Jumat, 27 Agustus 2010

Ibadah dan Bid'ah

Ibadah berasal dari bahasa Arab abada, ya’budu artinya menyembah, menghamba, mengabdi, tunduk.

Jika dikatakan ibadah kepada Allah swt berarti perbuatan / ibadah / menyembah yang ditujukan kepada Allah swt .

Kesalahpahaman kaidah yang didefinisikan oleh sebagian ulama,  inilah yang harus diluruskan.
Hukum asal ibadah/perbuatan adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkan

Yang benar adalah
Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya


Kaidah ini bersumber dari kaidah pendapat imam Syafi'i ra


أصل في الأشياء الإباحة



(al-Ashlu fil asya’ al-ibahah), "hukum asal segala sesuatu adalah boleh"

Segala sesuatu termasuk perbuatan / ibadah

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Coba saya jelaskan hukum / kaidah ini dengan menjadikan formula.
Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh),

Kita formulakan sebagai nilai awal/asal ibadah/perbuatan = 0 (mubah/boleh)
Rumus/formula yang berlaku adalah atas petunjukNya (al Qur'an dan Hadits) ,
melakukan perbuatan/ibadah yang dilarang bernilai = -X ,
melakukan perbuatan/ibadah yang merupakan kewajiban bernilai +X

Jadi aneh kalau hukum asal ibadah/perbuatan adalah haram atau mempunyai nilai -X

Allah ta’ala telah “membolehkan” manusia melakukan perbuatan di muka bumi semenjak Dia memutuskan menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Kemudian bagi manusia yang mengaku sebagai hamba Allah, maka perbuatan mereka (setelah pengakuan) harus merujuk petunjukNya (al-Qur'an dan Hadits) dimana hukum awalnya mubah(boleh) berubah hukumnya sesuai petunjukNya yakni bisa berubah menjadi haram atau wajib, atau sunnah atau makruh atau syubhat atau pula tetap sebagai mubah.

Siapapun manusia di dunia ini boleh melakukan perbuatan apapun di dunia ini. Allah ta'ala akan penuhi balasan/hasil perbuatan mereka di dunia dan tidak akan dirugikan sedikitpun.

Namun Allah telah menyampaikan kepada manusia yang artinya,

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami penuhi balasan pekerjaan-pekerjaannya di dunia dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun. Tetapi di akhirat tidak ada bagi mereka bagian selain neraka. Dan sia-sialah apa-apa yang mereka perbuat di dunia dan batallah apa-apa yang mereka amalkan”. (QS. Hud : 15-16)

Seorang muslim seluruh perbuatannya hanya terbagi dalam 2 kategori , ibadah mahdah atau ibadah ghairu mahdah.

Ibadah mahdah adalah

Ibadah yang syarat rukunnya telah ditetapkan sesuai dengan syariat.

Ibadah yang tatacaranya diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah sangat jelas, dan bersifat pasti/mutlak. seperti puasa, zakat, sholat haji dan lain2.

Aturan atau petunjukNya yang disampaikan Rasulullah saw inilah yang disebut “urusan kami”, sebagaimana Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya
Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

"Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun." Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa." (Riwayat Hakim dan Bazzar)

"Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu." (QS al-An'am: 119)

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS an-Nahl [16]:116 )

Kalau perbuatan/ibadah tersebut tidak termasuk ibadah mahdah maka perbuatan tersebut akan masuk ibadah ghairu mahdah yang didalamnya bisa didapati bid’ah hasanah seperti contoh saya berdakwah lewat internet yang mana tidak pernah dicontohkan sebelumnya oleh Rasulullah saw. Saya yakin bahwa perbuatan/ibadah berdakwah lewat internet akan sampai (wushul) kepada Allah.

Rujukan Bid'ah hasanah (bidang ibadah ghairu mahdah)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:

Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)

Pendapat Imam Syafi’i –semoga Allah meridlainya-

Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)

Kalau bid’ah dalam ibadah mahdah itu sudah jelas bid’ah dholalah akan tertolak

Bagi seorang muslim seluruh perbuatan , seluruh aktivitas baik ruhani maupun jasmani adalah ibadah dan wajib ditujukan kepada Allah.

Begitulah ketaatan seorang muslim pada firman Allah yang artinya,
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS adz Dzariyat [51] : 56 )

Tulisan yang lebih lengkap silahkan baca pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/19/kesalahpahaman-tentang-ibadah/

Tulisan tentang dalil bid'ah, silahkan baca pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/20/2010/04/20/bidah/



Kaidah "Hukum asal ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkan" merupakan sebuah kesalahpahaman yang berlarut-larut dan tanpa dalil / hujjah yang kuat serta tidak ada yang diharamkan/dilarang kecuali Allah ta'ala yang mengharamkan/melarangnya.

Nash-nash Al-Qur'an atau Hadits yang berisi larangan adalah rinci, jelas, ada batasan/terukur, dan muhkamat. Salah memaknai ini ditengarai sebagai pembenaran kesalahpahaman mereka yang lain yakni tentang bid'ah.

Ada kaidah yang benar dan mendekati kalimat itu adalah,
"Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)
Kaidah ini sesuai dengan firman Allah yang artinya,“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (al-An’am: 119)

Kaidah lain yang benar adalah
Segala sesutu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“,
Ini selaras dengan hadits Nabi saw,
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)



Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Kamis, 19 Agustus 2010

Kesalahpahaman tentang Ibadah

Ibadah berasal dari bahasa Arab abada, ya’budu artinya menyembah, menghamba, mengabdi, tunduk.

Jika dikatakan ibadah kepada Allah swt berarti perbuatan / ibadah / menyembah yang ditujukan kepada Allah swt .

Salah satu kesalahpahaman lainya yang diyakini sebagian muslim, bahwa “hukum asal ibadah adalah terlarang” atau “hukum asal dalam ibadah adalah batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan’.

Sebenarnya, hukum asal dari perbuatan/ibadah adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya

Mereka salah paham tentang pengertian ibadah, sehingga mereka dapat menyerupai orang-orang non muslim bahwa perbuatan manusia ada yang merupakan urusan agama (ibadah) dan urusan dunia atau yang dikenal dengan sekulerisme..

Ibadah = Perbuatan = Perilaku, Akhlak, Hati dan Pikiran = Aktivitias lahiriah atau bathiniah = Aktivitas jasmani atau ruhani.

Hakekat manusia diciptakan di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah, sesuai dengan firman Allah yang artinya,

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku

(QS adz Dzariyat [51] : 56 )

Oleh karenanya segala bentuk perilaku / perbuatan, hati, pikiran, semuanya, seharusnyalah untuk beribadah kepada-Nya.

Ibadah terbagi dalam dua bagian yakni Ibadah Mahdah  (ibadah khusus) dan Ibadah Ghairu Mahdah (ibadah umum).

Ibadah Mahdah (ibadah khusus) adalah ibadah yang sudah ada rukun, aturan dan contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang “wajib” kita ikuti seperti sholat, puasa, zakat, naik haji, dll. Inilah yang disebut “urusan kami” atau “urusan dalam Islam“

Ibadah Ghairu Mahdah (ibadah umum) adalah ibadah selain ibadah mahdah,  beberapa dicontohkan oleh Rasulullah saw dan disunahkan untuk mengikuti , namun sebagian lagi diserahkan kepada manusia sesuai keinginan, teknologi atau zaman asal tidak  ada dalil yang mengharamkan atau melarangnya.

Jika kita akan melakukan perbuatan/ibadah yang belum yakin dalilnya atau yang tidak ada pengetahuannya maka berubah dari perkara mubah menjadi perkara syubhat dan sebaiknya ditinggalkan.

Ibadah Ghairu mahdah (ibadah umum) seperti bekerja, berdoa/berzikir, berjama’ah, sedekah, infaq, belajar / menuntut ilmu, metode pengajaran atau pemahaman, berpolitik, menggunakan safety belt ketika berkendara mobil, menggunakan pedal rem ketika menjalankan kendaraan, menggunakan helm ketika berkendara motor, berangkat naik haji menggunakan sarana transportasi yang lebih baik seperti dengan pesawat terbang, dll

Yang perlu diingat bahwa ibadah umum, “semua yang diserahkan kepada manusia” itu tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Inilah yang disebut dengan mengikuti petunjuk Allah atau pegangan hidup manusia mengarungi dunia yakni Al-Quran dan Hadits.

Ibadah umum, berdoa/berzikir, disunnahkan mengikuti  yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW namun boleh dilakukan sesuai kebutuhan/keinginan (tidak sesuai yang dicontohkan) namun biasanya mengikuti sunnah adab berdoa.

Jadi seluruh perbuatan muslim di dunia ini wajib dalam keadaan sadar dan dilakukan secara sadar dan mengingat Allah, inilah yang disebut dengan Akhlakul Karimah.

Alangkah ruginya muslim jika melakukan perbuatan tanpa mengingat Allah, karena dengan mengingat Allah menumbuhkan kesadaran pada realitas peran dan fungsi kita di dunia sebagai hamba Allah. Apakah masih perlu melakukan perbuatan tanpa mengingat Allah ?

Juga pada akhirnya ibadah /perbuatan dengan mengingat Allah  itu adalah untuk kepentingan dan keselamatan kita sendiri.

Sungguh,  Dia memerintahkan kita dan melarang kita atau menuntut kita taat kepada Nya bukan untuk kepentinganNya namun sejatinya tuntutanNya adalah untuk kepentingan dan keselamatan kita sendiri.

Allah ta’ala telah “membolehkan” manusia melakukan perbuatan di muka bumi semenjak Dia memutuskan menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi.

Jadi pada dasarnya atau pada awalnya , apapun perbuatan manusia adalah mubah atau dibolehkan.

Kemudian Allah ta'ala memberikan petunjukNya (al-Qur'an dan Hadits)

Wujud pengakuan kita sebagai hambaNya maka sebelum kita melakukan suatu perbuatan maka kita wajib mengingat Allah, memandang kepadaNya atau dengan kata lain adalah merujuk kepada petunjukNya (al-Qur'an dan Hadits)

Setelah kita merujuk kepada petunjukNya maka hukum itu dari awalnya/asalnya mubah berubah sesuai petunjukNya. Jika tidak ada perintahNya atau laranganNya ataupun sunnah maka hukumnya kembali kepada mubah, namun kalau kita ragu ataupun tidak ada pengetahuan atau keyakinan untuk runjukan / dalil / hujjah, maka dari mubah berubah menjadi syubhat, sebaiknya ditinggalkan.

Untuk soal ini ada satu Hadits yang menyatakan sebagai berikut:

Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma’fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun.” Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa. (Riwayat Hakim dan Bazzar)

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari’ sendiri telah diharamkan dan dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah:

Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (al-An’am: 119)

Namun yang harus selalu kita ingat , jika kita ingin menjadi muslim yang terbaik, muslim yang ihsan, muslim yang sholeh, ibaadillaahish shoolihiin maka kita sepanjang kehidupan di dunia, tidak dapat hanya melakukan perbuatan yang dibolehkan saja , bagaimana dengan bekal persiapan kehidupan kita di akhirat kelak ? bagaimana kita dapat menuju keselamatan ?

