, tapi apa yang dia sampaikan semata-mata lahir dari kepalanya sendiri.

Sangat disayangkan pengakuan bahwa mereka menegakkan dakwah tauhid, namun pada kenyataannya mereka secara tidak disadari mengarah pada syirik khofi dengan menuhankan pendapat (kaum) sendiri.

Syirik khofi munculnya kekuatan diri merasa besar, agung, benar sehingga mereka seperti yang diungkapkan oleh ulama Tasawuf sebagai mereka yang terhalang melihat Allah yakni mereka yang tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya. Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.

Seperti contoh pernyataan ulama Salafi Wahabi, Syaikh Al Albani berikut:
***awal kutipan***
Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan Islamiyah, selama mereka semua tidak berdiri di atas Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj (jalan/cara) Salafus Shalih, maka dia (golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata!

Tidak diragukan lagi bahwasanya golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga dasar ini (Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan Manhaj Shalafus Shalih) maka akan berakibat atau membawa kerugian pada akhirnya walaupun mereka itu (dalam dakwahnya) ikhlas.

Berdasarkan pengetahuan saya, setiap golongan atau kelompok yang ada di muka bumi Islam ini, saya berpendapat sesungguhnya mereka semua tidaklah berdakwah pada dasar yang ketiga, sementara dasar yang ketiga ini adalah pondasi yang kokoh. Mereka hanya menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja, di sisi lain mereka tidak menyeru (berdakwah) pada manhaj Salafus Shalih kecuali hanya satu jamaah saja.

Sumber: http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=281
***akhir kutipan***

Beliau mengatakan sesatlah golongan atau kelompok yang hanya bersandar pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saja, tidak berdiri di atas dasar yang ketiga yakni manhaj Salafus Sholeh

Bagi mereka, apa yang mereka pahami adalah pemahaman Salafush Sholeh maka sebenarnya mereka menyatakan, sesatlah golongan atau kelompok yang hanya bersandar pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saja, tidak mengikuti apa yang mereka pahami atau tidak mengikuti pemahaman mereka. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un .

Hal ini mengingatkan saya pada perbincangan antara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan saudaranya Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab, dalam soal kafir-mengkafirkan ini.

Sulaiman bertanya kepada adiknya: “…Berapa, rukun Islam”
Muhammad menjawab: “lima”.
Sulaiman: Tetapi kamu menjadikan 6!
Muhammad: Apa, ?
Sulaiman: Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah
mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir.
Muhammad : Terdiam dan marah.

Sesudah itu ia berusaha menangkap kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi Sulaiman dapat lolos ke Makkah dan setibanya di Makkah ia mengarang buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi ‘alal Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi)

Tampaknya sebagian kaum Salafi Wahabi belum dapat menghargai perbedaan pemahaman sehingga timbul sikap berselisih, berlepas diri bahkan pentakfiran secara sepihak. Sebagai contoh bagaimana kaum Salafi Wahabi beranggapan sesat bagi kaum muslim yang mengadakan pengajian dalam rangka Maulid Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam. Pensesatan terhadap (kaum) muslim lainnya terjadi karena kesalahpahaman mereka tentang bid'ah. Kesalahpahaman yang membawa malapetaka bagi umat muslim.

Bisa jadi karena beranggapan kaum muslim lainnya sesat, para ulama Salafi Wahabi (contohnya pada masalah kemerdekaan Palestina) berfatwa/berwasiat hanya ditujukan kepada saudara-saudara muslim kita di Palestina untuk bertaubat kepada Allah dan meninggalkan perpecahan. Tampak belum pernah mereka mengeluarkan fatwa kepada penguasa kerajaan Arab Saudi untuk tidak lagi bersekutu dengan Amerika yang jelas-jelas telah membuat kerusakan di muka bumi ini. Selengkapnya baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/08/fatwa-untuk-penguasa/

Padahal Allah ta'ala telah memperingatkan kita semua dalam firmanNya yang artinya "orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik" ( QS Al Maaidah [5]: 82 )

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (Ali Imran, 118)

Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati". (Ali Imran, 119)

Permasalahan perbedaan pemahaman ini semata-mata kehendak Allah. Kita tidak dapat mempertanyakan kehendakNya, namun kita akan ditanya bagaimana sikap kita atas kehendakNya. Untuk itulah kita harus hindari berselisih, berbantah-bantahan, bertengkar, saling menghujat sehingga seolah tidak malu dengan Allah yang dekat, kalaupun tidak merasa kedekatan dengan Allah ta'ala maka kita semua yakin bahwa Allah ta'ala melihat seluruh perbuatan kita.

Semoga Allah ta'ala memberikan petunjuk pada kita semua.

Wassalam

Bersekutu dengan Amerika

Persekutuan Ulama dengan Penguasa dinasti kerajaan Arab Saudi, kita semua telah mengetahui. Semua itu adalah kehendak Allah ta’ala

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita menyikapi kehendak Allah tersebut dengan sikap yang dicintaiNya.

Sepanjang riwayat Penguasa dinasti Saudi, Raja Faisal bin Abdul Azis sajalah yang sesuai dengan apa yang kaum muslimin inginkan, namun atas kehendak Allah, beliau terbunuh.

Kenapa Raja Faisal bin Abdul Azis terbunuh ?

Hampir seluruh informasi yang kita dapat menceritakan bahwa beliau terbunuh karena kepemimpinan beliau tidak sesuai dengan keinginan orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman.

Allah ta’ala telah memperingatkan kita semua dengan firmanNya yang artinya “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 )

Contoh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Faisal_dari_Arab_Saudi
***** awal kutipan *****
Faisal bin ‘Abd al ‘Aziz Al Sa’ud (1906-25 Maret 1975) (bahasa Arab: فيصل بن عبدالعزيز آل سعود) adalah Raja Arab Saudi yang menjabat mulai tahun 1964 hingga tahun 1975.

Raja Faisal lahir di Riyadh dan merupakan anak keempat Raja Abdul Aziz Al Saud. Raja Faisal memerintah sekumpulan laskar dan berhasil memenangkan pertempuran di Hijaz. Oleh karena itu, ia dilantik menjadi Gubernur Hijaz pada tahun berikutnya. Setelah Arab Saudi didirikan, dia diberi jabatan Menteri Luar Negeri Arab Saudi pada tahun 1932.

Setelah resolusi PBB mengenai pemecahan Palestina dan pendirian Israel, Pangeran Faisal (masih belum menjadi raja) mendesak ayahandanya supaya memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat, tetapi desakannya itu ditolak. Selepas skandal keuangan Raja Saud, Pangeran Faisal dilantik menjadi pemerintah sementara. Pada tanggal 2 November 1964, ia dilantik menjadi raja setelah Raja Saud di usir keluar dari Arab Saudi ke Yunani.

Raja Faisal melakukan banyak reformasi sewaktu menjadi raja, diantaranya adalah memperbolehkan anak-anak perempuan bersekolah, televisi, dan sebagainya. Usahanya ini mendapat tentangan dari berbagai pihak karena perkara-perkara ini dianggap bertentangan dengan Islam. Ia berasa amat kecewa saat Israel memenangkan Perang Enam Hari pada tahun 1967.

