Kamis, 28 Oktober 2010

Dicintai Allah

Ketika Allah ta’ala mencintai mereka.

Allah ta'ala berfirman yang artinya,
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.
Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan\} di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar". ( QS Yunus [10]:62-64 )

“Dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:  ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh! Aku telah mengumumkan perang terhadapnya.
Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepada-Ku dengan sesuatu, yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya, dan senantiasalah hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya;
Bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan; jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan melindunginya”. (H.R.al-Bukhâriy)

Innallâha Ta’âla Qâla ;  Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman
ini merupakan salah satu redaksi Hadîts Qudsiy

man ‘âdâ lî waliyyan ; ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku
Terdapat variasi lafazh, diantaranya: “man âdzâ lî waliyyan” ; “man ahâna lî waliyyan faqad bârazanî bi al-Muhârabah” .
Kata “al-Waliy” diambil dari kata al-Muwâlâh , makna asalnya adalah al-Qurb (dekat) sedangkan makna asal kata “al-Mu’âdâh” ( kata benda dari kata kerja ‘âdâ ) adalah al-Bu’d (jauh);
Jadi, kata “al-Waliy” artinya orang yang dekat kepada Allah.

Dalam hadits tersebut diuraikan kriteria wali Allah yakni:
Hamba yang bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan ibadah yang telah diwajibkan/disyariatkan oleh Allah ta’ala (ibadah mahdah/ketaatan) diikuti dengan selalu menjalankan ibadah sunnah atau amal sholeh (ibadah ghairu mahdah/kebaikan) sehingga mendapatkan kecintaanNya

Bertaqarrub, mendekatkan diri kepada Allah ta’ala dengan cara menjadi orang beriman dan  beramal sholeh

Allah ta'ala berfirman, yang artinya:
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh), mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam syurga) (QS  Saba [34]:37 )

Tidak cukuplah menjadi orang beriman dapat dikatakan sebagai wali Allah, karena menjadi orang beriman merupakan sebuah keharusan baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa. Tentang orang-orang beriman silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/27/orang-orang-beriman/

Allah ta'ala berfirman, yang artinya:
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa” (QS Ar Ra’d [13]:15 )

Tidak cukup dengan menjalankan ibadah ketaatan atau ibadah yang disyariatkan atau ibadah yang diwajibkan (ibadah mahdah) dapat menghantarkan kita menjadi wali Allah, haruslah ditambah dengan amal sholeh untuk mendapatkan keridhoan dan kecintaan Allah ta’ala

Mereka yang termasuk wali Allah adalah mereka yang beriman dan mengerjakan amal saleh  atas kesadaran sendiri dan atas petunjuk dan pertolongan/karunia Allah ta’ala. Tentang amal saleh silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/27/amal-sholeh/

Allah juga berfirman memberitakan tentang penduduk surga:”..Dan mereka berkata: “segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini, dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk..” (QS Al-A’raaf:43).

Firman Allah ta’ala:”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)

Firman Allah yang artinya,
"Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik." (QS Shaad [38]:46-47)

Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.

Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi) terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.

Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu(kesuciannya)
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu(kefanaannya).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.

Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya.

Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.

Sebagaimana firman Allah yang artinya:
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS An Nahl [16]:97 )

"Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan." (QS Al Ankabut [29]:7 )

Salah satu ibadah sunnah atau amal sholeh yang dijalankan oleh kaum sufi sehingga Allah ta’ala mencintai mereka adalah berlaku zuhud dan selalu mengingat Allah (dzikrullah)

Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Abu Yazid al Busthami mengatakan: Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya. Mereka itu terkurung pada sisi-Nya di dalam hijab (dinding penutup) kegembiraan dan takkan dapat melihat kepada mereka seorangpun di dunia ini maupun diakhirat, yakni tiada dapat mengetahui rahasia mereka.

Al Khaffaz telah berkata: Apabila Allah berkehendak untuk menjadikan hamba-Nya seorang wali, niscaya dibukakan baginya pintu dzikir. Apabila ia telah merasa lezat dengan dzikir itu, maka dibukakan pula atasnya pintu pendekatan. Kemudian ditinggikan martabat-Nya kepada majelis-majelis kegembiraan. Lalu ia didudukkan di atas kursi keimanan untuk disingkapkan (dibukakan) daripadanya hijab (tabir penutup) dan dimasukkannya ia ke pintu gerbang ke-Esaan serta diungkapkan baginya garis-garis ke-Maha Agungan Allah. Pada saat penglihatannya tertuju kepada ke-Maha Agungan serta kebesaran-Nya, niscaya ia akan tinggal tanpa dirinya dan akan menjadi fana (lenyap) untuk tiba menuju pemeliharaan (penjagaan) Allah, agar terlepas dari segala pengakuan dirinya. Baru kemudian ia pun menjadi seorang wali.

Al Quthub Abdul Abbas al Mursi, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaiful Minan, karya Ibnu Athaillah as Sakandari, “Waliyullah itu diliput ilmu dan makrifat-makrifat, sedangkan wilayah hakekat senantiasa disaksikan oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang dikatakan seperti identik dengan idzin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang diidzinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”

Dasar utama perkara wali itu, kata Abul Abbas, “Adalah merasa cukup bersama Allah, menerima ilmu-Nya dan mendapatkan pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Barang siapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya.” (QS. ath Thalaq : 3). “Bukankah Allah telah mencukupi hambanya?” (az Zumar : 36). “Bukankah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?” (QS. al Alaq : 14). “Apakah kamu tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu menyaksikan segala sesuatu ? (QS. Fushshilat : 53)”

Wali-wali itu merupakan orang-orang yang akan meneruskan hidup suci dari Nabi, orang-orang yang mujahadah, orang-orang yang menjaga waktu ibadat, yang rebut-merebut mengerjakan taat, yang tidak ingin lagi merasakan kelezatan lahir, kenikmatan panca indera, mengikuti jejak Nabi, mencontoh perbuatan Muhajirin dan Anshar, lari ke gunung dan gua untuk beribadat, melatih hati dan matanya untuk melihat Tuhan, merekalah yang berhak dinamakan Atqiya’, Akhfiya’, Ghuraba’, Nujaba’, dan lain-lain nama-nama sanjungan yang indah yang dipersembahkan kepada mereka.

Diceritakan lebih lanjut dalam kitab-kitab sufi, bahwa wali-wali itu merupakan qutub-qutub atau khalifah-khalifah Nabi yang tidak ada putus-putusnya terdapat di atas permukaan bumi ini. Mereka meningkat kepada kedudukannya yang mulia itu sesudah mengetahui hakekat syari’at, sesudah memahami rahasia kodrat Tuhan, sesudah tidak makan melainkan apa yang diusahakan dengan tenaganya sendiri, sesudah tumbuh dan jiwanya suci, tidak memerlukan lagi hidup duniawi, tetapi semata-mata menunjukkan perjalanannya menemui wajah Tuhan.

Di antara para wali terdapat wali-wali Allah yang pangkatnya sangat digandrungi oleh para Nabi dan para Syuhada’ pada hari kiamat seperti hadits Rasulullah Saw :
Sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari shahabatnya berkata, siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka.
Nabi Saw menjawab dengan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Kemudian Rasul membacakan firman Allah Swt:
Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah tiada ketakutan pada diri mereka dan tiada pula mereka berduka cita. (QS. Yunus : 62).

Allah ta'ala juga berfirman, yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al Baqarah [2]:277 )

Pernah Rasulullah Saw ditanya tentang siapa para wali Allah itu? Beliau menjawab: “Mereka itulah pribadi-pribadi yang apabila dilihat orang, niscaya Allah Swt disebut bersama (nama)-Nya.” Mereka terbebas (terselamatkan) dari fitnah dan cobaan dan terhindar dari malapetaka. Nabi bersabda :
اِنَّ ِللهِ ضَنَائِنَ مِنْ عِبَادِهِ يُعْذِيْهِمْ فِى رَحْمَتِهِ وَيُحْيِيْهِمْ فِى عَافِيَتِهِ اِذَا تَوَافَّاهُمْ تَوَافاَّهُمْ اِلَى جَنَّتِهِ اُولَئِكَ الَّذِيْنَ تَمُرُّ عَلَيْهِمُ الْفِتَنُ كَقَطْعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ وَهُوَ مِنْهَا فِى عَافِيَةٍ
Sesungguhnya bagi Allah ada orang-orang yang baik (yang tidak pernah menonjolkan diri di antara para hamba-Nya yang dipelihara dalam kasih sayang dan dihidupkan di dalam afiat (sehat yang sempurna). Apabila mereka diwafatkan, niscaya dimasukkan kedalam surganya. Mereka terkena fitnah atau ujian, sehingga mereka seperti berjalan di sebagian malam yang gelap, sedang mereka selamat daripadanya.

Jadi, seorang Wali akan mengalami hinaan dan makian sebagaimana yang dialami oleh Para Nabi dan itu tidak akan menyurutkan langkah mereka untuk berdakwah membesarkan Nama Tuhan.

Allah ta'ala berfirman, yang artinya:
kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (QS  Asy Syu-ara [26]:227 )

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih saying (QS Maryam [19]:96 )

Allah SWT berfirman:
"…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Maidah: 54)

Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai. Apakah tidak perlu aku tunjukkan pada satu perkara, jika kalian melakukannya maka niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian! (HR. Muslim).

"Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang saleh" (QS Al Ankabut [29]:9 )

"Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS An Nisaa' [4]:69 )

“Cintailah yang di bumi maka yang di langit akan mencintaimu”

Semoga Allah SWT berkenan mempertemukan kita dengan Kekasih-Nya di muka bumi agar kita bisa mencintai kekasih-Nya dengan demikian maka Allah SWT pasti mencintai kita.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin

Rabu, 27 Oktober 2010

Memahami suatu kaum

Kaum Wahabi/Salafy yang menisbatkan pada Salafush Sholeh memahami kaum muslim lainnya yang menyandarkan diri pada Al-Qur’an dan Hadits namun tidak dengan pemahaman Salafush Sholeh. Silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/10/pertengkaran-wahabisalafi/

Berikut kutipan apa yang mereka pahami: “Dan sangat kita sayangkan Hizbut Tahrir tidak berdiri di atas dasar yang ketiga, demikian pula Ikhwanul Muslimin dan hizb-hizb Islamiyah lainnya”. Yang dimaksud dengan “dasar yang ketiga” , selain mengikuti dasar dua pokok yang kita ketahui yakni Al-Quran dan Hadits, mereka mengharuskan dasar yang ketiga yakni berpemahaman sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh. Sedangkan kita ketahui tidak seluruh Salafush Sholeh menghasilkan pemahaman (ijtihad), sebagaian dari mereka hanya menyampaikan atau merawikan saja. Perihal yang sangat disayangkan mereka menganggap apa yang mereka pahami adalah serupa atau sama  dengan pemahaman Salafush Sholeh

Bagaimana pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh menjadi termasuk perihal yang ghaib karena waktunya sudah berlalu (Al-Ghaibul Madhi) yaitu segala sesuatu atau kejadian yang terjadi pada zaman dahulu, yang mana kita tidak hidup sezaman dengannya. Sehingga kita tidak bisa melakukan konfirmasi (temu-muka) akan pemahaman mereka sesungguhnya.

Apa yang kita lakukan adalah upaya pemahaman (ijtihad) terhadap tulisan, riwayat, lafadz, nash Al-Qur’an , Hadits, riwayat atau perkataan Salafush Sholeh, yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan juga pemahaman-pemahaman ulama–ulama terdahulu.

Jadi setiap upaya pemahaman/pemkiran/pendapat seorang muslim bukan selalu mutlak benar , bisa saja salah.

Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) berkata “Setiap (pendapat) dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaih

Hal ini ditunjukkan pula oleh sikap tawadhu dari Imam Madzhab yang empat bahwa jika kita menemukan kesalahan/perselisihan atas pemahaman/pendapat/pemikiran mereka maka kita diminta  kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Sesungguhnya setiap pemahaman, jalan pemikiran ilmiah dalam agama, cabang–cabang, dan rinciannya yang masuk dalam medan ijtihad harus mau dikoreksi untuk perbaikan, pergantian, dan perubahan. Pemiliknya tidak boleh meyakini cabang dan rincian tersebut sebagai suatu masalah pasti yang wajib diterima dan dihormati seperti dua dasar pokok, yaitu al Qur’an dan al Hadits
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/13/pemahaman-salaf/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/16/2010/07/26/salahpaham-pemahaman/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/01/atasnama-salaf/

Dan karunia pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits tentu tidak dikaruniakan oleh Allah ta’ala hanya pada suatu kaum saja melainkan  Allah ta’ala mengkaruniakan kepada siapa saja yang dikehendakiNya.

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )

Kaum Wahabi/Salafy berdasarkan apa yang mereka pahami bahkan mengaggap sebagian kaum muslim lainnya telah dalam kesesatan atau melakukan perbuatan bid’ah atau sebagian lagi telah melakukan perbuatan syirik.

Padahal kita pahami kaum muslim lainnya yang disangkakan oleh kaum Wahabi/salafy sebagai mereka yang dalam kesesatan itu termasuk orang-orang beriman yakni yang memahami dan menjalankan rukun Islam dan rukun Iman dengan  melaksanakan seluruh kewajiban (hukum/perkara wajib) dan menjauhi seluruh larangan dan pengharaman (hukum/perkara haram).  Selengkapnya tentang yang termasuk orang-orang beriman, silahkan baca tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/27/orang-orang-beriman/

Sesungguhnya yang disangkakan atau dipermasalahkan oleh kaum Wahabi/Salafy terhadap kaum muslim lainnya adalah seputar amal sholeh atau amal kebaikan.

Kekeliruanpun dalam melakukan amal sholeh atau amal kebaikan tidaklah menjadikan seorang muslim dalam kesesatan, sejauh-jauhnya adalah amalannya tertolak atau tidak mendapatkan kebaikan (pahala).  Selengkapnya tentang amal sholeh, silahkan baca pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/27/amal-sholeh/

Sebagai contoh apa yang diupayakan oleh  Jama’ah Tabligh adalah amal sholeh dalam bidang amar ma’ruf ,  Ihkwanul Muslimin, Hizbut Tahir beramal sholeh dalam perjuangan kebangkitkan umat Islam. Muhammadiyah beramal sholeh dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Nahdatul Ulama beramal sholeh dalam bidang pendidikan dan sosial.  Nahdatul Ulama dalam sejarahnya didirikan dalam rangka menolak keinginan Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz yang diketuai KH Wahab Hasbullah, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Semua itu adalah merupakan jama’ah minal muslimin yang timbul dari ketiadaan jama’atul muslimin yang dipimpin oleh seorang pemimpin sebagaimana yang dilakukan oleh para khalifah terdahulu. Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/16/berjamaah-dan-kepemimpinan/
atau http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/16/2010/01/28/jamaatul-muslimin/

Mereka bukanlah yang disebut dengan firqah atau hizb atau kelompok. Semua mengorganisasikan jama’ah minal muslimin dalam semangat Ukhuwah Islamiyah. Jika terjadi pergesekan di antara mereka tentu dapat dikoreksi dalam semangat Ukhuwah Islamiyah.  Perbedaan dalam bentuk amal sholeh yang diamalkan bukanlah yang dimaksud dengan firqah. Firqah terjadi jika ada perbedaan dalam hal yang pokok yakni i’tiqad atau aqidah, rukun Islam dan rukun Iman .

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

Pemahaman Harfiah

Dalam sebuah diskusi, seseorang yang berpemahaman ala Wahabi / Salafy mencoba memaknai syair atau nasehat dari Imam Syafi'i rahimullah dengan metode pemahaman secara harfiah, tersurat atau sebagaimana yang tertulis.

Ini kata pembukanya,

Kurang apalagi Imam syafi'i. Sufi iya. Ahli fiqh ok,hafidz alqur'an, bahkan dibidang ilmu hadits beliau dijuluki sebagai Nashiru sunnah (pembela sunnah). Hasilnya, Buku2 beliau enak dibaca dan tegas. Arrisalah, Al-Umm. Semua definisi menjadi jelas. Termasuk buku kumpulan syairnya yang indah:
.
"Uhibbu asShalihiina wa lastu minhum
La'alli an anaala bihim syafa'ah
Wa akrahu man tijaratuhu al maashii
Wa lau kunnaa sawa'an fil bidha'ah"

"Aku mencintai orang shalih
Walaupun aku bukan seperti mereka
Tapi aku benci dengan orang2 ahli maksiat
Meskipun sesungguhnya aku pun sama kelakuannya"

Kalau kita lihat sepintas syair empat baris, terjemahan empat baris.

Syair seperti ini atau perkataan-perkataan yang mengandung hikmah tidak dapat dimaknai secara lahiriah, tekstual, harfiah atau tersurat

Umumnya mengandung kata kiasan (Balaghoh) yang mempunyai makna yang dalam, tersirat atau hikmah. Begitu juga nash-nash Al-Qur'an dan Hadits banyak yang dimaknai dengan pemahaman yang dalam (hikmah) atau secara tersirat.

Demi Al Quraan yang penuh hikmah” (QS Yaasiin [36]: 2)

Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/20/hikmah/

Syair yang diuraikan tsb  adalah menunjukkan sikap tawadhu dari Imam Madzhab As-Syafi'i ra

Mereka mengartikan
"Uhibbu asShalihiina wa lastu minhum La'alli an anaala bihim syafa'ah"
sebagai
"Aku mencintai orang shalih walaupun aku bukan seperti mereka"
itu saja

Jauh sekali makna yang sebenarnya atau ada bagian yang tidak dimaknai.

Uhibbu as Shalihiina = Aku mencintai orang shalih
walastu minhum = Walaupun.. aku tidak seperti mereka
La'ali an anaala bihim syafa'ah = Beliau berharap / semoga memperoleh Syafa'at / pertolongan dari Rosulullah saw (untuk menjadi orang yang Sholeh)

Ini tauladan yang disampaikan Imam Syafi'i ra bahwa kita tidak boleh mengatakan / mengakui sebagai saya serupa dengan mereka termasuk orang sholeh, atau saya seorang sholeh atau saya seorang sufi atau saya seorang muhsin, karena orang sholeh, orang sufi, orang muhsin adalah dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia atau hasil penilaian Allah pada manusia. Bagi kita manusia hanya boleh berharap pertolongan Allah dan berupaya untuk mencapainya.

Tentang orang sholeh

[29:9] Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang saleh

[3:114] Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.

[7:196] Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.

