Jumat, 30 April 2010

Kami Sampaikan

Kami sampaikan tanpa cinta dunia

Begitulah slogan pada blog kami

Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
"Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai. Apakah tidak perlu aku tunjukkan pada satu perkara, jika kalian melakukannya maka niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian!" (HR. Muslim).

Blog mutiarazuhud kami upayakan dalam rangka menebarkan salam, saling mencintai sesama muslim dan dalam rangka saling mengingatkan agar kita semua tidak dalam kerugian.

Akhir-akhir ini kami menyampaikan masalah Salafy adalah karena kami temukan perpecahaan dikalangan umat Muslim di negeri kita sebagai contoh adalah,

-  Perbedaan pendapat ketika memasuki bulan Maulid (Rabiul Awwal).
-  Perbedaan pendapat masalah membaca fatihah di belakang imam sehingga mengakibatkan ketika Masjid "dikuasai" salafy, sebagian umat Islam tidak lagi mau mengikuti sholat berjamaah padahal kita ketahui bahwa sholat berjamaah merupakan suatu keutamaan.
-  Perbedaan pendapat dalam mengikuti pemilu dan berpolitik sampai merusak silaturahim
-  Perbedaan pendapat tentang zikir berjama'ah
dll.

Oleh karenanya kami mengadakan kajian dan diskusi secara internal dan dengan kemampuan teknologi informasi seadanya, saya mendapat tugas menyampaikan pada dunia internet.

Setelah kami mengadakan kajian, kesimpulan kami, (mohon maaf) bahwa perpecahaan itu salah satu merupakan sumbangan metode pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah (Salafy)

Awalnya dari metode pemahaman Salafy yang kemudian pecah kedalam beberapa kelompok yang secara garis besar ada pada dua kelompok yang bertolak belakang.
Silahkan baca tulisan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/29/keterhubungan-salafy/

Kami setuju, ada saudara-saudara muslim kita yang berupaya untuk mengikuti Sunnah dan Salafush Sholeh namun mereka tidak mengikuti sama sekali metode pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah dan Syaikh-syaikh sepemahaman dengan beliau.

Mereka langsung mengkaji pada Al-Qur'an, Tafsir, Hadits-Hadits dan Syarahnya, Kitab-kitab Fiqih, Kitab-Kitab Ushuluddin, Kitab-Kitab Tasawuf dan buku-buku umum lainnya. Namun terkadang mereka terkendala untuk mendapatkan sumber dan literatur.

Begitulah kenyataannya  beragamnya sumber literatur tentang metode pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah. Sebagai contoh salah satu tulisan di
http://academia-mdz.blogspot.com/2008/11/pemikiran-tasauf-ibnu-taimiyah.html"]http://academia-mdz.blogspot.com/2008/11/pemikiran-tasauf-ibnu-taimiyah.html

Dimana sosok-sosok pengungkap pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah ada pula dilakukan oleh "orang lain",  lihatlah nama-nama asing yang tercantum sebagai sumber.

Kami sangat khawatir dari upaya-upaya Kerajaan Arab Saudi untuk "memaksa" penerimaan pemahaman Salafy Wahabi. Saudara-saudara muslim negeri kita yang sekembali belajar di sana ada sebagian yang tekontaminasi dengan pemahaman  Salafy Wahabi

Untuk  memenuhi sikap pragmatis tersebut,  ada kemungkinan mereka sampai melakukan  ”perubahan” atas kitab-kitab Ulama di Timur Tengah yang terdahulu.

Sebagai contoh kitab "Madarijus Salikin", Ibnu Qoyyim Al-Jauziah. Pada edisi yang kami dapatkan tertulis yang artinya "Barangkali edisi ini lebih "akurat" dan "korektif" ketimbang terbitan al-Manar, karena naskah ini dirujuk kepada empat manuskrip tulisan tangan yang terdapat di Dar al-kutub al-Mishriyah, Mesir....."

Apalagi mempertimbangkan bahwa orang-orang yang memusuhi Islam (orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik) ketika perang dengan negeri-negeri Islam, mereka turut juga melakukan perusakan pada sumber-sumber, literatur, manuskrip karya ulama-ulama Islam terdahulu. Namun ada juga mereka "membantu" menerbitkan ulang beberapa karya ulama-ulama Islam yang sumber asli ada pada mereka.

Jadi keaslian kitab-kitab karya Syaikh Ibnu Taimiyah mulai ada keraguan bagi kami. Sungguh pada zamannya metode pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah ditolak oleh jumhur ulama waktu itu. Bahkan beliau masuk penjara karena perbedaan metode pemahaman. Salah satu perbedaan dapat dilihat di http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/10/allah-turun/

Oleh karenanya kami menyarankan untuk meninggalkan metode pemahaman Ibnu Taimiyah.  Keputusan ada ditangan antum masing-masing, kami hanya sebatas menyampaikan hasil kajian.

Kalaupun ingin berupaya mengikuti Sunnah dan Salafush Soleh maka sebaiknya pada sumbernya langsung tanpa mengikuti hasil upaya yang telah dilakukan Syaikh Ibnu Taimiyah. Namun kita sadari bahwa upaya kita mengikuti Sunnah dan Salafush Soleh secara langsung (sumber primer) akan terkendala dalam mencari sumber-sumber, literatur, manuskrip. Juga kendala  terlampau besar jarak waktu antara zaman sekarang dengan generasi terbaik. (Salafush Sholeh).

Sekali lagi pesan kami, karya-karya ulama setelah tahun 300 H perlu kita lebih berhati-hati dan selalu merujuk pada Al-Quran dan Hadits atas segala pendapat atau fatwa mereka.

Sebaiknya jangan percaya begitu saja segala sesuatu pemahaman/pendapat/fatwa yang datang dari wilayah kerajaan Arab mempertimbangkan hadist  tentang Imam Mahdi akan berperan sebagai panglima perang ummat Islam di akhir zaman.

Beliau akan mengajak ummat Islam untuk memerangi para Mulkan Jabriyyan (Para Penguasa Diktator). “Kalian perangi jazirah Arab dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian Persia (Iran), dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Rum, dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Dajjal,dan Allah beri kalian kemenangan.” (HR Muslim 5161)

Makna hadits adalah bahwa orang-orang di Jazirah Arab dalam perkembangan dan sampai akhir zaman  nanti akan kembali kedalam kesesatan sehingga Imam Mahdi perlu memerangi mereka.

Kita paham bahwa Allah menurunkan Al-Qur'an dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh Bangsa Arab. Sedangkan kita dengan sedikit kendala dalam segi bahasa namun Insya Allah pemahaman dapat kita dapati pula. Kami lebih menyenangi karya-karya ulama-ulama Islam "tua" negeri kita yang penuh hikmah. Kami pun lebih memahami fatwa-fatwa majelis ulama Indonesia karena fatwa mereka adalah bentuk kesepakatan para ulama dari berbagai unsur.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya nama Indonesia  mengambil inspirasi dari surah Ali Imran: 19, "Inna al-din 'inda Allahi al-Islam". Begitu pula sumber daya alam Indonesia yang berlimpah ruah dianugerahkan oleh Allah kepada rakyat yang mayoritas beragama Islam. Pada kenyataannya kita kurang bersyukur sehingga pemanfaatan alam tidak dengan baik malah "membiarkan"  ikut dinikmati oleh orang-orang memusuhi Islam yakni seperti peringatan yang disampaikan Allah yang artinya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82)"


Wallahu a'lam

Kamis, 29 April 2010

Tinggalkanlah Salafy

Tinggalkanlah metode pemahaman Salaf(i) (madzhab Taimiyah).

Saya menyarankan kepada saudara-saudara muslim  Salaf(i), sebaiknya untuk meninggalkan metode pemahaman Salaf(i)  (Salaf ala Syaikh Ibnu Taimiyah).

Lihatlah bagaimana tanggapan saudara-saudara muslim pada umumnya terhadap pengikut Syaikh Ibnu Taimiyah / Salaf(i) ?

Beberapa gambarab  situasi dapat dibaca di sini,

http://www.evans86.cybermq.com/post/detail/8545/gelombang-penolakan-salafy-ekstrim

atau situasi di sini http://salafiyunpad.wordpress.com/2010/01/24/salafi-vs-sabili-sebuah-bantahan-terhadap-majalah-sabili/

atau situasi di sini http://salafibeneran.blogspot.com/2009/03/agar-para-pengaku-salafi-mau-berpikir.html

atau situasi di sini http://orgawam.wordpress.com/2007/07/31/kajian-ilmiah-tentang-harokah-salafy/

atau situasi di sini http://insyaflahsalafy.files.wordpress.com/2007/11/memahamikaraktersalafi.pdf

atau situasi di sini http://insyaflahsalafy.files.wordpress.com/2007/11/gerakan_salafi_modern_di_indonesia.pdf

atau situasi di sini http://jihaddandakwah.blogspot.com/2009/03/beda-salafus-shalih-dengan-khawarij.html

atau situasi di sini http://assunnahsurabaya.wordpress.com/2008/11/05/fahami%E2%80%A6-tentang-apa-siapa-sururiyyah/

atau situasi di sini http://salafyindependent.wordpress.com/2009/12/15/pedang-menghunus-tepat-di-jantung-abu-bakar-basyir/

atau situasi adanya perbedaan tanggapan muslim menghadapi maulid Nabi.

Bahkan ada contoh sebuah ungkapan/"rumus"  kalangan Salaf(i), yakni:

- Mengkritik ulama/syaikh Salaf(i) (pengikut Taimiyah) artinya mencela dan menyerang.
- Mereka membid'ah-bid’ahkan yang lain artinya nasihat

Madzhab Taimiyah atau metode pemahaman Salaf(i) adalah metode pemahaman yang disusun dan diolah oleh Syaikh Ibnu Taimiyah dalam upaya beliau mengikuti Sunnah dan Salafush Sholeh.  Metode ini dikenal pula sebagai metode pemahaman secara harfiah atau tekstual terhadap Al-Qur’an dan Hadits.

Bagi saya metode pemahaman secara harfiah atau tekstual adalah menunjukkan suatu keterbatasan atau membatasi diri. Allah telah berfirman yang artinya,

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (Al Baqarah : 269)

Syaikh Ibnu Taimiyah terlampau berlebihan memaknai ketundukan akal terhadap nash-nash Al-Qur'an  dan nash-nash Sunnah.

Dalam hal ini ketundukan akal sesungguhnya adalah tidak boleh menambah nash-nash Al-Quran dan nash-nash Sunnah  karena Islam telah sempurna, namun mempergunakan akal untuk mengambil pelajaran dari nash-nash Al-qur’an dan Sunnah adalah sebuah kewajiban muslim yang merupakan anugerah karunia dari Allah, dimana setiap muslim bisa berbeda-beda kadar mendapatkannya.

Sebagai contoh, pengikut Syaikh Ibnu Taimiyah /  Salaf(i)  belum dapat memahami (mengambil pelajaran) dari pernyataan muslim yang belajar  tentang Tasawuf bahwa "Aku beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka"

Bagi Salaf(i) yang pemahaman mereka terbatas (atau membatasi diri) secara harfiah atau tekstual, pernyataan murid Tasawuf ini adalah sebagai bentuk mengenyampingkan aspek al-khauf (rasa takut) dan ar-raja` (pengharapan).

Pelajaran yang dapat ditarik atau makna dari pernyataan murid Tasawuf itu sesungguhnya adalah “Bagi mereka yang sudah mencapai keadaan/tingkatan tertentu, mereka beribadah secara ikhlas kepada Allah bukan karena Surga atau Neraka karena mereka paham bahwa sesungguhnya perintah dan larangan dari Allah adalah wujud dari ke Maha Pemurah dan Maha Penyayang Allah. Sungguh perintah dan larangan Allah adalah demi kebaikan manusia itu sendiri

Kaum Salaf(i) sesungguhnya membatasi diri mereka pada keadaan / tingkatan keimanan berdasarkan aspek al-kauf (rasa takut) dan ar-raja’ (pengharapan) semata.