Pada tahun 1973, Raja Faisal memulai suatu program yang bertujuan untuk memajukan kekuatan tentara Arab Saudi. Pada tanggal 17 Oktober 1973, ia menghentikan ekspor minyak Arab Saudi ke Amerika Serikat yang menyebabkan harga minyak di Amerika Serikat melambung tinggi. Hal ini dilakukan untuk mendesak Amerika Serikat agar menekan Israel keluar dari wilayah Palestina.
***** akhir kutipan *****

Kemudian secara dzahir (yang tampak) pada tanggal 25 Maret 1975, Raja Faisal ditembak mati oleh anak adiknya, yaitu Faisal bin Musad.

Namun kami yang mendalami Tasawuf memandang terbunuhnya Raja Faisal adalah semata-mata karena kepemimpinannya yang paling sesuai dengan syariat Islam diantara raja-raja Saudi. karena beliau tidak bersekutu dengan Amerika.

Raja Faisal-lah, sosok kepemimpinan yang diharapkan oleh umat Islam untuk mengatasi kebiadaban Amerika.

Namun sistem kerajaan yang berlaku di Saudi dan diterima oleh para ulama Salafi Wahabi dan membiarkan persekutuan penguasa dinasti Saudi dengan Amerika yang menjadikan seolah-olah para ulama Salafi Wahabi membiarkan kezhaliman terjadi di muka bumi.

Dari persekutuan dengan Amerika, Inggris dll yang merupakan orang-orang yang keras permusuhan dengan kita itulah diduga mempengaruhi ulama-ulama Salafi Wahabi. Ulama-ulama disana diduga mulai mau menerima konsep atau pemikiran dari teman sekutunya.

Untuk itulah kita harus selalu mengingat peringatan yang disampaikan oleh Allah ta’ala dalam firmanNya yang artinya “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 )

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (Ali Imran, 118)

Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (Ali Imran, 119)

Hal yang terjadi saat ini di Kerajaan Saudi adalah hasil persekutuan antara ulama dan penguasa / dinasti Kerajaan

Ulama disana seolah-olah mengatakan janganlah kalian berdemonstrasi ataupun berkelompok, selama penguasa masih sholat dan tidak memerintah rakyatnya perbuatan maksiat, sabarlah semua itu kehendak Allah ta’ala. Salah satu hadits pegangan mereka adalah
Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Baqiyyah bin Al-Walid memberitahukan kepada kami, dari Bahir bin Said dari Kholid bin Ma’dan, dari Abdur Rahman bin Amr As Sulami, dari Al-Irbadh bin Sariyah berkata: “Rasulullah saw menasehati kami pada suatu hari setelah shalat Shubuh suatu nasehat yang penting yang mana mata menangis dan hati bergetar karenanya. Seseorang berkata: “Sesungguhnya ini adalah nasehat orang yang akan meninggalkan, maka dalam hal apa saja engkau mengamanatkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Aku pesan kepadamu sekalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at, biarpun seorang hamba sahaya dari Habsyah (yang memimpinmu) karena sesungguhnya orang yang hidup (panjang) di antara kamu tentu akan melihat terjadinya banyak perselisihan. Dan jauhilah perkara-perkara yang baru karena sesungguhnya perkara-perkara yang baru (bid’ah) itu sesat. Barang siapa di antara kamu menjumpai hal itu, maka ia harus berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus yang diberi petunjuk, peganglah sunnah itu dengan kuat-kuat.” (HR At Tirmidzi)

Bagi mereka, mereka harus taat walaupun seorang hamba sahaya yang memimpin

“Beliau bersabda: “Aku pesan kepadamu sekalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at, biarpun seorang hamba sahaya dari Habsyah (yang memimpinmu)”

Bagi kami memahami hadits yang mencontohkan seorang hamba sahaya bukanlah kepada kemampuan atau kompetensi mereka dalam memimpin atau tidak mempermasalahkan siapapun yang menjadi pemimpin namun hadits itu mencontohkan walaupun hamba sahaya yang terpenting adalah ketaqwaan kepada Allah ta’ala.

Sungguh sebaik-baik pemimpin adalah yang paling taqwa kepada Allah ta’ala, begitu pula sebaik-baiknya imam sholat, sebaik-baiknya pemimpin keluarga (bagaimana memilih calon suami).

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.[QS. Al-Hujurat (49) : 13]

Hadits tersebut kami pahami agar kita mentaati pemimpin yang bertaqwa kepada Allah ta’ala walaupun dia hanya seorang hamba sahaya.

Mustahil kita mentaati pemimpin yang tidak cakap(berkompeten) atau pemimpin yang dzhalim.

Kita boleh mengingkari dan membenci pemimpin seperti itu namun kita dilarang memberontak atau makar apalagi sampai tertumpah darah sesama muslim (selama masih sholat).

“Seburuk-buruknya Pemimpin adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian.” (HR. Muslim).

Dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para shahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).

Jelaslah bagi siapa yang ridha dan terus mengikuti pempimpin yang buruk maka mereka pun turut berdosa.

Kita wajib berupaya memilih pemimpin apalagi pemimpin sebuah negeri.

Rasulullah bersabda : “Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin) ”

Sungguh, dianggap (penisbatan) berkhianat kepada Allah , Rasul-Nya dan kaum mukminin, merupakan ancaman keras bagi siapapun yang tidak bertanggung jawab dalam memilih pemimpin, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)

Diskusi selengkapnya silahkan baca pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/17/pemimpin-dalam-islam/

Berikut foto-foto yang menceritakan "pertemanan" penguasa dinasti  Saudi dengan  orang-orang yang sudah diperingatkan oleh Allah ta'ala sebagai orang-orang  yang paling keras permusuhannya. Hakikatnya "pertemanan" ini  adalah menentang peringatan Allah ta'ala

Sekali lagi kita harus selalu mengingat peringatan Allah ta'ala yang disampaikan dalam firmanNya yang artinya  “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 )



 

 

 

 

 

 

 

 







 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak,  atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.”
(Qs. Al Mujadilah : 22)

Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…”  (Qs. Ali-Imran : 28)

Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melindungimu dari kepemimpinan orang-orang dungu.” Ka’ab bertanya, “Apakah kepemimpinan orang-orang dungu itu ?”. Beliau berkata, “Yaitu para penguasa yang ada setelahku, mereka tidak mengikuti tuntutanku, dan mereka tidak meneladani sunnahku. Siapa yang membenarkan mereka dengan kebohongannya dan membantu mereka di atas kezalimannya, maka mereka itu bukan bagian dariku dan aku bukan dari mereka, serta mereka tidak akan menemuiku di atas telagaku. Dan siapa yang tidak membenarkan mereka dengan kebohongannya dan tidak membantu mereka di atas kezalimannya, maka mereka itu bagian dariku dan aku bagian darinya serta akan menemuiku di atas telagaku.”  (HR. Ahmad, haditsnya Shahih)

Tidak ada yang merusak agama ini, kecuali raja (penguasa/umara) dan para ulama su’u serta para rahibnya.”  (Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi)

Wassalam

Senin, 24 Januari 2011

Perjalanan Hidup

Dalam tulisan kami sebelumnya pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/23/jalan-yang-lurus/ ternyata ada dipahami oleh pembaca,   seolah kami menyampaikan bahwa "jalan yang lurus" adalah beragam

Mohon maaf  atas kejadian ini sehingga timbul pemahaman yang tidak sesuai dengan apa yang kami maksud. Semua itu semata-mata keterbatasan kami dalam mengungkapkan apa yang kami pahami dalam bentuk tulisan

Kami tak pernah menyampaikan atau bermaksud menyampaikan ada banyak jalan lurus.