Kesimpulan,

Hukum asal perbuatan / ibadah manusia di alam dunia adalah mubah (boleh) namun jika mereka mengingat Allah, memandang Allah, mengaku sebagai hamba Allah, merujuk kepada petunjukNya (al-Quran dan Hadits) akan berubah hukumnya sesuai petunjukNya yakni bisa berubah menjadi haram atau wajib, atau sunnah atau makruh atau syubhat atau pula tetap sebagai mubah.

Ibadah kepada Allah artinya perbuatan / ibadah yang ditujukan kepada Allah.

Bagaimana agar perbuatan / ibadah itu sampai kepada yang dituju yakni Allah ?

Ibadah / perbuatan itu harus merujuk kepada petunjukNya (Al-Qur'an dan Hadits) , Ibadah / perbuatan yang mengingat Allah, memandang Allah, ibadah/perbuatan yang merupakan perwujudan dari pengakuan sebagai hamba Allah.

Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,

Semoga keselamatan  bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh.

Hamba-hamba Allah yang sholeh adalah hamba-hamba Allah yang berakhlakul karimah, hamba-hamba Allah yang selalu dalam keadaan sadar atau berperilaku secara sadar dan mengingat Allah.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

=======================================

Sungguh dengan pelurusan kesalahpahaman tentang ibadah, sekaligus dapat meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman yang lain seperti kesalahpahaman tentang bid'ah

Sehingga seluruh umat Islam, salah satunya dapat memahami maulid nabi adalah termasuk ibadah ghairu mahdah dan merupakan bid'ah hasanah.

Dengan kesamaan pemahaman akan bisa kita akhiri "perdebatan", prasangka buruk dan penilaian/penjulukan negatif terhadap sesama muslim yang sesungguhnya adalah bersaudara. Dalam mimpi saya dengan meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman ini akan tercipta ukhuwah islamiyah sehingga kita memiliki waktu dan energi untuk mewujudkan peradaban islam yang rahmatan lil alamin

Kesalapahaman-kesalahpahaman  yang lain silahkan baca tulisan pada,

Sedangkan kesalahpahaman yang mengakibatkan sikap ekstrem/ghuluw pada kaum Wahhabi silahkan baca tulisan pada

Ekstrem dalam Pemikiran Agama

Kesalahpahaman ini yang akibatnya cukup serius dan secara sistematis  mereka masukkan dalam kurikulum pendidikan yang juga akibatnya secara tidak disadari bagi pemuda-pemudi negeri kita yang menimba ilmu di sana yang terkena pengaruh "kurikulum Wahhabi".

Perhatikan sekelumit tulisan Ekstrem dalam Pemikiran Agama yang merupakan makalah pidato Imam Ahlussunnah wal Jamaah Abad – 21, yakni Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani pada Pertemuan Nasional dan Dialog Pemikiran Kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H, di Makkah al Mukarromah
Pembagian Klaim Syirik & Kufur kepada Kelompok–Kelompok Islam dalam Kurikulum Pembelajaran, dalam pertemuan dan kesempatan yang baik ini, saya ingin mengingatkan kepada Anda sekalian tentang sebagian kurikulum sekolah, khususnya materi tauhid.

Dalam materi tersebut terdapat pengafiran, tuduhan syirik dan sesat terhadap kelompok-kelompok Islam sebagaimana dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiy (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah yang berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari agama.

Kesalahpahaman ini ada pula mengakibatkan sebagian dari mereka memiliki sifat kasar dan hati yang keras, sehingga mengingatkan saya kepada diwan (nasehat) Imam Syafe'i -semoga beliau dirahmati Allah-  bahwa

"Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa".

Juga perihal itu mengingatkan saya pada sebuah hadits berikut,

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amr Abi Mas’ud ra, dia berkata: Rasulullah Saw menudingkan tangannya ke arah Yaman, dengan bersabda, “Iman yang kuat ada di sana (penduduk Yaman). Ketahuilah bahwa sifat kasar dan hati yang keras itu dimiliki oleh orang-orang yang sibuk mengurus onta dengan melalaikan agama (beliau sambil menuding ke arah timur) dan disanalah tempat munculnya dua tanduk setan”. ( H.R. Shahih Bukhari No. 3202)

Saya menduga bahwa kesalahpahaman-kesalahpahaman yang ada pada kaum Wahhabi, ada pula hasil "susupan" pemikiran dari orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan kepada orang mukmin. Sebaiknya kita tetap mewaspadai yang dinamakan "teori konspirasi". Perhatikan landasan yang selalu mereka pegang antara lain

Protokol Zionis yang ketujuhbelas
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para rohaniawan non-Yahudi dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari faham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan..

Mendiskreditkan para rohaniawan non Yahudi artinya mendiskreditkan para ulama muslim / syaikh-syaikh. / imam-imam muslim

Kebebasan hati nurani yang bebas dari faham agama artinya mengkaburkan atau menghilangkan salah satu pokok ajaran agama Islam yakni tentang Ihsan / tentang hati (tazkkiyatun nafs) / ma'rifatullah / akhlakul karimah atau Tasawuf.

Silahkan baca tulisan saya lainnya pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/03/penghambaan-sesama-manusia/
dan
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/01/18/sekularisme-pluralisme-dan-liberalisme/
dan
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/23/bahaya-laten/

Selamat membaca dan memahami fakta yang sesungguhnya.

Selasa, 17 Agustus 2010

Ekstrem dalam Pemikiran Agama

Ekstrem (Ghuluw) dalam Pemikiran Agama


Nama lengkap beliau adalah Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili. Sehari-hari beliau dipanggil Abuya.

Abuya lahir di Makkah Almukarramah, pada tahun 1362 H / 1943 M. Ayah beliau bernama Assayyid Alwi Bin Abbas Almaliki, seorang ulama terkemuka di Makkah Almukarramah, dan seorang mudarris (pengajar) di Masjid Alharam.

Sepeninggal sang ayah,tanggal 25 Safar 1391, Abuya ditunjuk menjadi pengajar di Masjid Alharam menggantikan sang ayah. Keputusan ini merupakan hasil kesepakatan para ulama Makkah, di antaranya Syeikh Hasan Almassyath, Syeikh Muhammad Nur Saif, Syeikh Muhammad Salim Rahmatullah, Assayyid Amin Kutbi, dan sebagainya.

Ayah dan kakek beliau, adalah ketua para khatib dan da’i di kota Makkah.

Demikian juga dengan Abuya, profesi tersebut digeluti yakni sejak tahun 1971 dan harus berakhir pada tahun 1983, saat beliau dicekal dari kedudukan terhormat itu akibat penerbitan kitabnya yang berjudul;  Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan),

Sebuah kitab yang banyak meluruskan paham yang selama ini diyakini oleh ulama-ulama Wahabi. Paham Wahabi sangat menguasai keyakinan mayoritas ulama Saudi Arabia dan mempunyai peran pesar dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Setelah pencekalan beliau dari pengajian umum dan khutbah, beliau mendedikasikan dirinya dalam pendidikan secara privat kepada ratusan murid-muridnya, dengan penekanan murid-murid dari Asia Tenggara, di kediaman di jalan Al Maliki di distrik Rushaifah Makkah.

Berikut ini kehadiran Beliau dalam undangan resmi dari pemerintahan setelah sekian lama dicekal.

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam semoga tetap atas utusan paling mulia, junjungan kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya sekalian.

Undangan untuk ikut serta dalam Dialog Nasional kedua di Makkah al Mukarromah datang kepadaku.

Maju selangkah dan mundur dua langkah.

Inilah yang aku alami menanggapi undangan tersebut sebab aku sendiri telah lupa tentang dasar–dasar dialog dan tukar pikiran. Bahkan, aku juga telah lupa tentang tata tertib dan prinsip-prinsip seminar di dalam negeri sejak aku hanya ikut serta dalam seminar di luar negeri dan tak pernah lagi ikut ambil bagian pada seminar dalam negeri karena aku ditinggalkan dari keikutsertaan mulai tahun 1400 H.

Setelah sholat istikhoroh seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, terbukalah hati untuk menghadiri undangan yang diprakarsai oleh yang mulia, Amir Abdulloh bin Abdul Aziz tersebut dari awal hingga selesai dalam rentang waktu lima hari tepatnya pada 5/11/1424 H sampai dengan 9/11/1424 H.

Dalam keikutsertaan ini aku memaparkan pembahasan yang sederhana dan insya Allah diberkahi yang semuanya ada di tangan Anda sekalian (para pembaca).

Pertemuan Nasional dan Dialog Pemikiran Kedua

Judul Pertemuan,“Ekstrem dan Moderat:  Sisi Pandang Sistematis dan Universal”

Tanggal Pertemuan: 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H

EKSTREM DALAM PEMIKIRAN AGAMA


PENGARUHNYA PADA KEMUNCULAN TINDAKAN


TERORIS DAN ANARKIS


Kajian yang disampaikan oleh :

Imam Ahlussunnah wal Jamaah Abad - 21

Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani

Bismillahirrohmaanirrohiim

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam atas utusan termulia, junjungan kita, Nabi Muhammad SAW dan keluarga serta seluruh sahabat. Amma Ba’du.

Tahiyyat Islam kami persembahkan kepada Anda sekalian:

Assalaamu Alaikum Warohmatulloh Wabarokaatuh.

Saya menyambut gembira terhadap undangan yang mulia ini. Saya merasa sangat senang dengan munculnya ide yang agung ini. Betapapun itu terlambat, tetapi urgen dan harus dilaksanakan andai saja hal ini dilaksanakan sebelum percikan api membesar dan sebelum bahaya menggurita.

Saya ingin mengingatkan kembali bahwa seruan dan ajakan untuk berkumpul dan berdialog menyamakan persepsi dan pemahaman telah kami lontarkan sejak dua puluh tahun lalu dalam buku saya “Mafaahim Yajibu an Tushohhah”. Saya juga telah memberikan peringatan akan masalah–masalah yang muncul dan dampak negatif yang mesti terjadi sebagai akibat dari sikap ekstrem (ghuluw/tathorruf) yang dibiarkan dan tidak dipedulikan dalam buku saya “at Tahdziir Minal Mujaazafah bit Takfiir” yang telah dicetak sepuluh tahun lalu. Sungguh langkah yang mulia ini datang tepat pada waktunya.

Kenyataan memang telah membuktikan pada tempatnya dan datang dari pihak yang memang berkompeten. Sungguh langkah ini dinanti oleh seluruh penduduk dunia sebab semua menggantungkan harapan dan prasangka baik mereka pada kerajaan (mamlakah), para penguasa, politikus, dan ulamanya.

Mereka juga menganggap semuanya sebagai suatu standar (miizan), komentar dan fatwanya sebagai hikmah hasanah, akal yang sempurna serta pendapat yang paling tepat. Sungguh realitas ini adalah bagian dari nikmat Allah.Saya sendiri yakin bahwa langkah–langkah bijak yang dilakukan dengan serius oleh pemerintah ini akan memberikan penjelasan yang memuaskan sebelum keluarnya penjelasan yang dinantikan dari Anda sekalian.