Kalau kita ambil pelajaran dari kehidupan seorang anak. Seorang anak dilarang oleh orang tuanya untuk menaiki dan berjalan di sebuah tembok yang tinggi. Anak pada umumnya akan mengikuti larangan orangtuanya karena mengerti perintah larangan orang tua itu secara harfiah dan aspek rasa takut pada orangtuanya maupun mengetahui akibat jika larangan itu dilanggar.

Namun bagi anak yang telah “mengenal” orangtuanya, dia akan mengikuti larangan orang tuanya, karena dia paham bahwa orang tuanya melarangnya merupakan wujud rasa sayang orang tua kepadanya. Jadi anak itu ikhlas mengikuti larangan orangtuanya tanpa peduli dengan akibat jika larangan itu dilanggar.

Anak yang “mengenal” orangtua itu adalah ibarat murid Tasawuf  “mengenal” Allah atau pada kalangan ahli Tasawuf dikenal dengan istilah ma'rifatullah.

Nasehat Imam Syafi'i, "Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (Syariat) dan juga menjalani tasawuf (hakikat & marifat), dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.

Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (syariat) tapi tidak mahu menjalani tasawuf (hakikat & marifat) , maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa.

Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf (hakikat & marifat) tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih (syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik ?"

Namun sangat disayangkan kaum Salaf(i) dilarang oleh pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah untuk belajar Tasawuf (seputar hakikat dan marifat). Pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah terbatas bahwa ilmu Tasawuf adalah bid’ah dholalah (terlarang sesat).

Syaikh Ibnu Taimiyah sudah “mengumpulkan” hadits-hadits yang berhubungan dengan bid’ah namun kenyataannya beliau belum dapat mengambil pelajaran (al-hikmah) dari sekumpulan nash-nash hadist tersebut. Sehingga beliau berpendapat sekalian bid’ah adalah sesat.

Padahal umat muslim pada umumnya sebagaimana Imam Syafi’i, berpemahaman bahwa bid’ah itu terbagi secara umum dalam dua sifat yakni bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah.

Kita maklum keterbatasan pemahaman Salafy sesuai firman Allah pada Al-Baqarah ayat 269, bahwa anugerah  al hikmah (pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits) diberikan kepada siapa yang dikehendaki Allah dan dalam derajat/kedalaman pemahaman yang berbeda-beda.

Nah, kenapa kita harus membatasi diri atau mengikuti keterbatasan pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah ?

Sebaiknya ikutilah metode pemahaman Imam Mujtahid yang lain yang dapat membebaskan kita untuk menerima anugerah al-hikmah dari Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Wassalam

Zon di Jonggol

PDF Files:

Gerakan salafi modern di indonesia

Memahami karakter salafi

Kajian ilmiah tentang harokah salafy

Keterhubungan Salafy

Kenyataan yang kita lihat bahwa saudara-saudara muslimku Salaf(i) terpecah dalam beberapa kelompok walaupun sesungguhnya mereka tidak menghendaki adanya pengelompokan.

Secara umum  saudara-saudara muslim ku Salaf(i), terbagi menjadi dua kelompok yang saling bertolak belakang dan antar kelompok itupun mereka “bertengkar”

"Salaf(i) pertama"
Salaf(i) yang dengan metode pemahaman mereka membentuk pengikut yang taat kepada Penguasa, asalkan Penguasa itu muslim dan masih sholat walaupun Penguasa itu bersekutu dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik.

"Salaf(i) kedua"
Salaf(i) yang dengan metode pemahaman mereka membentuk pengikut yang taat untuk berjihad dan berpolitik memerangi orang-orang Yahudi dan Orang-Orang Musyrik.

"Salaf(i) pertama" "mempersilahkan" (mengikat perjanjian dengan) orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik menikmati kekayaan alam dari negeri Islam. Dengan kekayaan yang didapat dari negeri-negeri Islam, orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik menggunakkannya untuk berperang dengan "Salaf(i) kedua"

Sehingga secara tidak langsung kita sesama muslim saling membunuh.

"Salaf(i) pertama" mudah dipahami adalah mereka yang "menguasai" dan bermukim di wilayah kerajaan Arab Saudi dan mencoba menyebarluaskan paham Salaf(i) Wahabi termasuk ke negeri kita Indonesia dan mengundang para pemuda dari negeri kita untuk "belajar agama" di wilayah kerajaan Arab Saudi.

"Salaf(i) kedua"
Saya contohkan adalah pemahaman Sayyid Qutb dan Hasan Al-Banna.

Lihat tulisan sebelumnya http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/14/divide-et-impera/

Sudah pasti tokoh-tokoh pergerakan Islam akan tersinggung dengan contoh yang di sebutkan. Lebih baik "tersinggung" sekarang daripada sudara-saudara muslimku terlambat menyadari keadaan.

Kalau dalam Ahlussunnah wal Jamaah, seorang guru sebaiknya mempunyai "hubungan" dengan yang terdahulu dan pada ujungnya adalah ahlul bait (keluarga) Nabi.

Kalau dalam Salaf(i) beginilah keterhubungan mereka.

Metode Pemahaman Ibnu Taimiyah disiarluaskan oleh muridnya Ibnu Qayim Al jauzi, pengarang salah satu kitabnya adalah "Zadul Ma'ad"
Metode pemahaman beliau-beliau ini tidak mendapat sambutan baik di Siria dan Mesir, karena banyak bertentangan dengan fata-fatwa ulama yang lazim dipakai ketika itu.

Tetapi lama kelamaan, kira-kira 500 tahun kemudian Metode Pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah disambut dan "diangkat kembali" oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, pembangunan Salaf(i) Wahabi atau "Salaf(i) Pertama"

Jalur "Salaf(i) Kedua"
Metode pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah disambut pula di Mesir oelh Syaikh Muhammad Abduh (lahir 1849M, Wafat 1905M).
Dan Muhammad Abduh dengan perantaraan muridnya Syaikh Muhammad Rasyid Redha (wafat 1935M) Metode pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah disiarkan ke seluruh dunia, juga ke Indonesia, dengan memakai sarana majalah "Al-Manar" yang dipimpin oleh Muhammad Rasyid Redha sendiri.
Dari Rasyid Redha tersambung ke Sayyid Quthb dan Hasan al Bana

Ada pula yang berpendapat, bahwa "paham politik" bercampur dengan pemahaman "modernisasi agama" Syaikh Ibnu Taimiyah melalui seorang bangsa Afghanistan, bernama Sayid Jamaluddin Al Afgani (wafat 1897, lebih awal 8 tahun dibandingkan Muhammad Abduh).
Sayid Jamaluddin Al Afgani ini adalah guru dari Muhammad Abduh. Ia seorang "pemimpin politik", penganut faham Syiah (Zuhrul Islam, Juz I, hal 191).

Sesunggunhya racun "Modernisasi agama", "Nasionalisme" yang merupakan unsur-unsur yang dihembuskan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik dalam upaya "mengakhiri” khalifah Turki Ustmani sudah menjadi jelas adanya.

Di saat itu diupayakan kejatuhan khalifah Turki Ustmani oleh orang-orang yang memusuhi Islam (orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik) dengan gerakan mereka “Pusat-Pusat kajian ketimuran” yang dipimpin orientalis barat, “Modernisasi agama” , “Nasionalisme” yang salah satunya di motori Edward Terrence Lawrence (Yahudi dari Inggris) yang harum namanya di Saudi dengan sebutan “Lawrence of Arabia, “Sekularisme” yang dimotori Mustafa Kemal Attaturk (Yahudi dari Dumamah) yang menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmani. Inilah sesungguhnya yang dimaksud ghazwul fikri (perang pemahaman).

Orang-orang yang memusuhi Islam paham bahwa mereka tidak akan dapat “mengutak-utik” Al-Qur’an karena terjaga sampai akhir zaman. Yang mereka lakukan adalah menyerang dalam tataran pemahaman / pemikiran.

Mereka suka sekali “mengangkat” ulama yang bertentangan dengan jumhur ulama pada waktu itu yakni Syaikh Ibnu Taimiyah yang sesungguhnya belum memenuhi syarat sebagai imam mujtahid karena keterbatasan pemahaman agamanya. Metode pemahaman beliau yang kita kenal sebagai secara tekstual atau harfiah. Orang-orang yang melabeli beliau sebagai “Syaikhul Islam” sebatas dari kalangan mereka.

“Salaf(i) pertama”  mengeluarkan pernyataan / pendapat bertentangan dengan pendapat kaum Muslim pada umumnya,

Di saat warga Gaza dibantai Zionis Israel, ulama Salaf(i) asal Saudi, Syaikh Shalih Al Luhaidan melarang umat berdemo. Bahkan menyebut pendemo itu sebagai khawarij. ”Demonstrasi yang terjadi di jalanan Arab untuk membela warga Gaza termasuk membuat fasad fi Al Ardhi alias kerusakan di muka bumi,” kata Syeikh Shalih.

Syaikh Nasiruddin al-Albani menyatakan bahwa semua Muslim dan bangsa Palestina yang masih berada di tanah/negeri yang diduduki/dijajah wajib meninggalkan seluruh negeri itu dan menyerahkannya kepada kaum Yahudi, yang telah mengubahnya, setelah mereka menjajahnya, menjadi sebuah Negeri Kafir.

Menurut Abu Hanifah yang mengemukakan kemungkinan berubahnya Negeri Islam menjadi Negeri Kafir syaratnya adalah bahwa
• tanda-tanda Islam telah disingkirkan/dihilangkan darinya dan diganti dengan aturan-aturan kafir
• tidak ada seorang muslim atau kafir dzimmi pun yang masih tinggal disitu merasa aman dengan hukum Islam yang murni/asli,
• negeri itu diberi batas sebagai Negeri Kafir ataupun Negeri Perang.

Dan kita tahu bahwa tidak satupun syarat tersebut ada pada negeri yang sedang dijajah seperti di Palestina, sebab tanda-tanda Islam secara terbuka masih tetap eksis disana, kaum muslimin masih tetap bisa menikmati hukum-hukum Islam, dan tidak ada batas tersendiri sebagai Negeri Kafir ataupun Negeri Perang dalam Wilayah / Negeri Jajahan tersebut, saat ini.

Tetapi syeikh (al-Albani), telah mengumumkan/memfatwakan tanpa kesepakatan ummat bahwa Palestina telah berubah, yang tentu saja menguntungkan Israel, menjadi Negeri Kafir dan Negeri Perang. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban semua muslim yang adalah pemilik dan penduduk negeri untuk mengecam/menentang fatwa tersebut.

Syaikh Abdul Aziz Ibn Baz mengharuskan warga Palestina yang tertindas (madhlum) untuk berdamai dengan Yahudi Israel dengan pendapat bahwa Palestina, Irak, Iran, Kuwait, Indonesia dan bahkan Saudi, tidak mempunyai kekuatan atas Negara Yahudi Israel ?
Menurut Ibn Baz, si tertindas (madhlum) – dalam hal ini warga Palestina -, boleh saja merelakan haknya demi perdamaian untuk keselamatan mereka.
Sebagaimana kaedah: “sesuatu yang tidak bisa didapatkan seluruhnya, maka tidak boleh ditinggalkan seluruhnya”. Ini berdasarkan QS. at-Taghabun ayat 16 dan bahwa "perdamaian itu adalah suatu kebaikan (agama)". Berdasarkan pada QS. an-Nisa’ ayat 128:
Ibn Baz hanya fokus pada perintah Allah yakni "mengadakan perdamaian" namun beliau melupakan larangan Allah pada QS al-Baqarah ayat 120, QS Ali Imran ayat 118 dan 119.

“Salaf(i) pertama” adalah ulama-ulama pragmatis sebagaimana Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang berupaya mempertahankan “status quo” kerajaan Su’ud. Sehingga bahasa “fatwa” wahhabi tergantung regulasi-politis kerajaan.