Dalam menjalani kehidupan kita memahami agama ataupun memahami petunjukNya ada dua cara yakni,

1. Berijtihad sendiri dengan Al-Qur'an dan Hadits.
2. Mengikuti "orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat" , namun dalam mengikuti jangan secara "buta" tetaplah merujuk kepada Al-Qur'an dan Hadits.

Kami  sampaikan bahwa "orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat" itu banyak orangnya, banyak macamnya atau banyak gayanya atau banyak polanya.

Masing2 dari mereka diumpamakan membuat jalur/alur/track untuk berupaya berada pada jalan yang lurus. Berikut cuplikan tulisan kami  sebelumny
***********************
Namun “jalan yang lurus” diatasnya terdiri dari beberapa jalur/alur/track, pahamilah dari firman Allah dalam (QS Al Fatihah, [1]:7). Dalam firman tersebut Allah ta’ala menyatakan “Jalan orang-orang” , bersifat jamak atau bersifat plural (beragam). Keberagaman inilah yang disebut dengan cabang (furuiyah).

Semua hamba Allah akan berada pada “jalan yang lurus” (walaupun berbeda jalur) minimal adalah yang telah bersyahadat.
******************

Jejak pada jalur/alur/track itulah yang kita ikuti dengan berbagai kemampuan (ilmu dan amal) dan kecepatan (akhlak) yang kita bisa jalankan.

Untuk apakah kita mengikuti jejak pada jalur/alur/track yang telah dilalui "orang-orang yang telah Allah ta'ala beri ni'mat" ?

Agar masuk surgakah ?

SurgaNya bukan lah tujuan namun sebuah keniscayaan bagi “orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya”

Tujuan kita adalah untuk sampai kepadaNya

Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )

Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam“. (QS Al An’aam [6]:162 )

Selengkapnya, telah kami uraikan dalam dua tulisan
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/21/lillahi-taala/
dan
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/22/perjalanan-menuju-allah/


Apa yang kita upayakan agar sampai kepada Allah ta'ala diumpamakan melakukan "perjalanan".

Dalam agama Islam ada 3 pokok utama yakni
Tentang Islam (rukun Islam/Fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin/I’tiqad), Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf dalam Islam)

Fiqih, Ushuluddin, I’tiqad dll yang merupakan pendalaman/pengamalan rukun Iman, dan rukun Islam adalah syariat/syarat “perjalanan”, rambu2 dan petunjuk “perjalanan”, tanpa syariat/syarat maka “perjalanan” akan tersesat.

Sedangkan Ihsan atau tasawuf adalah yang dimaksud dengan "perjalanan", "perjalanan" untuk sampai kepada Allah. Dalam tasawuf kita dapat mengenal Allah (ma'rifatullah) agar paham kemana "perjalanan" hendak dituju.

Dalam "perjalanan" akan mendapatkan suasana yang disampaikan oleh Anas Ra, Rasulullah saw berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”

Dalam "perjalanan" akan dapat memahami bahwa "syariat bukanlah beban". Silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/16/syariat-bukanlah-beban/

Dalam "perjalanan" inilah yang disampaikan oleh Imam Syafi'i rahimullah sebagai "keni'matan taqwa" atau "keni'matan perjalanan".



*********************

Nasehat/Diwan Imam Syafi'i ~ rahimullah
Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?

********************



Nasehat/Diwan Imam Syafi'i seperti inilah yang seolah-olah dilenyapkan oleh sebagian saudara-saudara kita kaum Salafi/Wahabi untuk membenarkan atau mempertahankan  apa yang mereka pahami atau pemahaman mereka.

Jadi bagi pemahaman kami, sebagian ulama-ulama kaum Salafi/Wahabi seolah-olah bukannya menegakkan kebenaran namun memperturutkan hawa nafsu yakni membenarkan pemahaman mereka. Mereka menggunakan ayat-ayat untuk berdalih bukan berdalil. Wallahu a'lam

Beda berdalih dengan berdalil

“Menggunakan” ayat untuk PEMBENARAN inilah yang disebut “BERDALIH”
Menyampaikan ayat untuk menegakkan KEBENARAN inilah yang disebut “BERDALIL”

Wahai ahli-ahli syariat (fiqih, ushuluddin, i'tiqad dll) marilah kita tinggalkan perselisihan, perdebatan, saling mengejek, saling menghujat, saling merasa paling benar dan yang lainnya sesat.

"Demi Masa" (QS Al Ashr [103]:1 ) Sebaiknya kita tidak membuang waktu sehingga melupakan tujuan hidup kita sesungguhnya.

Marilah kita taati ulama-ulama yang "keulamaannya" telah disepakati jumhur ulama, bukan mengikuti ulama yang dipertanyakan/disanggah oleh jumhur ulama.
Sebaiknya tidak bangga dengan merasa asing ditengah-tengah pemahaman yang telah disepakati jumhur ulama, karena jumhur ulama sepakat dalam kebenaran.

Marilah kita berlomba-lomba menuju kepada Allah, berlarilah kepada Allah , “Fafirruu Ilallah” berlomba-loba untuk dapat seolah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati.

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.

"Seolah-olah melihat Allah" adalah bukti bahwa telah sampai kepada Allah.
Sebagai pembuktian nyata akan syahadat yang telah kita ucapkan merupakan “sidqan min qalbihi“ (betul-betul keluar dari qalbu)
Itulah hakikat dari syahadat / "kesaksian" / "menyaksikan" / "melihat" /"syahid" bahwa "tiada tuhan selain Allah"

Semoga kita semua dapat mencapai muslim yang Ihsan, muslim yang baik, muslim yang sholeh
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.

Semoga dari tulisan ini dapat kita pahami hakikat dari pemahaman Salafush Sholeh yang harus kita pahami dan kita ikuti. Sekaligus menjawab mengapa mereka dipanggil dengan "Salafush sholeh" karena mereka telah mencapai muslim yang sholeh, muslim yang ihsan.

Sebagian umat muslim yang mengaku mengikuti Salafush Sholeh, sesungguhnya baru mengikuti sebagian saja yakni tentang syariat Islam namun belum mencoba memahami /mengikuti "perjalanan" yang telah dilakukan Salafush Sholeh.