Dan satu hal yang mesti disepakati, ditetapkan, dan disiarkan ---sebelum dialog dan diskusi ini berjalan lebih lanjut-- adalah penjelasan global bahwa tindakan teror dan pengafiran yang terjadi di negeri ini dengan mengatasnamakan agama harus dihentikan. Klaim sepihak dan ulah brutal, penghinaan terhadap para imam kaum muslimin, pelecehan atas al Qur’an dan as Sunnah, mengapling surga dan neraka untuk orang-orang yang mereka kehendaki dengan seenaknya, dan semboyan mati syahid bagi siapa saja yang ikut dan menjadi simpatisan mereka harus segera diberantas. Sungguh telah banyak kaum yang lemah dan yang miskin yang lenyap menjadi korban masalah ini.

Padahal, sebenarnya mereka adalah orang–orang yang penanya tidak memiliki ruang gerak, tak ada suara bergelombang dari mereka yang bisa didengarkan dan sama sekali tak ada hasil pemikiran mereka yang layak disebarluaskan dalam media informasi model apapun. Mereka telah termakan kezholiman.

Mereka pergi begitu cepat dan hilang dalam sekejap, justru saat lawan–lawan mereka bisa duduk dan berdiri dan bisa bebas melakukan gerakan. Benarlah jika ada orang yang berkata, “Udara telah kosong untukmu maka cetaklah putih atau kuning (sesuai seleramu)”. Dalam situasi pintu tertutup, ruang gerak dibatasi, dan pusat komando dihentikan seolah terdapat sebuah peraturan dan keputusan pemerintah yang tidak bisa diganti atau diganggu gugat. Mengomentari kondisi seperti ini sangat layak bila dikatakan,

“Kondisi ini seperti nash Allah Azza wajalla, keputusan Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam yang tidak bisa dilawan dengan pendapat, masukan, perdebatan, atau protes apapun.” Sungguh Allah telah memberikan pertolongan-Nya kepada para pemegang kebijakan (instansi pemerintahan), utamanya yang mulia, Khodimul Haromain, yang memprakarsai dan memberikan perhatian istimewa pada Muktamar Pemikiran dan Dialog Ilmiah yang tenang (dan menyenangkan) ini.

Sungguh, (sekali lagi ini) adalah usaha mulia yang mendapatkan taufik dari-Nya dalam mengantisipasi bahaya besar dan memberikan manfaat yang besar pula. Langkah dan usaha semacam ini pasti membawa manfaat berupa terhindarkannya pertumpahan darah, kehormatan yang terjaga, aib dan cela yang terlindungi, dan lubang- lubang mengangah yang tertutupi.

Formalitas seperti ini juga menjadi pertanda jelas akan kemuliaan yang dikirimkan oleh Allah ke negeri kita yang berupa para penguasa yang sejak semula memiliki komitmen kuat untuk menyebarluaskan agama, ilmu dan kekayaan ilmiah, dan membangun peradaban manusia yang modern dengan aroma rasa sosial yang kuat dengan dasar–dasar yang kokoh dan metode yang jelas.

Kemuliaan yang dikirimkan Allah tersebut telah berlangsung sejak masa almarhum Raja Abdul Aziz yang telah mengikis fanatisme, mempersatukan dan menghilangkan perbedaan–perbedaan, dan merobohkan sekat–sekat latar belakang. Usaha tersebut sama sekali tidak menyisakan tempat bagi para penyeru keburukan maupun agen–agen asing untuk bisa masuk dan menjadi benalu dalam tatanan masyarakat Saudi yang kokoh dan bersatu yang sangat loyal dengan kepemimpinan beliau yang penuh dengan cinta dan kredibelitas.

Seperti disaksikan, perpecahan dan tindakan teror merupakan bencana dan keburukan (yang muncul dari para ekstremis ) yang saat ini menjadi beban berat banyak masyarakat. Dalam situasi seperti ini, para pengacau (penyeru keburukan) akan dengan mudah membuat dan menyebarluaskan fitnah, memperkeruh suasana, dan mencari kesempatan dalam iklim perdebatan pemikiran dan ilmu yang sedang terjadi di antara kita.

Hal ini sangat mungkin untuk memunculkan masalah, membuat semuanya menjadi rumit serta memunculkan kasus–kasus yang tidak bermanfaat dan tidak pula mempersatukan. Bahkan sebaliknya, hal itu akan membahayakan dan menjadi penyebab perpecahan serta tak ada apapun yang bisa dibanggakan dari awal hingga akhir sebab terlanjur banyak pihak yang dewasa ini merasa tersakiti dan terbakar oleh apinya yang membara yang terkadang terlihat dan pada suatu saat tersembunyi begitu rapi.

Ekstrem dalam Mengafirkan

Uraian topik ini merupakan salah satu agenda pokok muktamar dan dialog kali ini. Akan tetapi, saya tidak ingin mengulas dan menjabarkan arti secara etimologi dari kata ini (ghuluw) sebab telah diungkap dan dijelaskan oleh yang lain. Hanya saja, di sini kami ingin memberikan definisi ghuluw sebagai suatu tindakan keluar dari batas sedang dan tengah–tengah yang sudah digariskan dan dianjurkan oleh Islam serta sangat ditekankan agar dipegang dengan teguh dan jangan sampai dilepaskan sebagaimana disebut dalam firman Allah:

وَكَذَلِكَ جَعَلْناَكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ...

Dan demikian (pula) Kami jadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia... “ (Q.S. al Baqoroh: 142)

Dengan pengertian seperti ini, bisa disimpulkan bahwa ghuluw (sikap ekstrem) bukanlah suatu hal baru, tetapi telah sangat lama dan berumur tua sejajar dengan umur manusia.

Perhatikanlah firman Allah yang artinya, “Wahai ahli Kitab, janganlah kalian bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian....” (Q.S. an Nisa’: 171)

Nabi Muhammad ShollAllahu Alaihi Wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ

Waspadailah oleh kalian tindakan ghuluw dalam beragama sebab sungguh ghuluw dalam beragama telah menghancurkan orang sebelum kalian.”

Ada satu poin penting yang perlu dicamkan dari hadits ini, yaitu fenomena di mana tak ada satu umat pun (yang pernah ada) yang sepi dari kelompok–kelompok yang bertindak ghuluw (al Mughooliin)”.

Jadi, ghuluw merupakan bencana lama yang terbukti menjadi sebab kehancuran banyak umat. Yahudi, misalnya, sejarah menceritakan betapa banyak kisah–kisah seputar kehadiran mereka yang sangat aktif dalam lapangan tindakan ekstrem yang berbentuk aksi teror, kebiadaban, dan keangkuhan yang salah satunya terwujud dalam aksi mendustakan (takdziib), mengintimidasi, dan bahkan membunuh sebagian para nabi.

Al Qur’an telah mencatat dan menyuguhkan aksi–aksi penghinaan tersebut dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan al Kitab (Taurot) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut–turut) sesudah itu dengan rasul –rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruuhul Qudus. Apakah setiap datang kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian angkuh, maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh.“ (Q.S. al Baqarah: 87)

Dalam berakidah, orang Nashrani juga bertindak ghuluw dengan mengangkat Isa bin Maryam alaihissalaam sampai pada tingkat ketuhanan dan mereka pun menyembahnya. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya telah kafirlah orang–orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al Masih putera Maryam’, padahal al Masih sendiri berkata, ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada seorang penolong pun bagi orang–orang zholim itu. Sesungguhnya kafirlah orang–orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’. Padahal, sekali–kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang–orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (Q.S. al Maidah: 72 – 74).

Ekstremisme Nashrani tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya, tetapi menjalar pada keyakinan bahwa para pastur dan pendeta berhak menentukan suatu hukum selain (ketentuan hukum) dari Allah. Lebih jauh lagi, mereka bahkan menyatakan kesanggupan secara total untuk patuh kepada pastur dan pendeta dalam segala hal yang bertentangan dengan syariat dan hukum Allah. Ini semua terdorong oleh ulah para pastur dan pendeta yang menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal atas mereka serta menetapkan hukum dan syariat yang sesuai dengan selera dan hawa nafsu sehingga mereka sangat antusias menerima dan menaatinya.

Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah: 31)

Dalam aspek kehidupan dunia, kaum Nashrani juga memiliki banyak sikap yang termasuk dalam kategori tindakan ghuluw yang di antaranya seperti dijelaskan oleh firman Allah:

...وَرَهْبَانِيَّةَ نِابْتَـدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ...“

.... Dan mereka mengada–adakan rohbaaniyyah. Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada–adakannya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya ....“ (Q.S. al Hadid: 27)

Sungguh bibit tindakan ghuluw dari sebagian orang pernah tampak pada masa Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, tetapi segera dicegah dan dibabat sampai ke akarnya meski bibit itu tidak dalam lapangan Aqidah, melainkan dalam medan ibadah.

Dalam masalah ini, Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam benar–benar meneliti dan melakukan pengawasan ketat serta memberikan pengarahan menuju arah yang benar. Hal itu seperti diceritakan oleh Anas ra bahwa ada tiga orang datang ke rumah–rumah isteri Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam guna meminta informasi tentang ibadah beliau.

Setelah mendapat penjelasan, mereka sepertinya menganggap ibadah Nabi SAW terbilang sedikit. Karena itulah, mereka saling berkata, “Di mana kita (dibandingkan) dengan Nabi SAW yang telah diampuni segala yang telah berlalu dan yang akan berlaku.” Seorang kemudian berkata, “Adapun aku, maka sungguh aku akan terus sholat semalam suntuk selamanya!” Yang lain juga berkata, “Aku akan terus berpuasa selamanya dan tak akan berbuka!” Sementara itu, orang ketiga berkata, “Aku menjauh dari wanita dan tak akan pernah menikah selamanya!” Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam datang lalu bersabda yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.

Pengarahan yang diberikan oleh Rasulullah SAW ini kiranya sama sekali tidak menyisakan alasan apa pun bagi mujtahid untuk berijtihad guna menetapkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat, melarang hal yang tidak dilarang oleh syariat atau memfatwakan suatu produk hukum sesuai dengan selera dan pendapatnya.

Hadits tersebut bukan berarti melarang secara mutlak untuk berijtihad dalam beribadah sebab berijtihad dalam ibadah (seperti dimaklumi) merupakan tuntutan syariat selama berada dalam koridor syariat seperti dijelaskan oleh Allah:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْـنَا لَنَهْدِيَنَّـهُمْ سُبُـلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

"Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar–benar beserta orang–orang yang berbuat baik.“ (Q.S. al Ankabuut: 69)

Allah juga berfirman, “Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian serta surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang disiapkan bagi orang–orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imron: 133)

Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang banyak dan sucikanlah Dia di waktu pagi dan sore hari.” (Q.S. al Ahzaab: 41-- 42).

Sungguh hadits tersebut hanya mengajak dan mendorong pada keseimbangan (Muwaazanah) dalam segala tuntutan dan kewajiban. Hal ini (sebagai langkah antisipatif atas) tindakan ekstrem (ghuluw) yang mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.

Ini adalah tindakan ghuluw yang sebenarnya. Karena itulah sikap dan sisi pandang (ittijaah) yang diambil dan dianut oleh para sahabat (yang disebut dalam hadits riwayat Anas ra di atas) tidak diakui dan segera ditangani oleh Nabi SAW dengan memberi penjelasan langsung bahwa sikap dan sisi pandang demikian merupakan bentuk ghuluw.

Selanjutnya Nabi SAW memberikan bimbingan bahwa esensi takut dan takwa kepada Allah bukanlah dengan bersikap ekstrem, terlalu, atau teledor, melainkan dengan sikap yang seimbang terhadap aneka ragam tuntutan (mathoolib).