Untuk  memenuhi sikap pragmatis tersebut,  ada kemungkinan sampai melakukan  "perubahan" atas kitab-kitab Ulama di Timur Tengah yang terdahulu

Sekarang kita dapat melihat beragam tanggapan muslim lain terhadap saudara-saudara muslim kita Salaf(i).  Salah satunya

http://www.evans86.cybermq.com/post/detail/8545/gelombang-penolakan-salafy-ekstrim

Mengapa mereka tidak mengkaji ulang metode pemahaman (madzhab) yang diikuti ?

Saya pribadi menyarankan saudara-saudaraku untuk meninggalkan madzhab Salaf(i), kalau pun mau mengikuti Salaf / Sunnah secara langsung maka ikutilah yang sesungguhnya, sebaiknya jangan mengikuti metode pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah atau Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau syaikh-syaikh sealiran.

Persiapkanlah sumber-sumber penggalian salaf sesungguhnya. Namun karena terlampau jauhnya waktu masa sekarang dengan generasi terbaik (Salafush Solih) dan sukarnya mencari sumber-sumber / kitab yang asli  maka sebagaimana kebanyakan umat muslim dapat menggunakan hasil yang telah dicapai imam madzhab yang empat atau imam-imam mujtahid lainnya yang diakui oleh jumhur ulama bukannya imam yang ditentang oleh jumhur ulama.

Wallahu a’lam

Selasa, 27 April 2010

Mengangkat Taimiyah

Mengapa orang-orang yang memusuhi Islam yakni orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik "mengangkat" kembali metode pemahaman (madzhab) Syaikh Ibnu Taimiyah ?

Mereka mengangkat metode pemahaman tokoh Islam yang ditentang oleh jumhur ulama pada zaman dahulu agar kelak dikemudian hari terjadi konflik dikalangan umat Islam.

Pandangan mereka terhadap Syaikh Ibnu Taimiyah  bahwa beliau tokoh yang mengembangkan pemikiran dalam rangka membasmi pemikiran-pemikiran taklid, yang dalam hal ini adalah sufisme.  Dia menulis buku Araddu ‘alã al-Hululiyyah wa al-Ittihadiyyah.  Dia ingin membersihkan pemikiran-pemikiran ummat Islam dari pemikiran sufi yang "tidak mencerahkan". Dia kemudian mengembangkan perlunya membuka kembali pintu ijtihad.  Berangkat dari komitmen inilah kemudian Ibnu Taimiyyah merumuskan konsep-konsep mengenai negara.

Orang-orang yang memusuhi Islam sangat berkepentingan agar pintu ijtihad terbuka kembali walaupun waktu sudah terpaut jauh dari masa generasi terbaik (Salafush Soleh). Kepentingan mereka agar memungkinkan mereka mengadakan pemahaman-pemahaman baru (modernisasi agama) terhadap  Al-Qur'an dan Hadist. Inilah sebenar-benarnya ghazwul fikri atau perang pemahaman/pemikiran.

Disamping itu mereka membutuhkan justifikasi dari keinginan mereka mensosialisasikan program mereka yakni negara atau nation state dan "nasionalisme" untuk menggantikan "kesatuan akidah "umat Islam pada waktu itu dengan sistem khalifah. Sehingga sebagian muslim menganggap bahwa "bela negara" adalah sebagian dari iman walaupun tanpa disadari "lawan negara" yang diperangi adalah saudara-saudara muslim sendiri.

Untuk memahami semua keinginan mereka, saya angkat sebuah tulisan tentang Syaikh Ibnu Taimiyah dari sudut pandang mereka yakni saya contohkan dari kalangan Liberal sebagai  "wakil" orang-orang yang memusuhi Islam.

Sumber : http://islamlib.com/id/artikel/jejak-liberal-dan-fundamentalis-dalam-pemikiran-ibnu-taimiyyah/
Jejak Liberal dan Fundamentalis dalam Pemikiran Ibnu Taimiyah

Oleh Saidiman

Charles Cruzman mengemukakan teori tentang asal muasal kaum liberal dan fundamentalis yang berakar pada pemikiran yang sama. Keduanya berangkat dari kegelisahan untuk melakukan perubahan. Bedanya adalah bahwa jika kaum liberal melakukan perubahan dengan menatap ke depan sambil membawa masa lalu yang relevan, sementara kaum fundamentalis sepenuhnya kembali ke masa lalu. Ibnu Taimiyyah (1263 – 1328) tampak mewakili tesis yang dikemukakan oleh Cruzman ini. Tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal 2008 hari kedua (9 September 2008) mengupas pemikiran Ibnu Taimiyyah yang tertuang dalam buku al-Siyãsah al-Syar’iyyah. Pada tadarus ini, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia dan Novriantoni, Lc, M.Si. tampil sebagai pembicara.

Musdah Mulia mengawali pengajian dengan memberi latar belakang kehidupan Ibnu Taimiyyah. Abul Abbas bin Abdul Halim bin Abdullah bin Muhammad Ibn Taimiyyah lahir dari lingkungan mazhab Hanbali. Ayahnya, Shihabuddin bin Abdul Halim, adalah seorang ulama Hanbali. Kakeknya, Majduddin bin Abdullah, juga adalah ulama besar Hanbali. Demikian pula dengan pamannya, Fakhruddin bin Abdul Salam. Dia sendiri tidak pernah mengklaim diri sebagai ulama Hanbali.

Ibnu Taimiyyah lahir di tengah kondisi yang carut marut. Berasal dari Harran, kota kecil di Suriah. Ketika Mongol menyerbu kota itu, dia dan keluarganya hijrah ke Damaskus. Saat itu adalah beberapa tahun ketika kekuatan Mongol, Khulaghu Khan, menghancurkan Baghdad. Khilafah hancur. Kekuasaan Islam kemudian berhasil dibangun kembali di tangan Dinasti Mamluk, dinasti yang terbangun dari budak-budak dari Turki yang kemudian berhasil menghalau pasukan Mongol. Di masa inilah Sajarat al-Durr menjadi ratu pertama di dalam pemerintahan Islam. Tetapi dinasti yang tidak terlalu kokoh ini kemudian dipenuhi dengan cerita kelam dan darah.

Di atas situasi huru hara itulah Ibnu Taimiyyah tumbuh menjadi intelektual. Muridnya, Abdul Rahman, mengatakan bahwa karya Ibn Taimiyyah tidak kurang dari 500 judul. Karya terbesarnya adalah Majmu’ Fatãwa (Kumpulan Fatwa) yang mencapai 37 jilid. Sebagian besar bukunya ditulis di dalam penjara. Dia sendiri meninggal di penjara.

Menurut Musdah, sebetulnya kajian politik yang lebih serius bukan dalam buku al-Siyãsah al-syar’iyyah, melainkan buku Minhãj al-Sunnah al-Nabawiyyah dan Ahisbatul Islam. Musdah menekankan bahwa sebelum membaca pemikiran Ibnu Taimiyyah, kita harus masuk ke abad XIV. Ibnu Taimiyyah pertama-tama mengembangkan pemikirannya dalam rangka membasmi pemikiran-pemikiran taklid, yang dalam hal ini adalah sufisme. Dia menulis buku Araddu ‘alã al-Hululiyyah wa al-Ittihadiyyah. Dia ingin membersihkan pemikiran-pemikiran ummat Islam dari pemikiran sufi yang tidak mencerahkan. Dia kemudian mengembangkan perlunya membuka kembali pintu ijtihad. Berangkat dari komitmen inilah kemudian Ibnu Taimiyyah merumuskan konsep-konsep mengenai negara.

Kenapa kita perlu bernegara? Dalam kitab al-Siyãsah, dia menyebut alasan sosiologis bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, harus berkelompok. Ibnu Taimiyyah percaya bahwa membangun negara adalah bagian dari perintah Allah bahwa kita harus memikirkan urusan-urusan bersama. Untuk mendukung argumentasinya, ia mengemukakan hadis “man lam yahtam bi amri al-muslimîn fa laisa minhum” (siapa yang tidak memikirkan urusan masyarakat maka sebetulnya dia bukan seorang Muslim). Ini tidak berbeda dengan pemikiran sebelumnya: Al-Farabi, Ibn Abi Rabi, dan Al-Gazali yang mengadopsi pemikiran Plato dan Aristoteles.

Menurut Ibnu Taimiyyah, negara timbul karena perlunya menegakkan doktrin amar ma’ruf nahî mungkar. Amar makruf nahi mungkar tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya negara. Dalam buku al-Siyãsah, negara bertujuan untuk menegakkan syariah. Tetapi dia tidak memerinci tentang apa yang dimaksud dengan melaksanakan syariah. Dia hanya menyebut bahwa negara adalah amanah. Untuk itu kepala negara harus berlaku amanah.

Kepercayaan Ibnu Taimiyyah kepada negara untuk menjamin terlaksananya perintah agama tampak sangat dominan. Semakin nyata kemudian ketika Ibnu Taimiyyah merumuskan posisi kepala negara dalam buku Minhãju al-Sunnah. Bagi Ibnu Taimiyyah, kepala negara adalah bayangan Tuhan di muka bumi. Pandangan ini sebetulnya muncul dari Arianisme yang kemudian diadopsi oleh ummat Islam pada abad ke-9. Bagi Ibnu Taimiyyah, tidak boleh ada upaya penurunkan kepala negara atau beroposisi. Karena sejelek-jeleknya kepala negara jauh lebih baik daripada tidak bernegara. Namun begitu, Ibnu Taimiyyah juga menolak pandangan yang mengatakan bahwa imãmah adalah rukun Islam, sebagaimana yang diakui oleh kelompok Syiah.

Kendati Ibnu Taimiyyah tidak memberi perincian mengenai bentuk negara ideal. Beberapa respon terhadap pemikiran yang berkembang saat itu menempatkannya sebagai pemikir yang cukup maju. Secara tegas Ibnu Taimiyyah menolak konsep kelompok Syi’ah yang menyatakan bahwa kepala negara harus berasal dari ahl al-bait, karena dianggap ma’sum atau terbebas dari dosa. Menurut Ibnu Taimiyyah, tidak ada seorang pun yang ma’sum, bahkan seorang nabi sekalipun. Nabi hanya ma’sum pada perkara-perkara kenabian, tetapi tidak untuk urusan duniawi.

Dia juga menolak pandangan kelompok Sunni, yang dirumuskan oleh al-Mawardi, bahwa kepala negara harus sehat jasmani dan berasal dari suku Quraisy. Prasyarat sehat dan penampilan fisik, bagi Ibnu Taimiyyah, tidak perlu untuk seorang kepala negara, sebab Nabi sendiri pernah menyuruh sahabat untuk taat kepada seorang budak yang buruk rupa.

Pengenai pemimpin yang harus berasal dari suku Quraisy, Ibnu Taimiyyah jelas menolak bahkan mengecamnya. Pandangan mengenai al-aimmatu min Quraisyin adalah pandangan dominan dalam Islam sejak abad ke-2 sampai masa Ibn Khaldun. Jika Ibn Taimiyyah sudah melakukan penolakan terhadap konsep ini, Ibn Khaldun justru melakukan rasionalisasi. Menurut Ibn Khaldun, yang dimaksud dengan Quraisy bukan lagi berarti keturunan darah Quraisy, tetapi yang diambil adalah sifat-sifat kepemimpinan yang mencerminkan suku Quraisy, yaitu keberanian, keperkasaan, dan ta’ashshub (solidaritas kelompok).

Musdah Mulia melihat bahwa ada yang ganjil pada masalah ini. Ummat Islam demikian mudah menerima penolakan terhadap konsep kepemimpinan Quraisy, di mana sebelumnya dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted. Tidak ada persoalan yang benar-benar keras ketika doktrin ini dihapus. Sementara konsep-konsep mengenai ketimpangan gender sangat susah untuk dicabut, misalnya hadis “lan yufliha qaumun wallû amra’ahum imra’atan” (tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan).