"Perjalanan" memang tidak mudah disampaikan kepada khalayak ramai karena "perjalanan" itu semata-semata kehendak Allah ta'ala. Kita paham bahwa tidak semua khalayak ramai dikehendaki oleh Allah ta'ala untuk melakukan "perjalanan" atau "kembali" kepada Allah.

"Perjalanan" harus dilakukan atas bimbingan orang per orang sebagaimana contoh Rasulullah membimbing Sayyidina Ali ra secara langsung. Inilah yang dimaksud sanad ilmu, pengijazahan tharekat, atau berguru secara langsung (tatap muka) bukan dengan cara memahami dari tulisan.

Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )

…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (membimbingmu/memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282)

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Minggu, 23 Januari 2011

Indahnya Keragaman

INDAHNYA KERAGAMAN

Pendahuluan
Taman yang dipenuhi beraneka bunga dengan berbagai warna dan bentuk, akan sangat indah tidak bosan mata memandang, lain halnya kalau taman itu hanya dihiasi dengan satu macam bunga saja, ia terlihat kaku dan tidak indah untuk terus dipandang mata.
Islam adalah agama yang menghargai keragaman, karena dalam keragaman ada keindahan dan kesempurnaan. Allah Swt Maha Kuasa telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang bukan dalam satu warna kulit, bentuk dan panjang tubuh, warna rambut dan bola mata. Karena dalam keragaman itulah kuasa Allah lebih dahsyat.
Islam juga adalah agama yang menghargai keragaman dalam berfikir, berpendapat, bersikap dan dalam mengambil tindakan.

Perbedaan "Khilaf" dan "Ikhtilaf"
Islam menghendaki ikhtilaf namun tidak menghendaki khilaf. Karena ikhtilaf terpuji, lain halnya dengan khilaf. Khilaf artinya: berlawanan atau bertentangan. Ia menghendaki perselisihan yang membawa kepada pertikaian dan permusuhan. Sedangkan ikhtilaf artinya: tidak sepakat, tidak sama, atau keragaman. Khilaf harus dihindari, sedangkan ikhtilaf kelaziman yang tidak mungkin dihindari.

Ikhtilaf adalah Kehendak Allah Swt dan Rasul Saw
Keragaman dalam berpendapat merupakan kehendak Allah Saw dan Rasululullah Saw. Mungkin pernyataan ini sedikit membingungkan. Tapi ini adalah kenyataan. Ketika Allah berfirman: "Dan wanita-wanita yang diceraikan hendaknya berdiam diri selama 3 masa Quru'" (Al Baqarah: 228). Umar bin Khattab, Ibnu Mas'ud dan Abu Musa Al Asy'ari berpendapat Quru' adalah masa haidh, sedangkan Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit berpendapat Quru' adalah masa suci.

Bahkan sebelum ayat tersebut diturunkan, kata Quru' telah dikenal oleh bangsa Arab bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan masa kotor. Bukankah Allah Swt Maha Tahu perbedaan ini telah terjadi? Namun Allah Swt tidak mengatakan dengan Sharih apa yang dimaksudkan dengan kata-kata Quru'. Ini menunjukkan bahwa Allah Swt dengan hikmah-Nya memang menghendaki adanya perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid dalam masalah ini.

Demikian pula, ketika Rasulullah Saw bersabda kepada para sahabat: Janganlah kalian shalat Ashar melainkan di Bani Quraizhah. Para sahabat dengan segera berusaha untuk menjangkau Bani Quraizhah sebelum Ashar, namun ketika tiba waktu Ashar mereka masih dalam perjalanan. Sebahagian mereka mengatakan: kita tidak boleh shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah, karena ini adalah perintah Rasulullah Saw. Namun, sebahagian lagi mengatakan: tidak, kita harus shalat Ashar di manapun kita berada apa bila tiba waktunya, Rasulullah Saw berkata demikian karena menghendaki agar kita segera sampai ke Bani Quraizhah. Maka sebahagian dari mereka ada yang shalat Ashar dan sebahagian yang lain tidak. Ketika sampai di Bani Quraizhah mereka mengadukan perkara ini kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw tersenyum dan membenarkan kedua belah pihak.

Toleransi Para Ulama dalam masalah-masalah ikhtilaf.
Para Ulama dari sejak masa Salaf, baik di kalangan sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in telah banyak berikhtilaf. Bahkan hal ini telah terjadi dari sejak Rasulullah Saw masih hidup. Tapi tidak ada seorangpun diantara mereka yang saling menuding salah, fasiq atau kafir kepada orang yang bertentangan dengan pendapatnya.

Dalam beberapa masalah mawarits terjadi ikhtilaf sahabat antara Zaid bin Tsabit dan Ibnu mas'ud atau yang lainnya. Sebagaimana di kalangan sahabat ada yang membaca Basmalah di awal al Fatihah dan ada pula yang tidak membacanya, ada yang membaca dengan sir ada pula yang membaca dengan jahar.

Imam Asy Syafi'I pernah jadi imam Shubuh di Iraq dekat maqam Abu Hanifah, dan beliau tidak berqunut sebagai penghormatan kepada Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya.

Imam Ahmad bin Hanbal termasuk yang berpendapat wajib berwudhu' karena bekam dan darah yang keluar dari hidung (mimisan). Lalu beliau ditanya: Apa pendapat engkau jika imam shalat keluar darah dan dia tidak kembali berwudhu, apakah engkau akan shalat di belakangnya? Beliau menjawab: bagaimana saya tidak shalat di belakang imam Malik dan Sa'id bin Musayyib?

Jadi kesimpulannya, ikhtilaf telah terjadi dari sejak 3 abad sebaik-baik masa umat ini (Khairu Qurunil Ummah).

Adalah sikap monumental Imam Malik bin Anas patut dijadikan contoh. Selesai beliau menulis kitab Muwaththa' atas perintah Khalifah dinasti Abbasiah Abu Jakfar Al Manshur, adalah khalifah berkeinginan agar Muwaththa' menjadi satu-satunya Qanun Negara Islam di waktu itu, dan semua pendapat yang bertentangan ditiadakan. Imam Malik menulis surat yang isinya menolak hal tersebut: Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya sebelumku para sahabt telah berikhtilaf, dan murid-murid mereka telah meriwayatkan hadits-hadits, dan setiap kaum telah mengambil pendapat-pendapat yang terdahulu sampai ke telinga mereka, biarkanlah setiap negeri mengambil pendapat yang sesuai dengan mereka.

Jadi kesimpulannya, ikhtilaf telah terjadi dari sejak 3 abad sebaik-baik masa umat ini (Khairu Qurunil Ummah).

Bahkan Dr. Yusuf Al Qaradhawy mengatakan: bahwa ikhtilaf pun terjadi di kalangan Nabi dan Malaikat. Adalah Nabi Musa As berikhtilaf dengan Nabi Harun As hingga Nabi Musa As menarik jenggot Nabi Harun As ketika mendapatkan Bani Israil menyembah anak lembu buatan Samiry.

