Selasa, 23 Februari 2010

Bahaya Laten

Bahaya Laten Orang-Orang Yahudi. Dan Orang-Orang Musyrik

Secara umum bahaya laten adalah bahaya atau ancaman secara sistemik, terorganisir yang ada, namun kehadirannya tidak disadari dan mengganggu sendi-sendi kehidupan manusia baik dalam hal beragama, berpolitik, berideologi, bernegara dll.

Lalu mengapa kita harus menyoroti orang-orang Yahudi  dan orang-orang Musyrik?

Sesuai dengan firman Allah,

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).

Selanjutnya kami menulis  mereka (dalam huruf miring/italic) adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik. Kecuali dalam firman Allah atau Hadits yang memang biasa tertulis dalam huruf miring/italic



Bahaya Laten pada  zaman Rasulullah.

Abu Al-Yaman telah menceritakan pada kami, Syuaib telah mengabarkan pada kami dari Al-Zuhri, ia berkata: Abu Salamah ibn Abdurrahman telah mengabarkan kepadaku bahwa Abu Said Al-Khudri r.a. berkata, “Ketika kami berada di samping Rasulullah, sementara Beliau sedang membagikan bagian harta (rampasan perang), dating kepadanya Dzul Huwaishirah. Ia adalah seorang laki-laki dari Bani Tamim. Kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, berlaku adillah Engkau!” Rasul pun menjawab, “Celakalah engkau! Siapa lagi yang akan berbuat adil kalau aku tidak berlaku adil? Kau pasti akan kecewa dan merugi kalau aku tidak berbuat adil.” Umar kemudian berkata, “Izinkan aku, wahai Rasulullah, untuk memukul tengkuknya.” Beliau menjawab, “Biarkan saja dia. Sebab, dia memiliki teman-teman yang salah seorang di antara kalian akan menganggap shalatnya sendiri belum seberapa kalau dibandingkan dengan shalat mereka, begitu pula dengan shaumnya dibandingkan dengan shaum mereka. Mereka membaca Al-Quran, tapi tidak sampai melewati tenggorokan mereka......

Dalam kasus Rasulullah Saw. mereka yang kurang ilmu ini memprotes Rasulullah saat membagikan ghanimah. Mereka menuduh Rasulullah Saw. tidak adil karena tidak membagi rata harta itu. Jelas ini kebodohan. Rasulullah tentu lebih tahu daripada orang ini. Tapi, dia merasa bahwa dialah yang benar. Inilah sifat dasar orang-orang Khawarij.

Semasa Rasulullah Saw. memang belum terjadi fitnah karena mereka. Sebab, saat para sahabat ingin memerangi mereka, oleh Rasulullah Saw. dicegah. Rasulullah Saw. tahu di belakangnya ada teman-teman mereka yang sifatnya sama. Sangat mungkin saat temannya dianiaya, mereka akan mengobarkan perang melawan Rasulullah Saw. dan sahabatnya. Padahal, mereka bukan orang “kafir.” Shalat, shaum, dan ritual mereka boleh dikatakan di atas rata-rata orang kebanyakan. Tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang akan merusak Islam. Rasulullah Saw. memilih menjauhkan mereka dari Madinah. Dan mereka memilih tinggal di suatu kampung bernama Haruri. Oleh sebab itu pula, mereka sering disebut kaum Haruriyyah.

Sedangkan kisah suku Aus dan Khajraj. Pada masa Jahiliyah kedua suku tersebut saling bermusuhan dan berperang selama 120 tahun. Setelah mereka memeluk Islam Allah menyatukan hati mereka sehingga mereka menjadi bersaudara dan saling menyayangi.

Ketika orang-orang Aus dan Khajraj sedang berkumpul dalam satu majlis, kemudian ada seorang Yahudi yang melalui mereka, lalu ia mengungkit-ungkit permusuhan dan peperangan mereka pada bani Bu’ats.  Maka permusuhan diantara kedua suku tersebut mulai memanas kembali, kemarahan mulai timbul, sebagian mencerca sebagian lain dan keduanya saling mengangkat senjata, lalu ketegangan tersebut disampaikan kepada nabi shallallahu alaihi wa salam. Kemudian beliau mendatangi mereka untuk menenangkan dan melunakkan hati mereka, seraya bersabda:

“Apakah dengan panggilan-panggilan jahiliyah, sedang aku masih berada di tengah-tengah kalian?.” Lalu beliau membacakan Ali Imron ayat 103 yang artinya,

'Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai , dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu  maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya  agar kamu mendapat petunjuk

Setelah itu mereka menyesal atas apa yang telah terjadi dan berdamai kembali seraya berpeluk-pelukan dan meletakan senjata masing-masing.



Bahaya laten pada zaman sahabat nabi.

Fitnah paling besar yang ditimbulkan oleh orang-orang Khawarij terjadi pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib yang dimulai saat terbunuhnya Utsman ibn ‘Affan. Kekerasan yang mereka lakukan dipicu oleh kekecewaan mereka terhadap keputusan Ali ibn Abi Thalib untuk berdamai dengan Mu’awiyah setelah Perang Shiffin melalui perundingan Tahkim.



Mereka semula mendukung Ali ra. dan berlindung di bawah kekuasannya setelah sebelumnya terlibat dalam pembunuhan Utsman ibn ‘Affan. Agar kejahatan mereka tidak terbongkar, mereka ingin memanfaatkan Ali ra. dengan bersegera membai’atnya sebagai Khalifah dan masuk menjadi barisan pendukung Ali.

Mereka tahu bahwa Aisyah, Thalhah, Zubair, dan Mu’awiyah sangat vokal meuntut alas atas kematian Utsman. Namun, mereka pula yang memprovokasi Ali dan pasukannya untuk memerangi mereka atas nama tindakan bughât.

Perang Jamal dan Shiffin yang sama-sama tidak diinginkan oleh para sahabat yang mulia itu akhirnya terjadi. Pemicu meletusnya kedua perang itu adalah orang-orang Khawarij yang posisinya juga dimanfaatkan oleh Abdullah ibn Saba, pentolan Yahudi-Munafik yang menjadi dalang dari semua fitnah pada masa Khulafaur-Rasyidin.

Saat Ali memutuskan untuk berdamai dengan Mu’awiyah dan melakukan perundingan (Tahkîm), serta masng-masing pihak menyadari kekeliruannya, terlihatlah watak asli kelompok ini Mereka terlihat sangat kecewa; dan akhirnya membuat makar terhadap otoritas kekuasaan Ali ra. Makar yang berakhir dengan pembunuhan keji yang mereka lakukan terhadap Khalifah kekasih Rasulullah Saw. ini.

Orang yang membunuh Ali bernama Abdurrahman ibn Muljam. Siapa pun tidak akan menyangka bahwa pembunuh ini sebenarnya sangat tidak pantas menjadi seorang pembunuh, apalagi membunuh Ali bin Abi Thalib yang sudah dijanjikan Allah Swt. akan masuk surga.

Abdurrahman ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena bacaannya yang baik itu, pada masa Umar ibn Khattab, ia diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash.

Namun, karena ilmunya yang dangkal, sesampai di Mesir ia malah terpangaruh oleh hasutan orang-orang Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan memilih bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Ali ibn Abi Thalib.

Pada masa pemerintahan Muawiyah ibn Abi Sufyan, ia diadili. Hukuman Qishash pun dijatuhkan padanya. Saat hendak dipenggal kepalanya, ia berteriak,  “Jangan kau penggal kepalaku sekaligus! Potonglah bagian-bagian tubuhku sedikit demi sedikit supaya aku menyaksikan bagaimana tubuhku disiksa di jalan Allah!” Lihatlah betapa ia dengan sangat percaya diri meyakini bahwa apa yang dilakukannya terhadap Ali ibn Abi Thalib kekasih Rasulullah Saw. adalah sebuah kebenaran. Ia tidak pernah merasa bahwa hal demikian melanggar aturan yang jelas dalam Islam.

Sedemikian hebat peran Khawarij dalam menghancurkan barisan umat Islam. Sampai-sampai Rasulullah Saw. mensinyalir bahwa sampai kiamat orang-orang yang berperilaku semacam ini akan ada sampai hari kiamat.

Mereka tetap akan mengibarkan panji-panji Islam. Perilaku keseharian mereka mencerminkan orang yang dekat dengan Allah Swt., namun kebodohan mereka telah menyeret mereka ke lembah kenistaan dan pelanggaran terhadap aturan-aturan Allah Swt.

Pada umumnya mereka akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan kekuasaan atau ekonomi untuk melakukan tindakan-tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip Islam, namun mereka melakukannya atas nama Islam.

Dalam kasus ini yang paling dirugikan adalah Islam. Rasulullah mengibaratkan apa yang mereka lakukan seperti anak panah yang mengoyak binatang buruan dengan sangat cepat, tapi tanpa bekas. Dari ujung sampai pangkal anak panah tidak terlihat bekas sama sekali saking cepatnya anak panah itu menyambar dan menembus tubuh binatang buruan itu. Binatang itu mati, tapi tidak ada yang tahu siapa yang membunuhnya. Jangankan pelakunya, jejak pada anak panah pun tidak ada.

Belajar dari peristiwa gencatan senjata dalam perang “Shiffin” antara tentara Saidina ‘Ali dan Saidina Mu’awiyah maka kedua belah pihak mengangkat suatu panitia yang terdiri dari dua golongan yang bermusuhan ini. Panitia ini tujuannya untuk menjadi hakim dalam perselisihan ini, yakni mencari jalan untuk terlaksananya perdamaian antara dua golongan ummat Islam yang melakukan perang saudara.

Sekumpulan orang “khawarij” tidak mau menerima terbentuknya panitia penyelesai itu, karena menurut pendapat mereka hukum tidak boleh diminta kepada manusia, tetapi harus diminta kepada Allah.  Mereka mengeluarkan semboyan: “La hukma illah lillah”, tidak ada hukum melainkan hanya dari Allah.

Ketika disampaikan kepada Saidina ‘Ali semboyan orang khawarij ini,  beliau menjawab:  “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah)

Pesan Saidina ‘Ali ini sebaiknya untuk selalu diingat kaum muslim untuk menghadapi bahaya laten dari orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.

Bahaya Laten pada masa akhir kekhalifahan Turki Ustmani

Sebuah episode sejarah keemasan Turki saat dipimpin oleh Khalifah Sultan Abdul Hamid II di awal abad ke-20. Saat itu Theodore Hertzl, pemimpin Gerakan Zionis Internasional, mendatangi Abdul Hamid untuk meminta agar Turki Utsmani mau membagi sebagian tanah Palestina untuk dijadikan negara Israel.

Permintaan Hertzl ini disertai dengan bujuk rayu dan janji, jika keinginannya dituruti maka Turki dan juga Sultan Abdul Hamid II akan diberi hadiah sangat besar oleh gerakan Zionis Internasional.

Namun dengan sikap tegas Abdul Hamid mengusir Hertzl seraya berkata, “Turki tidak akan pernah sekali pun menyerahkan Tanah Palestina kepada kamu hai orang-orang Yahudi. Tanah Palestina bukanlah milik Turki, melainkan milik seluruh umat Islam dunia. Jangan bermimpi bisa menginjak Tanah Palestina selama saya masih hidup!”

Sebab itu, Hertzl dan para tokoh Zionis lainnya merancang suatu konspirasi untuk menghancurkan kekhalifahan Islam Turki Utsmani sehingga kekhalifahan ini benar-benar ambruk pada tahun 1924 dan Turki pun diubah menjadi negeri Sekuler.

Salah satu proyek mereka adalah mendirikan pusat-pusat kajian ketimuran yang pada akhirnya meracuni pemikiran-pemikiran Islam generasi muda Turki dengan model Islam yang berpihak ke Barat. Di Indonesia, gerakan ini sama persis dengan gerakan Islam liberal.

Secara perlahan namun pasti, “lembaga-lembaga pengkajian” yang dipimpin para orientalis Barat ini meracuni pemikiran umat Islam Turki. Para orientalis menjelek-jelekkan sistem Islam dan membangga-banggakan sistem nasionalisme. Jumlah orang-orang kafir pun meningkat. Lewat penguasaan jaringan media dunia, Yahudi Internasional menghembuskan stigma jahat kepada Turki Utsmani jika Turki merupakan “The Sickman From Asia”, Orang Sakit Dari Asia. Sejumlah kebijakan ekonomi Turki disabotase. Dan perekonomian Turki pun terpuruk.

Dari luar, strategi Yahudi adalah dengan memisahkan Turki Utsmani dengan Arab. Dari sinilah lahir gerakan nasionalisme Arab. Jenderal Allenby mengirim seorang perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence ke Hijaz untuk menemui para pemimpin di sana. TE. Lawrence ini diterima dengan sangat baik dan seluruh hasutannya di makan mentah-mentah oleh tokoh-tokoh Hijaz. Maka orang-orang dari Hijaz ini kemudian membangkitkan nasionalisme Arab dan mengajak tokoh-tokoh pesisir Barat Saudi untuk berontak terhadap kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmaniyah, dan setelah itu mendirikan Kerajaan Islam Saudi Arabia. Adalah hal yang aneh, gerakan Wahabi yang mengakui sebagai pengikut sunnah Rasulullah SAW ternyata mendukung pendirian kerajaan, monarkhi absolut, yang tidak dikenal dalam khasanah keislaman. Sistem Monarkhi Absolut merupakan bid’ah kubro.

Para pemuda Arab diracuni pemikirannya untuk meninggalkan Islam dan menuhankan Nasionalisme Arab. Maka pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab sebagai jalan baru untuk berjuang. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan Prancis.

Dari dalam kekhalifahan sendiri, Konspirasi Yahudi menanamkan banyak orang untuk bisa bekerja demi kepentingannya. Salah satunya adalah Rasyid Pasha, menteri luar negeri di era Sultan Abdul Majid II (1839) ini memperkenalkan Naskah Terhormat (Kholkhonah), yang sesungguhnya merupakan copy-paste dari UU sekuler Eropa.

Pada 1 September 1876, pihak Konspirasi berhasil mengangkat Midhat Pasha, seorang Mason, jadi perdana menteri. Dia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD sekuler Belgia (dikenal sebagai Konstitusi 1876). Namun Sultan Abdul Hamid II dengan tegas menolak Konstitusi ini karena isinya bertentangan dengan syari’at Islam. Midhat Pasha pun dipecat. Hal ini menyebabkan Konspirasi menjalankan agenda B, yakni melakukan pemberontakan yang dijalankan oleh Gerakan Turki Muda yang berpusat di Salonika, sebuah pusat komunitas Yahudi Dumamah, tempat Mustafa Kemal berasal (1908). Kemudian, atas bantuan Barat, Sultan Abdul Hamid II dipecat dan dibuang ke Salonika.

Dalam Perang Dunia I (1914), Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli.

Inggris kemudian sengaja mendongkrak popularitas Mustafa Kemal dengan memunculkannya sebagai pahlawan Perang Ana Forta (1915). Mustafa Kemal menjadi populer dan kemudian menggerakan revolusi nasionalisme. Dia menghasilkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan melucuti semua wilayah kekhalifahan Utsmaniyah. Akhirnya Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dan sebagainya mendeklaraskan diri sebagai negara nasionalis sendiri yang lepas dari Utsmaniyah. Ideologi Islam dibuang dan digantikan dengan ideologi Nasionalisme.

Saat itu, banyak tokoh Islam yang tertipu dan termakan propaganda Barat mengatakan jika politik Islam atau “politik aliran” sudah bukan masanya lagi, alias sudah ketinggalan zaman.