Atas dasar ini, (bisa dimengerti bahwa tabir) perbedaan antara giat (ijtihad) dalam ibadah dan ghuluw sangat tipis.Sungguh sangat disayangkan, ketika sebagian dari para pelaku kebaikan yang getol memperjuangkan kebaikan justru melakukan kekeliruan dalam menggunakan dan menerapkan istilah ini (ghuluw) atas diri mereka dan orang–orang selain mereka.

Hal itu akan berakibat pada terjadinya keburukan yang luas serta pintu–pintu fitnah besar yang terbuka lebar dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dalam bukunya (Iqoomatul Hujjah alaa Annal Iktsaar fil Ibaadah Laisa bi Bid’ah), Syekh Abul Hasanaat Abdul Hayyi al Lacknawi menjelaskan perbedaan dalam topik penting ini dengan tuntas.

Bahkan, termasuk tindakan yang jelas–jelas bagian dari sikap ekstrem adalah klaim sebagai pelaku bid’ah yang ditumpahkan atas sebagian ulama ahli suluk dan tarbiyah yang memfokuskan diri dalam beribadah.

(Sekali lagi ) saya mengatakan, “Hal ini adalah bagian dari sikap ekstrem!! Laa Haula walaa Quwwata illa Billaah al Aliyyil Azhiim”

Model Performa Ekstremisme (Ghuluw)

Di antara performa–performa (mazhoohir) tindakan ghuluw adalah apa yang kita saksikan dari perilaku sebagian orang yang melakukan hujatan dan serangan sadis terhadap mayoritas ulama umat Islam yang berhaluan Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Syiah, Ibadhiyyah dan Shuufiyyah serta mengklaim secara mutlak bahwa seluruh mereka adalah kafir, syirik, sesat, keluar dari agama dan seterusnya tanpa terkecuali. Meski demikian, dalam kesempatan ini kami tidak berkehendak ikut campur dalam menguraikan klaim tersebut beserta maksud, tujuan, perkembangan, dan sejarahnya, (apalagi memberi penjelasan dengan) rinci tentang madzhab dan aliran ini.

Sebab hal ini tentu ada tempat dan medan yang spesifik untuknya, yaitu pembahasan ilmiah dan sisi pandang yang ada untuk kemudian dibahas secara bebas serta independen.Hal penting bagi kita (di sini) adalah mendukung dan memantapkan langkah dan usaha memberikan peringatan agar waspada dan tidak gegabah mengafirkan kelompok ini, madzhab itu, dan madzhab ini, serta (waspada akan) dampak dari pengafiran ini yang berupa munculnya aksi teror (irhaab) dan perusakan (ifsaad) di bumi.

Sungguh, aksi teror telah banyak memakan korban nyawa manusia hanya karena perselisihan ini. Sementara aksi perusakan maka bukti–buktinya bisa disaksikan dengan nyata yang berupa tindakan anarkis dan penghancuran hingga buku–buku ilmiah pun tidak selamat dan turut menjadi korban.

Betapa sangat disayangkan ketika ada sebuah kelompok yang senantiasa berjihad untuk Islam ternyata melakukan pembakaran terhadap kitab–kitab dan ensiklopedi yang di antaranya adalah Fathul Baari Syarah Shohih Bukhori milik al Hafizh Ibnu Hajar hanya karena alasan bahwa penulis berhaluan dan mengikuti jejak Imam Asy’ari dalam menafsirkan hadits–hadits tentang sifat–sifat-Nya yang terdapat dalam Shohih Bukhori.

Di sini kami mengatakan, “Sebelum mencela dan mencaci mereka maka wajib bagi kita semua mengerti sebab yang menjadikan mereka bertindak semacam itu. Jika sebab diketahui maka hilanglah keheranan. Anda sekalian tidak akan lama tenggelam dalam keheranan jika Anda sekalian mengetahui bahwa sebagian orang pandai yang mengaku sebagai pelayan ilmu telah mengeluarkan fatwa dan memutuskan hukum bahwa Asy’ariyyah adalah kafir.

Fatwa itu kemudian disebarkan dalam tulisan–tulisan ataupun ceramah–ceramah yang mereka berikan. Inilah sebab langsung dari munculnya dampak–dampak (negatif tersebut). Orang pandai itulah yang telah membuat dan memproduksi kunci di pabriknya kemudian menyerahkan kunci tersebut kepada mereka (para pelaku tindakan teror). Dialah yang menyiapkan dan membuka pintu (tindakan ghuluw/terorisme).

Akan tetapi, ketika kedua daun pintu telah terbuka lebar, dia berpaling dan mengatakan, “Sungguh aku berlepas diri dari kalian. Sungguh aku melihat apa yang tidak kalian lihat.” Akan tetapi, (ini) setelah Khaibar sudah hancur.

Syekh Ibnu Taimiyyah berkata: Dalam fatwa–fatwa al Faqiih Abu Muhammad, terdapat banyak hal bagus. Aneka permasalahan ditanyakan kepada beliau dan di sana beliau mengatakan, “Adapun para ulama yang melaknat para Imam Asy’ariyyah, maka barang siapa yang melaknat mereka maka ia harus dita’zir (diberi hukuman) dan laknat pasti kembali kepada dirinya sendiri. Barang siapa melaknat seseorang yang tidak berhak dilaknat maka laknat itu pasti menimpa dirinya sendiri.

Sungguh ulama adalah penolong agama (anshoorud diin) sementara Asy’ariyyah adalah penolong dasar–dasar agama (anshoor ushuuliddiin)”.

Sulthonul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdussalaam menyebutkan, “Sesungguhnya Akidah Imam al Asy’ari telah disepakati oleh seluruh pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan para petinggi madzhab Hambali. Di antaranya adalah guru besar madzhab Maliki, Syekh Abu Amar bin al Hajib, yang hidup sezaman dengan Imam Asy’ari serta guru besar madzhab Hanafi, Syekh Jamaluddin al Hushoiri.

Sementara Imam al Khoyaali dalam catatan kaki (Hasyiyah) Syarhul Aqo’id mengatakan, “Orang–orang madzhab Asy’ari (Asyaa’iroh), mereka adalah ahlu sunnah wal jamaah.”  Di sini kita tidak sedang melakukan studi terhadap madzhab ini atau aliran itu dengan segala prinsipnya untuk kemudian memberikan penilaian, tanggapan, dan komentar sebagai hasil akhir dari studi tersebut.

Hal ini ada saat dan tempat, dan tokoh–tokoh di bidangnya sendiri. Karena itu, wajib atas mereka --sebagai tanggung jawab keilmuan, negara, dan sejarah-- mencurahkan usaha dengan maksimal untuk mewujudkannya sebagai sumbangsih dan pelayanan kepada riset ilmiah. Di dalam riset tersebut, setiap hal dalam masalah ini bisa diterima dengan lapang dada dan nalar yang luas terbuka selama maksud dan tujuan terarah pada menampakkan kebenaran (ihqoqul haqq) dan menjelaskan kebatilan (ibthoolul baathil) seperti disebut dalam sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ“

“Jika hakim memberi keputusan dan berijtihad kemudian tepat (sesuai kebenaran) maka baginya dua pahala. Jika dia memutuskan hukum lalu berijtihad dan (ternyata) salah maka baginya satu pahala.” (Muttafaq alaih)

Tentu saja, semua ini harus disertai kesadaran bahwa semua pintu di medan ini (medan pemikiran, aliran, dan pendapat ) tidak bisa terlepas dari kritik, sanggahan, dan garis bawah (dari pihak lain). Sebab, terjaga dari kesalahan (ishmah) hanya berlaku bagi Kitab Allah yang tidak bisa didatangi kebatilan dari depan maupun belakang, dan berlaku bagi Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam yang tidak berkata atas dasar keinginan, melainkan wahyu yang diwahyukan.

Dalam masalah ini, Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) telah menggariskan satu standar ideal dan ungkapan yang tepat yang bisa dijadikan ukuran keadilan. Beliau mengatakan, “Setiap dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.

Pembagian Klaim Syirik & Kufur kepada Kelompok–Kelompok Islam dalam Kurikulum Pembelajaran, dalam pertemuan dan kesempatan yang baik ini, saya ingin mengingatkan kepada Anda sekalian tentang sebagian kurikulum sekolah, khususnya materi tauhid.

Dalam materi tersebut terdapat pengafiran, tuduhan syirik dan sesat terhadap kelompok-kelompok Islam sebagaimana dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiy (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah yang berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari agama.

Materi kurikulum tersebut menjadikan sebagian pengajar terus memperdalam luka dan memperlebar wilayah perselisihan. Padahal, 3/4 penduduk muslim seluruh dunia adalah Shuufiyyah dan seluruhnya terikat dan meramaikan padepokan (zaawiyah) mereka dengan tashowwuf.

Bahkan, harus dimengerti bahwa zawiyah–zawiyah tersebut memiliki jasa besar dalam memerangi penjajahan, membela negara, menyebarkan agama, dan memberikan pengajaran kepada kaum muslimin. Inilah sikap dan perilaku zawiyah Sanusiyyah, Idrisiyyah, Tijaaniyyah, Qoodiriyyah, Rifaa’iyyah, Syadziliyyah, Mahdiyyah, Naqsyabandiyyah, dan Marghoniyyah.

Sejarah yang objektif dan terpercaya mengakui akan hal ini. Sementara itu, generasi berikut dari para imam thoriqot tersebut seperti Syekh Umar al Mukhtar, Syekh Abdul Qodir al Jazairi, al Imam al Mahdi, Syekh Umar al Fauti at Tiijani, Syekh Utsman bin Faudi al Qodiri juga mempunyai jasa–jasa yang perlu dihargai dalam berjihad di jalan Allah. Para imam tersebut melayani agama dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan untuk memerangi kebodohan dan tindakan bid’ah.

Adapun (lebih jauh lagi) para imam tashowwuf pendahulu mereka yang terkenal dalam abad–abad terdahulu seperti Imam Rifai, Imam al Badawi, Imam Syadzili, dan para imam lain setingkat mereka serta para imam dari generasi tabi’in dan para pengikutnya dari para ahli Hilyah, Shofwah, Risalah dan Madarijis saalikin. Usaha dan jihad mereka semua di jalan Allah merupakan suatu hal yang banyak memenuhi sejarah dan telah banyak dikisahkan oleh buku–buku biografi (Manaaqib/Taroojim).

Meskipun begitu, kita tidak mengatakan mereka ma’shum sebab setiap kita dan mereka (adalah sama,) diambil dan juga ditolak. Ijtihad yang mereka lakukan juga berputar antara daerah kebenaran dan kesalahan, diterima dan dibantah.

Kendati begitu, kita semua tidak ingin mereka dihujat dengan tuduhan keluar dari Islam, kafir, syirik, dan fanatik dalam bermadzhab.

Saya ingin bertanya kepada Saudara–Saudara yang berijtihad dalam menetapkan hukum dan klaim–klaim tersebut, dalam hitungan mereka berapa banyak mereka akan kehilangan saudara sesama kaum muslimin?

Dengan hukum mereka yang menyimpang, berapa banyak tali silaturrahim dan persaudaraan Islam yang akan mereka putuskan di antara ratusan juta kaum muslimin yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah?