Bagaimana mengangkat kepala negara? Masyarakat Muslim ketika itu menerima dua metode: penunjukan dan pemilihan. Penunjukan berasal dari kalangan Syiah. Sementara Sunni memilih konsep pemilihan tetapi oleh segelintir orang yang disebut sebagai ahl al-halli wa al-aqdi. Ibn Taimiyyah menolak konsep ahl al-halli wa al-aqdi sembari mengajukan konsep ahl al-syauqah yakni semua kelompok dalam masyarakat yang memiliki otoritas: petani, militer, pengusaha, dan seterusnya. Di sini Ibnu Taimiyyah secara sederhana mulai memperkenalkan konsep perwakilan dalam politik. Dia memang tidak menyebut bahwa ahl al-syauqah juga terdiri dari orang awam, budak, dan perempuan. Namun ahl al-halli wa al-aqdi jelas tidak memasukkan unsur orang awam, budak, perempuan, difabel, dan orang kafir dalam komposisinya.

Perhatian Ibnu Taimiyyah terhadap upaya membangun negara memiliki dasarnya dalam karakter pemikiran Ibnu Taimiyyah yang secara umum berupaya untuk menjadikan segala sesuatu tampak jelas. Dia mengutip hadis: “Anã nabiy al rahmah anã nabiy al malhamah” (saya adalah nabi yang penuh kasih sayang tapi juga hebat di medan pertempuran).  Dia juga mengutip “Anã al-duhhûq al qaththãl” (saya adalah nabi yang suka guyon, tapi saya juga bisa sangat mematikan). Bagi Ibn Taimiyyah, Islam bukan hanya semata-mata agama damai, tapi juga bisa menjadi agama yang keras. Buku yang sedang dikaji dimulai dengan ayat “wa anzala ma’ahul hadid.” Menurut Novriantoni, sebetulnya ini adalah ayat yang berhubungan dengan besi, tetapi Ibnu Taimiyyah kemudian menghubungkannya dengan doktrin lain bahwa Nabi itu diberi bekal dengan kitab dan timbangan. Sebetulnya ada ayat “huwa alladzî ba’atsa fî al-ummiyyîna rasûlan minhum yatlû alaihim ãyãtihî wa yuzakkîhim wa yu’allimuhumul kitãba wa al-hikmah”.Tetapi Ibnu Taimiyyah kelihatan tidak terlalu suka dengan konsep kitab dan hikmah, dia lebih suka dengan konsep kitab dan timbangan (mizãn). Timbangan ini adalah sebuah upaya untuk menjadikan sesuatu menjadi jelas dan pasti. Hadid adalah besi. Dan besi adalah kekuasaan.

Menurut Novri, kitab al-Siyãsah adalah semacam doktrin agar ummat Islam tidak bersifat lemah. Agama bukan hanya spiritualitas. Agama ini juga adalah persoalan supremasi atau perebutan kekuasaan. Di akhir kitab, dia menyebut empat jenis manusia: yurîdûna al ‘ulû ala al-nãs wa al-fasãd fî al-ardhy (mereka yang ingin merebut kekuasaan dan ingin melakukan pengrusakan, berbuat onar); alladzina yurîdûna al-fasãd bila ‘ulû (semata-mata untuk bikin onar tapi tidak ingin mendominasi); yurîdûna al-‘ulû bila fasãd (ingin berkuasa tapi tidak mau malakukan pengrusakan); dan alladzina lã yurîdûna ‘uluwwan fi al-ardhy wa lã fasãd (tidak ingin supremasi tapi juga tidak ingin melakukan pengrusakan di bumi).

Ibnu Taimiyyah mengejek bentuk agama tanpa kekuasaan, demikian pula kekuasaan tanpa agama. Bagi dia, ini adalah jalan bagi maghdûb alaihim wa al-dhãllîn (jalan yang termurkai dan sesat). Pada teks lain dia menyebut bahwa jalan yang termurkai itu adalah jalan orang-orang Yahudi, sementara jalan yang sesat adalah jalan orang-orang Kristen. Yahudi dalam konteks ini identik dengan Daud yang membangun kekuasaan. Sementara Kristen bersama Yesus tidak berhasil membangun kerajaan duniawi. Yang paling ideal adalah Muhammad yang berhasil mengambil jalan tengah atau mewujudkan keduanya, dia menyebutnya sebagai al-shirãt al-mustaqîm (jalan yang lurus).

Menurut Novri, dalam memandang kekuasaan, Ibn Taimiyyah mengambil posisi yang sangat pragmatis. Tujuan kekuasaan, bagi Ibnu Taimiyyah, sesungguhnya adalah ambisi untuk menjadi seperti Fir’aun; sementara mereka yang ingin kaya adalah untuk meniru Qarun. Karena itu, dia mendesak agar agama masuk ke dalam kekuasaan. Pandangan ini berbeda dengan pandangan ulama-ulama sebelumnya yang cenderung positif terhadap politik. Imam Syafi’i, misalnya, mengatakan “La siyãsata illã mã wafaqa al-syar’” (tidak ada politik yang menyalahi syariah). Ibn al-Jauzi menyatakan “Inna al-syari’ata siyãsatun ilãhiyyatun wa muhal ayyaqa siyãsatun ila halalun yahtãju ma’ahu siyãsatu al-halqi” (politik identik dengan syariat, syariat sendiri adalah politik ketuhanan). Bagi Jauzi, Tuhan berpolitik di dunia dengan cara menurunkan syariat. Dalam syariat itu sendiri sudah terkandung semua aspek kehidupan ummat manusia untuk diatur menurut hukum-hukum Tuhan.

Buku ini berisi dua hal utama: bagaimana mencari pemimpin dan masalah hukum. Ketika bicara mengenai hukum, maka semua bentuk hukum Islam itu keras. Kesemuanya ini, menurut Novri, diadopsi hampir seratus persen oleh rezim Taliban. Dalam buku Khazanah Intelektual Islam, Nurcholish Madjid menyebut Ibnu Taimiyyah adalah pemikir yang sering disalahpahami. Bagi Cak Nur, Ibnu Taimiyyah justru memiliki banyak sumbangan penting dalam studi-studi sosial. Namun menurut Novri, agak berlebihan jika terlalu banyak berharap kepada Ibnu Taimiyyah. Sebab jika dirujuk dari sejarah, maka Ibnu Taimiyyah sesungguhnya lahir pada masa kemunduran Islam yang mencoba untuk melakukan purifikasi Islam. Dia adalah seorang literalis. Hampir tidak ada statemen yang tidak mengutip al-Qur’an dan Hadis, dia hampir tidak pernah mengutip orang lain.

Ibnu Taimiyyah memang menawarkan beberapa konsep yang bisa dijadikan landasan bagi pengembangan pemikiran liberal, tetapi juga menjadi pemicu bagi perkembangan pemikiran fundamentalis. Mengenai jihad, misalnya, Ibnu Taimiyyah dianggap sebagai bapak kaum salafis-jihadis. Dia mengatakan bahwa membunuh orang-orang kafir adalah jihãdul fãdhil. Dia juga menegaskan bahwa orang yang kepadanya sudah sampai kabar mengenai Nabi Muhammad yang membawa syariat Islam kemudian dia tidak menganut Islam wajib dibunuh. Jika dalam tradisi klasik perdebatan yang muncul seputar mereka yang menerima kabar tapi tidak beriman adalah apakah dia masuk surga atau tidak, maka bagi Ibnu Taimiyyah apakah dia dibunuh atau dibiarkan hidup. Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa sepanjang kehidupan nabi adalah jihad. Nabi istirahat dari jihad hanya karena ia lemah. Sepanjang tahun di Madinah dipenuhi dengan perang.

Di akhir pengajian, salah satu peserta diskusi, M. Dawam Rahardjo, mengajukan tesis mengenai Islam dan negara. Dawam mencoba melampaui pemikiran Ibnu Taimiyyah mengenai negara yang dicipta sebagai instrumen agama. Bagi Dawam, cita-cita utama Nabi Muhammad adalah kekuasaan atau membangun negara. Agama justru adalah intrumen untuk mempertahankan negara.

Wallahu a’lam




Catatan penulis blog,

Sadarlah saudara-saudara muslimku. Tampak jelas bahwa kita secara tidak disadari telah di adu domba oleh orang-orang yang memusuhi Islam yakni orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik. Sebagaimana firman Allah yang artinya,
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).

Setelah runtuhnya sistem pemerintahan Islam (khalifah Turki Ustmani), maka selanjutnya ummat Islam mulai menjalani kehidupan dengan mengekor kepada pola kehidupan bermasyarakat dan bernegara ala Barat. Mulailah di berbagai negeri muslim didirikan di atasnya berbagai nation-state (negara bedasarkan kesatuan bangsa).

Padahal sebelumnya semenjak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjadi kepala negara Daulah Islamiyyah (Negara Islam) pertama di Madinah, ummat Islam hidup dalam sistem aqidah-state (negara berdasarkan kesatuan aqidah) selama ribuan tahun.

Inilah titik awal suksesnya propaganda orang-orang yang memusuhi Islam, karena kita mau menerima nation-state (kesatuan berdasarkan negara) atau yang dikenal dengan nasionalisme menggantikan aqidah-state (Wilayah kesatuan berdasarkan akidah/agama)

Kerajaan Saudi, sejauh ini, sejauh yang kita tahu, mereka “melindungi” orang-orang Yahudi maupun orang-orang musyrik yang “masuk” ke negara mereka dengan alasan “terikat” perjanjian. Namun kita tak pernah tahu sampai kapan pernjanjian itu diakhiri. Begitu pula dengan pemerintahan negeri kita.
Dengan ‘perjanjian” itu, mereka (orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik) mendapatkan kekayaan dari sumber daya alam yang dianugerahkan Allah kepada negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim.

Dengan kekayaan yang mereka peroleh, mereka gunakan memerangi saudara-saudara muslim kita di belahan dunia yang lain. Secara tidak lansung penguasa Saudi maupun penguasa negeri kita, ikut andil untuk membunuh saudara-saudara muslim tsb dengan adanya “ikatan perjanjian”.

Wallahu a’lam

Senin, 26 April 2010

Keluar Salafy Wahabi

Mengapa Mereka "keluar" dari pemahaman Salaf(i) Wahabi

Sesungguhnya saudara-saudara muslimku kaum Salaf(i) (pengikut Salafy Wahabi) dan Syaikh-Syaikh mereka seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikh Al Albani dan lainnya yang sepemahaman  adalah saudara-saudara muslim ku yang “berupaya” mengikuti Sunnah, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in namun pada kenyataannya mereka menyandarkan pada metode pemahaman (madzhab) Syaikh Ibnu Taimiyah semata.

Kesimpulan kami (lihat tulisan-tulisan di blog kami ini tentang Salaf(i) ) , Syaikh Ibnu Taimiyah mempergunakan nama madzhab “generik” agar dikalangan muslim beranggapan sesuai dengan yang dimaksud sebagai “generasi terbaik”. Padahal sesungguhnya untuk “membungkus” nama Madzhab Taimiyah

Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah menfatwakan sendiri bahwa madzhab beliau adalah pasti benar.

Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]

Tentang Mazhab Salaf lihat tulisan di http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/20/madzhab-salaf/

Oleh karena banyak fitnah ditimbulkan atas metode pemahaman mereka maka saya sarankan bebaskanlah diri kita dari mereka.

Jadi sudah saatnya kita merujuk (fanatik) kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Sesuai firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya:
“Jika kamu berselisih pendapat maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.”

Bebaskan akal dan hati kita untuk mempersiapkan menerima anugerah Al-hikmah dari Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang sebagaimana firman Nya yang artinya.

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (Al-Baqarah – 269)

Kesimpulan:
Sebaiknya tidak membatasi diri kita dengan terbatasnya atau sebatas anugerah al-hikmah yang diterima orang lain.

Klo mau mengikuti metode pemahaman (madzhab) maka ikutilah yang sudah disepakati jumhur ulama yakni Imam Madzhab yang empat.

Alhamdulillah, beberapa orang yang  “keluar” dari metode pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah orang-orang yang membebaskan akal dan hati mereka dan kembali fanatik pada Al-Qur’an dan Hadits.