Sejak saat itu, Mustaf Kemal secara cepat dan gradual berhasil menguasai Turki. Pada 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun rakyat masih banyak yang mendukung kekhalifahan yang kekuasaannya sebenarnya sudah banyak yang lumpuh. Oleh rakyat, Mustafa Kemal dinyatakan murtad. Namun Mustaf Kemal melakukan aksi tandingan dengan mengorbankan darah Muslim Turki. Akhirnya pada 3 Maret 1924, Mustafa Kemal memecat Khalifah dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Turki dijadikan negara sekuler. Semua simbol-simbol keagamaan, terutama Islam, dihapuskan dan terlarang.



Bahaya Laten dalam Pemikiran / Pemahaman / Akidah / I’tiqad.

Mereka adalah Paulus (Yahudi dari Tarsus) yang mengubah esensi dasar agama Nasrani dari yang hanya sebagai agama kaum Nabi Isa menjadi agama misi ke seluruh dunia. Mereka adalah Abdullah bin Saba’ (Yahudi dari Yaman) yang memecah umat Islam. Mereka adalah Mustafa Kemal Attaturk (Yahudi dari Dumamah) yang menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmani. Mereka adalah Terrence E. Lawrence (Yahudi dari Inggris) yang harum namanya di Saudi dan disebut sebagai Lawrence of Arabia. Mereka adalah Snouck Hurgronje (Yahudi Belanda) yang pura-pura masuk Islam dan menggunakan ‘keIslamannya’ sebagai senjata untuk menghancurkan umat Islam Indonesia.

Mereka juga membuat/mengarahkan agama baru seperti Bahaiyah  yang  didirikan  seseorang Freemason  Abdulbaha.

Ahmadiyah  didirikan  oleh  seorang Freemasonry  India  Mirza  Ghulam  Ahmad,  yang  radikal  disebut aliran  Qadyani,  dan  yang  halus  disebut  aliran  Lahore.  Biaya dakwah dan  tablighnya  itu dari Freemasonry  International melalui penguasa  Inggris.

Freemasonry  pun  mensponsori  terbentuknya tharekat-tharekat Islam yang berfatwa dan bergerak sejalan dengan ajaran  Freemasonry  itu,  di bentuknya  pada  tahun  1946  gerakan Quraniyah  dipimpin   oleh  Syekh  Yakub dari  Palestina,  segala sesuatu harus berdasar Qur’an  tanpa  tafsir dan semua hadits Nabi saw  ditolaknya,  sehingga  mereka  shalat  dan  saum  hanya berdasarkan  Qur’an,  tidak  ada  raka’at  dalam  shalat,  tidak  ada bacaan  tertentu  dalam  shalat,  tidak  ada  adzan,  qamat  dsb.



Mereka melakukan pengrusakan sumber-sumber tulisan, buku-buku karya Imam Muslim terdahulu, manuskrip yang  banyak tersimpan di perpustakaan-perustakaan dan pelbagai tempat penyimpanan. Biasa mereka lakukan pengrusakan disaat peperangan/penyerangan wilayah/negara Muslim.  Tidak seluruhnya mereka rusak namun mereka mempelajari terlebih dahulu yang mana sesuai dengan maksud/tujuan mereka. Ingat pesan Saidina Ali Rda, “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan maksud/tujuan yang salah).

Setelah mereka pelajari dan sesuai dengan maksud/tujuan mereka maka mereka “menyebar luaskan” dan membantu/mendanai penerbitan buku-buku / tulisan tersebut. Setelah mereka berhasil “menyusupi” Terrence E. Lawrence (Yahudi dari Inggris) ke Arab Saudi, diawali  dengan konsep keamanan dan bentuk negara kerajaan maka selanjutnya mereka “seolah-olah” mendukung kemajuan Islam dengan membantu menerbitkan buku-buku karya Imam Muslim yang sesuai dengan maksud/tujuan mereka minimal adalah upaya menimbulkan konflik dan pertentangan dikalangan muslim diseluruh dunia.

Pemikiran dan pemahaman yang cocok menurut mereka adalah pemikiran dan pemahaman seperti Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabiyyah) yang menginduk pada pemikiran salaf ala Ibnu Taimiyah.

Ibnu Taimiyah melakukan penafsiran Al-Qur’an dan Hadits yang sebagian pihak memberikan istilah “Pemurnian Pemahaman” dalam arti bahwa penafsiran dilakukan secara harfiah, yakni menurut lahir lafazhnya saja. Banyak ulama-ulama yang sezaman dengan Ibnu Taimiyah, menentang pemikiran/pemahaman Ibnu Taimiyah bahkan mengakibatkan beliau dipenjara.

Metode pemikiran, pemahaman atau penafsiran Ibnu Taimiyah terhadap Al-Qur’an dan Hadits dan dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, mudah dipahami mereka dan sesuai dengan maksud/tujuan, salah satunya adalah timbul pertentangan dengan ulama/imam pada umumnya, anti mazhab, bahkan ada pemahaman saling “mengkafirkan” atau saling “mensesatkan” .

Sebagian kaum muslimin yang sepahaman dengan Ibnu Taimiyah dan/atau dengan Muhammad bin Abdul Wahab dapat berlaku keras/kasar kepada sesama muslim namun mereka bisa berlaku lembut/lunak kepada orang-orang Yahudi maupun orang-orang musyrik.  Perhatikan fatwa Ibnu Taimiyah yang dapat digunakan pihak lain untuk maksud/tujuan mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata , ”Seorang mu’min terhadap mu’min lainnya bagaikan kedua tangan, salah satu mencuci tangan yang lain, namun bisa saja kotoran ( yang melekat ditangan) tidak bisa hilang kecuali dengan bentuk cara (pembersihan) yang keras/kasar. Namun (cara keras/kasar seperti) itu benar-benar mendatangkan kebersihan dan kehalusan (pada tangan) yang membuat kita memuji cara yang kasar tersebut.” [ lihat : Majmu' Fatawa XXvIII/53-54]

Bagi Ibnu Taimiyah, hak pertama yang harus diperoleh oleh non muslim adalah perlindungan terhadap ancaman eksternal dan internal. Untuk perlindungan dari ancaman dari luar, umat Islam, termasuk pemerintahannya berkewajiban menggunakan segala potensinya, meski jumlah kelompok non muslim hanya hitungan jari.

Ibnu Hazm, Ahli Fiqh terkenal, berpendapat: “Bila ada tentara yang masuk ke negara kita untuk menyerang ahli zimmah (kelompok non muslim), kita harus membela mereka dengan senjata sampai nafas terakhir, demi membela orang dilindungi Allah dan RasulNya. Siapa yang tidak melakukannya, berarti telah melecehkan perjanjian perlindungan dengan Allah dan Rasul.

Al-Qurafi dari mazhab al-Maliki menambahkan bahwa ‘perjanjian’ yang membawa korban nyawa dan harta umat Islam untuk melindungi Ahli Kitab adalah perjanjian yang maha agung.

Sikap Ibnu Taimiyah terhadap kelompok non muslim, juga mencerminkan betapa konsistennya terhadap perjanjian perlindungan dalam Islam (zimmah). Ketika tentara Tartar hanya membebaskan tawaran orang Islam, Ibnu Taimiyah berkata kepada komandan Tartar waktu itu: “Kami tidak rela, kecuali kalau semua tawanan Yahudi dan Nashrani dibebaskan, karena mereka dalam perjanjian perlindungan dengan kami (zimmah). Kami tidak rela membiarkan orang Zimmah dan kelompok agama lain tetap menjadi tawanan .

Perlindungan jiwa dan kekayaaan kelompok non muslim, menurut Ma’badi, mencakup perlindungan kekayaan yang dilarang dalam Islam spt minuman keras dan babi dan melaksanakan ritual yang bertentangan dengan ajaran agama. Termasuk juga, kesaksian selama tidak terkait dengan masalah agama Islam spt perkawinan dan perceraian.

Hak non muslim lainnya adalah kehidupan yang layak di hari tua dan merupakan fardu kifayah bagi umat Islam; pembebasan bila ditawan musuh; dan menduduki jabatan publik selama tidak terkait langsung dengan ajaran Islam spt Imam, Jihad dan sebagainya .

Sebagian muslim yang sepahaman dengan Ibnu Taimiyah dan/atau sepahaman dengan Muhammad bin Abdul Wahab bahkan dapat menolak mengibaratkan orang-orang yahudi zionis bagaikan Ya’juj Ma’juj hanya dikarenakan kaum Zionis, walaupun kebanyakan mereka datang dari berbagai negara Eropa, akan tetapi mereka adalah kaum Yahudi keturunan Sam bin Nuh. Mereka hanya menyandarkan kepada keturunan saja tanpa melihat realita yang sesungguhnya.

Saat ini sebagian orang tua di negara kita dan beberapa negara tetangga seperti Malaysia mulai ada ke khawatirkan jika anaknya melanjutkan pendidikan agama di Arab Saudi, sehingga mereka menyatakan pendapat bahwa, “berhati-hatilah karena jika anakmu kembali mereka memungkinkan untuk “mengkafirkan” orang tuanya.

Begitu juga sebagian orang tua di negara kita dan beberapa negara tetangga seperti Malaysia mulai ada ke khawatiran jika anaknya melanjutkan pendidikan di Universitas Islam (IAIN dahulunya) di Indonesia karena mereka khawatir jika anaknya selesai pendidikan akan berpahaman liberal.

Paham liberal yang didapat oleh ulama/imam Indonesia yang didapat dari pendidikan di Barat seperti Amerika.  Pendidikan yang dibiayai oleh mereka yang sesungguhnya adalah orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman.



Bahaya laten dengan mecerai-beraikan umat muslim.

Sejak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjadi kepala negara Daulah Islamiyyah (Negara Islam) pertama di Madinah, ummat Islam hidup dalam sistem aqidah-state (negara berdasarkan kesatuan aqidah) selama bertahun-tahun sampai dengan berakhirnya kesultanan Turki Ustmani pada tahun 1924M. Lalu “mereka” (orang-orang yang keras permusuhannya dengan orang beriman) merubahnya dan memecah ukhuwah Islamiyah kedalam nation-state (negara bedasarkan kesatuan bangsa) atau yang lebih kita kenal dengan nasionalisme. Sehingga saat ini, kita dengan sesama negara tetangga  seperti Malaysia yang muslimpun dapat terjangkit permusuhan hanya berdasarkan nasionalisme.

Kemudian dalam bentuk nation-state atau negara  dalam kesatuan bangsa, “mereka” memecahkan kekuatan negara dengan konsep desentralisasi atau otonomi daerah.

Mereka juga mengupayakan memecah “kekuatan” negara kepada warganegara masing-masing dengan memasyarakatkan demokrasi secara langsung, yakni pemilihan kepala negara  / presiden dipilih langsung oleh rakyat. Padahal Negara kita bertahun-tahun telah menerapkan pemilihan kepala Negara / presiden dipilih dengan sistem perwakilan, oleh orang-orang berkompeten, berilmu dan utusan golongan.  Hal ini menyerupai dengan system syariah Islam yang salah satunya menggunakan prinsip perwakilan/legislatif atau dikenal dengan istilah ahlu halli wal aqdhi ., berisikan orang-orang yang berkompeten, berilmu dan utusan golongan yang diharapkan dalam memutuskan berpegang teguh pada Al Qur’an dan Hadist.

Saat ini, pemilihan presiden/kepala negara di negeri kita bagaikan acara pemilihan penyanyi secara idola atau besarnya tanggapan pemirsa/penonton (idol). Kita bisa bandingkan hasil pemilihan  yang dilakukan oleh pemirsa/penonton  dengan pemilihan yang dilakukan oleh orang-orang berkompeten seperti dewan juri.

Begitu juga dalam urusan akidah, mereka memecah kekuatan berjamaah, berkelompok, bermahzab menjadi kekuatan-kekuatan individu masing-masing dengan mensoalisasikan pemikiran anti mahzab, hizb, kelompok.

Mereka mencari pembenaran dari pemahaman Ibnu Taimiyah yang dilanjuti Muhammad bin Abdul Wahab. Tanpa kita sadari mereka membuat sebagian umat muslim tidak mempercayai ulama/imam, padahal Allah telah berfirman, ” Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 ).  Sebagian dari mereka menyempitkan batasan ulil amri kepada imam/ahlu bait.

Sebenarnya mereka memang telah berniat untuk menghilangkan pengaruh ulama/imam/mujtahid (mereka menyebut rohaniawan non yahudi) dari kaum muslim perhatikan apa yang mereka sebut dengan protokol.

Protokol Zionis yang ketujuhbelas

…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para “rohaniawan non-Yahudi” dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari faham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan..

Dengan memasyarkatkan “tidak mempercayai ulama/imam/mujtahid”,  mereka juga berupaya “memberatkan” kaum muslim untuk seluruhnya mempunyai kemampuan ijtihad (pemahaman/penafsiran) atau memecah kekuatan kaum muslim kepada kemapuan/kekuatan individu muslim masing-masing.

Arti Ijtihad menurut ilmu Usul-fiqih yang terpakai dalam syari’at Islam ialah “usaha seorang ahli fiqih menggali dan mengeluarkan hukum-hukum fiqih yang tersirat di dalam Qur’an dan Hadits”

Di dalam ta’rif ini ada beberapa unsur:

  1. Usaha seorang ahli fiqih.

  2. Ahli fiqih.

  3. Menggali dan mengeluarkan hukum fiqih.

  4. Hukum fiqih yang tersirat.

  5. Dari dalam Al Qur’an dan Hadits.


Usaha seorang yang bukan ahli fiqih tidaklah dinamakan ijtihad. Yang dinamakan ahli fiqih ialah seorang ulama atau katakanlah sarjana yang dalam ilmunya dalam bahasa Arab, dan dalam pula ilmunya dalam tafsir Al Qur’an dan Tafsir Hadits, yang dengan ilmunya itu mempunyai kesanggupan mengeluarkan hukum-hukum agama yang akan dipakai seluruh ummat Islam. Ahli fiqih yang seperti itu dinamai Imam Mujtahid.

Adapun orang awam atau rakyat banyak yang tidak sanggup berijtihad boleh mengikuti saja kepada Imam Mujtahid itu dan mereka dinamai “pengikut” atau “muqallid” atau orang yang taqlid. Jadi arti taqlid ialah mengikuti imam-imam Mujtahid; bukan mengikuti bapak-bapak, bukan mengikuti orang-orang dulu, bukan mengikuti nenek-moyang.

Mereka berupaya agar umat muslim terpecah kepada kekuatan individu dengan memperjuangkan hak-hak indinvidu. Sehingga memungkinkan terjadi kompetisi pada sesama individu dan individu yang kuat yang akan berkuasa dan memimpin. Sehingga pada akhirnya akan tercipta penghambaan kepada manusia sesuai dengan maksud/tujuan mereka menguasai dunia, satu pemimpin (the new world order). Bagi mereka, manusia dalam perwujudan tertinggi menyerupai Tuhan.

Lihat SABILI No. 16 Th XVII, 4 Maret 2010, 18 Rabiul Awal 1431, hal 30

Bagi mereka tidak ada Tuhan (Allah). Nabi Adam hanya mitos, karena manusia berasal dari proses evolusi (teori Darwin). Alam semesta berjalan sendiri tanpa campur tangan Tuhan, karena Tuhan juga dianggap mitos. Bahkan saking keblingernya mereka meyakini “manusialah yang menciptakan Tuhan, bukan sebaliknya.