Karena itulah, marilah kembali meninjau perhitungan kita bersama saudara–saudara kita!

Tiga Pembagian Tauhid sebagai Faktor Dominan

Di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajaran tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi tiga bagian:

1) Tauhid Rububiyyah,

2) Tauhid Uluhiyyah,

3) Tauhid Asma’ was Shifaat.

(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa sahabat, tabi’in maupun tabi’it taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.

Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid.

Selanjutnya taqsiim ini juga akan senantiasa menjadi sarana yang mudah didapat untuk terus mengeluarkan klaim–klaim dan keputusan seenaknya tanpa didasari pemikiran dan perenungan.

Taqsiim ini, terlepas dari penelitian apakah memiliki dasar dalam aqidah Islaamiyyah atau tidak, yang jelas dan sangat disayangkan kini telah menjadi dasar kuat (dan alat) untuk mengafirkan banyak kelompok Islam. Andai saja yang menjadi korban dari taqsiim ini hanya sebagian orang, tentu bencana sangat ringan dan mudah diatasi.

Akan tetapi, musibah ini ternyata menimpa mayoritas umat: ulama dan awam, pemikir, juga para sastrawan. (Dengan demikian), pada hakikatnya taqsiim ini merupakan goresan yang memotong tali hubungan di antara umat Islam.

Jika kita berniat membersihkan Makkah Madinah --dengan standar pendapat mereka-- dari orang–orang yang dicurigai sebagai pemilik kesyirikan, penyembah para wali, pengagum Ahlul Bait, dan pengikut pemahaman umum dalam sifat–sifat-Nya, tentu akan terjadi penolakan terhadap banyak jamaah haji dan para peziarah.

Para jamaah haji dan para peziarah tersebut, dalam musim–musim agama, berasal dari berbagai kelompok umat Islam yang seluruhnya mendapat sambutan dan pelayanan dari pemerintah serta kebebasan menjalankan apapun sesuai dengan prinsip (madzhab) mereka yang sedikitpun tidak bertentangan dengan syariat Islam.

(Sungguh, betapapun perbedaan itu ada), tetapi hanya berputar dalam masalah khilaafiyyah, hal di luar yang sudah disepakati bersama (ijma’) seperti halnya para pelaku kesalahan dan pelanggaran syariat. Para ulama tidak pernah sepakat (berijma’) mengafirkan para pelakunya, karena termasuk dalam firman-Nya:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni apabila Dia disekutukan dan Dia memberikan ampunan kepada selain itu kepada orang yang Dia kehendaki.” (QS an Nisa’: 48)

Telah kami jelaskan di awal sambutan bahwa semua pihak dituntut untuk melakukan penjernihan (tashfiyah), pembersihan (tanqiyah), saling mengingatkan, mengoreksi, dan dengar pendapat (murooja’ah), berusaha saling memahami (mufaahamah), dan mengadakan dialog (muhaawaroh) dengan memegang satu prinsip, “

Sesungguhnya setiap jalan pemikiran ilmiah dalam agama, cabang–cabang, dan rinciannya yang masuk dalam medan ijtihad harus mau dikoreksi untuk perbaikan, pergantian, dan perubahan. Pemiliknya tidak boleh meyakini cabang dan rincian tersebut sebagai suatu masalah pasti yang wajib diterima dan dihormati seperti dua dasar pokok, yaitu al Qur’an dan al Hadits.

Jika semua pihak memegang prinsip ini, niscaya semuanya bisa bertemu, saling mendekat, menerima alasan orang lain, dan saling memaafkan satu sama lain. Sudah barang tentu, ini merupakan pondasi langkah–langkah pertama untuk membangun persatuan Islam yang diinginkan dan didambakan serta menjadi keinginan kuat setiap muslim. Kendati begitu, ini tidak lantas harus menghapus, memberantas, membuang, dan menolak secara total serta tidak memberikan pengakuan akan keberadaan komunitas yang berbeda yang telah ada di muka bumi dan memiliki akar kuat, para penjaga, dan pengikut yang loyal dan siap menjadi pembela.

Sesungguhnya mayoritas kaum muslimin, dari saudara–saudara kita yang dikenal dengan tashowwuf dan meresapi betapa tashowwuf telah menyematkan kemulian dan keagungan besar kepada mereka serta merasa bangga memiliki hubungan dengannya. Itulah tashowwuf yang benar dan sesuai syariat serta berdiri di atas landasan maqom ihsan, maqom yang dibanggakan.

Semestinya, setiap orang Islam berusaha mengenal dan memiliki hubungan denganNya yang digambarkan dalam sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam:

...أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ...

“…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim)

Sungguh, mereka semua dituntut untuk kembali meneliti dan meninjau ulang kurikulum kemudian mengoreksi, membenarkan, dan meluruskan sesuai kebenaran, keadaan, kenyataan, dan selaras dengan semangat persatuan nasional dalam perlindungan dan perawatan satu pemerintahan yang melihat semuanya dengan satu pandangan keadilan.

Ibaratnya seperti anak–anak seorang lelaki yang semuanya harus memperoleh hak–hak dan kewajibannya masing–masing. Mereka mendapat kesempatan yang sama, perhatian dan kasih sayang yang seimbang. Semuanya berhak mengingatkan, “Takutlah kepada Allah dan berbuatlah adil terhadap anak–anak kalian.”

Model Ghuluw

Di antara rupa dan performa yang terlihat sangat buruk dalam lapangan ghuluw pada era ini adalah apa yang kita saksikan dilakukan oleh para pemuda yang terseret memasuki pintu ini oleh faktor husnuz zhon, pemahaman yang salah atau kealpaan. Semua itu membawa mereka terjatuh dalam bahaya besar, menyeret mereka untuk terperosok dalam banyak problema yang semestinya tidak perlu terjadi jika saja kebanyakan orang mau menanganinya.

Para pemuda tersebut mencela, mencaci, dan meremehkan para salaf yang sholeh, generasi yang membawa agama ini sampai kepada kita dan telah menghabiskan seluruh umur untuk membela syariat pemimpin para utusan, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.

Generasi itu pula satu–satunya kelompok yang menjadi pelayan sunnah nabawiyyah sehingga bisa sampai kepada kita dalam keaadaan putih dan bersih.

Imam Abu Hanifah, misalnya, oleh mereka (para pemuda) dikatakan sebagai seorang Jahmiyyah Murji’ah, seorang ahli bid’ah yang sesat dan pembawa naas bagi Islam dan pemeluknya.

Begitu pula Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al Asqolani, Imam Ghozali, Imam Juned, Imam Ibrahim bin Adham, Imam Fudhel bin Iyadh, Imam Sahl at Tustari, Imam Dzahabi, Sulthonul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdussalam, dan lainnya.

Sungguh, pena merasa malu untuk menulis caci maki yang mereka keluarkan dan julukan–julukan jelek yang mereka lontarkan terdengar begitu risih oleh telinga orang yang mendengarkan.

Dan hal ini terdapat dalam seluruh isi buku dan sepanjang isi kaset yang telah disebarkan. (Jika perlakuan demikian diterima oleh para generasi salaf), maka sudah barang tentu caci maki itu juga dilontarkan terhadap ulama–ulama masa sekarang. Laa Haula walaa Quwwata illaa billaah.

Kedangkalan Tsaqafah dan Pengertian Agama

Sudah barang tentu kita semua sepakat bahwa penghinaan, hujatan, dan caci maki kepada para ulama seluruhnya bersumber dari ketidakluasan ilmu dan pengertian agama, atau belajar tanpa adanya pengajar.

Hal inilah yang menyeret sebagian para pemuda kita pada ketidaktepatan dalam menggali sebagian hukum, cenderung memusuhi setiap orang yang berbeda dengan mereka, dan menganggap pendapat pihak yang bertentangan dengan mereka sebagai hal yang bodoh.

Fanatik Pendapat

Kedangkalan wawasan keagamaan, seperti kita saksikan dewasa ini, juga membawa sebagian dari para pemuda kita bersikap fanatik (ta’assub) dan menuhankan pendapat sendiri (istibdad bir ro’yi) khususnya dalam masalah–masalah yang sebetulnya di situ ijtihad bisa diterima.Orang–orang yang biasa berdebat, bertukar pendapat, dan berdialog pasti mengenal ungkapan, “Pendapatku benar, tetapi mungkin juga salah. Dan pendapat lawanku salah, tetapi mungkin juga benar.”

Adapun tidak mengakui pendapat dan mengingkari kebenaran yang dimiliki orang lain yang bersilang pendapat dengannya maka sungguh itu adalah salah satu bencana besar yang diakibatkan oleh ghuluw, khususnya pada saat ini. Kiranya tak ada satu pun orang berakal yang mengingkari bahwa jika manusia tidak mengerti akan sesuatu maka pasti memusuhi sesuatu tersebut.

Faktor bencana ini, (sekali lagi adalah), minimnya pengetahuan agama, bangga dengan pendapat sendiri (i’jaab bir ro’yi) dan cenderung menuruti hawa nafsu. Sebagian dari kaum ekstremis bahkan sampai bertindak kelewat batas dengan membodohkan orang lain dan menuduhnya sesat dan keluar dari agama.

Ini pun disebabkan oleh fanatik dan keyakinan bahwa hanya pendapat sendiri yang paling benar serta berusaha mempertahankan egonya. Sudah barang tentu bahwa hal tersebut merupakan bentuk fanatik yang paling dominan, eksklusif, dan semaunya. Karena itu, wajib bagi para ulama untuk menyelamatkan para pemuda dari fanatisme. Wajib pula bagi para ulama menyadari bahwa hal ini merupakan tantangan yang harus mereka hadapi. Mereka harus memiliki semangat tinggi untuk memberikan perhatian dan terapi kepada pasien-pasien yang sudah terlanjur terjangkit wabah ini agar mereka bisa segera sembuh.

Jika hal itu dibiarkan, akan berdampak pada kehancuran, umat tercabik, dan terpecah belah. Padahal, Allah telah berfirman, “Jangan kalian saling berselisih karena itu membuat kalian lemah dan hilang bau kalian.” (Q.S. al Anfaal: 46)

Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dengan berjama’ah dan jangan berpecah belah.” (Q.S. Ali Imran: 103)

Model  Ghuluw

Termasuk contoh dari berlebih-lebihan dalam beragama adalah banyak kita lihat di dunia Islam para pemuda yang mengaku salafiyah (pengikut jejak para ulama terdahulu).

Sungguh, pengakuan itu sangat mulia apabila pengakuan itu mereka realisasikan.

Beberapa golongan lainnya mengaku ahli hadits (berpegang teguh kepada hadits).

Pengakuan ini pun sangat mulia.

Sebagian yang lain mengatakan tidak perlunya bermadhzab dan hanya berpegang teguh dengan al Qur’an dan as Sunnah saja karena al Qur’an dan as Sunnah adalah pilar-pilar agung berdirinya agama Islam sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. إِنِّى قَدْ خَلَفْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا مَا أَخَذْ تُمْ بِهِمَا أَوْ عَمِلْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ الله وَسُنَّتِى وَلَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَي الْحَوْضِ (رواه البيهقى في السنن

“Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh atau mengamalkan keduanya, yaitu al Qur’an dan Sunnahku. Keduanya tidak terpisahkan sampai mengantarkan aku ke al-haudl/telaga.”(H.R. al Baihaqy).