[4:69] Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

[26:227] kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali

Kita simak doa Nabi Ibrahim as

"(Ibrahim berdo’a): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh (QS Asy Syu-ara [26]:83 )

Oleh karenanya kita harus berupaya menjadi orang-orang sholeh, orang-orang yang baik atau ihsan (muhsinin) dengan mengamalkan tasawuf dalam Islam yakni tentang ihsan / akhlakul karimah.

Jika kita menjadi orang-orang yang sholeh, maka seluruh muslim mendoakan kita  ketika mereka mendirikan sholat.

Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.

Wassalam

Amal Sholeh

Muslim pada kebanyakan (umumnya) atau pada awalnya adalah berupaya menjadi orang-orang beriman (mukmin). Orang-orang beriman (mukmin) adalah mereka yang memahami dan menjalankan rukun Islam dan rukun Iman dengan minimal melaksanakan seluruh kewajiban (hukum/perkara wajib) dan menjauhi seluruh larangan dan pengharaman (hukum/perkara haram). Selengkapnya silahkan baca tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/27/orang-orang-beriman/

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

Apa yang dijalankan dan ditaati oleh orang-orang beriman (mukmin) yakni menjalankan kewajiban, dan menjauhi batas/larangan dan pengharaman adalah melaksanakan amal ibadah atau ibadah ketaatan atau ibadah yang telah Allah ta’ala tetapkan atau ibadah yang telah Allah ta’ala syaratkan/syariatkan atau ibadah mahdah. Amal ibadah atau Ibadah ketaatan wajib mengikuti apa yang telah dijelaskan/disampaikan/dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun (dari perkataan atau perbuatan) yang (bisa) mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan (semuanya) telah dijelaskan bagimu (dalam agama Islam ini)” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)

Perkataan atau perbuatan yang "mendekatkan kamu dari surga" adalah perihal kewajiban, "menjauhkanmu dari neraka" adalah perihal larangan dan pengharaman.

Jadi seluruh kewajiban, larangan, pengharaman sudah ditetapkan dan dijelaskan sejelas-jelasnya, Allah ta’ala tidak lupa!, selebihnya Allah ta’ala diamkan atau bolehkan sebagai tanda kasihNya kepada hambaNya.

Amal atau perbuatan yang telah Allah ta’ala diamkan artinya jika amal atau perbuatan tersebut tidak dilakukan oleh hambaNya akan didiamkan oleh Allah ta’ala atau tidak akan berdosa.   Amal atau perbuatan itu adalah yang termasuk hukum/perkara boleh. Boleh-dianjurkan (sunnah/mandub), boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai  (makruh).

Orang-orang yang melakukan amal sholeh atau amal kebaikan dan mendapatkan balasan yang baik (pahala) adalah mereka yang melaksanakan perbuatan yang hukum/perkara boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan menghindari perbuatan yang hukum/perkara boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai (makruh).  Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/09/peta-perbuatan-ibadah/

Contoh-contoh  amal sholeh / amal kebaikan

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran [3]:133-134 )

Abi Dzar r.a. berkata: Sekelompok sahabat berkata kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.”Nabi Saw. Bersabda,”Bukankah Allah telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat disedekahkan? (Yakni) bahwa setiap kali tasbih (bacaan subhnallah) adalah sedekah, setiap kali tahmid (bacaan alhamdulillah) adalah sedekah,setiap kali tahlil (bacaan la ilaha ilallah) adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan jimaknya salah seorang diantara kalian juga adalah sedekah.”Mereka bertanya,”Wahai Rasulullah,apakah jika salah seorang dari kami memenuhi hajat syahwatnya berpahala? “Rasulullah Saw. Menjawab, “Menurutmu ,bukanlah jika ia menyalurkan syahwatnya pada yang haram berdosa? Maka demikian pula apabila ia menyalurkannya pada yang halal, ia mendapatkan pahala.” (Diriwayatkan pada yang halal,ia mendapatkan pahala.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Engkau mendamaikan dua orang (yang berselisih) adalah sedekah,menolong seseorang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkatkan barangnya ke atas kendaraan adalah sedekah,kata-kata yang baik adalah sedekah,setiap langkah kaki yang kau ayunkan untuk shalat adalah sedekah,dan engkau menyingkirkan aral dari jalan adalah juga sedekah. “(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim)

Nawas bin Sam’an r.a. meriwayatkan dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah segala hal yang mengusik jiwamu dan engkau tidak suka jika orang lain meli-hatnya. “(Diriwayatkan oleh Imam Muslim)

Wabishah bin Ma’bad r.a. berkata: Saya datang kepada Rasulullah Saw., beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Saya menjawab, “Benar.”Beliau bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang menenteramkan jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberi fatwa yang mem-benarkanmu.” Ini adalah hadits yang kami riwayatkan dari dua imam, yaitu Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ad-Darami dengan sanad hasan

Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”.  Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)

Kesimpulannya bahwa amal sholeh atau amal kebaikan atau ibadah ghairu mahdah adalah perbuatan yang dilakukan atas kesadaran atau kemauan sendiri yang merupakan bagian dari akhlakul karimah.

Akhlakul karimah adalah kesadaran atau perbuatan/perilaku secara sadar dan mengingat Allah ta’ala

Selengkapnya tentang ibadah ketaatan (ibadah mahdah) dan ibadah kebaikan (ibadah ghairu mahdah) silahkan baca tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/08/ibadah-ketaatan-dan-kebaikan/

Ibadah ghairu mahdah adalah ibadah yang beberapa dicontohkan oleh Rasulullah saw dan dianjurkan untuk mengikuti , namun sebagian lagi diserahkan kepada manusia sesuai keinginan, kebutuhan, teknologi atau zaman asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan hadits, seperti bersedekah, berdoa, berdzikir, bersholawat, bekerja, makan, minum, jima’, menggunakan safety belt, menggunakan helm, menggunakan rem kendaraan dll

Jadi pada hakikatnya muslim yang melakukan amal sholeh/amal kebaikan dalam rangka berupaya menjadi muslim yang baik atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan (muhsinin)

Sebagian muslim menisbatkan dirinya pada Salafush Sholeh dari sisi ketaatan atau ibadah ketaatan (ibadah mahdah)

Sedangkan kami, muslim yang mengamalkan tasawuf dalam Islam memahami Salafush Sholeh dari sisi kesholehan atau ibadah kebaikan (ibadah ghairu mahdah) atau amal sholehnya.

Mereka dipanggil sebagai Salafush Sholeh karena mereka sholeh, baik, berakhlak baik, mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Mereka yakin bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri. Mereka adalah generasi terbaik yang berserah diri (Islam) kepada Allah. Sehingga mereka mencapai tingkatan muslim yang terbaik yakni Ihsan (muhsin/muhsinin).  Ihsan (kata arab) yang maknanya baik, terbaik.

Kami berupaya mengikuti/mencontoh para Salafush sholeh.  Kami mendalami tasawuf dalam Islam adalah mendalami tentang akhlakul karimah, mendalami upaya agar dapat “seolah-olah melihatNya”, mendalami tentang ihsan yang bagian dari pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang disampaikan oleh malaikat Jibril

Tentang Islam (rukun Islam/fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin) , Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf)

Kami mendalami tasawuf dalam Islam dalam upaya kami agar dapat seolah-olah melihat Allah ta'ala, berdasarkan sunnah Rasullah.

Rasulullah saw berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.”

Muslim pada umumnya adalah berupaya menjadi orang beriman (mukmin). Kemudian setelah menjadi mukmin dan setelah mempunyai kesadaran maka mereka berupaya menjadi mukmin yang sholeh (muhsin/muhsinin) dengan melakukan amal kebaikan atau amal sholeh.

( QS Lukman [31]:3-5 )

[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)

[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.

[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

[10:9] Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam syurga yang penuh keni’matan.

[19:76] Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya

Orang-orang shaleh

[29:9] Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang saleh

[3:114] Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.

[7:196] Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.

[4:69] Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

[26:83] (Ibrahim berdo’a): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh

Beriman dan mengerjakan amal shaleh merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah ta'ala

[34:37] Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh), mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam syurga)

Balasan bagi orang beriman dan beramal saleh

[26:227] kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali

[2:82] Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.

[3:57] Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.

[4:122] Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah ?

[11:23] Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni syurga; mereka kekal di dalamnya

[19:60] kecuali orang yang bertauanbat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.

[19:96] Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang

[22:14] Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.

[22:50] Maka orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia

[29:7] Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.

[30:15] Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka mereka di dalam taman (surga) bergembira.

[31:8] Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka syurga-syurga yang penuh keni’matan,

[42:26] dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras.

[98:7] Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.

Allah ta’ala memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan/kerjakan

[16:97] Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan

[29:7] Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.

Janji Allah ta’ala bagi mereka yang beriman (mukmin) dan mengerjakan amal saleh, masuk surga tanpa hisab

“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab. (QS Al Mu’min [40]:40 )

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124 )

Amalan tasawuf dalam Islam adalah upaya untuk mendapatkan keridhoan Allah ta'ala atau mendapatkan kecintaan Allah ta'ala kepada hambaNya, salah satunya dengan mengamalkan sunnah Rasulullah yakni berlaku zuhud.

Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Semoga kami dengan mendalami tasawuf termasuk kaum yang dikabarkan oleh Allah ta'ala

…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Orang Orang Beriman

Firman Allah ta’ala yang artinya

Katakanlah:"Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". (QS Al Maa'idah [5]:68 )

“Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka..” (QS.Ali Imran [3] : 110)

Siapakah yang termasuk orang-orang yang beriman ?