****

Akhirnya, baiklah kita selalu mengingat bahwa sesama muslim adalah bersaudara meskipun di negara yang berbeda. Marilah kita teguhkan Ukhuwah Islamiyah, persatuan dalam aqidah Islam apapun cara,jalan,metode,manhaj,mazhab,aliran,kelompok .dalam hal mendalami agama Islam, asalkan selalu berpegang pada Al-Qur’an dan Hadits.

Sebaiknya selalu diingat firman Allah bahwa,

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik (Al Maaidah: 82)

Ingat, kaum itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik

Marilah kita intropeksi diri sendiri maupun jamaah/kelompok/organisasi adakah tersusupi kaum itu atau adakah tersusupi pemikiran/pendapat dari kaum itu.

Setinggi apapun pencapaian pemahaman agama Islam, sebaiknya tidak menganggap muslim lain lebih rendah dan berlaku sombong. Allah berfirman,

”Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.” (QS al-Qashash : 76).

Dalam berda’wah kepada non muslim apalagi mengingatkan kepada sesama muslim lakukanlah dengan sebaik-baiknya perlakuan dan bersabarlah. Sungguh umat muslim yang marah, emosi dalam berda’wah menunjukkan ketidak-dekatan dengan Allah dan bukanlah sebagai muslim yang terbaik (muslim yang pada tingkatan seolah-olah melihat Allah atau paling tidak muslim yang yakin bahwa segala perbuatannya selalui dilihat Allah).

Seberapapun  kita merasa tinggi dalam beribadah ingatlah selalu  hadits Rasulullah bahwa, …. yang salah seorang di antara kalian akan menganggap shalatnya sendiri belum seberapa kalau dibandingkan dengan shalat mereka, begitu pula dengan shaumnya dibandingkan dengan shaum mereka. Mereka membaca Al-Quran, tapi tidak sampai melewati tenggorokan mereka.

“Tidak sampai melewati tenggorokan mereka”, inilah yang terjadi, ada sebagian umat muslim, semakin hari semakin merasa ibadah mereka seperti rutinitas yang “kering”. Pengajian yang mereka ikuti, bagi mereka memang terasa lebih “ilmiah”dan “masuk-akal” namun kurang terasa “kedalamannya” pada lubuk hati mereka. Mereka mendalami Al-Qur’an dan Hadist sebagaimana ilmu pengetahuan semata

Wallahu a’lam

Pustaka buku:

  1. Zionisme – Gerakan Menaklukan dunia, Alm Z A Maulani (mantan kabakin era Habibi)

  2. Ancaman Global freemasonry, Harun Yahya

  3. Dajjal dan simbol setan , Toto Tasmara

  4. Freemansory di Asia Tenggara , Abdullah Pattani

  5. Mimpi Buruk Kemanusiaan: Sisi-sisi Gelap Zionisme / Ralph Schoenman

  6. Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila : Menguak tabir pemikiran politik founding father, Drs Muhammad Thalib & Irfan S. Awwas

  7. Suka Duka Gerakan Islam Dunia Arab, Maryam Jameelah

  8. I'tiqad Ahlussunah Wal Jama'ah, KH Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah Baru

  9. "40 Masalah Agama", Buku 1 s/d 4, KH Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah Baru

Minggu, 21 Februari 2010

Nashirudin al- Albani

Albani, Muhaddis Tanpa Sanad Andalan Wahabi


Sumber:  http://www.forsansalaf.com/2009/albani-muhaddits-tanpa-sanad-andalan-wahabi/

Di kalangan salafi (wahabi), lelaki satu ini dianggap muhaddis paling ulung di zamannya. Itu klaim mereka. Bahkan sebagian mereka tak canggung menyetarakannya dengan para imam hadis terdahulu. Fantastis. Mereka gencar mempromosikannya lewat berbagai media. Dan usaha mereka bisa dikata berhasil. Kalangan muslim banyak yang tertipu dengan hadis-hadis edaran mereka yang di akhirnya terdapat kutipan, “disahihkan oleh Albani, ”. Para salafi itu seolah memaksakan kesan bahwa dengan kalimat itu Al-Albani sudah setaraf dengan Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah dan lainnya.

Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”). Bahkan ketika ia diminta oleh seseorang untuk menyebutkan 10 hadis beserta sanadnya, ia dengan entengnya menjawab, “Aku bukan ahli hadis sanad, tapi ahli hadis kitab.” Si peminta pun tersenyum kecut, “Kalau begitu siapa saja juga bisa,” tukasnya.

Namun demikian dengan over pede-nya Albani merasa layak untuk mengkritisi dan mendhoifkan hadis-hadis dalam Bukhari Muslim yang kesahihannya telah disepakati dan diakui para ulama’ dari generasi ke generasi sejak ratusan tahun lalu. Aneh bukan?.

Siapakah Nashirudin al- Albani?

Dia lahir di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M dan meninggal dunia pada tanggal 21 Jumadal Akhirah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania. Pada masa hidupnya, sehari-hari dia berprofesi sebagai tukang reparasi jam. Dia memiliki hobi membaca kitab-kitab khususnya kitab-kitab hadits tetapi tidak pernah berguru kepada guru hadits yang ahli dan tidak pernah mempunyai sanad yang diakui dalam Ilmu Hadits.

Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah, meskipun begitu dia berani mentashih dan mentadh’iftan hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadh’ifkan hadits adalah tugas para hafidz (ulama ahli hadits yg menghapal sekurang-kurangnya seratus ribu hadits).

Namun demikian kalangan salafi menganggap semua hadits bila telah dishohihkan atau dilemahkan Albani mereka pastikan lebih mendekati kebenaran.

Penyelewengan Albani

Berikut diantara penyimpangan-penyimpangan Albani yang dicatat para ulama’

1) Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dia sebutkan dalam kitabnya berjudul Almukhtasar al Uluww hal. 7, 156, 285.

2) Mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan para nabi dan orang-orang soleh seperti dalam kitabnya “at-Tawassul” .

3) Menyerukan untuk menghancurkan Kubah hijau di atas makam Nabi SAW (Qubbah al Khadlra’) dan menyuruh memindahkan makam Nabi SAW ke luar masjid sebagaimana ditulis dalam kitabnya “Tahdzir as-Sajid” hal. 68-69,

4) Mengharamkan penggunaan tasbih dalam berdzikir sebagaimana dia tulis dalam kitabnya “Salsalatul Ahadits Al-Dlo’ifah” hadits no: 83.

5) Mengharamkan ucapan salam kepada Rasulullah ketika shalat dg kalimat “Melarang Assalamu ‘alayka ayyuhan-Nabiyy”. Dia berkata: Katakan “Assalamu alan Nabiyy” alasannya karena Nabi telah meninggal, sebagaimana ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul “Sifat shalat an-Nabi”.

6) Memaksa umat Islam di Palestina untuk menyerahkan Palestina kepada orang Yahudi sebagaimana dalam kitabnya “Fatawa al Albani”.

7) Dalam kitab yang sama dia juga mengharamkan Umat Islam mengunjungi sesamanya dan berziarah kepada orang yang telah meninggal di makamnya.

8 ) Mengharamkan bagi seorang perempuan untuk memakai kalung emas sebagaimana dia tulis dalam kitabnya “Adaab az-Zafaaf “,

9) Mengharamkan umat Islam melaksanakan solat tarawih dua puluh raka’at di bulan Ramadan sebagaimana ia katakan dalam kitabnya “Qiyam Ramadhan” hal.22.

10) Mengharamkan umat Islam melakukan shalat sunnah qabliyah jum’at sebagaimana disebutkan dalam kitabnya yang berjudul “al Ajwibah an-Nafiah”.

Ini adalah sebagian kecil dari sekian banyak kesesatannya, dan Alhamdulillah para Ulama dan para ahli hadits tidak tinggal diam. Mereka telah menjelaskan dan menjawab tuntas penyimpangan-penyimpangan Albani. Diantara mereka adalah:

1.Muhaddits besar India, Habibur Rahman al-’Adhzmi yang menulis “Albani Syudzudzuhu wa Akhtha-uhu” (Albani, penyimpangan dan kesalahannya) dalam 4 jilid;

2.Dahhan Abu Salman yang menulis “al-Wahmu wath-Thakhlith ‘indal-Albani fil Bai’ bit Taqshit” (Keraguan dan kekeliruan Albani dalam jual beli secara angsuran);

3.Muhaddits besar Maghribi, Syaikh Abdullah bin Muhammad bin as-Siddiq al-Ghumari yang menulis “Irgham al-Mubtadi` ‘al ghabi bi jawazit tawassul bin Nabi fil radd ‘ala al-Albani al-Wabi”; “al-Qawl al-Muqni` fil radd ‘ala al-Albani al-Mubtadi`”; “Itqaan as-Sun`a fi Tahqiq ma’na al-bid`a”;

4.Muhaddits Maghribi, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin as-Siddiq al-Ghumari yang menulis “Bayan Nakth an-Nakith al-Mu’tadi”;

5.Ulama Yaman, ‘Ali bin Muhammad bin Yahya al-’Alawi yang menulis “Hidayatul-Mutakhabbitin Naqd Muhammad Nasir al-Din”;

6.Muhaddits besar Syria, Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah yang menulis “Radd ‘ala Abatil wal iftira’at Nasir al-Albani wa shahibihi sabiqan Zuhayr al-Syawish wa mu’azirihima” (Penolakan terhadap kebatilan dan pemalsuan Nasir al-Albani dan sahabatnya Zuhayr al-Syawish serta pendukung keduanya);

7.Muhaddits Syria, Syaikh Muhammad ‘Awwama yang menulis “Adab al-Ikhtilaf” dan “Atsar al-hadits asy-syarif fi ikhtilaf al-a-immat al-fuqaha”;

8.Muhaddits Mesir, Syaikh Mahmud Sa`id Mamduh yang menulis “Tanbih al-Muslim ila Ta`addi al-Albani ‘ala Shahih Muslim” (Peringatan kepada Muslimin terkait serangan al-Albani ke atas Shahih Muslim) dan “at-Ta’rif bil awham man farraqa as-Sunan ila shohih wad-dho`if” (Penjelasan terhadap kekeliruan orang yang memisahkan kitab-kitab sunan kepada shohih dan dho`if);

9.Muhaddits Arab Saudi, Syaikh Ismail bin Muhammad al-Ansari yang menulis “Ta`aqqubaat ‘ala silsilat al-ahadits adh-dha`ifa wal maudhu`a lil-Albani” (Kritikan atas buku al-Albani “Silsilat al-ahadits adh-dha`ifa wal maudhu`a”); “Tashih Sholat at-Tarawih ‘Isyriina rak`ataan war radd ‘ala al-Albani fi tadh`ifih” (Kesahihan tarawih 20 rakaat dan penolakan terhadap al-Albani yang mendhaifkannya); “Naqd ta’liqat al-Albani ‘ala Syarh at-Tahawi” (Sanggahan terhadap al-Albani atas ta’liqatnya pada Syarah at-Tahawi”;

10.Ulama Syria, Syaikh Badruddin Hasan Diaab yang menulis “Anwar al-Masabih ‘ala dhzulumatil Albani fi shalatit Tarawih”.

Saran kami. Hendaknya seluruh umat Islam tidak gegabah menyikapi hadis pada buku-buku yang banyak beredar saat ini, terutama jika di buku itu terdapat pendapat yang merujuk kepada Albani dan kroni-kroninya.

HADITS DHA'IF & SYAIKH NASHIRUDDIN AL-ALBANI

Bagi kaum Salafi & Wahabi, Syaikh Nashiruddin al-Albani adalah ulama besar dan ahli hadis yang utama. Karya-karyanya dalam bidang hadis sangat banyak dan sering dijadikan rujukan utama oleh kaum Salafi & Wahabi dalam menghukumi riwayat hadis. Yang sedemikian karena al-Albani sangat gemar meneliti dan mengomentari hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab para ulama. Pada puncaknya, al-Albani menyusun kitab-kitab khusus mengenai hadis-hadis shahih, dha'if (lemah), dan maudhu' (palsu), baik yang berkenaan dengan hadis-hadis yang ada di dalam kitab-kitab para ulama, maupun yang ia susun sendiri dengan tajuk silsilah.

Kaum Salafi & Wahabi menganggap sepertinya al-Albani adalah ahli hadis yang sangat menguasai bidangnya, sehingga bagi sebagian mereka seperti ada kepuasan hati ketika sudah mengetahui pendapat al-Albani tentang hadis yang mereka bahas, dan seolah mereka sudah mencapai hasil penilaian final saat menyebutkan "hadis ini dishahihkan al-Albani" atau "al-Albani mendha'ifkan hadis ini".

Selengkapnya silahkan baca pada http://www.daarulmukhtar.org/index.php?option=com_content&task=view&id=26&Itemid=27


Berikut bagian lain dari tulisan tersebut yang cukup penting di simak

Tahukah anda, bahwa sesungguhnya kepiawaian Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam menilai hadis diragukan oleh para ulama hadis, bahkan cenderung tidak diakui, menimbang bahwa beliau tidak memiliki jalur keilmuan yang jelas dalam bidang tersebut. Lebih jelasnya, penulis akan menyebutkan sekelumit gambaran tentang pribadi Syaikh al-Albani ini sebagaimana ditulis oleh Tim Bahtsul Masa'il PCNU Jember di dalam buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), halaman 245-247 sebagai berikut:

Dewasa ini tidak sedikit di antara pelajar Ahlussunnah Waljama'ah yang tertipu dengan karya-karya al-Albani dalam bidang ilmu hadits, karena belum mengetahui siapa sebenarnya al-Albani itu. Pada mulanya, al-Albani adalah seorang tukang jam. Ia memiliki kegemaran membaca buku. Dari kegemarannya ini, ia curahkan untuk mendalami ilmu hadits secara otodidak, tanpa mempelajari hadits dan ilmu agama yang lain kepada para ulama, sebagaimana yang menjadi tradisi ulama salaf dan ahli hadits. Oleh karena itu al-Albani tidak memiliki sanad hadits yang mu'tabar (diakui-red). Kemudian ia mengaku sebagai pengikut salaf, padahal memiliki akidah yang berbeda dengan mereka, yaitu aqidah Wahhabi dan tajsim (menafsirkan ayat-ayat tentang fisik Allah apa adanya-red).

Oleh karena akidah al-Albani yang berbeda denga akidah ulama ahli hadits dan kaum Muslimin, maka hadits-hadits yang menjadi hasil kajiannya sering bertentangan dengan pandangan ulama ahli hadits. Tidak jarang al-Albani menilai dha'if dan maudhu' terhadap hadits-hadits yang disepakati keshahihannya oleh para hafizh, hanya dikarenakan hadits tersebut berkaitan dengan dalil tawassul. Salah satu contoh misalnya, dalam kitabnya al-Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu (cet. 3, hal. 128), al-Albani mendha'ifkan hadits Aisyah Ra. yang diwayatkan oleh ad-Darimi dalam al-Sunan-nya, dengan alasan dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama Sa'id bin Zaid, saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, al-Albani sendir telah menilai Sa'id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan (baik) dan jayyid (bagus) haditsnya yaitu dalam kitabnya Irwa' al-Ghalil (5/338).

Di antara Ulama Islam yang mengkritik al-Albani adalah
al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath al-'Allam Syarh Bulugh al-Maram;
al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko;
al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghummari dari Maroko;
al-Hafizh Abdullah al-Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits;
al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf'u al-Manarah li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa al-Ziyarah;
al-Muhaddits Habiburrahman al-A'zhami dari India;
Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia;
Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab;
Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus;
Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati;
Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania;
al-Imam al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dari Mekkah;
Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dari Najd (ulama Wahabi-red) yang menyatakan bahwa al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain. Masing-masing ulama tersebut telah mengarang bantahan terhadap al-Albani (sebagian dari buku-buku al-Albani dan bantahannya ada pada perpustakaan kami [Tim PCNU Jember-red]).

Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan.

Kenyataan tersebut di atas juga diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam tanggapan beliau terhadap al-Albani yang mengomentari hadis-hadis di dalam kitab beliau berjudul al-Halal wal-Haram fil-Islam, sebagai berikut:

Oleh sebab itu, penetapan Syaikh al-Albani tentang dha'if-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah yang qath'I (pasti-red) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syaikh al-Albani hafizhahullah kadang-kadang melemahkan suatu hadits dalam satu kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya-red) dalam kitab lain. (Lihat Halal dan Haram , DR. Yusuf Qardhawi, Robbani Press, Jakarta, 2000, hal. 417).

Syaikh Yusuf Qardhawi juga banyak menghadirkan bukti-bukti kecerobohan al-Albani dalam menilai hadis yang sekaligus menunjukkan sikapnya yang "plin-plan", sehingga hasil penelitiannya terhadap hadis sangat diragukan dan tidak dapat dijadikan pedoman. Belum lagi bila menilik fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial, maka semakin tampaklah cacat yang dimilikinya itu.

Di antara fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial itu sebagaimana disebut di dalam buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), halaman 241-245 adalah :

1. Mengharamkan memakai cincin, gelang, dan kalung emas bagi kaum wanita
2. Mengharamkan berwudhu dengan air yang lebih dari satu mud (sekitar setengah liter) dan mengharamkan mandi dengan air yang lebih dari lima mud (sekitar tiga liter).
3. Mengharamkan shalat malam melebihi 11 raka'at.
4. Mengharamkan memakai tasbih (penghitung) untuk berdzikir.
5. Melarang shalat tarawih melebihi 11 raka'at.

Ada pula fatwa-fatwanya yang nyeleneh, seperti: Menganggap adzan kedua di hari Jum'at sebagai bid'ah yang tidak boleh dilakukan (lihat al-Ajwibah al-Nafi'ah), menganggap bid'ah berkunjung kepada keluarga dan sanak famili pada saat hari raya, mengharuskan warga Muslim Palestina agar keluar dari negeri mereka dan menganggap yang masih bertahan di Palestina adalah kafir (lihat Fatawa al-Albani, dikumpulkan oleh 'Ukasyah Abdul Mannan, hal. 18), mengajak kaum Muslimin untuk membongka al-Qubbah al-Khadhra' (kubah hijau yang menaungi makan Rasulullah Saw.) dan mengajak mengeluarkan makan Rasulullah Saw. dan Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar ke lokasi luar Masjid Nabawi (lihat Tahdzir al-Sajid min Ittikhadz al-Qubur Masajid, hal. 68), dan bahkan al-Albani berani menyatakan secara bahwa sikap Imam Bukhari dalam menta'wil sebuah ayat di dalam kitab Shahih Bukhari adalah sikap yang tidak pantas dilakukan seorang Muslim yang beriman (artinya secara tidak langsung ia telah menuduh al-Bukhari kafir dengan sebab ta'wilnya tersebut) (lihat Fatawa al-Albani, hal. 523).

Jadi, setelah mengetahui kenyataan yang sedemikian buruknya tentang kredibilitas al-Albani dalam kegemarannya mengomentari hadis-hadis Rasulullah Saw. yang terdapat di berbagai kitab para ulama, maka orang-orang berakal sehat tidak akan lagi memandang "pantas" untuk menjadikan karya-karya al-Albani sebagai rujukan ilmiah, apalagi dalam rangka memvonis suatu amalan sebagai bid'ah hanya karena dalilnya didha'ifkan oleh al-Albani. Kejanggalan al-Albani itu bahkan juga dirasakan oleh ulama Wahabi seperti al-'Utsaimin dan yang lainnya, sehingga para pengikut Salafi & Wahabi (terutama yang ada di Indonesia) tidak sepantasnya mengunggulkan karya-karya al-Albani, apalagi menerbitkan dan menyebarluaskannya.


Berikut penjelasan ustadz Ahmad Sarwat Lc mengulas buku karya Dr. Said Ramadhan Al-Buthy yang berjudul Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam.

Kutipan penjelasan ustadz Ahmad Sarwat Lc

Menurut Al-Albani, semua orang haram hukumnya merujuk kepada ilmu fiqih dan pendapat para ulama. Setiap orang wajib langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan untuk memahaminya, tidak dibutuhkan ilmu dan metodologi apa pun. Keberadaan mazhab-mazhab itu dianggap oleh Al-Albani sebagai bid’ah yang harus dihancurkan, karena semata-mata buatan manusia.


Selengkapnya silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/18/paham-anti-mazhab/

Kami akhiri tulisan ini sebagaimana yang diungkapkan oleh ustadz Ahmad Sarwat Lc



Kalau saya menampilkan kritik atas pendapat Al-Albani, jangan dianggap saya membenci beliau. Sebaliknya, justru karena saya menyukai beliau. Tapi kadang adik-adik kelas saya yang baru saja belajar agama, sering kali salah tanggap. Dikiranya kalau seseorang sudah mengkritik Al-Albani, seolah dianggap memusuhinya.

Nah, semoga tulisan ini tidak dianggap sebagai ‘serangan’ kepada mereka.




Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sabtu, 20 Februari 2010

Salaf ala Ibnu Taimiyah

Sebagian umat muslim, semakin hari semakin merasa ibadah mereka seperti
rutinitas yang "kering". Pengajian yang mereka ikuti, bagi mereka memang terasa lebih "ilmiah"dan "masuk-akal" namun kurang terasa "kedalamannya" pada lubuk hati mereka.

Begitu banyak cara, jalan, metode, aliran, manhaj, madzhab dalam mempelajari agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits. Kesempatan kali ini saya cuplikan pengkajian salah seorang ulama negeri kita, Alm. K.H Siradjuddin Abbas disekitar tahun 1976 (34 tahun yang lampau). Salah satu kajian beliau pada Madzhab ala Ibnu Taimiyah.

"MADZHAB SALAF” IBNU TAIMIYAH MUNCUL

Berkata Muhammad Abu Zahra, pengarang terkenal di Mesir pada abad ini, dalam bukunya “Tarikh Al Madzahibul Islamiyah” (Sejarah Madzhab-madzhab dalam Islam), Juz I halaman 211 :

“Yang Kami maksudkan dengan orang-orang Salaf” ialah orang-orang yang menamakan dirinya penganut faham Salaf. Mereka lahir pada kurun ke IV H. Mereka adlaah penganut-penganut Madzhab Hanbali, dan mereka mengatakan bahwa faham mereka diambil dari faham Imam Ahmad bin Hanbal, yang dikatakannya Imam yang menghidupkan dan mempertahankan i’tiqad salaf itu.

Kemudian, diperbaharui lahir mereka pada kurun yang ke VII Hijriyah, oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau dengan cara gigih menganjurkan supaya orang mengikut Madzhab Salaf itu”.

Dari uraian pengarang sejarah terkenal Abu Zahrah ini nyatalah, bahwa apa yang dinamakan “Madzhab Salaf” itu muncul pada abad ke IV H., tetapi tidak dikatakan siapa itu ulama yang memunculkan Madzhab Salaf itu, dan orang-orang penganut faham apa.

Tetapi pengarang Tafsir Qurthubi mengungkapkan sedikit orang-orang itu, yaitu Hisyam al Jawaliqi dan sekumpulan orang-orang firqah Mujassimah, yakni orang yang berfaham bahwa Tuhan itu bertubuh. (Tafsir Qurthubi Juz 12 halaman 256).

Jadi, apa yang dinamakan “Madzhab Salaf” ditimbulkan pada mulanya oleh orang-orang yang menganut faham firqah Mujassimah, yaitu faham yang menganggap Tuhan itu mempunyai tubuh.

Kemudian madzhab ini hilang saja, tak terdengar lagi kabar beritanya. Mungkin karena dasar madzhab itu tidak kuat, tidak tahan menghadapi tantangan zaman.

Baru pada abad ke VII H., yakni 300 tahun kemudian, muncul seorang ulama penganut Madzhab Hanbali juga,  bernama Ibnu Taimiyah di Damsyik, Syria., yang mengeluarkan sejumlah fatwa tentang ‘aqidah KeTuhanan, yang dikatakannya, bahwa fatwanya itu adalah Madzhab Salaf.

Beliau memperinci dasar-dasar madzhab itu, mengarang buku-buku tentang apa yang dinamakannya Madzhab Salaf, dan menyiarkan seluas-luasnya kepada Ummat Islam di pelosok dunia.

Jadi, apa yang dinamakan “Madzhab Salaf itu pada hakikatnya adalah Madzhab Ibnu Taimiyah yang dikatakannya Madzhab Salaf, atau dengan kata lain boleh disebut Madzhab Salafnya Ibnu Taimiyah.

POKOK-POKOK PENGAJIAN MADZHAB SALAFNYA IBNU TAIMIYAH.

Dalam kitab-kitab karangannya, yaitu kitab “Aqidah al Wa Sithiyah, Munazharah fil ‘Aqidah al wasithiyah,’Aqidah al Hamawiyah al Kubra dan lain-lain, cetakan Muhd. Ali Sabih, Kairo 1966 M, Ibnu Taimiyah menerangkan dasar-dasar pokok dari pengajiannya, terutama dalam soal mengartikan ayat-ayat mutasyabih.

Kesatu

Di antara dasar pengajiannya dikatakan:

Artinya : Memperlakukan/mengartikan Ayat-ayat dan Hadits-hadits yang bertalian dengan Sifat Tuhan menurut lahirnya (sebagai yang tertulis), dengan catatan meniadakan bentuk dan keserupaan Tuhan dengan makhluk (Lihat Munazharah fil ‘Aqidah al Wasithiyah, hal. 416).

Kedua

Ibnu Taimiyah berkata :

Artinya : Iman dengan Allah ialah mempercayai sifat-sifat Tuhan sebagaimana yang diterangkanNya dan yang diterangkan RasulNya, dengan tidak membelokkan, tidak meniadakan, tidak merupakan, dan tidak menyerupakan.

Maksudnya ini meniadakan ta’wil, yaitu memalingkan lafazh dari lahirnya, baik ta’wil wajib atau ta’wil harus. (Majmu’ah Rasailul Kubra, hal. 415)

Ketiga

Perkataan Imam Malik :

Artinya : Istimewa telah dikenal, Kaifiatnya tidak diketahui dan bertanya-tanya dalam soal itu bid’ah (Munazharah fil Aqidah al wasithiyah halaman 416).

Maka sesuai dengan dasar-dasar itu, Ibnu Taimiyah mengeluarkan fatwa dalam ‘aqidah usuluddin, menyiarkan, mempropagandakan dengan gigih dan mempertahankannya mati-matian.

Fatwa-fatwa itu adalah :

  1. Tuhan Allah duduk bersela mantap di atas ‘Arsy.

  2. ‘Arsy itu di atas langit yang tujuh, dus Tuhan Allah itu duduk di atas ‘Arsy dan di atas langit yang tujuh.

  3. Tuhan Allah berada dijihat atas, boleh ditunjuk dengan telunjuk ke atas.

  4. Tuhan Allah mempunyai muka.

  5. Tuhan Allah mempunyai mata dua atau bermata banyak.

  6. Tuhan Allah bertangan dua.

  7. Tuhan Allah mempunyai anak jari banyak.

  8. Tuhan Allah mempunyai kaki dan tumit.

  9. Tuhan Allah berada di langit dan turun tiba-tiba malam ke langit dunia (langit yang dekat ke dunia).

  10. Tuhan datang dan pergi.

  11. Tuhan marah dan ketawa

  12. Tuhan Allah berjalan dalam naungan awan.

  13. Tuhan Allah bersama manusia dimana saja manusia berada.

  14. Muka Tuhan serupa dengan muka Nabi Adam.

  15. Hijir Aswad tangan kanan Allah di bumi.

  16. Tuhan mempunyai nyawa.

  17. Dan lain-lain.


Tetapi, kata Ibnu Taimiyah, sifat-sifat Tuhan yang serupa itu tidak serupa dengan yang ada pada makhluk, Maha suci Tuhan akan serupa dengan Makhluk.

Dan barangsiapa yang menta’wilkan atau mentafsirkan Ayat-ayat atau Hadits-hadits yang bertalian dengan sifat-sifat Tuhan, maka orang itu adalah orang yang tersesat, dikutuk, dan harus ditaubatkan.

Dalil-dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah untuk memperkuat faham Madzhab Salafnya adalah Ayat-ayat dan Hadits-hadits yang diartikannya sercara harfiah, yakni menurut lahir lafazhnya saja, yaitu :

Kesatu

Tuhan berfirman :

Terjemahannya : Tuhan Yang Rahman bersela mantap di atas ‘Arsy (Surat Thaha: 5).

Artinya “istawa”, menurut Ibnu Taimiyah, ialah duduk bersela mantap, sebagaimana biasa disebut oleh orang ‘Arab :

Terjemahannya : Duduk bersela mantap seorang laki-laki di atas punggung untanya (Kamus Mukhtar Shihah, hal. 566).

Kedua

Ada dalil yang mengatakan begini, kata Ibnu Taimiyah :

Tuhan Allah di langit, di atas ‘Arsy. ‘Arsy itu  di atas langit yang tujuh (Lihat kitab Hamawiyah al Kubra, hal. 452).

Jadi Tuhan Allah duduk di atas langit.

Ketiga

Dalam Khutbah Haji Wada’ di ‘Arafah Nabi berkata :

Artinya : Hei, apakah saya sudah menyampaikan ?

Maka dijawab oleh ummat : “sudah”.

Lalu Nabi mengangkat anak jarinya ke langit (menunjuk ke atas), dan memutar kepada mereka, sambil mendo’a : Ya Allah, saksikanlah.

Dalam hadits ini dinyatakan bahwa Nabi menunjukkan tangan beliau ke langit ketika berdo’a. Ini satu tanda, bahwa Tuhan itu di langit, kata Ibnu Taimiyah.

Keempat

Tuhan berfirman :

Artinya : Sekalian yang berada di dunia akan lenyap, dan kekal ialah hanya “Muka Tuhan” yang punya sifat Kebesaran dan Kemuliaan (Ar Rahmaan : 26-27).

Ini satu dalil, kata Ibnu Taimiyah, bahwa Tuhan itu mempunyai muka.

Kelima

Artinya : Dan buatlah perahu itu dengan Mata Kami dan Wahyu Kami (Hud : 37)

Ayat ini menyatakan, bahwa Tuhan mempunyai mata, kata Ibnu Taimiyah.

Keenam

Tuhan berfirman :

Artinya : Tangan Tuhan Allah di atas tangan mereka (Al Fath : 10).

Dan dalam satu hadits ada Nabi mengatakan, bahwa Tangan Tuhan itu dua. Tuhan Allah mempunyai tangan dua, kata Ibnu Taimiyah.

Ketujuh

Tersebut dalam Hadits :

Artinya : Bahwasanya hati manusia terletak diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan.

Tuhan Allah itu mempunyai anak jari, kata Ibnu Taimiyah.

Kedelapan

Tersebut dalam Hadits :

Artinya : Meletakkan Tuhan akan tumitNya ke dalam Neraka.

Tuhan Allah mempunyai Tumit, kata Ibnu Taimiyah.

Kesembilan

Tersebut dalam Al Qur’an :

Artinya : Apakah kamu berasa aman terhadap Siapa (Tuhan) yang di langit, bahwa kamu akan ditenggelamkannya ke dalam bumi, yang ketika itu bergoncang keras (Al Mulk : 16).