Nyatalah sudah mengapa metode pemahaman (madzhab) Syaikh Ibnu Taimiyah ditentang oleh jumhur ulama pada zamannya

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab  yang "mengangkat" kembali metode pemahaman (madzhab) Syaikh Ibnu Taimiyah pun ditentang oleh kakaknya (Sulaiman bin Abdul Wahab) yang bermadzhab Hanbali

Anggapan saudara-saudara muslimku kaum Salaf(i)  justru sebaliknya bahwa kakaknya menentang da'wah sunnah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Anggapan yang keliru atau memutar balikkan fakta. Naudzubillah min Zalik.

Kami sama sekali bukan menentang da'wah Sunnah namun kami tidak sependapat dengan da'wah Sunnah ala Syaikh Ibnu Taimiyah.

Salah satu guru Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat: “Wahai Muhammad bin Abdul Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.”

Wassalam

Catatan : Untuk seluruh istilah kaum Salaf(i) dalam blog ini adalah yang dimaksud dengan Salaf(i) Wahabi. Agak sulit untuk menulis "pangillan"nya karena mereka melarang penamaan kelompok.


Info penting ! Sebuah ebook sudah dipublikasikan

Inilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah oleh A. Shihabuddin
(Kumpulan Dialog Membela Faham Aswaja Dari Faham Salaf(i) Wahabi)

Penerbit menganjurkan bagi setiap muslim untuk mencetak ulang dan menyebarkan serta mengajarkan materi buku tsb  ke seluruh pelosok dunia, dan baginya pahala dari Alloh ‘azza wa jalla.

Untuk download silahkan melalui link dibawah ini.

Alternatif 1
4shared.com

Alternatif 2
docstoc.com

Alternatif 3 (download langsung)
docstoc.com (direct download)

Sabtu, 24 April 2010

Orang Muda

Saya tidak membenci saudara-saudara muslimku kaum Salaf(i).  Semua ini saya lakukan dalam rangka saling-mengingatkan.

Sekarang mereka menyadari sebagai "kaum minoritas muslim", atau sebagai orang-orang yang terasing (alghuroba)  namun mereka keliru memaknai hadits tentang "alghuroba".

Saya cuma sedih bagi saudara-saudara muslim ku yang mengatakan bersandar pada Salaf.  Namun pada kenyataannya mereka bersandar pada syaikh-syaikh mereka seperti syaikh Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Qoyim Al Jauzi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikh Al Albani dan selanjutnya.

Inilah yang kita kenal dengan "kaum muda" atau kaum pembaruan atau kaum modernisasi Islam

Mulai perkembangannya ketika ditandai kejatuhan khalifah Turki Ustmani (1924)

Sesuai dengan firman Allah yang artinya,

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).

Di saat itu diupayakan kejatuhan khalifah Turki Ustmani  oleh orang-orang yang memusuhi Islam (orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik) dengan gerakan mereka "Pusat-Pusat kajian ketimuran" yang dipimpin orientalis barat, "Modernisasi agama" , "Nasionalisme" yang salah satunya di motori Edward Terrence Lawrence (Yahudi dari Inggris) yang harum namanya di Saudi dengan sebutan “Lawrence of Arabia,  "Sekularisme" yang dimotori Mustafa Kemal Attaturk (Yahudi dari Dumamah) yang menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmani. Inilah sesungguhnya yang dimaksud ghazwul fikri (perang pemahaman).

Orang-orang yang memusuhi Islam paham bahwa mereka tidak akan dapat "mengutak-utik" Al-Qur'an karena terjaga sampai akhir zaman. Yang mereka lakukan adalah menyerang dalam tataran pemahaman / pemikiran.

Mereka suka sekali "mengangkat" ulama yang bertentangan dengan jumhur ulama pada waktu itu yakni Syaikh Ibnu Taimiyah yang sesungguhnya belum memenuhi syarat sebagai imam mujtahid karena keterbatasan pemahaman agamanya.  Metode pemahaman beliau yang kita kenal sebagai secara tekstual atau harfiah. Orang-orang yang melabeli beliau sebagai "Syaikhul Islam" sebatas dari kalangan mereka.

Akibat dari perang pemikiran ini timbullah fitnah-fitnah dan kaum muslim terpecah. Sebagian saudara-saudara muslimku menganggap mereka sedang memerangi bid'ah namun pada kenyataannya mereka tidak memahami arti bid'ah sesungguhnya.

Sekarang bisa kita jumpai saudara-saudara muslimku yang memasuki bulan Rabiul Awwal (Maulid Nabi) dengan penuh amarah.  Mereka memperturutkan hawa nafsu membenci kepada saudara-saudara muslim yang melaksanakan pengajian dalam rangka maulid nabi. Mereka mengatakan perayaan Maulid Nabi terlarang berdasarkan pengamatan mereka hanya kepada umat muslim yang keliru mengadakan/memahami Maulid Nabi.  Begitu juga mereka melarang belajar ilmu Tasawuf karena berdasarkan pengamatan mereka hanya kepada umat muslim yang keliru mengimplementasikan ilmu Tasawuf.

Berhati-hatilah dalam memahami agama.  Fanatiklah hanya pada Al-Qur'an dan Hadits.

Sekali lagi berhati-hatilah dan ingatlah Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya,

Akan keluar suatu kaum akhir zaman, orang-orang muda berpaham jelek. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyah” (maksudnya firman-firman Allah yang dibawa Nabi). Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama sebagai meluncurnya anak panah dari busurnya, Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu lawanlah mereka” (Hadits sahih riwayat Imam Bukhari).

Marilah kita tegakkan Ukhuwah Islamiyah.  Sebaiknya jangan memusuhi / membenci sesama muslim karena Allah telah menegaskan (dalam Al-Maidah: 82) bahwa yang paling keras permusuhannya dengan kita adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik.

Wassalam

Rabu, 21 April 2010

Mengapa Salafiyyah

Sebagian bertanya, "Mengapa saya merasa perlu mengungkap Wahabi/Salaf(i) ?"

Selain keanehan mereka  ketika memasuki bulan Rabiul Awwal dengan penuh amarah dan berdasarkan buku-buku,  berita/tulisan situs-situs yang saya pelajari saya menemukan beberapa keanehan salah satunya,

Kaum salaf(i) / wahabi karena amarahnya melihat muslim bermaulid Nabi sering menyampaikan bahwa “Nabi Maupun Wali Adalah Manusia Biasa, Tidak Berhak Disembah! ”
lihat contoh http://www.almanhaj.or.id/content/2709/slash/0

Padahal kalimat sebaiknya adalah “Nabi maupun Wali adalah manusia, tidak berhak disembah”. Bukannya “Manusia Biasa” !.   Keterlaluan.

Juga kalimat tersebut bisa mempunyai arti  lain bahwa manusia luar biasa berhak disembah.  Ini mengingatkan saya kepada kepercayaan orang-orang Yahudi & Orang-Orang Musyrik bahwa "Manusia dalam perwujudan yang tinggi menyerupai Tuhan" lihat tulisan di  penghambaan sesama manusia.

Saudara-saudara ku  Wahabi / Salafi   (bukan yang dimaksud salaf) mengelompokkan saudara muslim lainnya Ahlu bid’ah namun mereka tidak paham dengan bid’ah. Apakah kita biarkan ?

Dikarenakan mereka menganggap saudara muslim lainnya sebagai ahlul bid’ah maka mereka memutus silaturahim, meng-hajr (boikot/isolir) atau tindakan-tindakan lainnya. Padahal semua itu karena mereka tidak paham tentang bid’ah.

Dan sesungguhnya pelabelan  "Ahlul bid'ah" adalah pelabelan secara halus yang sesungguhnya bisa diartikan  sebagai "kamu sesat",  karena mereka tahunya bahwa sekalian bid'ah adalah sesat.

Kaum wahabi/salaf(i) diindoktrinasi oleh syaikh-syaikh mereka dengan pernyaatan sbb:  "Jangan mengambil ilmu agama dari ahli bid’ah, karena mereka akan menyesatkan, baik disadari atau tanpa disadari. Sehingga hal ini akan mengantarkannya kepada jurang kehancuran"  Lihat contoh : http://www.almanhaj.or.id/content/2602/slash/0

Dengan pengaruh ini maka pengikut wahabi salaf(i) akan "menutup diri" dengan pemahaman saudara-saudara muslim lainnya. Andaikata pemahaman mereka sesat/keliru maka sulit bagi saudara-saudara muslim diluar mereka memberikan nasehat.

Kalau jam'ah/majlis yang menutup diri seperti ini biasanya mengarah ada sesuatu/misi yang disembunyikan.  Dari sejak dahulu seorang yang mempelajari agama bebas berganti guru/syaikh karena sesungguhnya dasar pegangan adalah sama yakni Al-Qur'an dan Hadits. Yang berbeda dari guru/syaikh adalah semata-mata besarnya karunia al hikmah yang telah dianugerahi Allah sesuai dengan firmanNya yang artinya,

"Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)" (Al-Baqarah - 269)

Apakah mereka menjamin bahwa Allah menganugerahkan al-hikmah hanya dikalangan syaikh-syaikh mereka saja ?

Orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik sudah paham mereka tidak dapat "mengutak-utik" ayat-ayat Al-Qur'an karena terjaga sampai akhir zaman. Hal yang mungkin mempengaruhi bagi umat Islam adalah di tataran pemahaman/pemikiran  (ghazwul fikri).

Mengingat firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).

Saya menduga semua keanehan ini,  tanpa kita sadari,  bisa jadi ulah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik.  Ketika mereka berupaya menjatuhkan khalifah Turki Ustmani, mereka sebenarnya yang turut mengangkat kembali pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah bersama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mempunyai kepentingan membantu kekuasaan cikal bakal keluarga saudi.  (Lihat tulisan bahaya laten).

Orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik tentu paham bahwa pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah ditolak banyak ulama pada zamannya, sehingga dengan mengangkat kembali pemahaman ini akan terjadi konflik diantara umat Islam di kemudian hari.

Bahkan menurut info mereka pun turut membantu mencetak kembali karya-karya Ibnu Taimiyah, sehingga umat Islam pun dengan mudah mendapatkannya.

Bahkan di Arab sendiri buku-buku untuk menyebarluaskan paham wahabi / salaf(i) dibagi-bagikan secara gratis.

Pertimbangan lain adalah sebuah  hadist tentang Imam Mahdi akan berperan sebagai panglima perang ummat Islam di akhir zaman. Beliau akan mengajak ummat Islam untuk memerangi para Mulkan Jabriyyan (Para Penguasa Diktator).

Kalian perangi jazirah Arab dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian Persia (Iran), dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Rum, dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Dajjal,dan Allah beri kalian kemenangan.” (HR Muslim 5161)

Wallahu a'lam.

Selengkapnya lihatlah tulisan untuk saudaraku wahabi / salaf(i).

Saudaraku Salafiyyah

Untuk saudaraku kaum salaf(i).

Beberapa tulisan di blog ini diperuntukan bagi saudara-saudaraku dari kaum Salaf(i) dengan maksud semoga mereka mendapatkan pelajaran sebagai bahan intropeksi diri / jama’ah. Juga diperuntukkan bagi umat muslim yang sedang menuntut ilmu atau sedang bingung memilih jama’ah / majlis / pengajian yang hendak diikuti. Untuk memilih dapat merujuk pada dua buah tulisan

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/pilih-jamaah/

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/18/firqah-masuk-surga/

Dalam seluruh tulisan harus dibedakan antara salaf dan salaf(i).

Asal muasalnya saya menulis tentang kaum Salaf(i) adalah  dikarenakan kita jumpai sebagian muslim ketika memasuki bulan Rabiul Awwal dengan penuh amarah.

Sebab mereka menganggap ungkapan kecintaan kepada Rasulullah shallallah alayhi wa aalihi wa sallam di bulan Rabiul Awwal sebagai hal yang mungkar. Karena mereka beranggapan bahwa ungkapan cinta dan syukur atas kelahiran dan diutusnya Rasulullah shallallah alayhi wa aalihi wa sallam sebagai penambahan dalam agama ( bid’ah ) yang tidak pernah dicontohkan dan dilakukan oleh Rasulullah shallallah alayhi wa aalihi wa sallam.

Menurut meraka, setiap amaliyah yang tidak pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallah alayhi wa aalihi wa sallam adalah bid’ah dan kesesatan.