Marilah kita pahami petunjuk dari Allah ta’ala dalam Al-Qur’an yang diperuntukan bagi seluruh manusia.

(Al Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” ( QS Ali Imran [3]: 138 )

Al Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini” ( QS Jaatsiyah [45]:20 )

( QS Al Mu'minun [23]:1-11 )
[23:1] Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman
[23:2] (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya
[23:3] dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna
[23:4] dan orang-orang yang menunaikan zakat
[23:5] dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
[23:6] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
[23:7] Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
[23:8] Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya
[23:9] dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya
[23:10] Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
[23:11] (ya'ni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya

…dia (malaikat Jibril) langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata

Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.
Lalu Rasulullah Saw menjawab, “,Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.

Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang iman.
Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya......” (HR Muslim)

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

Kesimpulannya bahwa orang-orang yang beriman adalah mereka yang memahami dan menjalankan rukun Islam dan rukun Iman dengan minimal melaksanakan seluruh kewajiban (hukum/perkara wajib) dan menjauhi seluruh larangan dan pengharaman (hukum/perkara haram).

Setelah melaksanakan perihal yang minimal tersebut, seorang mukmin dengan kesadaran sendiri dapat melakukan amal kebaikan (amal sholeh) untuk mencapai muslim yang terbaik, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan (muhsinin). Amal kebaikan (amal sholeh) dilaksanakan untuk memperoleh keridhoan Allah ta’ala  atau kecintaan Allah ta’ala kepada hambaNya.

Tahapannya Muslim (Muslimin) -->  Mukmin (Mukminin) --> Muhsin (Muhsinin)

( QS Lukman [31]:3-5 )

[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Hal ini berlaku terhadap seluruh manusia termasuk orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani.

Seluruh umat manusia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus oleh Allah ta’ala maka wajib bagi seluruh manusia mengakui kenabiannya, karena sesungguhnya berita kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wassalam telah disampaikan pada kitab-kitab Allah sebelumnya.

Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” ( QS Al Baqarah [2]:146 )

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".  ( QS Ali Imran [3]:81 )

Barang siapa yang berpaling sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS Ali Imran [3]: 82 )

Barangsiapa yang berpaling sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam diutus dengan kitab Al-Qur’an yang membenarkan kitab-kitab Allah sebelumnya maka mereka termasuk orang-orang yang fasik,  orang yang berpaling atau  tidak mengindahkan perintah Allah ta’ala.  Akhir bagi mereka adalah neraka jahanamlah sebagaimana firmanNya yang artinya:
Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya." ( QS  As Sajadah [32]:20 )

Buya Hamka menulis dalam Tafsir al-Azhar: ”Beriman kepada Allah niscaya menyebabkan iman pula kepada segala wahyu yang diturunkan Allah kepada para RasulNya; tidak membeda-bedakan diantara satu Rasul dengan Rasul yang lain, percaya kepada keempat kitab yang diturunkan.” (Ibid, hal. 213).

Justru disinilah persoalan bagi kaum Yahudi dan Kristen, karena mereka menolak kenabian Muhammad saw dan kebenaran al-Quran. Karena itu, dalam tafsirnya ini, Hamka juga mengutip hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Muslim:

Berkata Rasulullah s.a.w.: " Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”

Lalu, selanjutnya, Hamka menjelaskan makna hadits Rasul saw tersebut: ”Dengan hadits ini jelaslah bahwa kedatangan nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup sekalian Nabi (Khatimil Anbiyaa) membawa Al-Quran sebagai penutup sekalian Wahyu, bahwa kesatuan ummat manusia dengan kesatuan ajaran Allah digenap dan disempurnakan. Dan kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani, melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai.

Maka, orang yang mengaku beriman kepada Allah, pasti tidak menolak kedatangan Nabi dan Rasul penutup itu dan tidak pula menolak Wahyu yang dia bawa. Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak. Sebab iman mereka kepada Allah tidak sempurna, mereka menolak kebenaran seorang daripada Nabi Allah.”

Tafsir Ibnu Katsir tentang orang-orang yang dimurkai dan mereka yang sesat.

“Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”, yakni bukan jalan orang-orang yang dimurkai. Mereka adalah orang yang rusak kehendaknya; mereka mengetahui kebenaran, namun berpindah darinya. Dan “bukan jalannya orang-orang yang sesat”, yaitu mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan menggandrungi kesesatan. Mereka tidak mendapat petunjuk kepada kebenaran. Hal ini dikuatkan dengan laa guna menunjukkan bahwa di sana ada dua jalan yang rusak: jalan kaum Yahudi dan jalan kaum Nasrani.

Sesungguhnya jalan orang-orang yang beriman itu mencakup pengetahuan akan kebenaran dan pengalamannya, dan kaum Yahudi tidak memiliki amal, sedang kaum Nasrani tidak memiliki pengetahuan.

Oleh karena itu, kemurkaan bagi kaum Yahudi dan kesesatan bagi kaum Nasrani.

Karena orang yang mengetahui, tetapi tidak beramal, maka ia berhak mendapat kemurkaan, dan ini berbeda dengan orang yang tidak tahu. Kaum Nasrani menuju pada suatu perkara, yaitu mengikuti kebenaran, namun mereka tidak benar dalam melakukakannya sebab tidak sesuai dengan ketentuannya sehingga mereka pun sesat.

Demikian pula hadits yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang yang dimurkai", beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.Saya bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, "Kaum Nasrani."

Baik Yahudi maupun Nasrani adalah sesat dan dimurkai.

Sifat Yahudi yang paling spesifik ialah kemurkaan, sebagaimana Allah berfirman ihwal mereka, “yaitu orang yang dikutuki dan dimurkai Allah.” (al-Ma’idah: 60)

Sifat Nasrani yang sangat spesifik ialah kesesatan, sebagaimana Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (al-Ma’idah: 77)

Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada RasulullahShallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’

Jadi dapat kita pahami kekeliruan muslim yang membenarkan atau mengikuti paham pluralisme agama karena secara tidak disadari mereka membenarkan orang-orang yang menolak seorang Nabi Allah, mereka membenarkan orang-orang yang dimurkai Allah ta’ala dan mereka membenarkan orang-orang yang telah sesat.  Kita wajib tidak membenarkan apa yang mereka pahami namun kita tidak boleh membenci mereka dan pergauli dengan cara yang baik (toleransi). Selengkapnya baca tulisan pada:

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/04/23/2009/10/03/etik-dengan-non-muslim/

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (QS  Al Ankabut [29]:46 )

"Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah : "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita) ". (QS Asy Syuura [42]:15 )

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” ( QS. Al-Mumtahanah [60]:8 )

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Maa-idah [5]:8 )

Oleh karenanya jadilah termasuk orang-orang yang beriman dan berpegang teguh kepada agama Islam, maka Allah ta’ala akan memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus dan memasukkan kedalam surga.

Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS  An Nisaa’ [4]:175 )

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Sabtu, 23 Oktober 2010

Osama bin Laden

OSAMA BIN LADEN dan STRATEGI PERANG (JIHAD)

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” ( Al Maaidah: 82 ).

Apakah Osama bin Laden masih hidup ?

Di mana kah dia ?

Setelah serangan 11 September 2001  terjadi,  yang beredar adalah rekaman video yang dicitrakan dari Osama bin Laden tanpa diketahui di mana dia berada.

http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_11_September_2001
Persis sebelum pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2004, di dalam sebuah pernyataan video terekam, Osama bin Laden mengakui keterlibatan al-Qaeda pada penyerangan Amerika Serikat dan mengakui hubungan dia secara langsung pada serangan tersebut. Dia berkata bahwa serangan tersebut dilakukan karena "kami bebas...dan untuk mendapatkan kebebasan bagi negara kami. Seperti kalian meremehkan keamanan kita, kita meremehkan keamanan kalian."  ***)

***)  http://legacy.signonsandiego.com/news/nation/terror/20041029-1423-binladentape.html

Osama bin Laden adalah produk dari didikan ulama  yang melupakan tasawuf dalam Islam. Silahkan baca tulisan sebelumnya  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/22/melupakan-tasawuf/

Tasawuf dalam Islam adalah tentang  akhlakul karimah.

Pada perguruan tinggi Islam, kita dapati jurusan tentang tasawuf adalah tentang akhlak.

Sebagian ulama zaman modernisasi agama, banyak menghasilkan output muslim yang taat beribadah, mengerti tentang agama Islam atau menguasai ilmu dan melakukan amal sesuai ilmu yang dikuasai namun kenyataan tidak memperhatikan akhlakul karimah.

Contoh, seorang muslim yang melakukan perbuatan korupsi walaupun dia taat beribadah (menjalankan sholat 5 waktu, puasa, zakat bahkan telah menunaikan haji), pada hakikatnya mereka tidak berakhlakul karimah atau tidak seolah-olah melihat Allah ta’ala ketika mereka melakukan perbuatan korupsi atau minimal ketika mereka melakukan perbuatan korupsi, mereka tidak meyakini bahwa Allah ta’ala melihat perbuatan mereka.