Dalam ayat ini dinyatakan, kata Ibnu Taimiyah, bahwa Tuhan itu di langit.

Kesepuluh

Tersebut dalam satu Hadits :

Artinya : Berkata Nabi Muhammad SAW : Tuhan kita, Maha Suci Ia, turun tiap-tiap malam ke langit dunia. Hadits ini sahih riwayat Bukhari.

Jadi, Tuhan Allah itu turun ke langit dunia tiap-tiap malam, kata Ibnu Taimiyah.

Kesebelas

Ibnu Taimiyah melanjutkan :

Tuhan berfirman :

Artinya : Tiada suatu juga yang menyerupai Dia (As Syura :11).

Oleh karena itu, kata Ibnu Taimiyah, duduk Tuhan di atas langit, Muka Tuhan, Mata Tuhan, Tangan Tuhan, Anak jari Tuhan, Tumit Tuhan, Adanya Tuhan di langit, Turunnya Tuhan ke langit dunia tiap-tiap malam mesti diakui.

Tetapi semuanya itu, baik bentuknya, baik kaifiatnya, baik tubuhnya tidak serupa dengan makhluq, Maha suci Tuhan akan serupa dengan makhluq.

Demikianlah kesimpulan fatwa Ibnu Taimiyah yang tertulis dalam bukunya, walaupun Ibnu Bathutah melaporkan bahwa Ibnu Taimiyah pernah berkata di atas mimbar mesjid Bani Umaiyah di Damsyik, bahwa duduk dan turun Tuhan serupa dengan duduk dan turun Ibnu Taimiyah.

Aliran Salaf dan Aliran Khalaf

Pada zaman terakhir timbul istilah-istilah “Ahlus Salaf (orang salaf), “Qaulus Salaf” (perkataan orang salaf) “thariqatus Salaf” (aliran orang Salaf) dalam membicarakan masalah Ushuluddin. Tetapi sejarah tidak mencatat dengan pasti bila istilah-istilah itu muncul dan siapa yang  membuat istilah istilah itu.

Ada kemungkinan istilah-istilah ini muncul pada abad ke IV Hijriah.

Imam Ghazali (lahir 450H – wafat 505H), telah mempergunakan istilah-istilah ini dalam kitabnya “Iljamul Awam fi Ilmil Kalam”, yaitu kitab yang paling akhir dikarangnya atau yang paling akhir kitab tauhid yang dikarangnya.

Sesudah zaman Imam Ghazali banyak sajalah ulama-ulama Ushuluddin dan ulama-ulama Tafsir menyebut dalam kitab-kitabnya perkataan “Thariqatus Salaf” (Aliran Orang Terdahulu), Thariqatul Khalaf (Aliran Orang Terkemudian).

Kami selanjutnya akan memakai juga istilah itu, yaitu istilah Aliran Salaf dan Aliran Khalaf, dengan arti sebagai berikut:

  1. Aliran Salaf ialah cara-cara sebagian orang Salaf, yaitu Sahabat-sahabat Nabi, Tabi’i  dan Tabi’i Tabi’in, dalam menafsirkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutasyabih.

  2. Aliran Khalaf ialah cara-cara sebagian orang Khalaf, yaitu ulama-ulama yang hidup dibawah tahun 300H, dalam menafsirkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutasyabih.


Imam Badaruddin Zarkasy (lahir : 745H – wafat : 794H) menerangkan dalam kitabnya “Al Burhan fi ‘Ulumil Quran” begini artinya: ‘Sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat dalam mengartikan ayat-ayat mutasyabih atas 3 aliran :

  1. Golongan yang pertama yang memperlakukan ayat-ayat itu menurut lafazhnya yang lahir saja, tidak boleh dita’wilkan sedikitpun. Cara yang begini dianut oleh firqah Musyabbihah (firqah yang beri’tiqad bahwa Tuhan itu dapat serupa dengan makhluq).

  2. Golongan yang kedua ialah golongan yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang mutasyabih itu mesti dita’wilkan, yaitu dialihkan artinya ke arti lain, tetapi apa “arti lain” itu kita tidak tahu, serahkan saja kepada Tuhan yang paling mengetahui, tetapi  kita tetap mengi’tiqadkan bahwa Tuhan itu Maha Suci dari akan menyerupai makhluk dan Maha Suci dari akan tidak mempunyai sifat. Cara yang begini adakah aliran orang-orang Salaf..

  3. Golongan yang ketiga ialah golongan orang-orang Khalaf yang menta’wilkan ayat-ayat mutasyabih, yaitu mengalihkankan artinya ke arti lain yang layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Golongan yang pertama adalah aliran batil, sedang aliran yang kedua dan ketiga bersumber diambil dari sahabat-sahabat Nabi.

Golongan  yang kedua diambil dari Ummu Salamah Rda, sedang Golongan  yang ketiga diambil dari Saidina ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas dll Radhiyallahu ‘anhum (Al Burhan fi Ulumil Quran, juz II, halaman 78 dan 79)

Demikian keterangan Imam Badaruddin Zarkasyi, seorang ulama terbesar pada akhir abad ke VIII H.

Dapat diterangkan lebih lanjut, bahwa golongan yang pertama adalah golongan “Musyabbihah” atau kadang-kadang disebut golongan “Mujasimah”, ya’ni golongan orang-orang yang berpendapat, bahwa Tuhan itu bisa serupa dengan makhluq, dengan kita ini.

Kata mereka : Tuhan Allah mempunyai tangan serupa dengan tangan kita, mempunyai muka serupa dengan muka kita, mempunyai mata serupa dengan mata kita, mempunyai kaki serupa dengan kaki kita dll.

Di dalam Al Quran – kata mereka – ada dalil-dalil yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai tangan, mempunyai muka, mempunyai mata, dan mempunyai rusuk dan didalam hadits-hadits ada dikatakan, bahwa Tuhan itu mempunyai kaki, mempunyai anak jari, mempunyai nyawa dan lain-lain serupa manusia.

Mereka, kaum musyabbihah, mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang bertalian dengan sifat Tuhan secara harfiyah, menurut lafazhnya yang tersurat saja.

Faham Kaum Musyabbihah ini, menurut Imam Badaruddin Zarkasyi, pengarang kitab “ Al Burhan fi ‘Ulumil Quran” adalah faham bathil, faham salah dan sesat karena menentang ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang mengatakan bahwa Tuhan ‘Azza wa Jalla tidak serupa dengan mahluk.

Tuhan berfirman dalam Al Qur’an:

Artinya : Tiada sesuatu juga menyerupai Dia (As Syura:11)

Golongan kedua dimasyhurkan dengan nama “Aliran Salaf (aliran orang-orang yang terdahulu), walaupun pada hakikatnya tidak semua orang terdahulu berfaham begitu.

Yang menganut faham ini adalah sahabat-sahabat Nabi serupa Ummu Salamah (Isteri Nabi),Imam Malik bin Anas (Tabi’in), Sofyan Tsuri (Tabi’in) dan lain lain

“Aliran Salaf” ini berpendapat, bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits yang bertalian dengan sifat Tuhan, mesti dita’wilkan dan dialihkan artinya ke arti-lain, tetapi apa “arti lain” kita tidak perlu tahu, kita serahkan 100% kepada Tuhan, dengan pengertian bahwa kita selalu beri’tiqad bahwa Tuhan Maha Sucir daripada akan serupa dengan mahlukNya. Ta’wil aliran salaf ini dinamai “Ta’wil Ijmali” , yaitu Ta’wil secara umum.

Golongan yang ketiga ialah golongan yang berpendapat bahwa, ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutasyabihaat mesti dita’wilkan sama juga dengan pendapatan Aliran Salaf, tetapi ta’wilnya itu diterangkan seterang-terangnya. Ta’wil ini dinamai ta’wil Tafsili, ta’wil secara terperinci.

Golongan ketiga dimasyurkan namanya dengan Aliran Kalaf (aliran orang-orang terkemudian), walaupun pada haikiatnya tidak semua orang yang hidup terkemudian berfaham begitu.

Sumber dari faham aliran khalaf, sebagai yang dikatakan Imam Zarkasyi, adalah dari sahabat-sahabat Nabi juga, yaitu dari Saidina Ali, dari Ibnu Abbas, dari Ibuny Mas’ud dan lain lain

Ditegaskan sekali lagi, baik aliran salaf maupun aliran khalaf  tidak mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabihaat secara harfiah menurut lafazhnya yang lahir, tetapi keduanya sama-sama menta’wilkan. Hanya perbedaannya, aliran Salaf tidak menerangkan secara terang-terangan Ta’wilnya, tetapi aliran halaf menerangkan ta’wilnya seterang-terangnya.

Hal ini diterangkan dalam kitap tauhid ”Tuhfatul Murid Syarah Jauharatut-tauhid” karangan Syeikh Ibrahim al Bajuri begini:

Artinya : maka jelaslah dari uraian kami diatas , bahwa”aliran salaf “ dan” aliran khalaf sepakat untuk menta‘wilkan secara ”ijmali”, yaitu menglihkan arti nash – nash yg seolah –olah sebangai menunjukkan sesuatuhal yg mustahil bagi Allah SWT, tetapi mereka (salaf dan khalaf ) berbeda pendapat antara diterangkan ta’wilnya atau tidak diterangkan (Tuhfatul Murid hal.54).

Selanjutnya kitab “Tuhfatul Murid” mengatakan:

Artinya: kesimpulan

Kalau terdapat dalam ayat Quran atau hadist-hadist  Nabi sesuatu yang seolah-olah menyatakan bahwa Tuhan ada di suatu tempat ,atau Tuhan bertubuh ,atau Tuhan berupa ,atau Tuhan beranggota ,telah sepakat Ahlul Haqqi (maksudnya Kaum Ahlus Sunah waljama’ah) dan lain untuk menta‘wilkan yang demikian, karena Tuhan maha suci dan bersih dari akan bersifat dengan dengan sifat yang disebutkan dalam arti yang lahir dari ayat-ayat dan hadits-hadits itu (Tuhfatul Murid hal.54)

Dari uraian Syeikh Ibrahim al Bajuri, seorang ulama tauhid yang terbesar dalam abad terakhir, dapat diiambil kesimpulan, bahwa:

a. aliran Salaf dan Khalaf sepakat untuk menta’wilkan ayat-ayat yang mutasyabih.

b. aliran Salaf menta’wilkan secara ”ijmali”, yaitu ta’wil secara umum, yakni tanpa menerangkan ta’wilnya tetapi alrian khalaf menta’wilkan secara ”tafsili”, yaitu ta’wil secara terperinci sebagai dikatakan diatas.

Umpamanya perkataan dalam surat al Fatah:10 yang kalau diartikan secara harfiyah adalah ”Tangan Tuhan”, tapi aliran Salaf mengartikan: itu tidak tahu artinya. Apa artinya diserahkan saja kepada Tuhan, Maha Suci Tuhan akan serupa dengan makhluk.

Aliran khalaf bahwa makna disini adalah ”kekuasaan”. Maka maknanya yang benar dari ayat ini adalah: ”kekuasaan Tuhan diatas mereka.”

Untuk lebih jelas permasalahannya dibawah ini dibuat Tanya jawab yang bertalian dengan ta’wil ayat-ayat qur’an suci.

Tanya

Apakah boleh ayat-ayat quran dita’wilkan, yakni dialihkan maknanya  ke makna lain. Kalau boleh siapakah yang berhak menta’wilkan itu?

Jawaban

Boleh saja, kalau dibutuhkan.

Yang berhak mentawilkan itu adalah :

  1. Quran juga,karena Quran itu tafsir-mentafsirkan antara satu ayat dengan ayat yang lain.

  2. Nabi Muhammad Saw, karena beliau diutus oleh Tuhan, selain menyampaikan risalah kerasulan, juga diberi tugas untuk menafsirkan, menta’wilkan dan menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Quran itu yang sesuai dengan tujuan Tuhan yang sebenarnya.

  3. Para sahabat nabi,yaitu orng-orang yang dekat kepada nabi, yang tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat, tahu maksud ayat sebenarnya yang ditermanya dari nabi, tahu kapan ayat-ayat itu diturunkan, malam atau siang, dimana ayat-ayat diturunkan di Mekah atau di Madinah, tahu bahasa Arab yang murni yang mana Quran diturunkan dalam bahasa itu.


Para sahabat yang terkemukan dalam menafsirkan quran adalah : Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘abas (ibnu ‘abbas), Anas bin Malik, Abdullah bin Mas’ud (ibnu mas’ud), Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), Abdullah bin ‘Amr, Siti ‘Aisyah Ummul mu’minin, dan lain-lain, Radhiyallahu’anhum ajma’in.

d.  Para tabi’in yaitu orang-orang yang berjumpa dan mengambil ilmu agama dari sahabat nabi. Para tabi’in itu adalah orang-orang yang masih sangat dekat kepada nabi, karena jamannya belum begitu jauh. Jalan pikirannya dan ilmunya masih sangat murni, tidak ada beda dengan jalan pikiran Nabi dan sahabat nabi.

Orang-orang ini yang terkemuka dalam menafsirkan Quran adalah: Hasan Basri, Mujahid, Sa’id bin Jubeir, Alqamah, ‘Ikrimah, Dhahak, ‘Atha bin Abi Rabah, Qutadah, Mutaqil, Muhammad bin Zaid, Ali bin Abi Thalhah, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslanm, Suddi al Kabir, Abu Abdirrahman as Sulami dan lain-lain.

Demikianlah yang dapat menta’wilkan atau mentafsirkan ayat-ayat Quran.

Tafsir atau ta’wil dari yang lain, yang menyimpang (dari tafsir Quran sama Quran, tafsir Nabi, tafsir Sahabat, tafsir Tabi’in) tidak diterima, karena dianggap “Tafsirbir Ra’yi’”, yakni tafsir dengan “pendapat” saja.

Perhatikanlah dalil-dalil yang dibawah ini:

Kesatu:

Ada firman Tuhan dalam Al Qur’an  begini bunyinya:

Artinya: Tuhan yang menurunkan Quran atasmu. Diantara isinya ada yang Muhkamaat(terang maksudnya) dan ada pula yang Mutasyabihaat (samar-samar, tidak langsung maksudnya). Adapun orang yang cenderung  hatinya kepada kesalahan diturutnya saja arti yang samar-samar itu, tersebab mereka hendak mencari fitnah  dan mencari kesalahan pengertian (mengartikan menurut pendapatnya sendiri).

Tidak ada yang mengetahui ta’wilnya  itu kecuali Allah dan orang yang dalam ilmunya. Mereka berkata: kami iman kepada itu, semuanya datang dari Allah, Tuhan kami, dan yang dapat mengambil pelajaran hanyalah orang-orang yang mengerti,  yang mempunyai ilmu (Al Imran: 7)

Jelas dalam ayat ini dinyatakan bahwa Tuhan  dan orang yang dalam ilmunya mengerti makna ayat-ayat Mutasyabih itu.

Jelas dalam ayat ini disebutkan bahwa mengetahui ta’wil ayat-ayat Mutasyabih hanyalah Tuhan dan orang-orang yang dalam ilmunya dalam menafsirkan Quran adalah Nabi, Sahabat-Sahabat beliau dan para  Tabi’in.