Begitupula ikhtilaf Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab terhadap seorang pemuda yang sedang bertaubat yang meninggal dalam perjalanan menuju ke negeri yang baik, apakah diputuskan berdasarkan amalan zhahirnya, ataukah berdasarkan niyatnya.


Ikhtilaf adalah Kekayaan Syari'at Islam
Banyak pendapat dalam syri'at Islam merupakan mutiara-mutiara yang tidak ternilai harganya. Karena ia akan menjadikan ilmu Fiqh itu terus tumbuh dan berkembang, karena setiap pendapat yang diputuskan berdasarkan kepada dalil-dalil dan qa'idah-qa'idah yang telah diambil istinbathnya, lalu diijtihadkan, ditimbang-timbang kekuatan dalilnya, ditarjihkan kemudian diterapkan pada masalah-masalah yang serupa dengannya (Qiyas).

Perbedaan metode pengambilan dalil dan istinbatnya menghasilkan mutiara-mutiara yang sangat berharga, dari madrasah logika, ke madrasah hadits, madrasah ahlul Zhawahir ke madrasah yang sangat moderat. Kalau setiap madrasah ini bisa diambil hal-hal positifnya tentu fiqh akan mencapai masa kematangannya. Inilah yang dilakukan oleh ulama-ulama kita di masa ini dalam muktamar-muktamar internasional.


Sebab-sebab Ikhtilaf
Banyak faktor penyebab timbulnya ikhtilaf di kalangan ulama, diantaranya: masalah metodologi berfikir yang berbeda, masalah bahasa, apakah kata-kata ini hakikat atau majaz, difahami secara manthuq atau mafhum. Masalah hadits yang shahih menurut sebahagian kelompok, namun tidak shahih menurut yang lain, atau ada sebahagian kaum yang sampai kepada mereka sebuah hadits, sedangkan kaum lain tidak sampai. Ada pula dalil yang dijadikan hujjah oleh sebuah kaum, namun menurut kaum yang lain tidak.



Keragaman dalam "Furu' " adalah Rahmat
Umar bin Abdul Aziz mengatakan: bagiku tidaklah indah jika para sahabat sepakat dalam satu pendapat, karena kalau demikian tidak ada rukhsah (keringanan) dalam agama ini.

Ikhtilaf dalam masalah furu' adalah rahmat, karena dalam berbagai kondisi yang sulit kita bisa mengambil pendapat yang menyelamatkan kita dari kemudharatan.

Namun keragaman dalam ushul tidaklah terpuji. Terutama dalam masalah ushul yang asasiyah. Seperti ke Esaan Allah, bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi terakhir, Ka'bah adalah kiblat, shalat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji bagi yang mampu adalah wajib.


Bahaya menuduh Kafir bagi orang Muslim
Seorang muslim hendaknya menjaga diri dari menuduh saudaranya yang muslim dari kata-kata kafir, fasiq, bid'ah, musyrik dan yang seumpamanya, karena kalimat itu akan berlaku kepada orang yang dituduhnya. Apabila benar, maka berlakulah sesuai dengan sifat yang dituduhkan, namun bila tidak maka kata-kata tersebut akan kembali kepada orang yang mengatakannya, karena ia menjadi orang yang paling berhak dengan tuduhan yang mengada-ngada itu.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda: "Jika seseorang menuduh saudaranya dengan engatakan "Kafir" maka berlakulah kata tersebut pada salah seorang diantaranya".

Dan dalam shahihnya juga dari Abu Dzar Ra, bahwa dia mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Tidaklah seseorang menuduh saudaranya dengan kata-kata "Fasiq" atau "Kafir" melainkan kata-kata tersebut kembali keatasnya, jika saudaranya tidak demikian".

Namun perlu ditambahkan pula, bahwa hal tersebut terjadi bila yang menuduh itu tidak bertakwil terhadap ucapannya, bila dia bertakwil maka dia tidak menjadi kafir murtad, akan tetapi dia tetap berdosa besar.

Begitu pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Umar Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Jagalah kehormatan orang-orang yang menyebut Laa Ilaaha Illallah, jangan kamu kafirkan mereka hanya karena satu dosa. Barang siapa yang mengkafirkan mereka sesungguhnya mereka kepada kekafiran lebih dekat".

Penutup
Banyaknya mazhab fiqh dan kelompok dakwah dalam Islam merupakan keistimewaan agam Islam, selama manhaj mereka adalah untuk berkhidmah kepada Islam dan umatnya.

Kita tidak bisa mengajak semua orang untuk tunduk dalam satu gerakan atau satu jema'ah yang mengumpulkan semua da'I dalam wadahnya dibawah satu kepemimpinan dan satu manhaj, karena halangan dan tantangan pasti akan menghampiri kita. Tapi biarkanlah keragaman itu ada, bila digunakan untuk membela agama, selama keragaman itu menyangkut masalah teknis dan spesialis, bukan keragaman yang saling menuding dan bermusuhan.

Dan kewajiban atas semua jama'ah tersebut untuk saling membantu, saling menyempurnakan, menguatkan dan menyokong satu sama lainnya dalam meghadapi segala problematika umat yang mana ia adalah permasalahan bersama.

Hendaknya kita saling membantu pada setiap permasalahan yang menjadi titik kesepakatan, dan saling memaafkan pada setiap permasalahan yang menjadi titik perbedaan.

Ingat dan camkanlah firman Allah berikut ini:
﴿مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ﴾
"Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih saying sesame mereka". (QS. Al Fath: 29)

Sumber: http://awwaluzzikri.multiply.com/reviews/item/11

Sabtu, 22 Januari 2011

Jalan yang lurus

"Jalan yang lurus", "(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka" (QS Al Fatihah,[1]: 7)

Benar bahwa yang Haq adalah tunggal , kebenaran hanyalah dari Allah yang Ahad.

Namun "jalan yang lurus" diatasnya terdiri dari beberapa jalur/alur/track, pahamilah dari firman Allah dalam (QS Al Fatihah, [1]:7). Dalam firman tersebut Allah ta'ala menyatakan "Jalan orang-orang" , bersifat jamak atau bersifat plural (beragam). Keberagaman inilah yang disebut dengan cabang (furuiyah).

Semua hamba Allah akan berada pada "jalan yang lurus" (walaupun berbeda jalur) minimal adalah yang telah bersyahadat.

Inilah maksud hadits berikut
Tak ada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah yang ucapan itu betul-betul keluar dari kalbunya yang suci kecuali Allah mengharamkan orang tersebut masuk neraka“. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan mereka yang tidak bersyahadat, salah satunya tidak mengakui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Allah atau bahkan sebagian lagi ada yang mengakui ada tuhan yang lain termasuk mereka yang menuhankan hawa nafsu atau orang yang tidak mengakui adanya Allah adalah mereka yang TIDAK berada pada "jalan yang lurus" yakni "(jalan) mereka yang dimurkai dan  jalan mereka yang sesat"

Pahamlah kita bagaimana kesalahpahaman tentang paham pluralisme, selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/11/04/2010/10/27/orang-orang-beriman/ Tulisan tersebut dapat dipergunakan untuk "menjawab" paham pluralisme.