Begitu pula dengan sosok Osama bin Laden, beliau berakhlak kurang baik karena dia melakukan penyerangan bukan di wilayah yang sedang terjadi perang. Beliau melakukan penyerangan di wilayah yang aman dan kemungkinannya besar sekali terjadi korban yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan peperangan. Hal ini terjadi pula di negeri kita dengan peristiwa bom bali, bom jw marriot dll, mereka melakukan jihad perang bukan di wilayah peperangan. Padahal Allah ta’ala telah  memberikan petunjuk bagaimana kita sebagai muslim berakhlak atau beretika menghadapi orang-orang kafir.

Artinya : "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas". (Al-Baqarah [2]:190 )

Artinya :  "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil".  (Al-Mumtahanah  [60]: 8 )

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al Maa-idah [5]:8 )

Akibat penyerangan 11 September menjadikan alasan  bagi  kaum yang paling keras permusuhannya terhadap kaum muslim, untuk melakukan penyerangan dan penjajahan terselubung terhadap Irak, Afghanistan dll dengan alasan menumpas terorisme.

Akibat penyerangan 11 September menjadikan alasan  bagi  densus  88 (rakyat Indonesia) untuk melakukan pembunuhan terhadap beberapa orang muslim  (rakyat Indonesia) tanpa memandang hak-hak mereka dengan alasan menumpas terorisme.

Dapat kita simpulkan terorisme adalah aktivitas perang atau aktivitas terror (menakut-nakuti)  bukan di wilayah peperangan.

Kita paham salah satu alasan yang dikemukakan oleh Osama bin Laden melakukan penyerangan 11 September, salah satunya adalah untuk kebebasan / kemerdekaan Palestina.

Di Palestina , kita dapati kejadian-kejadian menyedihkan,  dalam hitungan menit saja tubuh-tubuh mereka meledak, berpencarlah kaki-kaki mereka, tubuh-tubuh mereka melayang (mengambang) di air, darah berceceran dimana-mana, sampai-sampai jenazah-jenazah mereka tidak bisa dikuburkan (karena telah hancur). Mereka telah berjihad dengan harta, darah, jiwa dan putera-puteri mereka memerangi orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik yang telah  menggangu kedaulatan dan bahkan menjajah negeri mereka.

Presiden Persatuan Ulama Muslim Internasional, Syaikh Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa umat Islam harus menghidupkan kembali kewajiban jihad untuk membebaskan wilayah Palestina di bawah pendudukan Israel, menekankan bahwa dirinya tidak bisa membayangkan harus hidup dengan melihat sebagian dari tanah umat Muslim jatuh ke tangan orang-orang kafir.  Selengkapnya http://www.eramuslim.com/berita/dunia/syaikh-qardhawi-kewajiban-jihad-harus-dihidupkan-kembali.htm

Sedangkan kita ketahui salah satu syarat kewajiban jihad adalah persatuan/kesatuan kaum muslim dengan dipimpin oleh seorang imam (ulama/pemimpim).

Di sisi lain ulama Wahabi (Salafy yang lain)  sibuk “menerangkan” kesesatan ulama yang menyerukan jihad dan mereka menyebutnya memberikan nasehat. Mengapa para ulama tidak bertemu langsung ketika memberikan nasehat ?

Sumber: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=964 atau  http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=287
“Sebagaimana kami kemukakan di atas, maka pada kesempatan ini kami hanya akan membahas tentang penyelewengan-penyelewengan Yusuf Qordlowi dengan berbagai bukti yang kami miliki. Adapun kesesatan-kesesatan Yusuf bin Abdillah Qordlowi Al-Mishriy diantaranya adalah sbb:”

Kita tahu baik ulama aliran Syaikh Yusuf al Qardhawi dan ulama-ulama Wahabi sama-sama menginduk kepada pemahaman/pemikiran Syaikh Ibnu Taimiyah (pencetus kaum Salafy). Syaikh Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama pembaharu (mujaddid), ulama penggerak modernisasi agama, ulama pembuka (pendobrak) pintu ijtihad dengan metode pemahaman apa yang tertulis (secara harfiah atau tersurat). (Catatan. penulis, secara pribadi tidak sependapat dengan modernisasi agama, silahkan baca http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/10/modernisasi-agama/ )

Kalau ulama-ulama Wahabi menginduk kepada Syaikh Ibnu Taimiyah melalui syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sedangkan ulama-ulama aliran Syaikh Yusof Qordhowi menginduk kepada Syaikh Ibnu Taimiyah melalui Sayyid Qutb dan Imam Hasan Al-Banna

http://drmaza.com/home/?p=885
Hampir kesemua buku-buku Dr al-Qaradawi dipenuhi nukilan dari Syeikhul Islam Taimiyyah (meninggal 728H) dan muridnya al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (meninggal 751H). Ini kerana dua tokoh agung ini terkenal dengan usaha tajdid membangunkan semula umat dan membebaskan mereka dari daerah fanatik, jumud dan ‘malas berfikir’.

Keadaan tidak bersatunya para ulama itu serupa pula dengan perbedaan pemahaman antara ustadz  JUT dan ustadz ABB. Silahkan baca tulisan selengkapnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/10/pertengkaran-wahabisalafi/

Video terkait :
http://www.youtube.com/watch?v=m3h1jEQFNhI
http://www.youtube.com/watch?v=CNrEijcGSKQ
http://www.youtube.com/watch?v=9R-ZDU0ig-k

Bagaimana kita dapat menghadapi orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan dengan kaum muslim jika para ulama tidak bersatu.

Para ulama sebaiknya bersatu dan saling mengingatkan, mengoreksi, dan dengar pendapat (murooja’ah), berusaha saling memahami (mufaahamah), dan mengadakan dialog (muhaawaroh) dengan memegang satu prinsip, “sesungguhnya setiap jalan pemikiran ilmiah atau pemahaman dalam agama, cabang–cabang, dan rinciannya yang masuk dalam medan ijtihad harus mau dikoreksi untuk perbaikan, pergantian, dan perubahan. Pemiliknya tidak boleh meyakini cabang dan rincian tersebut sebagai suatu masalah pasti yang wajib diterima dan dihormati  (pasti benar) seperti dua dasar pokok, yaitu al Qur’an dan al Hadits.

Kita sangat mengharapkan para ulama bersatu dalam majelis ulama antar bangsa, menghindari saling berlepas diri karena pada hakikatnya kita bersatu dalam aqidah, bersatu dalam kalimat syahadat , “tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah ta’ala dan bahwa Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala”.

Kita terlalu lama dicekoki oleh paham nasionalisme (nation state) atau persatuan dalam Negara. Dengan paham tersebut kita antar muslim dapat saling memusuhi, saling menyerang bahkan mungkin saling membunuh hanya karena “batas” negara (hubud dunya).

Kita harus membangkitkan kembali semangat persaudaraan antar muslim. Kesadaran bahwa muslim itu adalah bersaudara dan ibarat satu tubuh.

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara….”  ( Qs. Al-Hujjarat [49]:10 )

Amir berkata, aku mendengar al-Nu’man bin Basyir berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Kamu melihat kaum mukminin dalam hal sayang menyayangi, cinta mencintai, dan kasih mengasihi, bagaikan satu tubuh. jika ada salah satu anggota tubuh yang mengeluh (sakit), maka anggota tubuh lainnya ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 5552, Muslim: 4685, dan Ahmad: 17648. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari).

Jadi jika muslim lainnya di negeri mereka diperangi oleh orang-orang kafir maka hakikatnya mereka telah memerangi kita karena mereka seolah-olah bagian dari tubuh kita. Kita wajib menghilangkan kesadaran “batas” Negara dikalahkan dengan kesadaran bahwa kita adalah muslim bersaudara.

Kaum muslim  wajib berjihad  membantu  saudara-saudara muslim kita yang sedang diperangi  oleh orang-orang kafir.

Bagaimanakah strategi kita berjihad di daerah yang tidak terjadi peperangan ?

Cara paling mudah adalah memboikot produk-produk mereka atau tidak bertransaksi perniagaan dengan mereka.   Strategi  peperangan (jihad) ini serupa yang diriwayatkan berikut.
Ketika menjelang peperangan Badar, pasukan Rasulullah datang dari arah Timur menuju lembah Badar sebagai lokasi medan pertempuran. Ketika perjalanan sampai pada sumber mata air yang pertama di dapati, Rasulullah memerintahkan kepada pasukan muslimin untuk berhenti dekat sumur Badar tersebut dan membuka perkemahan sebelum esok hari bertempur melawan kafir Quraisy.

Melihat posisi perkemahan yang kurang strategis, salah seorang sahabat, Al-Habab bin al-Munzir bertanya kepada Nabi, "wahai Rasulullah, apakah ini tempat yang Allah wahyukan padamu? Atau ini hanya merupakan strategi dalam perang yang tidak ada turun wahyu tentangnya?" Lalu Rasul menjawab, "Tidak ini merupakan strategi perang". Maka al-Habab memberikan pendapatnya sembari mengatakan, "saya melihatnya agar kita tidak turun pada tempat itu, tetapi baiknya kita turun pada sumur air yang paling dekat dengan pasukan Quraisy. Kita bisa minum dan mengambil air di sana. Kemudian kita timbun sumur-sumur yang lainnya dengan pasir sampai orang-orang kafir itu tidak bisa menggunakannya."