Kedua

Tersebut dalam Hadits Bukhari begini bunyinya:

Artinya: dari Abdillah (bin Mas’ud) Rda.  Beliau berkata : tatkala turun ayat yang berarti : “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan dengan zhulm (aniaya) (mereka memperoleh keimanan dan itulah orang-orang yang diberi hidayah (Al an’am:82)”, setelah turun ayat ini ada diantara Sahabat - Sahabat Nabi yang merasa kesusahan, sehingga mereka bertanya-tanya sesama mereka: Siapakah diantara kita yang tidak menganiaya diri dengan  membuat dosa?  lalu Nabi menjawab: bukan begitu, bukanlah sebagai yang kamu sangka. Ayat itu hanya sebagai yang dikatakan oleh Luqman kepada anaknya : Hai anakku! Janganlah kamu “syirik” kepada Tuhan, karena “syirik”  itu adalah “zhulm” yang besar (riwayat Bukhari – lihat Fathul Bari Juz 15 hal 334-335 ).

Jadi, kata: “zhulm” yang artinya pada mulanya “perbuatan aniaya” dita’wilkan oleh Nabi dengan “syirik” yakni mempersekutukan Tuhan.

Maka jadilah arti ayat ini  sesudah dita’wilkan : “Orang yang beriman dan tidak  mencampurkan keimanannya itu dengan syirik akan memperoleh keamanan dan itulah  orang yang dapat hidayah”.

Ketiga

Dalam sebuah hadits yang panjang yang tersebut dalam kitab Hadits Bukhari, bahwa Saidina Umar Rda, memanggil Ibnu Abbas berkumpul bersama Sahabat-Sahabat tertua, yaitu sahabat-sahabat yang menghadiri peperangan Badara.

Saidina Umar bertanya kepada mereka:

Artinya :

Bagaimana pendapatmu tentang ayat “apabila datang pertolongan Tuhan dan kemenangan” ?

Jawab sebagian mereka: Kita diperintah apabila datang pertolongan Tuhan dan kemenangan supaya memperbanyak Tahmid dan Tasbih.

Sebagian sahabat yang lain tidak  menjawab.

Dan engkau hai Ibnu Abbas, Bagaimana pendapatmu?

Jawabku: Tidak, bukan begitu, itu adalah ajal Rosulullah diberi tahukan sudah dekat. Apabila datang pertolongan  Tuhan dan kemenangan itu suatu tanda bahwa ajal engkau sudah dekat. Pada ketika itu tasbihlah, tahmidlah dan istighfarlah karena Tuhan itu penerima taaubat.

Lalu Saidina ‘Umar berkata : Saya baru sekarang mengetahui arti serupa itu (HSR Bukhari – Shahih Bukhari III hal 158 ).

Berkata Iman Ibnu Hajar Asqalani pada ketika mensyarahkan hadits ini, bahwa ini adalah suatu pertanda boleh menta’wilkan Quran, dengan apa yang difahamkan dari isyarat-isyarat. Yang mengerjakan yang demikian addalah orang-orang yang dalam ilmunya (Fathul Bari Syarah  Bukhari juz 10 halaman 367)

Sumber: Buku  "40 Masalah Agama", K.H Siradjuddin Abbas,  Masalah Salaf dan Khalaf  (Hal 156-165)

Tentang bagaimana Ibnu Taimiyah melakukan penafsiran Al-Qur'an dan Hadits yang sebagian pihak memberikan istilah "Pemurnian Pemahaman" dalam arti bahwa penafsiran dilakukan secara harfiah, yakni menurut lahir lafazhnya saja.  Silahkan baca Jurnal Penelitian Agama, "Pemikiran Ibn Taimiyah  Tentang Metode Penafsiran Al-Qur'an Sebagai Upaya Pemurnian Pemahaman Terhadap Al-Qur'an", H. Masyhud.

Mungkin dengan adanya "pemurnian pemahaman" atau penafsiran secara harfiah, penafsiran menurut lahir lafazhnya saja mengakibatkan umat muslim yang mengikuti cara,metode,jalan,manhaj,aliran atau mazhab salaf ala Ibnu Taimiyah terasa "kering" dalam beribadah atau mendalami agama dikarenakan "mungkin" tidak adanya "kedalaman", "ta'wil" atau "rasa" dalam teknik pemahaman/penafsiran.

Wallahu a'alam

Wassalam

Zon at Jonggol

Files terkait : pemikiran-ibnu-taimiyah-masyhud

Selasa, 16 Februari 2010

Ibn Qayyim al-Jawziyyah

Siapakah Ibn Qayyim al-Jawziyyah?


[Mengenal Salah Satu "Tiang" Aqidah Wahabi]


Ia bernama Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub az-Zar’i, dikenal dengan nama Ibn Qayyim al-Jawziyyah, lahir tahun 691 hijriyah dan wafat tahun 751 hijriyah. Al-Dzahabi dalam kitab al-Mu’jam al-Mukhtash menuliskan tentang sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:

“Ia tertarik dengan disiplin Hadits, matan-matan-nya, dan para perawinya. Ia juga berkecimpung dalam bidang fiqih dan cukup kompeten di dalamnya. Ia juga mendalami ilmu nahwu dan lainnya. Ia telah dipenjarakan beberapa kali karena pengingkarannya terhadap kebolehan melakukan perjalanan untuk ziarah ke makam Nabi Ibrahim. Ia menyibukan diri dengan menulis beberapa karya dan menyebarkan ilmu-ilmunya, hanya saja ia seorang yang suka merasa paling benar dan terlena dengan pendapat-pendapatnya sendiri, hingga ia menjadi seorang yang terlalu berani atau nekad dalam banyak permasalahan” (al-Mu’jam al-Mukhtash).

Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab ad-Durar al-Kaminah menuliskan tentang Ibn Qayyim sebagai berikut:

“Ia ditaklukkan oleh rasa cintanya kepada Ibn Taimiyah, hingga tidak sedikitpun ia keluar dari seluruh pendapat Ibn Taimiyah, dan bahkan ia selalu membela setiap pendapat apapun dari Ibn Taimiyah. Ibn Qayyim inilah yang berperan besar dalam menyeleksi dan menyebarluaskan berbagai karya dan ilmu-ilmu Ibn Taimiyah. Ia dengan Ibn Taimiyah bersama-sama telah dipenjarakan di penjara al-Qal’ah, setelah sebelumnya ia dihinakan dan arak keliling di atas unta hingga banyak dipukuli ramai-ramai. Ketika Ibn Taimiyah meninggal dalam penjara, Ibn Qayyim lalu dikeluarkan dari penjara tersebut. Namun demikian Ibn Qayyim masih mendapat beberapa kali hukuman karena perkataan-perkataannya yang ia ambil dari fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Karena itu Ibn Qayyim banyak menerima serangan dari para ulama semasanya, seperti juga para ulama tersebut diserang olehnya” (ad-Durar al-Kâminah Fi A’yan al-Mi’ah ats-Tsaminah ).

Sementara Ibn Katsir menuliskan tentang sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:

“Ia (Ibn Qayyim) bersikukuh memberikan fatwa tentang masalah talak dengan menguatkan apa yang telah difatwakan oleh Ibn Taimiyah. Tentang masalah talak ini telah terjadi perbincangan dan perdebatan yang sangat luas antara dia dengan pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât); Taqiyuddin as-Subki dan ulama lainnya” (Al-Bidâyah Wa an-Nihâyah, j. 14, j. 235).

Ibn Qayyim adalah sosok yang terlalu optimis dan memiliki gairah yang besar atas dirinya sendiri, yang hal ini secara nyata tergambar dalam gaya karya-karya tulisnya yang nampak selalu memaksakan penjelasan yang sedetail mungkin. Bahkan nampak penjelasan-penjelasan itu seakan dibuat-buatnya. Referensi utama yang ia jadikan rujukan adalah selalu saja perkataan-perkataan Ibn Taimiyah. Bahkan ia banyak mengutak-atik fatwa-fatwa gurunya tersebut karena dalam pandangannya ia memiliki kekuatan untuk itu. Tidak sedikit dari faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah yang ia propagandakan dan ia bela, bahkan ia jadikan sebagai dasar argumentasinya. Oleh karena itu telah terjadi perselisihan yang cukup hebat antara Ibn Qayyim dengan pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât); Imam al-Hâfizh Taqiyuddin as-Subki di bulan Rabi’ul Awwal dalam masalah kebolehan membuat perlombaan dengan hadiah tanpa adanya seorang muhallil (orang ke tiga antara dua orang yang melakukan lomba). Ibn Qayyim dalam hal ini mengingkari pendapat Imam as-Subki, hingga ia mendapatkan tekanan dan hukuman saat itu, yang pada akhirnya Ibn Qayyim menarik kembali pendapatnya tersebut.

Imam Taqiyuddin al-Hishni (w 829 H), salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab asy-Syafi’i; penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr, dalam karyanya berjudul Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad sebagai bantahan atas kesesatan Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:

“Ibn Taimiyah adalah orang yang berpendapat bahwa mengadakan perjalanan untuk ziarah ke makam para Nabi Allah adalah sebagai perbuatan yang haram, dan tidak boleh melakukan qashar shalat karena perjalanan tersebut. Dalam hal ini, Ibn Taimiyah secara terang-terangan menyebutkan haram safar untuk tujuan ziarah ke makam Nabi Ibrahim dan makam Rasulullah. Keyakinannya ini kemudian diikuti oleh muridnya sendiri; yaitu Ibn Qayyim al-Jaiuziyyah az-Zar’i dan Isma’il ibn Katsir as-Syarkuwini. Disebutkan bahwa suatu hari Ibn Qayyim mengadakan perjalan ke al-Quds Palestina. Di Palestina, di hadapan orang banyak ia memberikan nasehat, namun ditengah-tengah nasehatnya ia membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulannya Ibn Qayyim kemudian berkata: “Karena itu aku katakan bahwa sekarang aku akan langsung pulang dan tidak akan menziarahi al-Khalil (Nabi Ibrahim)”. Kemudian Ibn Qayyim berangkat ke wilayah Tripoli (Nablus Syam), di sana ia kembali membuat majelis nesehat, dan di tengah nasehatnya ia kembali membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulan pembicaraannya Ibn Qayyim berkata: “Karena itu hendakalah makam Rasulullah jangan diziarahi…!”. Tiba-tiba orang-orang saat itu berdiri hendak memukulinya dan bahkan hendak membunuhnya, namun peristiwa itu dicegah oleh gubernur Nablus saat itu. Karena kejadian ini, kemudian penduduk al-Quds Palestina dan penduduk Nablus menuslikan berita kepada para penduduk Damaskus prihal Ibn Qayyim dalam kesesatannya tersebut. Di Damaskus kemudian Ibn Qayyim dipanggil oleh salah seorang hakim (Qadli) madzhab Maliki. Dalam keadaan terdesak Ibn Qayyim kemudian meminta suaka kepada salah seorang Qadli madzhab Hanbali, yaitu al-Qâdlî Syamsuddin ibn Muslim al-Hanbali. Di hadapannya, Ibn Qayyim kemudian rujuk dari fatwanya di atas, dan menyatakan keislamannya kembali, serta menyatakan taubat dari kesalahan-kesalahannya tersebut. Dari sini Ibn Qayyim kembali dianggap sebagai muslim, darahnya terpelihara dan tidak dijatuhi hukuman. Lalu kemudian Ibn Qayyim dipanggil lagi dengan tuduhan fatwa-fatwa yang menyimpang yang telah ia sampaikan di al-Quds dan Nablus, tapi Ibn Qayyim membantah telah mengatakannya. Namun saat itu terdapat banyak saksi bahwa Ibn Qayyim telah benar-benar mengatakan fatwa-fatwa tersebut. Dari sini kemudian Ibn Qayyim dihukum dan di arak di atas unta, lalu dipenjarakan kembali. Dan ketika kasusnya kembali disidangkan dihadapan al-Qâdlî Syamsuddin al-Maliki, Ibn Qayyim hendak dihukum bunuh. Namun saat itu Ibn Qayyim mengatakan bahwa salah seorang Qadli madzhab Hanbali telah menyatakan keislamannya dan keterpeliharaan darahnya serta diterima taubatnya. Lalu Ibn Qayyim dikembalikan ke penjara hingga datang Qadli madzhab Hanbali dimaksud. Setelah Qadli Hanbali tersebut datang dan diberitakan kepadanya prihal Ibn Qayyim sebenarnya, maka Ibn Qayyim lalu dikeluarkan dari penjara untuk dihukum. Ia kemudian dipukuli dan diarak di atas keledai, setelah itu kemudian kembali dimasukan ke penjara. Dalam peristiwa ini mereka telah mengikat Ibn Qayyim dan Ibn Katsir, kemudian di arak keliling negeri, karena fatwa keduanya -yang nyeleneh- dalam masalah talak” (Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad, h. 122-123).

Ibn Qayyim benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, dalam berbagai permasalahan. Dalam salah satu karyanya berjudul Badâ-i’ al-Fawâ-id, Ibn Qayyim menuliskan beberapa bait syair berisikan keyakinan tasybîh, yang lalu dengan dusta mengatakan bahwa bait-bait syair tersebut adalah tulisan Imam ad-Daraquthni. Dalam bukunya tersebut Ibn Qayyim menuliskan:

“Janganlah kalian mengingkari bahwa Dia Allah duduk di atas arsy, juga jangan kalian ingkari bahwa Allah mendudukan Nabi Muhammad di atas arsy tersebut bersama-Nya” (Badâ-i’ al-Fawâ-id, j. 4, h. 39-40).

Tulisan Ibn Qayyim ini jelas merupakan kedustaan yang sangat besar. Sesungguhnya Imam ad-Daraquthni adalah salah seorang yang sangat mengagungkan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari; sebagai Imam Ahlussunnah. Seandainya ad-Daraquthni seorang yang berkeyakinan tasybîh, seperti anggapan Ibn Qayyim, tentu ia akan mengajarkan keyakinan tersebut.

Pada bagian lain dalam kitab yang sama Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa langit lebih utama dari pada bumi, ia menuliskan: ”Mereka yang berpendapat bahwa langit lebih utama dari pada bumi mengatakan: Cukup alasan yang sangat kuat untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi adalah karena Allah berada di dalamnya, demikian pula dengan arsy-Nya dan kursi-Nya berada di dalamnya” (Badâ-i’ al-Fawâ-id, h. 24).

Penegasan yang sama diungkapkan pula oleh Ibn al-Qayyim dalam kitab karyanya yang lain berjudul Zâd al-Ma’âd. Dalam pembukaan kitab tersebut dalam menjelaskan langit lebih utama dari bumi mengatakan bahwa bila seandainya langit tidak memiliki keistimewaan apapun kecuali bahwa ia lebih dekat kepada Allah maka cukup hal itu untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi.

Syekh Muhammmad Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn dalam menanggapi tulisan-tulisan sesat Ibn al-Qayyim di atas berkata:

”Orang ini (Ibn al-Qayyim) meyakini seperti apa yang diyakini oleh seluruh orang Islam bahwa seluruh langit yang tujuh lapis, al-Kursi, dan Arsy adalah benda-benda yang notabene makhluk Allah. Orang ini juga tahu bahwa besarnya tujuh lapis langit dibanding dengan besarnya al-Kursi tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas; sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam Hadits Nabi. Orang ini juga tahu bahwa al-Kursi yang demikian besarnya jika dibanding dengan besarnya arsy maka al-Kursi tersebut tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas. Anehnya, orang ini pada saat yang sama berkeyakinan persis seperti keyakinan gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, bahwa Allah berada di arsy dan juga berada di langit, bahkan keyakinan gurunya tersebut dibela matia-matian layaknya pembelaan seorang yang gila. Orang ini juga berkeyakinan bahwa seluruh teks mutasyâbih, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits-Hadits Nabi yang menurut Ahl al-Haq membutuhkan kepada takwil, baginya semua teks tersebut adalah dalam pengertian hakekat, bukan majâz (metafor). Baginya semua teks-teks mutasyâbih tersebut tidak boleh ditakwil” (Barâ-ah al-Asy’ariyyîn, j. 2, h. 259-260).