Setelah saya telusuri, ternyata mereka sesungguhnya tidak memahami arti bid’ah. Silahkan merujuk tiga buah tulisan untuk memahami bid’ah.

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/18/memahami-bidah/

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/20/bidah/

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/20/semua-ibadah/

Saya maksudkan dengan kaum salaf(i) adalah sebatas mereka yang sepahaman dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengikuti pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah yang diikuti pula salah satunya adalah Syaikh Ibnu Qoyyim Al Jauzi.

Silahkan lihat tulisan

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/23/2010/02/21/salaf-ala-ibnu-taimiyah/

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/21/2010/02/10/ibnu-taimiyah/

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/21/2010/02/10/muhammad-bin-abdul-wahab/

Mereka ini saya sebut sebagai ulama salaf(i) ,  kita bedakan dengan ulama zaman salaf

Imam madzhab yang empat, lebih terdahulu (salaf) dibandingkan ketiga imam-imam salafi yang saya sebutkan.

Kita ketahui kehidupan empat imam madzhab adalah ketika dan dekat masa generasi salaf (sahabat, tabi'in, tabi,ut tabi'in) yakni
* Imam Hanafi (lahir 81H, wafat 150 H)
* Imam Malik bin Anas (lahir 83H, wafat 179 H)
* Imam Syafi’i (lahir 150 H, wafat 204 H)
* Imam Ahmad bin Hambal (lahir 162H, wafat 241 H)

Sedangkan Syaikh Ibnu Taimiyah (lahir 661 H, wafat 724 H) apalagi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (1115H – 1206H) waktunya lebih kebelakang dibandingkan empat imam madzhab.

Jadi aneh koq sekarang sebagian umat muslim lebih memilih imam-imam "yang berupaya kembali ke salaf"  (salafi) di bandingkan "imam-imam yang sudah jelas lebih terdahulu (salaf)". Bahkan sebagian dari kaum  Salaf(i)  ada yang anti madzhab atau anti ilmu fiqh.

Kunci meluasnya pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah apa yang diupayakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Bagi saya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah ulama yang pragmatis karena kita ketahui beliau “membantu” kekuasaan Muhammad bin Sa’ud (cikal bakal kerajaan Saudi).

Saat ini kita ketahui pemerintahan kerajaan Saudi Arabia berkehendak meluaskan pemahaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang kita kenal dengan Wahabi atau diluar negeri mereka diberi nama Salaf(i).

Sikap pragmatis dari Muhammad bin Abdul Wahab mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi
politik sementara Ibnu Abdul Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar “keluarga kerajaan” negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Ibnu abdul wahhab misalnya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz.

Selengkapnya lihat tulisan

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/16/2010/04/16/waspada-salafiyyah/

Dari gerakan da’wah yang sepemahaman dengan Syaikh Ibnu Taimiyah ini terpecah menjadi dua bagian besar yang bertolak belakang yakni,

Kelompok pertama, Syaikh-syaikh yang menghasilkan pengikut Salaf(i) yang berkeras untuk berjihad, berperang melawan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Kelompok pertama yang sepemahaman sepert ini, contohnya Sayyid Qutb, Hasan al Banna atau bahkan Osama bin Laden

Kelompok kedua, Syaikh-syaikh yang menghasilkan pengikut Salaf(i) yang taat kepada penguasa muslim asalkan masih sholat walaupun bersekutu dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Kelompok kedua yang sepemahaman  seperti ini,  contohnya Imam bin Baz, al-Utsaimin dan al-Albani.

Selengkapnya lihat tulisan

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/14/potret-salafiyyah/

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/14/divide-et-impera/ (versi ringkasnya)

Pada masa proses kejatuhan khalifah Turki Ustmani, salah satu strategi Yahudi adalah dengan memisahkan Turki Utsmani dengan Arab. Dari sinilah lahir gerakan nasionalisme Arab. Jenderal Allenby mengirim seorang perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence ke Hijaz untuk menemui para pemimpin di sana. TE. Lawrence ini diterima dengan sangat baik dan seluruh hasutannya di makan mentah-mentah oleh tokoh-tokoh Hijaz. Maka orang-orang dari Hijaz ini kemudian membangkitkan nasionalisme Arab dan mengajak tokoh-tokoh pesisir Barat Saudi untuk berontak terhadap kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmaniyah, dan setelah itu mendirikan Kerajaan Islam Saudi Arabia. Adalah hal yang aneh, gerakan Wahabi yang mengakui sebagai pengikut sunnah Rasulullah SAW ternyata mendukung pendirian kerajaan, monarkhi absolut, yang tidak dikenal dalam khasanah keislaman.

Selengkapnya silahkan lihat tulisan

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/23/2010/02/23/bahaya-laten/

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/23/2010/02/10/modernisasi-agama/

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/23/2010/02/12/tanggapan-modernisasi-agama/

Kalau kita lihat diskusi atau perdebatan, kaum Salaf(i) dengan kaum lainnya atau kaum Salaf(i) dengan Salaf(i) lainnya dapat terlihat mereka seperti “keras”. Setelah saya pelajari ternyata  dalam pemahaman Salaf(i), mereka menolak ilmu tasawuf yang merupakan kelompok ajaran Islam seputar akhlak, hati, tazkiyatun nafs, ruhiyah dll.

Selengkap silahkan lihat tulisan

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/13/kelemahan-salafiyyah/

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/2010/04/12/ilmu-tasawuf/

Kalau kita mebandingkan pemahaman kaum Salaf(i) dengan kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah ternyata banyak perbedaan. Silahkan lihat tulisan

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/2010/04/09/banyak-perbedaan/

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/2010/03/29/taqlid-dan-ittiba/

Metodologi pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah secara tekstual atau harfiah bahkan sebagian menyebut ilmiah mungkin sering kita jumpai catatan kaki sebagai sumber dalil.

Syaikh Ibnu Taimiyah memaknai berlebihan bahwa akal tunduk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sampai ada kecederungan tidak menggunakan akal lagi untuk mempelajari / memaknai Al-Qur'an dan Sunnah. Padahal kita diperintahkan untuk mempergunakan akal untuk mempelajari sesuai firman Allah yang artinya,

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah - 269)

Akal terlarang jika kita menggunakan untuk membuat dalil, aturan, hukum baru, karena agama Islam telah sempurna sedangkan mengambil pelajaran atau memaknainya harus dengan akal (inilah kelebihan mahluk manusia). Dari akal kemudian menuju ke hati sehingga kita mencapai yang kita kenal sebagai haqul yakin. Sehingga dari semula muslim menjadi mukmin dan dilanjuti mencapai ihsan (sempurna) atau seorang muhsin,  ketika semua sudah mencapai hati, itulah yang dipaparkan dengan ihsan bahwa seolah-olah melihat Allah atau minimal, kita harus yakin bahwa Allah melihat kita. Ujung-ujungnya semua yang kita ingin tahu tentang hati, tazkiyatun nafs, ruhiyah asal kita mau mempelajari dan mengamalkan ilmu tasawuf.

Dalam urusan i’tiqad khususnya ayat-ayat mutasyaabihaat,

Aliran salaf adalah yang berserah diri, menghadapi ayat-ayat mutasyaabihaat mereka umumnya menyatakan "Kita tidak perlu tahu artinya ayat ini, serahkan kepada Allah apa artinya. Maha Suci Allah akan serupa dengan mahluk"

Sedangkan ulama salaf(i)  (Syaikh Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan sepemahaman)  menghadapi ayat-ayat mutasyaabihaat mereka umumnya menyatakan "Tidak boleh dita'wilkan, artikanlah secara tekstual, lahiriah di langit, tangan, duduk, namun semuanya tidak serupa dengan mahluk"

Nah kaum Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam metode mengajarkan dan menghadapi muslim-muslim yang tidak sepenuhnya berserah diri melakukan ta'wil.
Lalu siapa yang berhak menta'wilkan ?
Silahkan  lihat  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/tawil/

Sedangkan untuk contoh tentang Allah turun ke langit dunia silahkan lihat tulisan

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/29/2010/04/10/allah-turun/

Ketika kehidupan Syaikh Ibnu Taimiyah, pendapat maupun fatwa beliau ditentang oleh jumhur ulama, bahkan beliau sampai dipenjara karena keganjilan (klo menurut kaum Salaf(i), beliau mempertahankan akidah). Sebenarnya beberapa ratus tahun kemudian pemahaman Syaik Ibnu Taimiyah sudah mulai ditinggalkan orang namun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengangkat kembali bahkan lebih keras dan lebih ekstrim.

Demikianlah uraian perbedaan dan keganjilan pemahaman ulama-ulama kaum Salaf(i), bahkan beberapa info mengatakan pada akhirnya Ibnu Taimiyah bertobat atas pemahaman i’tiqad / akidah yang beliau sampaikan salah satunya dapat kita ketahui

http://www.indonesiaindonesia.com/f/50416-bukti-ibnu-taymiyah-al-bany-taubat/

Ibnu Taimiyah Tobat

Namun oleh ulama-ulama salaf(i) lainnya informasi ini dikesampingkan.

Wallahu a’lam

Selasa, 20 April 2010

Madzhab Salaf

Madzhab Salaf pada hakikatnya tidak ada

Kalau dibalik lembaran sejarah Islam dari zaman Nabi sampai zaman Sahabat, sampai zaman Tabi’in dan zaman  Tabi’ Tabi’in, tegasnya sampai tahun 300 hijriyah, tidak dijumpai adanya suatu madzhab yang bernama “Madzhab Salaf”

Juga kalau dibalik Al-Quran yang 30 Juz dan Hadits-hadits Nabi yang tertulis dalam kitab-kitab Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nisai, Ibnu Majah, Muwatha’, Musnad Ahmad bin Hanbal dll, tidak pernah dijumpai tentang adanya satu madzhab dalam Islam yang bernama Madzhab Salaf.

Bahkan batas waktu yang tegas antara yang dinamai zaman Salaf dan zaman Khalaf tidak ada keterangan, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits. Apakah yang dinamakan zaman Salaf itu 100 tahun, 200 tahun, 300 tahun, 400 tahun atau 500 tahun sesudah Nabi ? tidak ada keterangannya yang pasti.

Yang ada terlukis dalam sejarah hanyalah Madzhab Hanafi yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah di Kufah (lahir 90H – wafat 150H), Madzhab Maliki yang dibangun oleh Imam Malik bin Anas di Madinah (lahir 93H – wafat 179H), Madzhab Syafi’i yang dibangun oleh Imam Muhammad bin Idris as Syafi’I di Bagdad dan di Mesir (lahir 150H – wafat 204H) dan Madzhab Hambali yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hanbal di  Bagdad (lahir 164H – wafat 241H).

Semuanya itu adalah Madzhab dalam furu’ syariat, dalam fiqih.

Disamping itu ada Madzhab-madzhab pada zaman Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in yang tidak panjang usianya dan sekarang tidak terkenal lagi seperti Madzhab Auza’i di Syam, Madzhab Leits di Mesir, Madzhab Tsuri di Iraq, Madzhab Daud Zhahiri di Andalus, Madzhab Zaidiyah di Yaman dan lain-lain, tetapi dapat dipastikan bahwa Madzhab Salaf tidak ada



Sebagai dimaklumi, bahwa arti  “Salaf” ialah “orang yang terdahulu”. Orang yang terdahulu itu ada yang baik dan ada yang buruk. Pada zaman Nabi, bukan saja yang ada itu orang Islam, tetapi ada juga orang Yahudi, Nashara, Munafiq dan pada zaman Sahabat selain orang Islam sejati ada juga orang yang sesat seperti kaum Mu’tazilah, Khawarij, Syi’ah, Qadariyah, Jabariyah dan pada zaman Tabi’in muncul macam-macam manusia disamping orang-orang yang saleh-saleh.

Pendeknya, di zaman dulu itu ada orang yang saleh dan ada pula orang yang taleh (bahasa minang untuk “tidak saleh” atau "tidak berpendirian").