Usulan cerdas ini diterima Rasulullah dan pasukan muslimin. Mereka pun terus bergerak melanjutkan perjalanan sampai melampaui sumur Badar terakhir yang paling dekat dengan kemah pasukan kafir Quraisy. Ketika perang hendak berkecamuk, kaum kuffar mondar-mandir kewalahan mencari air. Usulan al-Habab yang selintas sederhana ini akhirnya menjadi salah satu sebab porak-porandanya mental dan kesiapan barisan musuh. Hingga kemenangan atas izin Allah berada di tangan pasukan muslimin.

Namun kalau strategi peperangan (jihad)  ini dilakukan secara individu, masih kurang menakutkan mereka.  Perlulah kesadaran para pemimpin negeri (penguasa) yang mayoritas penduduknya muslim untuk menghentikan segala perjanjian niaga dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik.

Perlu penghentian kerjasama  atau menyudahi perjanjian pengelolaan sumber daya alam yang telah Allah karuniakan kepada rakyat yang mayoritas muslim. Perlu penghentian pengangkatan mereka sebagai penasehat militer, ekonomi, kesehatan atau bidang lainnya.

Hai orang-orang yang beriman,  janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” ,  (Ali Imran, 118)

Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Ali Imran, 119)

Pembelaan klasik dari para penguasa (pemerintah) adalah  bahwa kita memerlukan keahlian mereka dan belum ditemukan keahlian serupa dikalangan sesama muslim dan kita perlu bantuan mereka dalam hal ekonomi, perdagangan, militer, kesehatan dan lain-lain.

Pembelaan seperti ini, secara tidak disadari menunjukkan tingkat ketaqwaan para penguasa (pemerintah) kepada Allah ta’ala,  tingkat ketaatan mereka kepada Allah ta’ala dan RasulNya. Mereka seolah-olah tidak mengimani bahwa Allah ta’ala yang menolong kita dan mencukupi segala kebutuhan kita.

Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu).”  (QS An Nisaa’ [4]: 45 )

Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3).

Pembelaan seperti itu merupakan pula wujud cinta dunia (hubud dunya) dan takut berjihad di jalan Allah.

Di wajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. ( QS. Al Baqarah [2]: 216 )

Tidakkah kamu perhatikan orang–orang yang dikatakan kepada mereka : “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba–tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: “Ya Rabb kami, mengapa engkau wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?” Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang–orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” ( QS. An Nisa : 77 )

Rasulullah bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud No. 3745)

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

 

Catatan:

http://www.hidayatullah.com/berita/internasional/11822-juru-bicara-al-qaidah-ternyata-keturunan-yahudi

Juru Bicara Al-Qaidah AGEN ZIONIST Keturunan Yahudi


Seorang kepercayaan Usamah bin Ladin, Yahya Gadhan, keturunan dari Yahudi yang sangat berperan dalam pendirian negara Israel

Hidayatullah.com–Salah satu stasiun televisi Israel melaporkan bahwa ternyata Yahya Gadhan, juru bicara resmi Al-Qaidah adalah seorang keturunan Yahudi.

Yahya Gadhan merupakan orang yang sangat dicari oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, setelah pemimpin Al Qaidah Usamah bin Ladin. Demikian dilansir Islammemo.cc (23/5).

Seperti dikutip stasiun televisi tersebut, nama asli Yahya Gadhan sebelum masuk Islam dan bergabung dengan kelompok Usamah bin Ladin adalah Adam Perl Man.

Laporan televisi tersebut juga menambahkan bahwa kakek Yahya Gadhan adalah seorang Yahudi, yang telah banyak menyumbangkan hartanya untuk kepentingan pendirian negara Israel.

Namun sekarang Yahya, cucunya tersebut, menjadi salah satu orang yang paling membenci Israel, Amerika, dan dunia Barat seluruhnya.

Yahya Gadhan sekarang adalah orang yang sangat kuat pendiriannya terhadap Islam, dan menjadi orang yang sangat dipercaya oleh Usamah bin Ladin hingga menjadi salah satu juru kunci kelompok Al-Qaidah. [sadz/ismm/www.hidayatullah.com]

 

Admin blog :

"Benarkah Yahya Gadhan berubah menjadi sangat kuat pendiriannya terhadap Islam ?."  ataukah ini hanya sebuah sandiwara belaka ?

Wallahu a'lam

Kamis, 21 Oktober 2010

Melupakan Tasawuf

Tahukah para pembaca, mengapa mereka dipanggil sebagai Salafush Sholeh?

Karena mereka sholeh, baik, berakhlak baik, mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya.

Mereka yakin bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Mereka adalah generasi terbaik yang berserah diri (Islam) kepada Allah.
Sehingga mereka mencapai tingkatan muslim yang terbaik yakni Ihsan (muhsin/muhsinin).  Ihsan (kata arab) yang maknanya baik, terbaik.

Kami berupaya mengikuti/mencontoh para Salafush sholeh.  Kami mendalami tasawuf dalam islam adalah mendalami tentang akhlakul karimah, mendalami upaya agar dapat "seolah-olah melihatNya", mendalami tentang ihsan yang bagian dari pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang disampaikan oleh malaikat Jibril

Tentang Islam (rukun Islam/fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin) , Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf)

Rasulullah saw berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.

Orang-orang kafir atau orang-orang yahudi, mereka tahu bahwa jalan menuju kesempurnaan (ihsan) seorang muslim adalah mendalami tentang ihsan(tasawuf), sehingga mereka berupaya mencitrakan buruk kepada tasawuf dalam Islam dan sebagian ulama termakan propaganda tersebut. Perhatikanlah bagaimana Orang-orang kafir atau orang-orang yahudi berupaya meruntuhkan akhlak kaum muslim dengan budaya mereka, pornografi, seks bebas, homoseksual, miras, narkoba dll.

Hal inilah yang terjadi di zaman yang dikatakan modernisasi agama dimana ulama-ulama melupakan tentang tasawuf dalam islam, sehingga dari ulama-ulama seperti itu lahirlah kaum muslim yang taat beribadah namun tidak berakhlakul karimah.

Untuk itulah kami menganjurkan kepada mereka yang berwenang dan sedang memasukkan aspek  "etika"  kedalam kurikulum pendikan memperhatikan tentang Ihsan atau Tasawuf dalam Islam. Silahkan baca tulisan selengkapnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/

Jadi kemerosotan akhlak yang kita temui di negeri kita,  bisa jadi karena para ulama telah melupakan tentang tasawuf dalam Islam  atau melupakan tentang ihsan, melupakan tentang akhlakul karimah

Akhlakul karimah adalah kesadaran atau perbuatan/perilaku secara sadar dan mengingat Allah.

Perhatikanlah mereka yang korupsi, mafia peradilan/hukum atau yudikatif yang tidak menegakkan keadilan, para penguasa (eksekutif) yang masih kurang peduli dengan nasib rakyatnya, para legislatif yang sebagian mereka masih belajar tentang etika dan belajar membedakan antara uang rakyat dengan uang pribadi, belajar bagaimana mereka mewakili rakyat dengan keadaan rakyat sesungguhnya dan lain lain,  tentu sebagian mereka taat menjalankan ibadah sholat, puasa, zakat bahkan ibadah haji namun pada hakikatnya mereka tidak berakhlakul karimah. Mereka tidak mengingat Allah ta'ala ketika hendak melakukan perbuatannya.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

Rabu, 20 Oktober 2010

Hikmah

[caption id="attachment_2061" align="alignright" width="155" caption="Perbedaan Pemahaman"][/caption]

Saudara-saudaraku kaum Wahabi/Salafy melakukan pemahaman Al-Qur'an dan hadits menggunakan metode pemahaman secara harfiah, tekstual, secara tersurat atau secara apa yang tertulis. Mereka melakukan metode pemahaman seperti ini dengan maksud menerima apa adanya nash-nash Al-quran dan hadits tanpa dicampuri akal.

Padahal dalam bahasa Arab ada yang dinamakan ilmu Balaghah. Al-Quran dan hadits mengandung banyak hikmah atau pemahaman yang dalam atau tersirat.

"Demikianlah (kisah 'Isa), Kami membacakannya kepada kamu sebagian dari bukti-bukti (kerasulannya) dan (membacakan) Al Qur'an yang penuh hikmah. (QS Ali Imran [3]: 58)

"Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)." (QS Al Baqarah [2]: 269)

"Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang mengandung hikmah. (QS Yunus [10]: 1)

"Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah)." (QS Al Isra [17]:39 )

"Demi Al Quraan yang penuh hikmah" (QS Yaasiin [36]: 2)

"Dan sesungguhnya Al Qur'an itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah" (QS Az Zukhruf [43]:4 )

Sehingga apa yang terjadi dengan saudara-saudaraku kaum Wahabi/Salafy dalam memahami Ar-Rahman ‘Alal ‘Arsy Istawa (QS Thaaha: [5]:1 ) yang mereka gunakan sebagai petunjuk bahwa Allah ta'ala bertempat di atas 'Arsy. dan 'Arsy adalah tempat yang paling tinggi. Sehingga bagi mereka, Allah ta'ala itu jauh tinggi di atas.

Sehingga dengan i'tiqad / keyakinan seperti itu akan menyulitkan mereka mengamalkan apa yang dianjurkan Rasulullah yakni "Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya"

Hal ini terjadi pula dikarenakan mereka anti dengan Tasawuf dalam Islam , dan mempermasalahkan istilah "Tasawuf" , juga selalu mempertanyakan apakah Tasawuf diamalkan Rasulullah dan para Salafush Sholeh.