Sumber: http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/06/01/siapakah-ibn-qayyim-al-jawziyyah-mengenal-salah-satu-tiang-aqidah-sesat-wahabi/

Jumat, 12 Februari 2010

Tanggapan Modernisasi Agama

Ada beberapa saudara-saudara muslim saya yang memberikan tanggapan melalui email japri terhadap tulisan saya http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/10/modernisasi-agama/

Bahkan ada yang menyatakan bahwa saya telah menyatakan sesat kepada ulama salaf.

Dalam tulisan awal, saya tidak pernah menulis atau bermaksud mensesatkan ulama salaf. Apalah ilmu yang saya ketahui dibandingkan mereka semua. Derajatnya jauh sekali tinggi mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada mereka para alim ulama.

Ada tercantum kata sesat dalam email / tulisan saya , hanyalah pada kalimat,

Manhaj Salaf  atau salaf(i)  yang inipun terpecah dalam beberapa ustadz/pengajian yang mana antar merekapun saling "men-sesat-kan".

Ini semata-mata ungkapan kesedihan saya terhadap saudara-saudara muslim saya.

Sedangkan pandangan saya kepada saudara-saudara muslim saya yang bersandar pada ulama salaf, silahkan lihat tulisan lain saya di
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/01/27/salaf-dan-salafi/

Dalam tulisan itu saya katakan bahwa,
Bagi mereka yang mempunyai “kesempatan” untuk mempelajari atau menyandarkan pada salaf silahkan, namun perlu diingat bahwa “kesempatan” itu adalah semata-mata karunia Allah dan juga sebaiknya tidak menjadikan sombong terhadap umat islam lainnya.

Saya akui bahwa saudara-saudara muslim yang menyandarkan kepada salaf tentu sangatlah berilmu dan mungkin sempat belajar pada sumber-sumber secara langsung. Apalah kami ini yang belum mempunyai "kesempatan" belajar dan penuh dengan kesibukan pekerjaan, namun tetap ingin ingat selalu dan berupaya mendekatkan diri pada Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Masyarakat Islam sekarang boleh dibagi dua:
1. Orang Islam yang ahli, yang ulama, yang sarjana dalam arti kata yang sebenar-benarnya.
2. Orang Islam yang awam, yaitu kaum Muslimin yang banyak ini yang hidup bertani, memburuh,bertukang, berdagang, karyawan dan lain-lain.

Bagi saya,
a. Ulama-ulama yang sampai derajatnya kepada Imam Mujtahid, berijtihadlah dan galilah hukum-hukum dari Al Qur’an dan Hadits.
b. Orang banyak, yang tidak sampai derajatnya ke situ, mengikutlah kepada Imam Mujtahid, atau degan kata yang biasa terpakai “Taqlidlah kepada Imam-imam Mujtahid”.
Imam-imam mujtahid bisa juga dari kalangan yang bersandar langsung pada imam-imam salaf  bisa juga imam-imam mazhab.

Inilah jalan yang sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya.

Sekarang saya balik bertanya,
Apakah ummat Islam yang menganut Mazhab Syafi’i tidak menjalankan hukum Allah dan Rasul ?
Apakah sendi-sendi Mazhab Syafi’i itu tidak kitabullah dan Sunnah Rasul ?
Apakah ummat Islam Indonesia yang terdahulu jauh sebelum antum lahir, yang mana mereka bermahzab Syafi'i, apakah antum meyakini bahwa mereka tersesat?

Penekanan postingan saya marilah kita untuk tidak saling men-sesatkan apalagi saling mengkafirkan sesama muslim.

Kita harus meyakini bahwa sesama muslim adalah bersaudara.
Justru kita harus selalu waspada kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).

Untuk menghadapi orang-orang yang memusuhi kita, perlu berpikir strategis dan meluas. Peperangan tidak lagi secara fisik saja namun dilakukan mereka secara pemikiran (ghazwul fikri).

Salah satu yang mereka lakukan untuk memutus rantai pemikiran adalah merusak sumber-sumber tulisan, buku-buku, manuskrip karya imam-imam Muslim.

Sumber-sumber tulisan, buku-buku karya Imam Muslim terdahulu banyak tersimpan di perpustakaan-perustakaan seperti baitul hikmah yang berlokasi di Bagdad (Iraq). Petugas perpustakaan dibayar mahal oleh Khalifah ketika itu. Perpustakaan–perpustakan Islam yang tersebut diatas mengalami pengrusakan yang memilukan hati pustakawan dan para ilmuwan yakni pada terjadinya perang salib pada abad ke 9 dan penyerangan bangsa Mongol Tartar pada abad ke 12 dan ke 13 masehi. Yang menjadi objek penyerangannya adalah perpustakaan yang tidak berdosa. Bahwa sebelum perpustakaan akan dihancurkan beberapa buku yang dipilih dicuri dan diboyong ke kampung penyerang dan yang lainnya dibakar besar-besaran, abunya dibuang ke sungai Eufrat dan Tigris. Itu terjadi pada masa keemasan kemajuan umat muslim. Pada masa sekarang ini terjadi lagi pemusnahan perpustakaan Islam yakni masih di Iraq dan perpustakaan Islam lainnya; mulai tahun 2003 sampai tahun 2008 Direktur Dar Mahthuthat Iraqiyah menyebutkan di surat kabar Mesir Al Ahram (14 /11 /004) bahwa ketika Amerika mengancam hendak menyerang Iraq pada tahun 1991 Pencurian manuskrip mulai terjadi., sekitar 364 manuskrip hilang, termasuk beberapa makhthuthat langka seperti Sihr al Balaghah dan Sihr al bar’ah karya Imam Tsa’labi yang ditulis pada th 482 H. Tidak hanya itu, manuskrip-manuskrip yang berada di perpustakaan fakultas Adab Universitas Baghdad banyak hilang. Benda-benda berharga itu hendak diselundupkan keluar, tapi di perbatasan usaha itu dapat digagalkan dan pelakunya berkebangsaan Brazil dan Yordania.

Mereka telah melakukan upaya "pemutusan" pemikiran dari imam-imam terdahulu dan kemudian memilih dari beberapa diantara yang sesuai dengan maksud/tujuan dan keinginan mereka untuk disebarluaskan kembali.

Mereka dapat memperalat orang-orang yang bersemangat tinggi, untuk menyebarkan buku-buku yang menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan umat Islam. Buku-buku ini, sebenarnya dicetak dan dibiayai dengan biaya dari Mossad untuk membuat pertempuran marginal antara aktivis Islam, khususnya antara Syi’ah dan Sunnah di Palestina, Pakistan, Yaman, dan Yordan.

Puluhan judul buku-buku yang menyerang Syi’ah dengan cara menjijikkan, dan buku lain yang menyerang Sunnah, sudah dicetak. Dan dimanfaatkan juga orang-orang yang fanatik dari kedua belah pihak, setelah diyakinkan bahwa buku-buku tersebut dicetak oleh para dermawan Teluk dengan cetakan lux.

Selebihnya, pekerjaan akan dilakukan oleh mereka yang teripu dari kelompok fanatik, "seolah-olah"  seperti Salafiyyin, neo khawarij dan lain-lain.

Tujuan utama dari pencetakan dan penyebaran buku ini, adalah menimbulkan fitnah dan kebencian serta saling mengkafirkan antarpihak dan menyibukkan mereka dengan pertarungan sampingsan sesama mereka, agar Israel dapat merealisasikan tujuannya, yaitu menghancurkan Islam, menelan tanah air, menghapus identitas generasi muda melalui penyebaran dekadensi moral, atau menggunakan orang-orang yang tersingkir di luar kehidupan, fanatik dan keras kepala. Hati mereka penuh dengan kebencian terhadap saudara mereka sesama Muslim, baik Sunnah atau Syi’ah.

Dalam hal ini, jaringan Mossad telah cukup sukses menjalankan missinya. Anda dapat melihat kira-kira semua masjid dan perkumpulan anak muda di Yaman, Pakistan, dan Palestina tenggelam dengan buku-buku ini, yang dicetak dan dibagikan secara gratis; yang dikesankan seolah-olah dibiayai dari kocek para donatur kaya Arab Saudi, padahal Mossad ada di belakang semua ini.

Sayang sekali, banyak orang-orang yang tidak menyadari, termasuk para imam masjid, khatib-khatib, dan da’i-da’i yang menyibukkan diri secara ikhlas dan serius dengan menyebarkan buku-buku beracun minimal bisa dikatakan buku-buku lancang dan fitnah. Fitnah lebih berbahaya dari pembunuhan. Karena pikiran mereka sempit, maka mereka tidak berpikir tentang tujuan sebenarnya dari penyebaran buku-buku ini, yang meniupkan kebencian, perpecahan dan fitnah khususnya hari-hari belakangan ini.

Waspada, antisipasi dan pemikiran strategis perlu dilakukan oleh ummat muslim.

Dalam sejarah Islam terjadi suatu peristiwa.
Setelah terjadi gencatan senjata dalam perang “Shiffin” antara tentara Saidina ‘Ali dan Saidina Mu’awiyah maka kedua belah pihak mengangkat suatu panitia yang terdiri dari dua golongan yang bermusuhan ini.
Panitia ini tujuannya untuk menjadi hakim dalam perselisihan ini, yakni mencari jalan untuk terlaksananya perdamaian antara dua golongan ummat Islam yang melakukan perang saudara.

Sekumpulan orang “khawarij” tidak mau menerima terbentuknya panitia penyelesai itu, karena menurut pendapat mereka hukum tidak boleh diminta kepada manusia, tetapi harus diminta kepada Allah.
Mereka mengeluarkan semboyan: “La hukma illah lillah”, tidak ada hukum melainkan hanya dari Allah.

Ketika disampaikan kepada Saidina ‘Ali semboyan orang khawarij ini beliau menjawab : “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah).

Inilah pemikiran strategis yang dicontohkan oleh Saidina 'Ali

"Kalimatu haqin urida bihil batil"
(Perkataan yang benar dengan tujuan yang salah)

Sebagai conntoh pada masa kini, bagaimana kaum liberal "menggunakan" perkataan yang benar untuk tujuan yang salah.

Lihat
http://islamlib.com/id/artikel/jejak-liberal-dan-fundamentalis-dalam-pemikiran-ibnu-taimiyyah/

Kaum liberal menggunakan pemikiran Ibnu Taimiyyah untuk membenarkan paham/akidah mereka. Naudzubillah min zalik.

Untuk itulah, saya mengajak diri pribadi saya dan saudara muslim sekalian untuk berpikir strategis dan selalu mengingat bahwa kita sesama muslim adalah bersaudara.

Marilah kita intropeksi diri sendiri maupun jamaah/kelompok/organisai adakah tersusupi kaum yang sesungguhnya memusuhi  ummat muslim atau adakah tersusupi pemikiran/pendapat dari kaum itu

Wallahu a'lam

Rabu, 10 Februari 2010

Modernisasi Agama

Kenyataan sejarah bahwa ummat Islam Indonesia sedari dulu menganut Mazhab Syafi’i, bukan Hanafi, bukan Hanbali, dan bukan Maliki. Dalam usuludidin, dalam i’tiqad (aqidah) menganut faham “Asy’ari”, yaitu faham kaum Alussunnah wal Jama’ah bukan Mu’tazilah dan bukan Syiah.

Ulama-ulama Islam yang wafat pada abad ke 19 yang lalu seumpama, Syeikh Nawawi Bantan, Syeikh Mahfuzh Termas, Syeikh Arsyad Banjar, Syeikh Abdu Samad Palembang, Syekh Ahmada Khatib Minangkabau, Syeikh Sayid Ustman bin Yahya bin Aqil Batawi, semuanya ini adalah ulama-ulama besar penganut-penganut yang gigih dalam mazhab Syafi’i. Hal ini terbukti dengan karangan-karangan beliau yang banyak sekali dalam bermacam-macam ilmu, khusus dalam fiqih Syafi’i.

Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan, bahwa agama Islam bermahzab Syafi’i sudah lama benar dianut oleh ulama dan umat Islam, yakni sedari masuknya Islam ke Indonesia.

Kemudian, pada tahun-tahun permulaan abad ke 20, berhembus ke Indonesia, angin modernisasi agama, hendak merombak faham lama, hendak menukar mahzab Syafi’i dengan mahzab lainnya bahkan berkehendak membuang mahzab sama sekali.

Perombakan dan pembaharuan itu sampai pada I’tiqad (aqidah). Faham Ahlussunah wal Jama’ah yang dianut selama ini hendak ditukar dengan faham mu’tazilah, faham syiah atau apa yang dinamai “faham salaf” atau apalah namanya asal baru, asal berubah dari faham Ahlussunah wal Jama’ah.

Sesuai dengan peribahasa Arab “likulli saqith laqith” (tiap-tiap yang jatuh ada saja pemungutnya), maka faham modernisasi agama itu disambut juga oleh beberapa orang ulama dan beberapa kaum intelek di Indonesia, dan langsung menyebar-luaskan ke tengah-tengah masyarakat Islam di Indonesia ini.

Berdasarkan literatur yang ada, sumber gerakan faham modernisasi agama itu adalah seorang ulama Islam di Damsyik, Siria, namanya IBNU TAIMIYAH (wafat 724 H).

Faham Ibnu Taimiyah ini disebarluaskan oleh muridnya bernama IBNU QAYIM AL JAUZI, pengarang kitab “Zadul Ma’ad (wafat 751 H)

Faham dan pelajaran beliau-beliau ini tidak mendapat sambutan, baik di Siria maupun di Mesir, karena banyak yang bertentangan dengan fatwa-fatwa ulama yang lazim dipakai ketika itu.

Tetapi lama-kelamaan kira-kira 500 tahun kemudian, faham Ibnu Taimiyah disambut oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H,) pembangun gerakan Wahabi, di gurun pasir tanah Arab.

Pelajaran Ibnu Taimiyah kemudian disambut pula di Mesir oleh Syeikh Muhammad Abduh (lahir 1849 M dan wafat 1905 M)

Dan Muhammad Abduh dengan perantaraan muridnya Syeikh Muhammad Rasyid Redha (wafat 1935 M) faham Ibnu Taimiyah disiarkan ke seluruh dunia, juga ke Indonesia, dengan memakai sarana majalah “Al Manar” yang dipimpin oleh Muhammad Rasyid Redha sendiri.

Sebagian lagi berpendapat bahwa faham modernisasi agama itu bersumber kepada seorang Afghanistan, bernama Sayid Jamaluddin Al Afgani (wafat 1897M, 8 tahun lebih awal dari Muhammad Abduh).

Sayid Jamaluddin Al Afgani ini adalah guru dari Muhammad Abduh. Ia seorang “pemimpin politik”, penganut faham Syi’ah (Zuhrul Islam, Juz I, hal 191).

Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa modernisasi agama seutuhnya adalah dari Ibnu Taimiyah sedangkan modernisasi agama tambah politik dari Sayid Jamaluddin al Afgani.

Gerakan modernisasi agama ini bukan saja dipelopori oleh ulama-ulama tetapi juga oleh sebahagian kaum intelek dan penguasa-penguasa negara yang sudah termakan pengajian Ibnu Taimiyah. Dalam hal ini bisa kita catat nama-nama seperti, Mustafa Kemal Attaturk (Yahudi dari Dumamah), Sayid Ahmad, Jamauddin Al Afgani, Mirza Gulam Ahmad, bahkan Bung Karno yang mengidolakan Mustafa Kemal.