Kalau kita dianjurkan mengikuti Madzhab Salaf, dengan arti Madzhab orang yang terdahulu, maka itu berarti kita dianjurkan bukan saja mengikuti orang-orang yang baik-baik tetapi juga mengikuti orang yang jelek-jelek.

Sumber : “40 Masalah Agama” Buku keempat. Alm. KH Siradjuddin Abbas, 153-155, cetakan 7 Januari 2008. Buku keempat ini cetakan awal bulan Agusutus 1976. Tentang Masaah Salaf dan Khalaf, Beliau uraikan dari halaman 149 s/d 211

Pembaca dapat merujuk pada buku-buku beliau untuk mengetahui lebih lanjut tentang madzhab salaf sesungguhnya. Sebuah peninggalan yang bermanfaat buat generasi-generasi berikutnya. Semoga Beliau dirahmati Allah.

Kesimpulan kami,  Syaikh Ibnu Taimiyah mempergunakan nama madzhab “generic” agar dikalangan muslim beranggapan sesuai dengan yang dimaksud sebagai “generasi terbaik”.  Padahal sesungguhnya untuk "membungkus" nama Madzhab Taimiyah

Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah menfatwakan sendiri bahwa madzhab beliau adalah pasti benar.

Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar[Majmu Fatawa 4/149]

Berikut tulisan saudara-saudaraku kaum Salaf(i)  (nama pengikut Syaikh Ibnu Taimiyah) yang merujuk kepada fatwa tersebut,  http://www.almanhaj.or.id/content/1474/slash/0

Bagi pembaca yang memahami tulisan saya, http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/18/firqah-masuk-surga/ tentu memahami yang sesungguhnya.

Oleh karena banyak fitnah atas metode pemahaman mereka maka saya sarankan bebaskanlah diri kita dari mereka.

Jadi sudah saatnya kita merujuk (fanatik) kepada Al-Qur'an dan Hadits

Sesuai firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya:
"Jika kamu berselisih pendapat maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya."

Bebaskan akal dan hati kita untuk mempersiapkan menerima anugerah Al-hikmah dari Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang sebagaimana firman Nya yang artinya.

"Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)" (Al-Baqarah - 269)

Kesimpulan:
Sebaiknya tidak membatasi diri kita dengan terbatasnya atau sebatas anugerah al-hikmah yang diterima orang lain.

Semua Ibadah

Ketika saya membuat tulisan hati-hati dalam memahami bid'ah , saya ada menggunakan kata ghairu mahdah artinya ibadah umum.

Lalu ada yang bertanya,  apakah ada beda atau sama antara " ibadah" dan bernilai "ibadah"?  atau adapula yang menyatakan ibadah itu adalah yang dengan niat.

Merujuk kepada tujuan hidup kita sesuai keinginan Allah yang diuraikan dalam firmanNya yang artinnya,
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku" (Az Zariyat : 56)
"Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu" (al Hijr: 99)

Maka seluruh perbuatan kita di dunia adalah dalam rangka ibadah!


Ada mahdah (ibadah khusus) dan ghairu mahdah (ibadah umum).

Ibadah khusus yang sudah ada rukun, aturan dan contoh dari Rasulullah yang "wajib" kita ikuti seperti sholat, puasa, zakat, naik haji inilah yang disebut "urusan kami" atau "urusan dalam Islam"

Ibadah umum beberapa dicontohkan oleh Rasulullah dan disunahkan untuk mengikuti , namun sebagian lagi diserahkan kepada manusia sesuai keinginan, teknologi atau zaman.

Ibadah umum seperti bekerja, berdoa/berzikir, berjama'ah, sedekah, infaq, belajar / menuntut ilmu, metode pengajaran, berpolitik, menggunakan safety belt ketika berkendara mobil, menggunakan pedal rem ketika menjalankan kendaraan, menggunakan helm ketika berkendara motor, berangkat naik haji menggunakan sarana transportasi yang lebih baik seperti dengan pesawat terbang. Yang perlu diingat bahwa "semua yang diserahkan kepada manusia" itu tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Inilah yang disebut dengan mengikuti petunjuk Allah atau pegangan hidup manusia mengarungi dunia yakni Al-Quran dan Hadits.

Ibadah umum, berdoa/berzikir, disunnahkan mengikuti  yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW namun boleh dilakukan sesuai kebutuhan/keinginan (tidak sesuai yang dicontohkan) namun biasanya mengikuti sunnah adab berdoa.

Bid'ah dholalah / terlarang adalah pada "urusan kami" atau "urusan dalam Islam" karena Islam sudah sempurna.

Kenapa sebelumnya saya menjelaskan "tujuan hidup" agar kita tidak lagi melakukan perbuatan yang bukan ibadah atau tidak ada niat.

Sehingga umat muslim yang tahu "tujuan hidup" InsyaAllah tidak akan korupsi, berbohong, memaki-maki, menuruti hawa nafsu dll yang dilarang oleh Allah.

Juga akan menjaga adab selalu "di hadapan Allah",  setiap detik,  setiap saat.  Itulah yang saya sebut menjadi muslim yang terbaik.
Silahkan lihat tulisan saya di http://mutiarazuhud.wordpress.com/20...uslim-terbaik/

Muslim terbaik adalah seorang yang sampai pada tingkatan seolah-olah melihat Allah atau paling tidak seorang yang yakin bahwa segala perbuatannya dilihat Allah maka tentu akan terdorong melakukan perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Inilah sesungguhnya bentuk ketaqwaan kepada Allah yang menentukan tingkat/ukuran kemuliaan seorang muslim di hadapan  Allah.
Sesuai firman Allah, “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa” (QS. Al-Hujurat: 13)

Nah sebagian muslim tidak menyadari bahwa mereka hidup di dunia ini "di hadapan Allah".

Mereka pahami "di hadapan Allah" adalah sewaktu diakhirat saja.

Ini kekeliruan besar! karena kita pahami bahwa Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat dan Maha Mengetahui.

Bayangkan sekarang, apa yang bisa kita "sembunyikan" di hadapan Allah ?

Dalil Bid'ah

Mengambil Pelajaran dari Dalil Tentang Bid'ah


Ketika saya membuat tulisan hati-hati dalam memahami bid'ah

Banyak yang memberikan tanggapan dengan memberikan dalil-dalil banyak sekali tentang "bid'ah",  mungkin maksudnya agar saya lebih memahaminya.

Mereka (yang memberikan dalil-dalil) tidak melakukan langkah berikutnya, cukup berpuas diri pada dalil-dalil semata.

Langkah berikutnya adalah "mengambil pelajaran" dari semua dalil-dalil berhubungan dengan bid'ah,  sebagaimana firman Allah yang artinya,

"Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (Al Baqarah : 269)

Semoga kita diberikan anugerah hikmah oleh Allah yang Maha Penyayang,

Jika tidak kita dapatkan anugerah hikmah, maka bisa saja termasuk yang disebut "Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka".  Naudzubillah min zalik.

Marilah kita mengambil pelajaran atau memaknai atau menta'wilkan.

Siapa yang menta'wilkan Al-Quran dan sunnah, silahkan lihat tulisan sebelumnya http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/tawil/

Urutan pertama adalah cari dalil yang bersifat umum (prinsip/dalil umum) biasanya mengandung kata "sekalian" atau "setiap"

Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah menerangkan sbb:

"Jauhilah olehmu sesuatu yang diada-adakan karena yang diada-adakan itu bid'ah dan sekalian bid'ah adalah dholalah (sesat)"

Ada hadits-hadits yang senada dengan ini.

"Sekalian bid'ah" diterangkan atau dikhususkan oleh hadits-hadits lainnya seperti:

Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan: "Barangsiapa yang berbuat satu kebid'ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah azza wajalla telah menyatakan: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian." (Al- Maidah: 3)

Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya

"Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak" (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)

Arti kata-kata "kebid'ahan di dalam Islam" , “dalam urusan kami”  ialah urusan keagamaan, karena Nabi Muhammad Saw, diutus Allah untuk menyampaikan agama. Maka dari hadist-hadits ini dapat diambil pengertian bahwa kalau dalam urusan keduniaan atau ghairu mahdah boleh saja diadakan asal tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.

Sehingga sebagian ulama memaknai bahwa bid'ah yang bukan dalam Islam atau bukan urusan keagamaan, yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits, tidak menentang perbuatan-perbuatan Sahabat Nabi, dan tidak menentang Ijma maka dikategorikan bid'ah hasanah.

Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji).

Hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, adalah masih dapat menerima pengecualian, karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah, sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian. Untuk itulah dijelaskan oleh hadits yang lain dengan istilah "di dalam Islam"  atau "urusan kami".

Wassalam

Minggu, 18 April 2010

Memahami bid'ah

Hati-hati memahami bid'ah

Kaum muda (yang baru berusaha memahami agama agar lebih baik) harus berhati-hati memahami bid'ah.

Saat ini ada sebagian muslim yakni kaum salaf(i)  (beda dengan Salaf) sering menggunakan label "ahlul bid'ah" bagi saudara-saudara muslim lain diluar jama'ah mereka. Sampai-sampai mereka memutus silaturahmi, berlepas diri, meng-hajr (boikot/isolir) bahkan ada yang keji menganggap boleh dibunuh karena menganggap saudara muslimnya telah kafir. Naudzubillah min zalik.

Saat ini ada sebagian muslim "membiarkan" penderitaan saudara-saudara muslim kita di Palestina, Irak, Afghanistan, Somalia dan lain-lain hanya karena melabelkan mereka tidak melaksanakan keimanan sesuai syari'at atau melabeli sebagai kaum ahlul bid'ah.

Berhati-hatilah dan ingatlah Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya,
"Akan keluar suatu kaum akhir zaman, orang-orang muda berpaham jelek. Mereka banyak mengucapkanperkataan "Khairil Bariyah" (maksudnya firman-firman Allah yang dibawa Nabi). Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama sebagai meluncurnya anak panah dari busurnya, Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu lawanlah mereka" (Hadits sahih riwayat Imam Bukhari).

Kita harus pahami apa yang dimaksud bid'ah, Kalau salah memahaminya malah bisa menjurus seperti orang berpaham sekulerisme yang jelas-jelas telah disepakati para ulama sebagai paham terlarang.

Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya
"Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak" (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)

Arti kata-kata “dalam urusan kami” ialah urusan keagamaan, karena Nabi Muhammad Saw, diutus Allah untuk menyampaikan agama. Maka dari hadist ini dapat diambil pengertian bahwa kalau dalam urusan keduniaan atau ghairu mahdah boleh saja diadakan asal tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.

Hati-hati kalau kita menganggap ada perbuatan muslim didunia ini bukanlah ibadah

Allah berfirman yang artinya,
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku"  (Az Zariyat : 56)

"Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu" (al Hijr : 99)

Apapun perbuatan kita di dunia ini sampai kematian menjemput,  seluruhnya dalam rangka beribadah kepada Allah.

Hanya orang-orang yang berpaham sekularisme saja yang dapat memisahkan, ini urusan ibadah, ini urusan dunia (bukan ibadah)
Seperti contoh orang yang berslogan "Islam Yes, Partai Islam No". Ini sebuah kekeliruan yang besar !.
Berpartai haruslah merujuk kepada Al-Qur'an dan hadits sebagai petunjuk dan pegangan hidup kita.

Setiap perbuatan / ibadah / amaliyah kita di dunia harus merujuk kepada Al-Qur'an dan Hadits.
Jikalau perbuatan / ibadah / amaliyah itu tidak ada dicontohkan oleh Rasulullah, maka periksa apakah perbuatan / ibadah / amaliyah tersebut termasuk yang dilarang dalam Al-Qur'an dan Hadist.
Klo dilarang maka kita tinggalkan, klo tidak ada larangan maka boleh kita kerjakan dalam rangka mengabdi / beribadah kepada Allah inilah umumnya kita kenal sebagai ghairu mahdah atau ibadah bersifat umum.

Jadi apapun perbuatan / ibadah / amaliyah kita di dunia hanya bisa masuk kategori mahdah (ibadah)  atau ghairu mahdah (ibadah umum).