Pengakuan ini pada hakikatnya sangat terpuji.

Namun, pengakuan-pengakuan ini hanya pengakuan dari orang-orang yang bukan ahlinya. Pengakuan dari orang-orang yang berfatwa secara individual tanpa ada dasar ataupun sandaran dari para ulama yang terpercaya. Pendapat dan fatwa-fatwa mereka terlontar begitu saja tanpa adanya batasan, keterikatan kaidah-kaidah, bahkan asal-usulnya.

Oleh karena itu, mereka mengingkari dan menyanggah keyakinan orang-orang selain mereka.

Mereka beranggapan, “hanya merekalah yang berada dalam jalan kebenaran dan selain mereka telah terjerumus dalam kesesatan.”

Hal ini adalah salah satu pijakan atas apa-apa yang kita dengar dari mereka dalam mengafirkan, memusyrikkan, dan menuduhkan hukum-hukum dengan memberikan julukan-julukan dan sifat-sifat yang tidak pantas bagi seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah ta’ala dan bahwa Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala.

Misalnya, tuduhan mereka dengan mengatakan kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dengan sebutan ”perusak! dajjal! ahli bid’ah! Bahkan, pada akhirnya mereka mengatakan “musyrik, kafir, dan lainnya. Sungguh, sangat sering kita dengar dari orang-orang yang mengaku berakidah, mereka membabi buta mengucapkan kata-kata keji di atas.

Bahkan, sebagian dari mereka menuduh orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dengan berkata,

”Wahai orang yang mengajak kepada kemusyrikan dan kesesatan di zaman ini”.

“Wahai pembaharu agama, Amr bin Luhai!”

Begitulah, sering kita dengar mereka melontarkan hinaan dan ejekan yang tidak sepantasnya terlontar dari mulut seorang pelajar apalagi dari mulut seorang ahli ilmu yang seyogyanya memilih cara-cara terbaik dalam berdakwah dan bersopan santun dalam berdiskusi.

Kemudian setelah itu, mereka mengaku pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka menjadikan beliau sebagai pintu atas segala perilaku mereka, sandaran hukum bagi pendapat mereka, dan mengajak manusia seraya menakut-nakuti mereka dengan berlindung pada nama besar beliau.

Dalam kesempatan ini akan saya paparkan perkataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab yang membebaskan dirinya dari orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya. Mereka melakukan segala kehendak mereka dengan berlindung kepada beliau. Mereka membunuh siapa saja yang mereka kehendaki dengan menggunakan tajamnya pedang beliau.

Mereka mengafirkan siapa saja yang mereka kehendaki dengan bersandar pada fatwa beliau. Mereka membagi segolongan manusia di surga dan sebagian yang lain di neraka hanya menurut pendapat mereka.

Al Imam Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam suratnya yang dikirim kepada orang-orang al Qashim: ”Telah kalian ketahui bahwasanya aku mendengar Sulaiman bin Suhaim telah mengirim surat kepada kalian. Bahkan, kalangan orang-orang berilmu di daerah kalian menerima dan membenarkan isi surat itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui bahwasannya orang itu (Sulaiman bin Suhaim) telah berbohong mengatasnamakan aku dalam beberapa perkara yang aku tidak pernah mengucapkannya. Bahkan, tidak pernah terlintas dalam hatiku.

Di antara isi surat itu yang dia tulis bahwa aku mengingkari kitab-kitab empat madzhab yang ada dan aku berkata, ‘sesungguhnya manusia selama 600 tahun telah hidup dalam keadaan sia-sia dan bahwa aku mengaku sebagai mujtahid, aku tidak bertaqlid, dan aku berkata bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama adalah bencana dan bahwa aku mengafirkan orang-orang yang bertawasul dengan orang sholeh, dan bahwa aku mengafirkan al Bushiri karena dia berkata, ‘Wahai makhluk termulia!’ Dan bahwa aku berkata, ‘andai aku mampu menghancurkan kubah Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam, niscaya akan aku hancurkan dan andai aku mampu, aku akan mengambil talang emas ka’bah dan aku ganti dengan talang kayu, dan aku mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam dan aku mengingkari ziarah kepada kedua orang tua dan lainnya, dan aku bersumpah dengan selain nama Allah ta’ala dan aku mengafirkan Ibnu al Faridl dan Ibnu ‘Arobiy, dan aku membakar kitab Dalailul Khoirot dan kitab Roudur Royyahin dan menamainya Roudus Syaithan. “

Aku jawab semua masalah ini seraya aku katakan, ”Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang besar dan sebelumnya telah ada orang yang mendustakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, juga ada orang yang telah menghina Isa bin Maryam dan orang-orang sholeh sehingga hati mereka menjadi serupa dalam kedustaan dan kebohongan.

Allah ta’ala berfirman:

إِِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِآيَاتِ اللهِ

Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta.”(Q.S. An Nahl:105)

Mereka semua telah mendustakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam bahwa para malaikat, Isa, dan Uzair akan masuk neraka.

Maka Allah swt menjawab perkataan mereka dengan firman-Nya:

إِنَّ الَّذِيْنَ سَبَقَتْ لَهُمُ ِّمنَّا الْحُسْنَى أُولئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.” (Q.S. Al Anbiya’: 101)

Surat Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab lainnya:

Surat ini dikirim oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada as Suwaidi, seorang ulama di Iraq, sebagai  jawaban dari surat as Suwaidi kepadanya.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam suratnya berkata: “Sungguh, menyebarkan kebohongan adalah hal yang memalukan bagi orang yang berakal apalagi mengadakan kebohongan. Adapun yang Anda katakan bahwasanya aku mengafirkan segenap manusia kecuali pengikutku sungguh mengherankan. Bagaimana hal ini bisa terpikirkan oleh orang yang berakal? Apakah pantas seorang muslim berkata demikian?

Adapun yang Anda katakan bahwa aku berkata, ’Andai aku mampu menghancurkan kubah Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, niscaya akan aku hancurkan. Juga tentang Kitab Dalailul Khairot, bahwa aku melarang untuk bersholawat kepada Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. Hal itu semua adalah dusta belaka dan seorang muslim tidak akan berkeyakinan adanya hal yang lebih mulia dari pada kitab Allah (al Qur’an).

Sumber: http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=profil&id=28

Senin, 16 Agustus 2010

Berjamaah dan Kepemimpinan

Tulisan kali ini, Insyaallah saya akan menguraikan sebuah kesalahpahaman lagi, yakni mengenai berjama'ah dan kepemimpinan. Kesalahpahaman ini mulai terjadi sejak kejatuhan khalifah Turki Ustmani dan terus sampai saat kini atau sampai zaman modern ini.

Sebagian kaum Wahabi atau Salaf(i) melarang kaum muslim untuk membentuk jama’atul minal muslimin (kelompok muslim, organisasi masa muslim, tandzim, harokah, tarekat atau bentuk yang lain).

Bagi mereka perihal ini akan mempengaruhi Ukhuwah Islamiyah. Sebenarnya apa yang mereka khawatirkan adalah bentuk firqah atau aliran dalam agama Islam.

Firqah atau aliran terbentuk jika terjadi perbedaan dalam i’tiqad/aqidah/keyakinan dengan yang disepakati oleh jumhur ulama.

Perbedaan i’tiqad/keyakinan, sebagai contoh yang telah diuraikan oleh Al Imam asy-Syafi'i -semoga Allah meridlainya– berkata: "Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir. Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang mengaturnya) maka dia adalah mu'aththil -atheis- (orang yang meniadakan Allah). Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah); muslim". (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan lainnya)

Kita harus dapat membedakan antara berfirqah dengan berjama'ah.

Sedangkan jama’atul minal muslimin atau berjamaah sangat dianjurkan jika kita mempertimbangkan belum lagi terbentuk Jama’atul Muslimin sejak berakhirnya sistem khalifah (pemerintahan) pada masa Turki Ustmani.

Diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad).

Oleh karena telah lepasnya ikatan Jama’atul Muslimin dalam sistem khalifah (pemerintahan) maka kewajiban kaum muslimin sekarang adalah untuk membentuk Jama’atul minal muslimin seperti dalam bentuk Majelis, Organisasi Masa Muslim, Partai Muslim, Harokah, Gerakan Muslim, Tandzim, Tarekat dan bentuk-bentuk kelompok Muslim lainnya, untuk memperteguh ketaatan kepada Allah dan RasulNya.

Firman Allah, yang artinya
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS Ali-Imraan [3]:103 ).

Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berjuang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS as Shaff [61]:4 )

Begitu juga mengingat sunnah Rasulullah saw agar kita dalam sebuah perjalanan sebaiknya dilakukan lebih dari seorang dan menunjuk salah satu diantaranya sebagai pemimpin.

Dari 'AbduUah bin 'Umar r.a. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, "Sekiranya orang-orang tahu bahaya menyendiri seperti yang aku ketahui niscaya tidak akan ada orang yang berani berpergian seorang diri pada malam hari" (HR Bukhari [2998]).

Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya, yakni 'Abdullah bin 'Amr r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Musafir seorang diri adalah syaitan, dua orang adalah dua syaitan, tiga orang jauh dari syaitan'," (Hasan, HR Abu Dawud [2607], at-Tirmidzi [1673], Malik [II/978/35], Ahmad [II/186, 214], al-Hakim [II/102], al-Baihaqi [V/267], al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [2675]).

Dari 'Abdullah bin 'Umar r.a, "Bahwa Rasulullah saw. melarang menyendiri, yaitu seseorang bermalam seorang diri atau bersafar seorang diri," (Shahih, HR Ahmad [11/9]).

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak dibenarkan tiga orang bepergian di tengah padang pasir yang tandus, kecuali jika mereka mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin)”.

Apalagi dalam "perjalanan" kita di alam dunia, wajib kita mengikuti sunnah Rasulullah saw untuk menjalaninya tidak dengan seorang diri namun dengan bergabung pada jama'atul minal muslimin dan menunjuk seorang pemimpin / amir yang taat pada Allah dan RasulNya, atau bergabung pada jama’atul minal muslimin yang dibentuk atau dipimpin seorang ulama yang taat pada Allah dan RasulNya.

Sesuai dengan firmah Allah yang artinya,
Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 )

Seluruh pemimpin jama’atul minal muslimin yang ada dalam suatu negara/wilayah/pemerintahan kemudian membentuk ahlul halli wal ‘aqdi atau perwakilan tingkat negara/wilayah/pemerintahan  yang menunjuk seorang pemimpin sebagai pemimpin negara/wilayah/pemerintahan atau penguasa atau yang kita kenal sebagai umara.

Dalam penunjukkan pemimpin tidak berdasarkan ras, suku bangsa, kaum, atau keturunan namun berdasarkan ketaatan kepada Allah dan RasulNya serta kompetensi kepemimpinan negara sebagaiman yang ditauladankan oleh Salafush sholeh dalam menentukan kepemimpinan setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pemimpin negara/wilayah/pemerintahan atau penguasa adalah sebagai pemegang amanat kaum muslimin yang melayani kaum muslimin bukan sebaliknya.

Jika pemimpin negara/wilayah/pemerintahan atau penguasa  yang berlaku dzhalim atau tidak berkompeten/mampu dalam kepemimpinan maka wajib bagi ahlul halli wal ‘aqdi mencabut amanat dan menunjuk seorang pemimpin yang baru. Jangan dibiarkan membuat “kerusakan” yang berlarut-larut.