Semoga bisa dipahami bahwa memang kehendak Allah "di atas" jalan yang lurus ada banyak cabang (furuiyah)atau ada beberapa madzhab, manhaj, thareqat, kelompok, dan ada beberapa metode pemahaman terhadap Al-Qur'an dan Hadits.

Semua adalah jalan menuju kepada Allah ta'ala dengan syarat minimal adalah bersyahadat.

Semua hamba Allah yang telah bersyahadat baik yang hanya mengenal tentang syariat saja (rukun Iman dan rukun Islam) maupun ditambah menjalankan Tasawuf (ihsan) adalah mereka yang berada pada jalan yang lurus menuju kepada Allah.
Pertanyaannya adalah seberapa cepat sampai kepada Allah, seberapa cepat dapat seolah-olah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati atau disebut Ihsan.

Selambat-lambatnya seorang muslim mendapatkan karunia Allah untuk dapat melihat Allah adalah ketika di akhirat nanti.

Selengkapnya silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/22/perjalanan-menuju-allah/

Jadi apa yang diperdebatkan, apa yang didiskusikan secara sengit di beberapa milis islam, forum diskusi Islam, blog Islami, diskusi pada jejaring sosial sebagian besar adalah memperbincangkan jalur/alur/cabang (furuiyah) sampai-sampai tidak malu dengan Allah yang dekat , apalagi seolah-olah melihat Allah.

Sebagai contoh orang yang muslim yang keliru berziarah kubur , namun salah paham menyembah kuburan atau menyembah orang-orang yang shaleh". Benarlah hal itu sebuah perbuatan kekufuran namun belum pasti orang muslim itu telah kafir. Bisa jadi dia belum tahu, apa yang telah diperbuat. Kemudian setelah berziarah kubur dia kembali bersyahadat (minimal pada saat sholat). Sehingga dia kembali ke jalan yang lurus setelah sesaat waktu mereka berpaling dari jalan yang lurus. Vonis kafir kepada seorang muslim yang harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan melakukan proses konfirmasi terhadap kekufuran yang mereka lakukan. Bisa jadi pada saat konfirmasi apa yang telah mereka lakukan mereka akan tersadar atau sampai kepadanya pengetahuan tersebut. Jika proses konfirmasi atau penyampaian tersebut telah dilakukan dan dia tetap melakukan kekufuran  maka resmilah dia "membatalkan" syahadatnya.

Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum syari’at Islam.

Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.

Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara. Dalam sebuah hadits dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda :
ثلاث من أصل الإيمان : الكف عمن قال : لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل , والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر
ولا عدل عادل والأقدار.( أخرجه أبو داود )
“Tiga hal merupakan pokok iman ; menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah. Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ; dan meyakini kebenaran takdir”.

Imam Al-Haramain pernah berkata, “ Jika ditanyakan kepadaku : Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan argumentasi mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.

Vonis kafir hanya dikenakan pada orang-perorang yang telah jelas seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur
Dapat dikenakan kepada pada suatu kaum, setelah jelas apa yang diyakini mereka (pemahaman pokok/ keyakinan pokok/i'tiqad) adalah sebuah kekufuran seperti kaum Musyabbihah atau Mujassimah.

Terjadi kesalahpahaman yang telah dilakukan banyak ulama pada saat ini, mereka mensesatkan / mengkafirkan pada suatu kaum yang telah bersyahadat dan tidak pula mempunyai i'tiqad dalam kekufuran.

Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh Syaikh Al Albani (semoga beliau dirahmati Allah).
Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan Islamiyah, selama mereka semua tidak berdiri di atas Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj (jalan/cara) Salafus Shalih, maka dia (golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata!

Tidak diragukan lagi bahwasanya golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga dasar ini (Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan Manhaj Shalafus Shalih) maka akan berakibat atau membawa kerugian pada akhirnya walaupun mereka itu (dalam dakwahnya) ikhlas.

Berdasarkan pengetahuan saya, setiap golongan atau kelompok yang ada di muka bumi Islam ini, saya berpendapat sesungguhnya mereka semua tidaklah berdakwah pada dasar yang ketiga, sementara dasar yang ketiga ini adalah pondasi yang kokoh. Mereka hanya menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja, di sisi lain mereka tidak menyeru (berdakwah) pada manhaj Salafus Shalih kecuali hanya satu jamaah saja.

Beliau mengatakan sesatlah golongan atau kelompok yang hanya bersandar pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saja tidak berdiri di atas dasar yang ketiga yakni manhaj Salafus Sholeh

Bagaimanakah mungkin dikatakan sesat bagi mereka-mereka yang hanya bersandar pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saja ?

Hal ini mengingatkan saya pada perbincangan antara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan saudaranya Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab, dalam soal kafir-mengkafirkan ini.

Sulaiman bertanya kepada adiknya: “…Berapa, rukun Islam”
Muhammad menjawab: “lima”.
Sulaiman: Tetapi kamu menjadikan 6!
Muhammad: Apa, ?
Sulaiman: Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah
mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir.
Muhammad : Terdiam dan marah.

Sesudah itu ia berusaha menangkap kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi Sulaiman dapat lolos ke Makkah dan setibanya di Makkah ia mengarang buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi ‘alal Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi)

Begitulah kesalah-pahaman saudara-saudara kita kaum Salafi/Wahabi yang menisbatkan pada pemahaman Salafush Sholeh, namun tidak ada kejelasan pemahaman siapa dari Salafush Sholeh yang mereka ikuti "perjalanan" nya karena Salafush Sholeh adalah terdiri dari banyak orang. Dahulu kala pemahaman para Sahabat selalu ditengahi oleh Rasulullah begitu pula selanjutnya selalu ditengahi oleh orang-orang Sholeh sehingga mereka tersebut dikatakan para Salafush Sholeh.
Contoh penengahan pemahaman para Sahabat di jaman Rasulullah bisa di baca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/11/04/akhlak-rasulullah/


Juga termasuk kesalahpahaman akan pengakuan mereka bahwa pemahaman atau manhaj seperti mereka sajalah yang benar , secara tidak disadari mengingkari kehendak Allah.

Semoga bisa dipahami oleh para pembaca kenapa kami kerap menyampaikan tentang kesalahpahaman saudara-saudara kita kaum Salafi / Wahabi, semua itu bukanlah atas dasar kebencian , semata-mata kami melakukan dalam rangka saling mengingatkan terutama pada diri saya sendiri.

Semoga bisa dipahami mengapa kami tidak mensesatkan/mengkafirkan saudara-saudara kita kaum Salafi / Wahabi , salah satunya karena mereka terus-menerus bersyahadat.

Begitu juga terhadap saudara-saudara kita kaum Syiah , tidaklah bisa dikatakan sesat karena mereka bersyahadat sama seperti kita. Kalaupun ada kesalahpahaman yang mereka lakukan dalam "perjalanan" menuju Allah , kita berprasangka baik kepada mereka bahwa mereka seolah-olah berputar-putar di atas "jalan yang lurus" atau terhalangi/terdindingi oleh sesuatu.