Ada perbuatan yang sudah dicontohkan Rasulullah dan harus kita ikuti sedangkan yang tidak dicontohkan, boleh kita kerjakan jika tidak ada larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits.  Inilah yang Nabi Muhammad Saw sampaikan, “antum a’lamu bi umuri dunyakum”  yang artinya, "Kalian lebih tahu dalam urusan dunia kalian" (Hadits Riwayat Muslim). Namun sekali lagi harus diingat semuanya merujuk pada Al-Qur'an dan Hadits sebagai petunjuk/pedoman bagi kita mengarungi dunia.

Untuk mengetahui cara "mengambil pelajaran" dari sekumpulan hadits tentang bid'ah, silahkan lanjut dengan membaca tulisan di http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/20/bidah/

Sabtu, 17 April 2010

Firqah Masuk Surga

Bagaimanakah kita menyikapi hadits berikut.

Tersebut dalam kitab Thabarani, bahwa Nabi bersabda yang artinya,
"Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditanganNya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah,  yang satu masuk surga  dan yang lain masuk neraka".
berkata para Sahabat : " Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu Ya Rasulullah ?"
Nabi menjawab :  "Ahlussunnah wal Jama'ah"  (jamaah yang mengikuti sunnah).
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani.

Hadits yang serupa maknanya.

Nabi Muhammad bersabda yang artinya:
"Akan ada segolongan dari umatku yang tetap atas kebenaran sampai hari kiamat dan mereka tetap atas kebenaran itu (hadits Sahih Riawayat Bukhari)

Sebagian umat muslim "menggunakan" hadits di atas sebagai "keputusan" bahwa jama'ah  mereka adalah firqah "yang satu masuk surga". Bahkan lebih keji dengan menyatakan bahwa diluar jamaah mereka adalah sesat, ahlu bid'ah dan kafir. Naudzubillah min zalik.

Sebagian umat muslim "mengaku-aku" bahwa mereka firqah yang "murni" atau "asli" yang merupakan firqah "yang satu masuk surga", yang lain palsu atau salah bahkan "sesat" dengan menyebutkan ciri-ciri yang tidak ada pada mereka atau sesungguhnya mereka terbatas sebatas ilmu dan pemahaman mereka.

Sangat berbahaya jika mengukur, menilai saudara muslim atau jamaah lainnya dengan batasan ukuran ilmu atau pemahaman yang dimiliki, karena sesungguhnya tingkat pemahaman muslim terhadap agama adalah sangat berbeda-beda tergantung anugerah / karunia yang telah Allah berikan.  Sebagaimana firman Allah yang artinya, "Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)" (Al-Baqarah - 269). Kita harus menghormati saudara-saudara muslim lainnya.

Sebaiknya kita harus meyakini bahwa "keputusan" atau hasil adalah hak Allah sedangkan hak manusia hanyalah pada proses, upaya atau ikhtiar. Untuk itulah kita harus menyerahkan hasil kepada Allah setelah kita berupaya atau yang kita kenal dengan tawakal.

Sebaiknya dengan hadits diatas kita boleh memasuki jama'ah yang mengikuti sunnah dan menyikapi dengan selalu "memeriksa" (keadaan selalu terjaga) apakah jama'ah yang diikuti sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah (hadits). Adakah larangan yang telah dikerjakan ?. Jika ada larangan yang dikerjakan, lakukan tabayun, saling menasehati. Jika tidak ada perubahan maka jama'ah tersebut dapat ditinggalkan.

Berhati-hatilah dengan jama'ah yang sibuk "mengukur" , "menilai", "melabeli" saudara muslim atau jama'ah lainnya karena itu bisa jadi merupakan wujud "berpuas-diri" atau bahkan sebuah bentuk "kesombongan" atau ujub yang akan memupuskan seluruh amal ibadah di dunia. Naudzubillah min zalik

Rasulullah memperingatkan manusia dari bahaya bangga diri, "Kalaulah bukan karena dosa, niscaya manusia akan binasa karena ujub."

Jumat, 16 April 2010

Waspada Salafiyyah

Ada dua fenomena yang bisa kita amati pada zaman ini.
Umat muslim yang mengikuti pendidikan pada orang Barat (seperti Amerika) kembali dari sana ada kemungkinan berpemahaman Liberal
Umat muslim yang mengikuti pendidikan pada orang Timur (jazirah Arab) kembali dari sana ada kemungkinan berpemahaman Wahabi atau Salaf(i)

Kita harus membedakan antara Salaf dengan Salaf(i).
Salaf(i) adalah kaum yang menjadi berbeda dengan pemahaman ulama Salaf.
Salafi adalah kaum yang merujuk kepada pemahaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, dan beliau merujuk kepada pemahaman syaikh Ibnu Taimiyah.

Saya sampai bertanya dalam hati "Siapa sesungguhnya Syaikh Ibnu Taimiyah itu".

Maaf, bagi saya umat Islam yang mengikuti  pemahaman beliau itu mengacaukan pemahaman.

Sebagai contoh adalah cara memahami firman Allah, Al 'Araf : 54 yang artinya  "Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy" .
Istawa = bersemayam atau bahkan ada yang memahami dengan duduk, walaupun diberi catatan bersemayam/duduk yang tidak serupa dengan mahluk. Pemahaman atau terjemahan Al-Qur'an seperti inilah yang kita jumpai pada umumnya.

Sedangkan saya pribadi memahami istawa tersebut tidak dengan arti tekstualnya bersemayam atau duduk. Namun saya memahami sebagai menguasai dan/atau memerintah.

Begitu juga kata Istawa yang kita temukan pada ayat-ayat lain yang tidak kita artikan secara tekstual sebagai bersemayam/duduk seperti.

"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu". (Al Baqarah: 29)

Disini Istawa dipahami sebagai berkehendak menciptakan.

"Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (Al Qashash : 14)

Disinipun istawa tidak dipahami sebagai  bersemayam atau duduk.

Saya sepemahaman yang menyatakan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada tempat atau arsy, karena arsy adalah makhluk Allah sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.

Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:
Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)

Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sesuai dengan yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.

Jadi memahami Istiwa sebagai menguasai dan/atau memerintah dibeberapa ayat Al-Qur'an ketimbang bersemayam atau duduk adalah lebih aman buat i'tiqad karena tidak akan ada sedikitpun bertentangan dengan firman Allah yang artinya, ... Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia ... (As Syuura: 11).

Saya sangat khawatir dengan beredar luasnya pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah selain kata bersemayam/duduk, ada kata lain seperti tangan, turun, bertubuh dll.

Mengenai pemahaman turunnya  Allah silahkan baca tulisan sebelumnya

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/10/allah-turun/

Pada masa hidupnya Syaikh Ibnu Taimiyah, pendapat, perkataan atau fatwa beliau bertentangan dengan jumhur ulama dan fatwa beliau dianggap ganjil. Sehingga beliau beberapa kali masuk penjara karena keganjilannya namun sebagian umat Islam saat ini menganggap beliau dipenjara karena keteguhan beliau dalam i'tiqad. Wallahu a'lam.

Kunci meluasnya pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah apa yang diupayakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Bagi saya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah ulama yang pragmatis karena kita ketahui beliau "membantu" kekuasaan Muhammad bin Sa'ud (cikal bakal kerajaan Saudi).

Saat ini kita ketahui pemerintahan kerajaan Saudi Arabia berkehendak meluaskan pemahaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang kita kenal dengan Wahabi atau diluar negeri mereka diberi nama Salaf(i).

Pertimbangan Pertama
Upaya kerajaan Saudi Arabia untuk penyeragaman / perluasan pemahaman wahabi atau salaf(i)  ke seluruh dunia,  adanya kemungkinan menyesatkan setelah kita lihat perbedaan pemahaman yang telah saya uraikan.

Terlebih lagi mempertimbangkan hadist tentang Imam Mahdi akan berperan sebagai panglima perang ummat Islam di akhir zaman. Beliau akan mengajak ummat Islam untuk memerangi para Mulkan Jabriyyan (Para Penguasa Diktator).
Kalian perangi jazirah Arab dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian Persia (Iran), dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Rum, dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Dajjal,dan Allah beri kalian kemenangan.” (HR Muslim 5161)

Pertimbangan Kedua
Sikap pragmatis dari Muhammad bin Abdul Wahab mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi
politik sementara Ibnu Abdul Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Ibnu abdul wahhab misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.

Dan hadist yang menyatakan bahwa fitnah berasal dari Najd
Daripada Abdullah Ibn Umar r.a., beliau berkata: Rasulullah SAW menyebut: Ya Allah! Berkatilah kami pada Yaman kami dan berkatilah kami Ya Allah! pada Syam kami.
Maka sebahagian sahabat berkata: Dan pada Najd kami Ya Rasulallah!
Rasulullah pun bersabda: Ya Allah! Berkatilah kami pada Yaman kami dan berkatilah kami Ya Allah! pada Syam kami.
Maka sebahagian sahabat berkata: Dan pada Najd kami Ya Rasulallah!
Dan aku menyangka (seingat aku) pada kali ketiga Rasulullah SAW bersabda: Di sanalah berlakunya gegaran-gegaran, fitnah-fitnah dan di sanalah terbitnya tanduk Syaitan.
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam al-Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam Ibnu Hibban dan lain-lain.

Wallahu a'lam

Rabu, 14 April 2010

Divide et impera

Berikut ini adalah  versi ringkas dari tulisan sebelumnya,  potret salafiyyah

Umat muslim sebaiknya melihat  sejenak situasi dunia Islam kini

Saya samakan persepsi dahulu.
Salaf(i) adalah saudara-saudaraku yang sepemahaman dengan Syaikh Ibnu Taimiyah dan/atau Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
Gerakan da'wah ini dikenal sebagai gerakan modernisasi agama, gerakan pemberantas Tahayul, Bid'ah dan Kurafat

Pada masa hidupnya Syaikh Ibnu Taimiyah, pendapat, perkataan atau fatwa beliau bertentangan dengan jumhur ulama dan fatwa beliau dianggap ganjil. Sehingga beliau beberapa kali masuk penjara karena keganjilannya.

Gerakan neo-modernis, neo-fundamentalis,  pembaharuan pada umumnya berpedoman pada apa yang telah diupayakan oleh pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah.

Dari gerakan da'wah yang sepemahaman dengan Syaikh Ibnu Taimiyah ini terpecah menjadi dua bagian besar yang bertolak belakang yakni,

Kelompok pertama, Syaikh-syaikh yang menghasilkan pengikut Salaf(i) yang berkeras untuk berjihad, berperang melawan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Kelompok pertama yang sepemahaman sepert ini, contohnya Sayyid Qutb, Hasan al Banna atau bahkan Osama bin Laden

Kelompok kedua, Syaikh-syaikh yang menghasilkan pengikut Salaf(i) yang taat kepada penguasa muslim asalkan masih sholat walaupun bersekutu dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Kelompok kedua yang sepemahaman  seperti ini,  contohnya Imam bin Baz, al-Utsaimin dan al-Albani.

Kedua kelompok inipun dimanfaatkan oleh “mereka” yakni orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik.

Kelompok pertama dimanfaatkan “mereka” untuk alasan berperang dan kepentingan “mereka” membunuh saudara-saudara muslim kita.

Sedangkan kelompok kedua digunakan untuk menumpuk kekayaaan dengan mengeruk hasil sumber daya alam, minyak bumi dari negeri penguasa-penguasa  yang bersekutu dengan “mereka”. Selanjutnya kekayaan yang didapat digunakan untuk membiayai peperangan dengan kelompok pertama.

Sehingga secara tidak langsung kita sesama muslim saling membunuh. Naudzubillah Min Zalik.

Inilah kenyataan pahit yang ada.

Nyatalah peringatan Allah dalam firmanNya, yang artinya

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).

Untuk saudara-saudara muslim yang bersekutu dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik, ingatlah firman Allah yang artinya,

Hai orang-orang yang beriman,  janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” ,  (Ali Imran, 118)

Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Ali Imran, 119)

Jadi dengan situasi seperti ini, kita bisa paham mengapa permasalahan Palestina, Afghanistan, Irak,  Somalia dll berlarut-larut.

Wallahu a'lam