Inilah sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang sesuai dengan syariah Islam dengan mempertimbangkan kesadaran pada realitas peran dan fungsi kita di dunia sebagai hamba Allah.

Sistem pemerintahan dan pemilihan kepemimpinan di negeri kita harus pula  dikembalikan dan mengikuti syariah Islam sebagaimana yang diupayakan para pendiri bangsa kita yakni sistem perwakilan untuk mufakat, karena sistem yang sekarang memungkinkan terpilihnya pemimpin yang dzhalim, lamban, tidak tegas, tidak taat kepada ulama, pemimpin sekedar popularitas, pemimpin yang lahir dari proses pencitraan semata maupun pemimpin yang tidak berkompeten karena hanya berdasarkan jumlah suara pemilih semata bukan kepada ketaatan pada Allah dan RasulNya sebagai hambaNya di muka bumi.

Ketaatan pada Ulama diatas ketaatan pada Umara. Bentuk kesatuan negara atau Nasionalisme adalah dibawah kesatuan dalam akidah sebagai perwujudan pengakuan sebagai hamba Allah.

Dimanapun umat muslim berada di dunia ini harus dalam kesatuan akidah (Ukhuwah Islamiyah), ketaatan pada ulama harus diatas ketaatan kepada Umara karena sungguh kita adalah hamba Allah bukan hamba manusia / umara.  Ketaatan kita kepada Negara, atau ketaatan kepada pemimpin Negara hanyalah sebuah kesepakatan/perjanjian antar manusia sebagai bagian yang disebut “perhiasan” dunia.

Kita harus belajar dari kesalahpahaman kaum Wahabi atau Salaf(i) mengedepankan semangat kebangsaan (nasionalisme Arab) diatas kesatuan dalam akidah atau Ukhuwah Islamiyah.

Strategi Yahudi adalah dengan memisahkan Turki Utsmani dengan Arab. Dari sinilah lahir gerakan nasionalisme Arab. Jenderal Allenby mengirim seorang perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence ke Hijaz untuk menemui para pemimpin di sana. TE. Lawrence ini diterima dengan sangat baik dan seluruh hasutannya dimakan mentah-mentah oleh tokoh-tokoh Hijaz. Maka orang-orang dari Hijaz ini kemudian membangkitkan nasionalisme Arab dan mengajak tokoh-tokoh pesisir Barat Saudi untuk berontak terhadap kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmaniyah, dan setelah itu mendirikan Kerajaan Islam Saudi Arabia. Adalah hal yang aneh, gerakan Wahabi yang mengakui sebagai pengikut sunnah Rasulullah SAW ternyata mendukung pendirian kerajaan, monarkhi absolut, yang tidak dikenal dalam khasanah keislaman. Sistem Monarkhi Absolut merupakan bid’ah kubro.

Para pemuda Arab diracuni pemikirannya untuk meninggalkan sistem Islam dan menuhankan Nasionalisme Arab. Maka pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab sebagai jalan baru untuk berjuang. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan Prancis.

Dari dalam kekhalifahan sendiri, Konspirasi Yahudi menanamkan banyak orang untuk bisa bekerja demi kepentingannya. Salah satunya adalah Rasyid Pasha, menteri luar negeri di era Sultan Abdul Majid II (1839) ini memperkenalkan Naskah Terhormat (Kholkhonah), yang sesungguhnya merupakan copy-paste dari UU sekuler Eropa.

Pada 1 September 1876, pihak Konspirasi berhasil mengangkat Midhat Pasha, seorang Mason, jadi perdana menteri. Dia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD sekuler Belgia (dikenal sebagai Konstitusi 1876). Namun Sultan Abdul Hamid II dengan tegas menolak Konstitusi ini karena isinya bertentangan dengan syari’at Islam. Midhat Pasha pun dipecat. Hal ini menyebabkan Konspirasi menjalankan agenda B, yakni melakukan pemberontakan yang dijalankan oleh Gerakan Turki Muda yang berpusat di Salonika, sebuah pusat komunitas Yahudi Dumamah, tempat Mustafa Kemal berasal (1908). Kemudian, atas bantuan Barat, Sultan Abdul Hamid II dipecat dan dibuang ke Salonika.

Dalam Perang Dunia I (1914), Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli.

Inggris kemudian sengaja mendongkrak popularitas Mustafa Kemal dengan memunculkannya sebagai pahlawan Perang Ana Forta (1915). Mustafa Kemal menjadi populer dan kemudian menggerakan revolusi nasionalisme. Dia menghasilkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan melucuti semua wilayah kekhalifahan Utsmaniyah. Akhirnya Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dan sebagainya mendeklaraskan diri sebagai negara nasionalis sendiri yang lepas dari Utsmaniyah. Ideologi Islam dibuang dan digantikan dengan ideologi Nasionalisme.

Saat itu, banyak tokoh Islam yang tertipu dan termakan propaganda Barat mengatakan jika politik Islam atau “politik aliran” sudah bukan masanya lagi, alias sudah ketinggalan zaman.

Sejak saat itu, Mustaf Kemal secara cepat dan gradual berhasil menguasai Turki. Pada 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun rakyat masih banyak yang mendukung kekhalifahan yang kekuasaannya sebenarnya sudah banyak yang lumpuh. Oleh rakyat, Mustafa Kemal dinyatakan murtad. Namun Mustaf Kemal melakukan aksi tandingan dengan mengorbankan darah Muslim Turki. Akhirnya pada 3 Maret 1924, Mustafa Kemal memecat Khalifah dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Turki dijadikan negara sekuler. Semua simbol-simbol keagamaan, terutama Islam, dihapuskan dan terlarang.

Kita harus berupaya mengembalikan kepada sistem pemerintahan dalam Islam, wujud dari kembali kepada Allah dan mengakui sekaligus  menguatkan peranan para ulama sebagai wali Allah di muka bumi ini.

Sehingga tidak ada lagi ungkapan, “Jangan memberontak pada pemimpin muslim walaupun dia dzhalim asalkan ia masih sholat dan tidak menganjurkan perbuatan maksiat”, karena tidak diperlukan pemberontakan namun sekedar mencabut amanat dari kaum muslimin yang terwakili oleh para amir dan para ulama pemimpin yang tergabung dalam ahlul halli wal ‘aqdi.

Kita harus segera tinggalkan sistem demokrasi atau sistem-sistem lain hasil olah pikir manusia atau sistem-sistem hasil budaya atau interaksi manusia, kembali kepada sistem berdasarkan petunjukNya sebagai perwujudan kesadaran pada realitas peran dan fungsi kita di dunia sebagai hamba Allah.

"Hai jiwa yang tenang,
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya
Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku
masuklah ke dalam syurga-Ku
"
(QS al Fajr [89]: 27-30 )

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

Minggu, 15 Agustus 2010

Pujian bagi Rasulullah

Kesalahpahaman tentang hadits, "Jangan puji aku secara berlebihan"

Saya sependapat bahwa pujian bagi Rasulullah saw tidak ada batasnya asalkan tidak  menjadikan Beliau sebagai anak Tuhan sebagaimana kesesatan umat Nashrani.

Pujian bagi Rasulullah tidak ada batas, berapapun pujian yang dihaturkan manusia maka Allah ta'ala akan membalas sepuluh kali

Dari Abdurrahman Bin Auf RA berkata : Aku telah melihat Nabi SAW bersujud sekali yang lama, kemudian beliau mengangkat kepala beliau, maka aku bertanya kepada beliau tentang hal tersebut maka beliau menjawab “Sesungguhnya jibril AS menemuiku dan berkata : Sesungguhnya barang siapa yang bersholawat atasmu Muhammad maka Allah bersholawat atasnya, dan barang siapa yang bersalam atasmu, maka Allah bersalam keatasnya, Nabi bersabda : Berapakah jumlahnya, Jibrill menjawab : sepuluh, maka nabi melanjutkan bersabda “Maka aku bersujud kepada Allah Azza Wajalla sebagai rasa Syukur (Sujud syukur)” (Dikeluarkan dari Ibn Abi ‘Ashim dan ismail)

Dari Hibban ibnu Munkidz RA bahwasanya terdapat seorang laki2 berkata kepada Rosulullah SAW : Wahai Rosulullah SAW apakah aku boleh bersholawat atasmu tiga kali? Baginda Rosul SAW menjawab: “Iya jika engkau menginginkannya” kemudian pemuda itu bertanya kembali: Jikalau Tiga puluh (30)? maka Baginda menjawab ” Iya”, maka pemuda itu berkata : maka aku akan bersholawat kepadamu semuanya (yaitu 3 ditambah 30), maka Baginda Rosul SAW menjawab : Maka, allah akan mencukupkan apa yang menjadi kepentinganmu dari perkara dunia dan akhiratmu” (HR. Thabrani dalam Mu’jamah Al-Kabir)

Tulisan untuk kesalahpahaman  kali ini, saya mengambil secara keseluruhan tulisan dari

http://albayan.hadithuna.com/2008/07/21/makna-hadist-jangan-puji-aku-secara-berlebihan/

Tulisan yang sangat baik dan semoga penulisnya mendapatkan rahmat dari Allah ta'ala.

Marilah kita simak pahami tulisan beliau

MAKNA HADIST ” JANGAN PUJI AKU SECARA BERLEBIHAN “


Sering kita mendengar propaganda yang melarang umat Islam memuji Nabi Muhammad saw. Di antara ucapan mereka yang tidak suka dengan amalan kita adalah, “Kita umat Islam tidak boleh mengkultuskan Rasulullah, tidak boleh memuji dan menyanjungnya secara berlebihan. Karena perbuatan itu merupakan bentuk kemusyrikan.

Mereka berpendapat seperti itu karena melihat hadist hanya sekilas teks sehingga terjadi pemahaman yang salah tentang itu. Rasulullah bersabda:
“Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Ahmad).


Dari ucapan itu kita memahami, kalau memuji Rasul itu menurut mereka adalah mengkultuskan atau mendewakan Rasulullah saw. Sehingga mereka menganggap memuji-muji beliau (yang menurut mereka berlebihan) adalah termasuk musyrik.
Ini adalah tuduhan keji dan fitnah yang berat bagi para pecinta Nabi Muhammad saw. Orang-orang itu tidak mengetahui makna dan tujuan hadist, sehingga pemahamannya salah.


Para ulama di dalam berbagai kitabnya telah menjelaskan makna hadist itu dengan gamblang. Dalam hadist tersebut Rasulullah saw tidak pernah melarang umatnya untuk memujinya dalam bentuk apapun.
Yang dilarang adalah pujian yg seperti dilakukan oleh Umat Nasrani kepada Nabi Isa bin Maryam, yaitu menjadikan beliau sebagai anak Tuhan.
Inilah yang dimaksud dengan pujian berlebihan yang menjadikan musyrik, bukan pujian-pujian yang seperti biasa kita dengarkan dalam acara maulid Nabi Muhammad saw.