Tasawuf itu cuma istilah dan penamaan, siapapun dapat menggantinya dengan nama atau istilah yang lain, pada hakekatnya adalah

Rasulullah saw berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.

Kami hanya mentaati dan mendalami perintah Rasulullah saw yakni “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya

Dengan berupaya dan mengharapkan pertolonganNya, kami menempuh jalan (tarekat/manhaj) agar kami dapat mengenal Nya (ma’rifatullah) dan dekat denganNya untuk dapat  setiap keadaan dan setiap melakukan perbuatan/ibadah  seolah-olah melihatNya.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan“.(QS Al Maaidah [5]:35 )

Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah: 85).

Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran " ( Al Baqarah: 186).

Allah swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )

Dengan keadaan seolah-olah melihatNya pada setiap melakukan perbuatan/ibadah maka semua kewajiban dapat dilakukan dengan segala kesenangan sebagai perwujudan mencintai Allah ta'ala dan rasa bersyukur.

Dari Anas Ra, Rasulullah saw berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”

Rasulullah saw sangat menikmati ibadah, bahkan beliau pernah berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. ‘Aisyah pernah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab: “afala akuuna ‘abadan syakuuraa”
“Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”

Jika merasa bahwa Allah ta'ala begitu jauh tinggi di atas maka (sebagai contoh) ketika mendirikan sholat, kemungkinan besar tidak dapat merasakan kedekatan atau perjumpaan dengan Allah atau Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin (sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin) sehingga ibadah sholat bagi mereka yang tidak merasakan kedekatan, bisa jadi sekedar rutinitas atau sekedar melepas kewajiban. Mereka  melakukan ibadah ketaatan / kewajiban karena terpaksa bukan karena mencintai Allah ta'ala.

"Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa" (QS Ar Ra'd [13]:15 )

Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS At Taubah [9]:24 )

…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Berlaku zuhudlah di dunia, pasti dicintai Allah SWT dan berlaku zuhudlah terhadap milik orang lain, pasti dicintai oleh sesama manusia.

Selengkapnya tentang Zuhud silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/30/zuhudlah-di-dunia/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/03/zuhud/

Wassalammualaikum Wr Wb

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Selasa, 19 Oktober 2010

Dimensi Jiwa

Dimensi Jiwa Manusia Dalam Perspektif Islam

Dalam panggung sejarah manusia, pernah hidup dua orang saudara kandung. Awalnya perjalanan hidup keduanya diwarnai keharmonisan dan saling pengertian. Kondisi seperti ini berubah ketika keduanya mencapai usia berkeluarga.

Sang ayah memerintahkan si kakak agar menikah dengan saudari kembar adiknya, sementara adiknya dijodohkan dengan saudari kembarnya. Pada titik ini nafsu buruk mulai mencuat dan berperan. Tidak seperti adiknya, si kakak menolak perintah, lantaran pilihan sang ayah tak cocok dengan harapannya. Kemudian sang ayah memerintahkan keduanya untuk berkorban. Si kakak yang petani menyiapkan hasil tanamannya yang jelek . sebaliknya adiknya yang peternak memilih yang terbaik diantara hewan peliharaanya. Tentu saja kurban yang baik secara kualitas dan kuantitaslah yang diterima Allah. Rasa iripun menguasai si kakak, lantas ia mengancam untuk membunuhnya adiknya. Lantaran rasa takutnya kepada Allah, adiknya tak mau meladeni dan membalas ancaman tersebut meskipun ia lebih perkasa. Akhirnya, tumpahlah darah manusia untuk pertama kalinya. Dibunuhlah sang adiknya, sekalipun setelah itu sang kakak merasakan penyesalan yang amat dalam.

Itulah episode Qobil dan Habil, putera manusia dan Nabi Pertama , Adam as. Qobil dan habil kini telah tiada dan tak mungkin hidup kembali. Akan tetapi dua karakter manusia yang berbeda dan paradoksal itu akan tetap eksis dan hidup pada diri anak cucu keturunan Adam as.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam dua dimensi jiwa. Ia memiliki karakter , potensi, orientasi dan kecenderungan yang sama untuk mlakukan hal-hal positif dan negatif. Inilah salah satu ciri spesifik manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya. Sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk alternatif, artinya ia bisa menjadi baik dan tinggi derajatnya di hadapan Allah. Sebaliknya, ia pun bisa menjadi jahat dan jatuh terperosok pada posisi yang rendah dan buruk. Ia bisa bagai hewan, bahkan lebih jelek lagi. Dalam kaitan ini, manusia dbierikan oleh Allah kekuatan ikhtiar atau usaha untuk bebas menggunakan potensi positif dan negatifnya. Namun ia tak boleh melupakan, bahwa semua pilihan dan tindakannya akan dipertanggung jawabkan di hadapan pengadilan tinggi Allah Yang Maha Adil, kelak di akhirat. Lantaran itu, bukanlah pada tempatnya manakala manusia menjadikan takdir sebagai alasan dan kambing hitam bila ia melakukan perbuatan negatif, dengan mengatakan bahwa segala sesuatunya telah ditakdirkan Allah SWT. Seakan manusia itu wayang yang tak biasa berperan kecuali bila diperankan sang dalang. Padahal Allah tak akan merubah keadaan suatu kaum kalau mereka tidak berusaha merubahnya.

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS Ar-Ra’d: 11)

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa seorang pencuri, yang diajukan kepada Umar bin Khattab ra., mengatakan bahwa dirinya melakukan pencurian karena sudah ditakdirkan Allah. Lalu dengan tangkas Umar bin Khattab menjawab bahwa bila tangannya dipotong , juga merupakan takdir Allah. Namun di pihak lain, Allah pun tak biasa dipersamakan dengan pembuat arloji. Setelah arloji itu dibikin dan dilempar ke pasar maka ia tak tahu lagi bagaimana nasib arloji tersebut, apakah masih berputar atau sudah mati. Allah senantiasa memonitor dan mengontrol makhluk-Nya.

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS Al-Baqarah: 255)

“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurusi (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur” (QS. 2:255).

Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang. Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka, seperti yang dialami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada Qobil. Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa Rasulullah SAW. Ia putera seorang konglomerat Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya. Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun, suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi pribadi lain. Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah SAW dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya. Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran. Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru dakwah kepada penduduk Madinah. Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah mengikuti kafilah dakwah Rasulullah SAW, jiwa negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhrinya ia mati terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu peperangan.

Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan. Disinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun lainnya. Semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.

Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya. Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah SWT. Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oeh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah SWT.

“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya”(QS. 91:7-10).

Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan Allah, lingkungan maupun dirinya. Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan.adalah benar bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah. Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya. Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.

Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan. Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia ebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.

“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah SAW.

Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.

Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allah SWT, Pencipta alam semesta dan segala isinya. Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad SAW:

“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.

Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya. Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.

“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”. (Al Hadist).

Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya. Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari. Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang –Nya.

“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.99:27-30)

Sumber: http://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=213

Tentang Roh

Nama dan Bentuk Roh


Di sini kita akan membincangkan tentang ruhul amri (hati) yakni perbahasan secara terhurai dan terperinci tentang perjalanan ruhul tamyiz atau ruhul amri atau qalbun (hati). Iaitu roh yang membezakan antara manusia, jin dan malaikat dengan haiwan.

Setelah dikaji dalam kitab-kitab Islam, didapati ada bermacam-macam nama atau istilah roh yang diberi oleh ulama. Bahkan dalam Al Quran kalau kita lihat ada bermacam-macam nama. Antara yang terkenal ialah roh. Adakalanya ia dipanggil dengan qalbun - hati, fuaadun - hati sanubari, latifatur-rabbaniah atau ruhul amri. Pada orang Melayu ia juga dipanggil hati, nyawa, hati nurani atau hati sanubari. Tetapi yang terkenalnya adalah roh saja.

Roh yang sedang kita perkatakan ini, kalau dia berperasaan seperti sedih, gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya, maka ia dipanggil dengan roh atau hati atau nyawa. Tetapi waktu ia berkehendak, berkemahuan atau merangsang sama ada sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia tidak dipanggil roh, hati atau nyawa lagi. Tetapi iadipanggil nafsu. Kalau di waktu ia berfikir, mengkaji, menilai,memerhati dan menyelidik, maka ia dipanggil akal.

Kalau begitu huraiannya, maka nafsu, roh atau akal ini hakikatnya adalah satu. Ia dipanggil akal di waktu ia berfikir, mengkaji, menilai, memerhati dan menyelidik. Walhal bila berperasaan, ia tidak dipanggil akal lagi, sebaliknya ia dipanggil roh atau hati atau nyawa. Tetapi waktu ia berkehendak, berkemahuan atau merangsang sama ada sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia dipanggil nafsu.

Kalau begitu walaupun ia mempunyai tiga nama atau tiga istilah tetapi hakikatnya adalah satu. Benda yang sama juga. Cuma peranannya saja yang tidak sama. Peranan yang tidak sama itulah yang menjadikan namanya tidak sama atau namanya berlainan.

Untuk mudah difahami begini kiasannya: manusia bila dia berbohong dinamakan pembohong. Bila dia menipu dinamakan penipu. Tetapi bila dia mencuri dinamakan pencuri. Bila dia memimpin dipanggil pemimpin. Dinamakan pembohong, penipu, pencuri dan pemimpin, hakikatnya adalah orang yang sama. Cuma namanya berbeza bila peranannya bertukar. Kenapa fizikal yang sama boleh timbul istilah yang berlainan? Ini kerana peranannya tidak sama. Apakah bila namanya berlainan, orangnya berlainan? Tidak! Orang yang sama juga.