Sungguh tujuan hidup kita adalah "perjalanan" menuju kepada Allah. Bukti telah sampai adalah menjadi muslim yang sholeh atau muslim yang Ihsan, muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah

Terhalang melihat Allah , silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/22/2010/07/19/terhalang-melihat-allah/

Semoga kita semua bisa menjadi wali-wali Allah, Shiddiqin, muslim yang ihsan, muslim yang sholeh. Sehingga kita bisa termasuk yang disholawatkan oleh seluruh muslim sampai akhir zaman.

Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.


Sesuai janji Allah ta’ala maka setiap muslim yang sholeh (muhsin) atau orang-orang beriman dan beramal sholeh maka akan masuk surga tanpa di hisab,

Janji Allah swt dalam firmanNya yang artinya.

….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124

Marilah kita berlomba-lomba menuju kepada Allah, berlarilah kepada Allah , “Fafirruu Ilallah” berlomba-loba untuk dapat seolah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati.

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
Apakah Anda pernah melihat Tuhan?
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.

Wassalam

Zon di Jonggol

Perjalanan menuju Allah

Tujuan kita melangkahkan kaki di muka bumi ciptaan Allah ta'ala adalah untuk sampai kepada Allah karena dicintai Allah atau menjadi kekasih Allah (Wali Allah)

Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )

Kita semua umat Islam dapat menjadi kekasih Allah dengan menjalankan segala perbuatan/ibadah "yang Allah ta'ala diamkan" yakni perbuatan/ibadah berdasarkan kesadaran sendiri dari hamba Allah atau amal kebaikan / amal sholeh atau perkara/amalan sunnah. Perbuatan/ibadah yang diharapkan timbul atas kesadaran/kemauan sendiri bagi diri hamba Allah , jika tidak timbul kesadaran tsb maka Allah ta'ala diamkan.

Dari Abu Huriroh rodhi Allahu ta’ala ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah ta’ala berfirman, barang siapa memusuhi wali-Ku maka aku izinkan untuk diperangi. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku akan Aku berikan, jika dia meminta perlindungan pada-Ku, akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari)

Lawan dari perbuatan/ibadah berdasarkan kesadaran sendiri adalah perbuatan/ibadah ketaatan atau yang disyaratkan sebagai hamba Allah yakni perbuatan/ibadah yang harus dikerjakan dan harus ditinggalkan yakni perkara yang hukumnya Wajib , hukumnya Haram (bentuknya batas/pelarangan dan pengharaman).

Perbuatan/ibadah ketaatan adalah yang dimaksud oleh Allah ta'ala pada hadits diatas sebagai "perkara yang Aku wajibkan"

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

Tulisan lebih lanjut mengenai peta perbuatan/ibadah silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/09/peta-perbuatan-ibadah/

Salah satu perbuatan/ibadah termasuk yang "Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya" atau amal sholeh atau amal kebaikan agar kita mejadi muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan atau muslim yang terbaik adalah zuhud

Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya)

Pahami bagian yang di bold "Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu"
Allah mencintai kita maka kita menjadi kekasih Allah (wali Allah).

Seluruh perkara sunnah diluar/selain yang Allah katakan sebagai "perkara yang Aku wajibkan" pada hakikatnya jika dilaksanakan maka Allah akan mencintai kita seperti berdzikir, berdoa, sholat sunnat rawatib, tahajud, dhuha dan sholat sunnat lainya termasuk sekedar menjaga wudhu (selalu berwudhu setiap kali batal) atau bahkan menyingkirkan batu di jalan. Perbuatan/Ibadah inilah yang dilaksanakan atas kesadaran sendiri dari hamba Allah atau amal kebaikan atau amal sholeh.

Cara dan sarana menuju Allah ta'ala


Dalam agama Islam ada 3 pokok utama yakni
Tentang Islam (rukun Islam/Fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin/I'tiqad), Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf dalam Islam)

Tasawuf dapat dikatakan sebagai perjalanan (suluk) seorang hamba Allah menuju atau agar sampai (wushul) kepada Allah.

Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )

Pada hakikatnya Tasawuf (tentang Ihsan) bukanlah sebuah ilmu atau sebuah pemahaman namun sebuah amal atau perbuatan atau "perjalanan" atau dikenal dengan suluk dan "pejalan"nya disebut seorang salik.

Sedangkan Fiqih, Ushuluddin, I'tiqad dll yang merupakan pendalaman/pengamalan rukun Iman, dan rukun Islam adalah syariat/syarat "perjalanan", rambu2 dan petunjuk "perjalanan", tanpa syariat/syarat maka "perjalanan" akan tersesat atau sebagian mengatakan termasuk zindiq.

Pada hakikatnya setiap hamba Allah yang mempunyai kesadaran sendiri untuk menuju kepada Allah akan dapat memahami dan merasakan bahwa Allah ta'ala yang membimbing walaupun secara dzahir dibimbing oleh seorang/beberapa mursyid (pembimbing)

…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (membimbingmu/memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282)
"Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS An Nuur [24]:35 )

Beberapa sarana bimbingan adalah melalui mursyid , hati, mimpi, suatu kejadian/cobaan dan bentuk-bentuk lain atas kehendakNya

"Perjalanan" yang dilakukan seorang hamba Allah menuju kepada Allah sebaiknya tidak dilakukan seorang diri karena kemungkinan tersesatnya akan besar sekali dan godaan syetanpun semakin besar dan semakin halus (semakin sukar dibedakan antara kebenaran dengan kesesatan), godaaan syetan berbanding lurus dengan tingkat perjalanan yang telah dilampaui atau disebut juga dengan maqam, jadi tingkatan/pangkat syetan yang menggoda mengikuti tingkatan(maqam) salik itu sendiri.
Oleh karenanya dibutuhkan seorang/beberapa mursyid (pembimbing) yang telah mengetahui/melewati "jalan yang lurus".

Thariqat adalah jalan yang telah dilalui oleh seorang mursyid yang mengikuti jalan mursyid yang membimbing dan seterusnya dikenal sebagai sanad ilmu atau dengan pengijazahan thariqat.

"Jalan yang lurus" atau jalan orang-orang yang telah bersyahadat di atasnya ada beberapa jalur/cabang/furuiyah. Inilah yang disebut dengan thariqat atau juga untuk yang hamba Allah yang hanya mengenal tentang syariat (rukun Islam dan rukun Iman) saja disebut dengan madzhab atau manhaj.

Semua hamba Allah yang telah bersyahadat baik yang hanya mengenal tentang syariat saja (rukun Iman dan rukun Islam) maupun ditambah menjalankan Tasawuf (ihsan) adalah mereka yang berada pada jalan yang lurus menuju kepada Allah.
Pertanyaannya adalah seberapa cepat sampai kepada Allah, seberapa cepat dapat seolah-olah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati atau disebut Ihsan.