Menurut K.H. Siradjuddin Abbas, bagi kita sesungguhnya tidak menolak seluruh modernisasi. Modernisasi dianjurkan untuk bidang-bidang keduniaan yang belum ada aturannya dari Allah dan Rasul. Namun dalam soal kegamaan, soal syariat, soal ibadah, soal i'tiqad (aqidah) maka kita menolak sekuat-kuatnya akan modernisasi. Agama adalah dari Allah dan Rasul, kita wajib menerima bagaimana adanya, sebagai yang diajarkan Rasulullah.
Nabi Rasulullah bersabda: "Dari Anas bin Malik Rda, beliau berkata, Rasulullah telah bersabda: Apabila ada sesuatu urusan duniamu maka kamu yang lebih tahu, tetapi apabila dalam urusan agamamu maka Saya yang mengaturnya". (HR Imam Ahmad bin Hanbal).
Agama tidaklah mengikuti zaman tetapi sebaliknya zaman yang harus tunduk kepada agama.
Kalau agama dimodernisir dan disesuaikan dengan zaman maka akibatnya agama itu akan hapus dengan sendirinya, karena tuntutan zaman itu berobah-obah terus dan agama akan berobah pula sesuai dengan zaman itu.

Ijtihad, Mujtahid dan Taqlid
Hampir seluruh gembong-gembong modernisasi agama mengharamkan taqlid, menganjurkan atau mewajibkan seluruh umat berijtihad. Taqlid bagi mereka dikutuk, sama dengan mengutuk bid'ah dan khurafat. Dan masalah ini adalah masalah pokok bagi mereka.
Hanya kadang-kadang mereka tidak sependapat dalam definis, dalam ta'rif.
Ada diantara mereka yang mengartikan "ijtihad" dengan "pengkoreksian" atau "penyelidikan kembali suatu faham".
Sedangkan "taqlid" diartikan "mengikuti bapak-bapak", "mengikuti nenek moyang" atau "mengikuti kiyai bersorban" atau bahkan diartikan "membabi buta".
Ini semuanya adalah pengertian-pengertian keliru, yang sangat keliru sehingga membuahkan pendapat-pendapat yang keliru.

Arti Ijtihad menurut ilmu Usul-fiqih yang terpakai dalam syari'at Islam ialah "usaha seorang ahli fiqih menggali dan mengeluarkan hukum-hukum fiqih yang tersirat di dalam Qur'an dan Hadits"
Di dalam ta'rif ini ada beberapa unsur:
1. Usaha seorang ahli fiqih.
2. Ahli fiqih.
3. Menggali dan mengeluarkan hukum fiqih.
4. Hukum fiqih yang tersirat.
5. Dari dalam Al Qur'an dan Hadits.
Usaha seorang yang bukan ahli fiqih tidaklah dinamakan ijtihad.
Yang dinamakan ahli fiqih ialah seorang ulama atau katakanlah sarjan yang dalam ilmunya dalam bahasa Arab, dan dalampula ilmunya dalam tafsir Al Qur'an dan Tafsir Hadits, yang dengan ilmunya itu mempunyai kesanggupan mengeluarkan hukum-hukum agama yang akan dipakai seluruh ummat Islam.
Ahli fiqih yang seperti itu dinamai Imam Mujtahid.
Adapun orang awam atau rakyat banyak yang tidak sanggup berijtihad boleh mengikuti saja kepada Imam Mujtahid itu dan mereka dinamai "pengikut" atau "muqallid" atau orang yang taqlid.
Jadi arti taqlid ialah mengikuti imam-imam Mujtahid; bukan mengikuti bapak-bapak, bukan mengikuti orang-orang dulu, bukan mengikuti nenek-moyang.
Nah, mari kita perhatikan masyarakat kita ummat Islam sekarang. Masyarakat Islam sekarang boleh dibagi dua:
1. Orang Islam yang ahli, yang ulama, yang sarjana dalam arti kata yang sebenar-benarnya.
2. Orang Islam yang awam, yaitu kaum Muslimin yang banyak ini yang hidup bertani, memburuh,bertukang,berdagang dan lain-lain.
Golongan yang kedua ini mungkin tidak pernah masuk madrasah, tidak pernah mengikuti pesantren. Mereka hanya padai membaca Al-Qur'an, tetapi mereka semuanya orang Islam yang baik, yang ingin menjalankan amal ibadah sebaik-baiknya.
Andaikata diikuti aliran faham golongan modernisasi, yaitu mewajibkan supaya seluruh orang berijtihad, maka ternyatalah bahwa orang Islam semuanya ini sudah berdosa, karena mereka tidak melaksanakan ijtihad itu.
Bagaimana bisa seorang buruh kereta api, yang kerjanya menjadi masinis dapat melakukan ijtihad ?
Bagaimana seorang saudagar di Tanah Abang atau Glodok dapat melakukan ijtihad sedang mereka tidak mendalami Al-Quran
dan Hadits ?
Bagaimana seorang kelasi di laut melaksanakan ijtihad, padahal ia tidak pernah belajar "huruf gundul" dan bahkan tak pernah membacanya ?
Itulah anjurandari golongan orang-orang modernisasi agama, yang dalam teorinya memang baik, yang dalam bunyinya memang bagus, tetapi dalam prakteknya tak bisa dikerjakan.
Memaksakan atau mewajibkan supaya seluruh ummat ber-ijtihad atau menjadi mujtahid adalah pekerjaan "gila", karena hal itu sana dengan memikulkan sesuatu beban yang berat kepada seorang yang tidak bisa memikulnya.
Sama juga keadaannya kalau pada setiap warga negara diwajibkan menjadi pilot pesawat udara jika akan menggunakan pesawat udara.

"Ijtihad" dan "mujtahid" hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang tekun belajar, dari sekolah rendah agama, sampai sekolah menengah, sampai sekolah tinggi, sampai ke derajat "takhasus".
Kalau dalam istilah fiqih sampai kepada "Al Allamah", "Al Muhaqqiq","Al Hafizh".

Yang lebih baik dan masuk akal adalah,
a. Ulama-ulama yang sampai derajatnya kepada Imam Mujtahid, berijtihadlah dan galilah hukum-hukum dari Al Qur'an dan Hadits.
b. Orang banyak, yang tidak sampai derajatnya ke situ, mengikutlah kepada Imam Mujtahid, atau degan kata yang biasa terpakai "Taqlidlah kepada Imam-imam Mujtahid". Inilah jalan yang sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya.

Kembalilah kepada Allah dan Rasul
Golongan modernisasi agama biasa meneriakkan bahwa mereka akan mengembalikan orang kepada Allah dan Rasul atau mengembalikan kepada Al-Qur'an dan Sunnah.
Slogan ini adalah suatu slogan yang baik yang manis kedengarannya, sebab semua orang tang telah menyeleweng dari Kitabullah dan Sunnah Rasul akan dikembalikan kepada relnya yang asli, yaitu Kitabullah dan Sunnah rasul.
Seluruh ahli-ahli bid'ah dan ahli-ahli khurafat akan dikembalikan kepada jalan yang lurus, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul, alangkah baikya itu.
Siapapun yang ada mengalir setitik darah Islam dalam badannya tidak akan membantah soal ini.
Tetapi kalau slogan ini bertujuan untuk mengatakan bahwa ummat Islam khususnya di Indonesia yang menganut Mazhab Syafi'i itu sudah menyeleweng dari Kitabullah dan Sunnah Rasul dan karena itu hendak dikembalikan ke jalan yang lurus, maka slogan ini benar-benar menjadi slogan "kalimaitu haqqin urida bihil batir" , perkataan yang benar dengan tjuan/maksud yang salah.

Dalam sejarah Islam terjadi suatu peristiwa. Setelah terjadi gencatan senjata dalam perang "Shiffin" antara tentara Saidina 'Ali dan Saidina Mu'awiyah maka kedua belah pihak mengangkat suatu panitia yang terdiri dari dua golongan yang bermusuhan ini.
Panitia ini tujuannya untuk menjadi hakim dalam perselisihan ini, yakni mencari jalan untuk terlaksananya perdamaian antara dua golongan ummat Islam yang melakukan perang saudara.
Sekumpulan orang "khawarij" tidak mau menerima terbentuknya panitia penyelesai itu, karena menurut pendapat mereka hukum tidak boleh diminta kepada manusia, tetapi harus diminta kepada Allah.
Mereka mengeluarkan semboyan: "La hukma illah lillah", tidak ada hukum melainkan hanya dari Allah.
Ketika disampaikan kepada Saidina 'Ali semboyan orang khawarij ini beliau menjawab : "kalimatu haqin urida bihil batil" (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah).
Apakah orang-orang yang membentuk panitia perdamaian itu minta hukum kepada lain Allah ?
Apakah panitia itu tidak menjalankan hukum Allah ?

Nah, maka begitu juga dalam masalah yang kita hadapi sekarang.
Apakah ummat Islam yang menganut Mazhab Syafi'i tidak menjalankan hukum Allah dan Rasul ?
Apakah sendi-sendi Mazhab Syafi'i itu tidak kitabullah dan Sunnah Rasul ?
Semua orang tahu, bahwa justru untuk menjalankan perintah Allah dan Rasul sebaik-baiknya maka orang menganut Mazhab Syafi'i.

Mazhab-mazhab menimbulkan perpecahan

Ada orang mengatakan lagi - dalam rangka mendiskreditkan madzhab dan penganut-penganut mazhab Syafi'i - bahwa adanya mazhab-mazhab itu menimbulkan perpecahan dalam kalangan masyarakat Islam.
Andaikata semuanya kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul maka orang tak akan berpecah lagi, karena orang sudah kembali kesumbernya yaitu Qur'an dan Hadits.
Orang yang mengatakan hal ini benar-benar tidak mengetahui sejarah Islam, tetapi pendapatnya diambilnya dari omongan-omongan kaum orientalist bahkan kaum non muslim.

Orang itu tidak tahu, bahwa sebelum mazhab-mazhab ini ada, yaitu zaman para sahabat, sudah terjadi perpecahan, padahal mereka semua mengikuti Qur'an dan Hadits.
Sebagai contoh telah terjadi peperangan antara pasukan Ummul mu'minin Siti 'Aisyah dengan pasukan Saidina 'Ali Rda, dipeperangan yang bernama "Peperangan Jamal", yakni peperangan onta, karena Ummul mu'minin Siti 'Aisyiah mengendarai onta dalam memimpin peperangan itu.
Kedua para Sahabat yang mulia ini berperang justru karena keduanya mempertahankan Kitabullah dan Sunnah Rasul, sesuai dengan pemahaman dan ijtihad mereka masing-masing.
Dan sudah terjadi pula peperangan antara pasukan Saidina Ali dengan pasukan Saidina Mu'awiyah di peperangan "Shiffin". Kedua para sahabat yang utama ini berperang, karena keduanya menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul sesuai dengan pemahaman dan ijtihad mereka masing.
Untunglah bahwa perselisihan anatara para sahabat yang mulia itu berdasarkan "ijtihad" masing-masing yang dianggap benar dan harus dipertahankan.
Kaum Ahlussunnah berpendapat bahwa perselisihan paham antara Saidina 'Ali dan Ummul mu'minin Siti 'Aisyah adalah perselisihan antara seorang Imam Mujtahid dengan Imam Mujtahid, yang dijamin oleh Nabi dalam sebuah hadits bahwa yang ijtihadnya betul dapat dua pahala dan kalau ijtihad tersalah dapat satu pahala.

Sedangkan celakalah yaitu perpecahan yang ditimbulkan karena tafsiran-tafsiran yang liar dari orang yang menafsirkan Qur'an semaunya dan sekehendak hatinya, seperti tafsiran kaum Syi'ah, Kaum mu'tazilah, Kaum Khawarij yang semuanya berpegang kepada Al Qur'an dan Hadits, tetapi tafsirnya semau gue.
Semua ini terjadi sebelum adanya madzhab-madzhab Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Inilah fakta sejarah !

Maka jelaslah, bahwa sumber perpecahan itu bukan dari adanya mazhab-mazhab.
Sumber yang hakiki dalam perpecahan ialah "memegang Al Qur'an dan Hadits dengan tafsir-tafsir yang liar, tafsir sekehendak hatinya saja atau (menurut pendapat penulis blog) bahkan tafsir-tafsir yang tidak disadari memenuhi keinginan/maksud/tujuan kaum yang sesungguhnya memusuhi ummat Islam.
Kaum yang memusuhi Ummat Islam seperti yang difirmankan Allah,
"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik" (Al Maaidah: 82) .

Andaikata pada waktu sekarang yang sudah teramat jauh dari masa Salaf, kepada setiap orang dianjurkan kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul dan diserahkan kepada mereka untuk menafsirkan Al Qur'an dan Hadits semaunya, maka akan timbullah beratus-ratus mazhab atau beribu-ribu madzhab, bukan empat mazhab sebagai sekarang karena setiap orang membuat mazhab-mazhab sendiri-sendiri.
Begitulah yang terjadi kepada ummat Islam yang "mencoba" menyandarkan langsung pada Salaf  atau Salaf(i) mereka terpecah kedalam beberapa pimpinan ulama / pengajian dan bahkan mereka men-"sesat"kan antara mereka sendiri yang bermanhaj salaf.

Sesungguhnya tanpa kita sadari bahwa keadaan perpecahan ini diinginkan syetan/iblis dan/atau kaum yang memusuhi umat Islam. Mereka bagaikan membuat kekuatan sapu lidi terpecah kepada kekuatan setiap lidi.
Mereka yang memusuhi ummat Islam berupaya menghancurkan Jama'ah atau "memberatkan" ummat Islam dalam menjalani Ibadah dengan metode seolah-olah masuk akal, secara filsafat, mensusupi dengan pemikiran mereka (Ghazwul fikri).

Maka yang lebih baik kalau hendak mencari persatuan, dianjurkanlah kepada seluruh ummat dan seluruh rakyat Islam supaya mengikuti Qur'an dan Hadits dan supaya kembali kepada Kitabullah dan Sunnah rasul, tetapi tafsir dari Kitabullah dan Sunnah rasul itu sebaiknya menurut garis yang satu, yaitu garis yang telah digariskan oleh Imam Besar Muhammad bin Idris as Syafi'i dalam Mazhab Syafi'i.
Disitulah baru ada persatuan yang dicita-cita.

Sumber: 40 Masalah Agama, Jiid 2 , K.H. Siradjuddin Abbad berserta tambahan dari penulis blog.

=============================================

Pada saat ini kaum Ahlussunah Wal Jamaah (Ahlusunah/ Sunny) adalah kaum yang paling dimusuhi oleh orang-orang Yahudi dan dan orang-orang Musyrik. Diberbagai belahan dunia yang menjadi korban peperangan/pembunuhan orang muslim, sebagian besar adalah kaum Ahlussunah Wal Jamaah.

Sebagaimana difirmankan oleh Allah,

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik (Al Maaidah: 82)

Ingat, kaum itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik

Marilah kita intropeksi diri sendiri maupun jamaah/kelompok/organisasi adakah tersusupi kaum itu atau adakah tersusupi pemikiran/pendapat dari kaum itu.

Secara sederhana dapat diartikan jika ada orang/jamaah/kelompok/organisasi muslim namun sama sekali tidak dimusuhi oleh kaum Yahudi maupun kaum Musyrik artinya ada kemungkinan sudah tersusupi orang mereka atau tersusupi pemikiran mereka yang keliru/sesat atau i’tiqad itu sendiri yang tersesati oleh syetan/iblis.

Wallahu a’lam