Dan hadist di atas, juga tidak boleh dipotong seenaknya sehingga membuat maksud dan tujuan hadist itu salah. Karena jika kita memotong hadist itu dengan hanya berkata “Nabi bersabda: “Jangan puji aku secara berlebihan”, maka makna dan tujuan dari hadist itu menjadi kacau.
Karena dari hadist itu sebenarnya yang dilarang oleh Rasulullah saw itu bukan pujiannya terhadap beliau, tetapi adalah menjadikan beliau sebagai “anak Tuhan”, seperti yang dilakukan oleh orang nasrani terhadap Nabi Isa as.
Dan sejak larangan Nabi itu disampaikan hingga saat ini, tidak pernah ada seorangpun dari kalangan umat Islam yang memuji Rasulullah saw melebihi batasannya sebagai manusia.


Sehingga benarlah apa yang disampaikan Imam Bushiri di dalam syair Burdahnya:

“Tinggalkan pengakuan orang Nasrani atas Nabi mereka… Pujilah beliau (saw) sesukamu dengan sempurna… Sandarkanlah segala kemuliaan untuk dirinya… Dan nisbahkanlah sesukamu segala keagungan untuk kemuliaannya…

Karena sesungguhnya kemuliaan Rasulullah tidak ada batasnya… Sehingga takkan ada lisan yang mampu mengungkapkan kemuliaannya itu…

maka berfikirlah , fahamilah .. jangan menelan sebuah faham yang datang dari ustadz-ustaz jahil ..

( anak-anak ALBAYAN )


Kamis, 12 Agustus 2010

Allah bersama kita

Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah saw berkata:

"Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada"

Apabila seorang hamba merasa selalu dalam pengawasan dan pantauan Allah, dalam segala hal tentang dirinya, tentu dia merasa malu dan takut kalau Allah melihat sesuatu yang buruk dan membuatNya murka.

Ada yang mengatakan: Jika anda melakukan maksiat, maka lakukanlah di tempat yang lepas dari pantuan dan penglihatan Allah swt. Dengan begitu, maka anda tidak akan jadi melakukan maksiat, karena tidak ada satu tempatpun yang terlepas dari penglihatan Allah.

Ada ulama yang ditanya: "Dengan apa seseorang dapat menjaga penglihatannya dari memandang yang diharamkan ?'. Jawabnya: "Dengan kesadaran bahwa Allah Maha Mengetahui. Dan pengetahuan serta penglihatan Allah itu telah mengenai segala yang dilarang itu, sebelum orang tersebut hendak melihatnya"

Firman Allah yang artinya:

"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)". (QS Yunus [10]: 61 )

Doa Munajat Syaikh Ibnu Athoillah,

"Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan"

Mari kita kenali Allah (ma'rifatullah), Jagalah selalu keadaan sadar (kesadaran)  atau berperilakulah atau berbuatlah secara sadar dan mengingat Allah (akhlakul karimah), Insyaallah kita dapat merasakan kebersamaan dengan Allah.

Sekilas tentang mengenal Allah, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/24/mengenal-allah/

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

Orang Mati Mendengar

Kesalahpahaman bahwa orang mati tidak dapat mendengar.

Berikut ini insyaallah saya akan menguraikan kesalahpahaman sebagian muslim yang memahami bahwa orang yang sudah mati tidak dapat mendengar. Ini sebuah kesalahpahaman yang mengakibatkan terjadinya perdebatan keras antar sesama muslim, bahkan ada yang mentakfirkan (mengkafirkan) muslim lain yang berpemahaman bahwa orang yang sudah mati dapat mendengar.

Sebagian muslim yang berpemahaman bahwa orang yang sudah mati tidak dapat mendengar berdasarkan firman Allah yang artinya,

Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar.” (QS an-Naml [27] : 80 )

“Dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS: faathir [35] : 22 )

Mereka memahami firman Allah secara dzahir, tekstual atau harfiah.

Baiklah marilah kita pahami firman Allah dengan baik, semoga Allah memberikan karunia pemahaman yang dalam (al-hikmah).

dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar*. (Q.S Faathir[35]: 22)

*Maksudnya: Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.

Kata “Mendengar” di ayat tersebut maksudnya adalah dalam arti menerima ajakan.

Allah menjadikan orang-orang kafir seperti orang mati yang tak bisa mengikuti bila ada yang mengajaknya.

Orang yang mati, walaupun bisa mengerti dan memahami maknanya, namun tetap tak bisa menjawab ucapan dan melaksanakan apa yang diperintahkan serta menjauhi apa yang dilarang.

Seperti halnya orang kafir.

“kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. dan Jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu). (Q.S Al Anfaal [8] :23)

Maka Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka itu berpaling membelakang* (Q.S Ar Ruum: [30]: 52)

Orang-orang kafir itu disamakan Tuhan dengan orang-orang mati yang tidak mungkin lagi mendengarkan pelajaran-pelajaran. begitu juga disamakan orang-orang kafir itu dengan orang-orang tuli yang tidak bisa mendengar panggilan sama sekali apabila mereka sedang membelakangi kita.

Oleh karenanya jangan sampai pendengaran kita seperti pendengaran orang yang telah mati atau orang kafir yaitu mendengar dan memahami makna dari ajakan orang untuk berbuat kebaikan, namun tidak dapat menjawab atau melaksanakan perintah dan laranganNya.

Jika kita mengabaikan orang-orang yang mengajak kita kepada kebaikan maka berwaspadalah, bisa jadi pendengaran kita telah mati.

Bagaimanakah sebenarnya apakah orang yang sudah mati (masuk alam kubur) dapat mendengar ?

Orang yang sudah mati (Ahlulkubur) hidup didalam alam barzakh dan menjawab salam kita dan mendengar ucapan kita, sebagaimana banyak sekali hadits shahih yg menjelaskan bahwa mereka mendengar, namun kita tak mendengar mereka. Kalaupun terjadi maka itu sesungguhnya kehendak Allah semata.

Ahlulkubur gembira dengan kerabatnya yg datang menziarahinya, lebih lagi jika pada para shalihin.

Ziarah kubur merupakan suatu bentuk silaturahmi juga

Hadits Buraidah bin Hushaib , Rasulullah bersabda:  “Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah karena akan bisa mengingatkan kalian kepada akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain, ‘Aisyah bertanya:  “Apa yang aku ucapkan untuk penduduk kubur? Rasulullah berkata: “Ucapkanlah: “Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang-orang yang mendahului kami ataupun yang akan datang kemudian. Dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim hadits no. 974)

Prinsip ziarah kubur adalah untuk mengingat kematian, mendoakan  ahlulkubur (memohonkan ampunan kepada Allah bagi ahlulkubur) . Sebagian muslim menyangsikan doa atau hadiah pahala akan sampai / bermanfaat untuk ahlul kubur karena bersandar kepada

“Apabila manusia telah mati maka terputuslah darinya amalnya, kecuali tiga; kecuali dari shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfa’at atau anak shaleh yang mendo’akan.” (HR Muslim)

Hadist itu menguraikan bahwa terputus amal dari dirinya artinya ketika di alam kubur tidak ada lagi yang bisa diperbuat atau dikoreksi kecuali menunggu/mendapatkan amal dari tiga perkara itu termasuk doa atau hadiah pahala dari muslim lainnya yang merupakan hasil menjalin silaturahmi atau amal kebaikan pada sesama manusia yang dilakukan oleh ahlul kubur ketika mereka di alam dunia.

Dalam ziarah kubur tidak diperkenankan meminta pertolongan kepada ahlulkubur karena mereka tidak ada lagi kewajiban di alam dunia. Begitu pula kekeliruan besar bagi mereka yang menyembah kuburan.

Dalil-dalil bahwa orang yang sudah mati (ahlulkubur) dapat mendengar.

“Ia mendengar suara langkah sandal mereka pergi meninggalkan kuburnya” (H.R Bukhari dan Muslim).

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup*), tetapi kamu tidak menyadarinya." (Al Baqarah [2] : 154 )

“Ketika selesai Perang Badr, Nabi saw. menyuruh supaya melemparkan dua puluh empat tokoh Quraisy dalam satu sumur di Badr yang sudah rusak. Dan biasanya Nabi saw. jika menang pada suatu kaum maka tinggal di lapangan selama tiga hari, dan pada hari ketiga seusai Perang Badr itu, Nabi saw. menyuruh mempersiapkan kendaraannya, dan ketika sudah selesai beliau berjalan dan diikuti oleh sahabatnya, yang mengira Nabi akan berhajat. Tiba-tiba beliau berdiri di tepi sumur lalu memanggil nama-nama tokoh-tokoh Quraisy itu: Ya Fulan bin Fulan, ya Fulan bin Fulan, apakah kalian suka sekiranya kalian taat kepada Allah dan Rasulullah, sebab kami telah merasakan apa yang dijanjikan Tuhan kami itu benar, apakah kalian juga merasakan apa yang dijanjikan Tuhanmu itu benar? Maka Nabi ditegur oleh Umar: Ya Rasulallah, mengapakah engkau bicara dengan jasad yang tidak bernyawa? Jawab Nabi: Demi Allah yang jiwaku di TanganNya, kalian tidak lebih mendengar terhadap suaraku ini dari mereka.” (Bukhari dan Muslim)

Seminggu sepeninggal Rasulullah SAW, seorang Badwi datang ke Madinah. Ia bermaksud menjumpai Nabi.

Sesampainya di Madinah, ia menanyai sahabat yang dijumpainya. Tapi dikatakan kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah wafat seminggu sebelumnya dan makamnya ada di samping masjid, di kamar Aisyah, istri Rasulullah SAW.

Badwi itu pun sangat bersedih, air matanya bercucuran, karena tak sempat berjumpa dengan Nabi SAW.

Segera ia menuju makam Rasulullah SAW. Di hadapan makam Nabi, ia duduk bersimpuh, mengadukan dan mengutarakan kegelisahan dan kegundahan hatinya. Dengan linangan air mata, ia berkata, “Wahai Rasulullah, engkau rasul pilihan, makhluk paling mulia di sisi Allah. Aku datang untuk berjumpa denganmu untuk mengadukan segala penyesalanku dan gundah gulana hatiku atas segala kesalahan dan dosa-dosaku, namun engkau telah pergi meninggalkan kami. Akan tetapi Allah telah berfirman melalui lisanmu yang suci, ‘…. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya diri mereka datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun kepada Allah SWT untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.’ – QS An-Nisa (4): 64.

Kini aku datang kepadamu untuk mengadukan halku kepadamu, penyesalanku atas segala kesalahan dan dosa yang telah aku perbuat di masa laluku, agar engkau mohonkan ampunan kepada Allah bagiku….”
Setelah mengadukan segala keluh kesah yang ada di hatinya, Badwi itu pun meninggalkan makam Rasulullah SAW.

Kala itu di Masjid Nabawi ada seorang sahabat Nabi SAW tengah tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi Rasulullah. Beliau berkata, “Wahai Fulan, bangunlah dan kejarlah orang yang tadi datang kepadaku. Berikan khabar gembira kepadanya bahwa Allah telah mendengar permohonannya dan Allah telah mengampuninya atas segala kesalahan dan dosanya….”

Sahabat tadi terbangun seketika itu juga. Tanpa berpikir panjang ia pun segera mengejar orang yang dikatakan Rasulullah SAW dalam mimpinya.
Tak berapa lama, orang yang dimaksud pun terlihat olehnya. Sahabat itu memanggilnya dan menceritakan apa yang dipesankan Rasulullah SAW dalam mimpinya.

Wallahu a’lam

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830