Tak ada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah yang ucapan itu betul-betul keluar dari kalbunya yang suci kecuali Allah mengharamkan orang tersebut masuk neraka“. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Tasawuf adalah tentang akhlak , akhlak melakukan "perjalanan"
Akhlak sebagai hamba Allah terhadap Allah, akhlak sebagai hamba Allah terhadap ciptaanNya yang lain seperti alam, hewan, tumbuh2-an, dll , termasuk akhlak dengan sesama manusia apalagi akhlak dengan sesama muslim / saudara.

Tasawuf adalah tentang tazkiyatun nafs, menyucikan jiwa
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)

Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)

Tasawuf adalah mengenal Allah (ma'rifatullah). mengenal dzatNya melalui namaNya, sifatNya dan perbuatanNya. Juga termasuk memahami seperti contoh beberapa hadits di atas, bagaimana memahami "yang Allah ta'ala diamkan", "perkara yang Aku wajibkan",beda maafNya dengan ridhoNya Contoh perbedaan silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/11/ridho-allah-taala/

Tasawuf atau perjalanan adalah perbuatan/ibadah yang termasuk atas kemauan/kesadaran sendiri atau amal kebaikan / amal sholeh atau perkara sunnah yang dicintai Allah. Tasawuf targetnya adalah menjadi muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau shiddiqin atau sufi . Semua ini hakikatnya sama.

Siapakah muslim yang ihsan ?

Firman Allah dalam (QS Lukman [31]: 1-7 )
[31:1] Alif Laam Miim
[31:2] Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmat
[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Dari ayat-ayat tersebut dapat kita pahami muhsin/muhsinin adalah,
- Seorang muslim (diwakilkan dengan mendirikan sholat, menunaikan zakat dan yakin akan akhirat) dan
- Orang-orang yang berbuat kebaikan atau orang-orang yang beramal sholeh

Berbuat kebaikan dilakukan oleh orang yang melakukan perjalanan atau orang-orang yang hanya tahu tentang rukun Iman dan rukun Islam , namun pertanyaannya adalah seberapa cepat mampu seolah-olah melihatNya atau melihat Allah ta'ala dengan hati karena inilah bukti bahwa telah sampai (wushul) kepada Allah.

Selambat-lambatnya seorang muslim mendapatkan karunia Allah untuk dapat melihat Allah adalah ketika di akhirat nanti.

Sedangkan mereka yang telah sampai kepada Allah di dunia atau mampu seolah-olah melihat Allah di dunia mereka tidak akan khawatir atau bersedih atau mereka yang merasakan kesenangan dalam shalat (sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah), seolah berjumpa dengan Allah dalam shalat, puasa, zakat dan ibadah haji. Hakikatnya adalah mereka yang benar-benar telah bersaksi (syahid/menyaksikan) tiada tuhan selain Allah.

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (QS Yunus [10]:62 )

Semoga kita semua bisa menjadi wali-wali Allah, Shiddiqin, muslim yang ihsan, muslim yang sholeh. Sehingga kita bisa termasuk yang disholawatkan oleh seluruh muslim sampai akhir zaman.

Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,

Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.

Sesuai janji Allah ta'ala maka setiap muslim yang sholeh (muhsin) atau orang-orang beriman dan beramal sholeh maka akan masuk surga tanpa di hisab,

Janji Allah swt dalam firmanNya yang artinya.

….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab." (QS Al Mu’min [40]:40 )

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124

Marilah kita berlomba-lomba menuju kepada Allah, berlarilah kepada Allah , “Fafirruu Ilallah” berlomba-loba untuk dapat seolah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati.

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.

Wassalam


Zon di Jonggol

Jumat, 21 Januari 2011

Berselisih

Berselisih penghambat untuk sampai pada tujuan hidup kita

Dalam tulisan sebelumnya sudah kami sampaikan tentang perbedaan pemahaman adalah kehendakNya
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/19/perbedaan-pemahaman/

Sikap kita dengan berselisih, berbantah-bantahan,bertengkar, saling membunuh adalah salah satu yang menghambat kemajuan umat Islam.
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/17/kemajuan-umat-islam/

Berselisih, berbantah-bantahan, bertengkar, saling membunuh adalah sikap yang tidak disukai Allah ta'ala

Kita harus dapat membedakan antara berbeda dengan berselisih. Berbeda adalah beragam (plural) sedangkan berselisih adalah sikap atas perbedaan.

Sikap yang baik adalah sabar dan ikhlas atas kehendak Allah tsb, salah satunya dengan saling menghargai perbedaan pemahaman.

Sungguh setiap hamba Allah yang telah bersyahadat dengan “sidqan min qalbihi“ (betul-betul keluar dari qalbu), mereka telah berjalan pada jalan yang lurus

"Tak ada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah yang ucapan itu betul-betul keluar dari kalbunya yang suci kecuali Allah mengharamkan orang tersebut masuk neraka". (H.R. Bukhari dan Muslim).

Metode pemahaman, madzhab, manhaj, tharekat, halaqah, kelompok atau bentuk jama'ah minal muslimin lainnya adalah diibaratkan "kendaraan" untuk berjalan di jalan yang lurus. Keberagamaan "kendaraan" tersebutlah yang merupakan kehendak Allah.

Sekarang marilah kita intropeksi bagaimana "kendaraan" yang telah kita gunakan apakah dapat mengantarkan kepada tujuan kita ?.
Seberapa cepat sampai tujuan ?
Kadang tidak kita sadari , kita terlampau sibuk memperbincangkan tentang "kendaraan" sehingga "kendaraan" tersebut tidak juga berjalan kepada tujuan.

Kemanakah tujuan kita ? surgakah ?
Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )

Surga adalah ciptaanNya sedangkan tujuan kita sampai (wushul) kepada-Nya.

Hamba Allah akan sampai (wushul) kepadaNya bisa dengan cepatnya yakni pada saat ini juga di dunia atau berlambat-lambat ketika di akhirat nanti.

Hamba-hamba Allah yang telah sampai kepadaNya di dunia adalah mereka yang seolah-olah melihat Allah, melihat Allah dengan hati atau muslim yang ihsan. (Ihsan,bahasa arab yanga artinya terbaik/sempurna.)

Marilah kita bersegera kepada Allah, jangan sibuk memperbincangkan "kendaraan" sampai lupa menjalankan kendraan atau lupa pada tujuan yang sebenarnya.

Mereka, muslim yang mendalami dan mengamalkan tentang Ihsan (tasawuf/akhlak) mengenal “Fafirruu Ilallah” berlarilah kepada Allah.

Mudah2an para pengunjung/pembaca blog dapat memahami kami mengapa kami begitu kukuh menyampaikan tentang Ihsan atau tasawuf dalam Islam, begitu kukuh kami mengingatkan tentang akhlak, Insyaallah semua itu kami lakukan adalah atas persaudaraan muslim dan mengingatkan pada tujuan kita sebenarnya dalam melangkahkan kaki di bumi ciptaan Allah ta'ala.

Wassalam