Perlu diingat, bila kita membicarakan tentang roh ini, bukannya pula kita hendak mengkaji hakikat roh atau mengkaji ain ataupun mengkaji hakikat zat roh itu. Kerana zat atau hakikat roh itu tidak akan dapat dilihat oleh mata kepala. Kerana ia adalah jismullatif ( ), yakni benda halus yang bersifat maknawiah atau abstrak. Iaitu tidak dapat dilihat oleh mata kepala tetapi terasa akan adanya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

Maksudnya: “Mereka bertanya kepada engkau wahai Muhammad tentang roh. Hendaklah engkau katakan kepada mereka, ‘Roh itu adalah urusan daripada Tuhanku’...” (Al Israk: 85)

Daripada ayat ini dapatlah kita faham bahawa hakikat roh itu tidak akan dapat dijangkau oleh mata kepala. Zat roh itu tidak akan dapat difikirkan oleh akal. Kita tidak tahu bagaimana rupanya. Sebab tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Tetapi terasa oleh hati akan adanya. Maka oleh yang demikian, hakikat roh itu tidak dapat difikirkan oleh akal bagaimana rupanya, bagaimana bentuknya, berapa tebal atau panjangnya. Ia tidak dapat dibayangkan. Hanya Allah yang tahu dan tidak ada makhluk yang tahu.

Walaupun Allah berkata hakikat roh atau zat roh tidak dapat diketahui dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan mata kepala, namun ada juga ulama-ulama yang berijtihad tentangnya. Antaranya ialah Imam Malik. Beliau pernah berkata: “Roh manusia itu sama saja bentuknya dengan jasad lahirnya.”

Kalau diambil ijtihad Imam Malik itu, ertinya rupa roh kita ialah macam rupa bentuk badan lahir kita. Ini juga memberi erti bahawa walaupun Allah berkata roh itu adalah urusan-Nya, iaitu hakikat roh itu Allah saja yang tahu dan makhluk lain tidak mengetahuinya, tetapi tidak pula ada larangan dari Allah kalau ada sesiapa yang ingin berijtihad untuk mengkajinya.

Bagi sesetengah orang, mungkin Allah beri ilmu yang mendalam tentang hal ini sehingga dia dapat menjangkaunya. Oleh itu maksud ayat Al Quran yang menyatakan ‘roh itu adalah urusan Tuhanku’, Allah bermaksud kebanyakan manusia tidak dapat mengetahuinya tetapi tidak pula menolak kalau ada orang-orang yang tertentu secara khusus yang Allah beri ilmu tentang hakikat roh ini sehingga dapat menghuraikannya.

Mengikut pendapat saya boleh jadi juga Imam Malik memperkatakan hakikat roh ini bukan berdasarkan ijtihadnya saja tetapi juga berdasarkan kasyaf. Kalau berdasarkan ijtihad tidak mungkin akal beliau dapat menjangkaunya kerana roh itu jismullatif (tubuh halus). Ia adalah hati nurani yang bersifat maknawiah. Diibaratkan seperti cahaya. Bahkan cahaya, dapat juga dilihat tetapi cahaya yang ini tidak dapat dilihat atau ia jenis cahaya yang tersembunyi.

Bagaimana pula hendak diijtihadkan? Ijtihad itu dibuat pada benda-benda yang berketul atau benda yang dapat dilihat. Benda-benda yang boleh diraba dan dirasa. Tetapi roh, benda yang tidak boleh diraba, tidak boleh dirasa dan tidak boleh dilihat oleh mata kepala. Jadi bagaimana hendak diijtihadkan. Begitulah pandangan saya. Wallahu ‘alam.

Oleh itu atas dasar apakah roh seseorang itu seperti rupa bentuk lahirnya sebagaimana pendapat Imam Malik itu? Saya berpendapat Allah beri dia (Imam Malik) kasyaf. Allah perlihatkan roh itu. Roh yang jismullatif itu dibentukkan, dilihatkan macam rupa diri seseorang itu. Kalau begitu apa yang dimaksudkan oleh Al Quran bahawa tidak ada orang yang mengetahui hakikat roh itu melainkan Allah saja, itu adalah untuk orang awam. Manakala bagi orang yang khusus macam Imam Malik mungkin Allah beritahu padanya sebagai karamahnya.

Pendapat Imam Malik ini agak munasabah, boleh diterima dan agak rasional. Contohnya kita bermimpi melihat seseorang yang kita tidak pernah jumpa atau dengan orang yang pernah kita jumpa sama ada yang masih hidup mahupun sudah mati. Apa yang kita lihat dalam mimpi itu serupa dengan bentuk lahir orang itu. Sedangkan orang yang kita lihat dalam mimpi itu rohnya bukan orangnya. Mungkin waktu itu orang tersebut berada di rumah atau telah berada di alam Barzakh. Jadi di waktu itu dia adalah roh. Roh bertemu dengan roh. Tetapi mengapa dalam mimpi kita roh orang itu serupa dengan dirinya? Sedangkan bukan berjumpa jasadnya tetapi rohnya. Ini membuktikan roh orang itu macam jasadnya juga. Jadi benarlah apa yang diijtihadkan oleh Imam Malik itu. Begitu juga orang yang diyakazahkan melihat secara jaga orang yang sudah meninggal dunia. Contohnya melihat Rasulullah, melihat para ulama zaman dahulu atau sesiapa sahaja yang dia kenal. Dia melihat Rasulullah betul-betul macam Rasulullah. Atau dia melihat gurunya benar-benar macam gurunya, melihat ibu dan ayahnya serupa macam ibu dan ayahnya, tidak ada cacatnya. Sedangkan mereka sudah mati. Waktu itu yang dilihat adalah rohnya. Ini juga membuktikan benarnya pendapat Imam Malik yang mana roh seseorang itu serupa dengan diri lahirnya.

Contoh lain, Rasulullah SAW sewaktu diisrak dan dimikrajkan telah ditemukan dengan roh para rasul dan para nabi. Rasulullah SAW lihat mereka sepertimana melihat jasad-jasad mereka. Ini juga merupakan bukti yang rasional bahawa roh seseorang itu sama rupanya dengan bentuk jasadnya.

Boleh jadi juga ayat Al Quran di atas itu bermaksud bahawa ayat itu khusus ditujukan kepada orang-orang kafir. Yakni mereka ini memang tidak memahami tentang perjalanan roh dan fungsinya. Allah SWT memberitahu kepada kekasih-Nya, Rasulullah SAW bahawa mereka tidak akan faham tentang hal ini. Kekufuran mereka itulah yang menghijabnya sepertimana huraian saya yang panjang lebar tentang hal ini di dalam Bab Mata Hati. Dikeranakan itulah menjadi penyebab mereka langsung tidak memahaminya.

Allah SWT tidak meminta Rasulullah SAW bersusah payah untuk pergi memahamkan orang-orang kafir itu tentang hal roh ini. Lantaran itulah dikatakan roh itu urusan Allah. Ini bukan pula bermaksud umat Islam pun turut sama dilarang mengkaji tentang roh. Bahkan umat Islam mesti memahaminya sungguh-sungguh tentang perjalanan roh ini. Kalau tidak bagaimana pula hendak membaiki diri? Atau bagaimana hendak mengekalkan watak-watak kemanusiaannya dan bukan watak kebinatangannya.

Untuk ini kita wajib memahaminya serta menghayati watak-watak kemanusiaan itu. Hati manusia berbeza dengan hati haiwan. Kerana hati manusia boleh menerima perintah suruh dan perintah larangan. Kerana itulah ia disebut ruhul amri. Manakala hati haiwan tidak bersifat demikian, maka ia disebut ruhul hayah.

Sumber: http://ibnunajm.blogspot.com/2010/05/nama-dan-bentuk-roh_27.html

Ilmu Rohani


Ilmu rohaniah atau ilmu rohani adalah ilmu mengenai roh. Yakni ia mengkaji, memerhati, mengesan dan menilai tentang perjalanan roh. Perkataan rohaniah itu berasal daripada perkataan ‘ruhun’. Apakah yang dikatakan roh itu? Untuk mencari jawapannya marilah bersama-sama saya mengembara ke alam rohani ini, dengan izin Allah SWT. Moga-moga saudara-saudari juga turut sama dapat memahaminya melalui pengembaraan kerohanian ini. Untuk itu mari kita kenali apa itu roh.

Roh terbahagia kepada dua iaitu:

1. Ruhul hayah

2. Ruhul tamyiz



RUHUL HAYAH


Ruhul hayah terdapat pada semua makhluk termasuk manusia, jin, malaikat, binatang dan setiap benda yang bernyawa. Mengikut kajian ahli biologi atau para saintis, pokok-pokok kayu juga ada roh. Begitu juga pada semua jamadat seperti batu, kayu dan sebagainya.



RUHUL TAMYIZ


Ruhul tamyiz (ruhul amri) lebih dikenali sebagai akal. Ia tidak wujud pada binatang tetapi hanya wujud pada manusia, malaikat dan jin. Dengan adanya roh tamyiz inilah maka malaikat, jin dan manusia menjadi makhluk yang mukalaf. Yakni mereka dipertanggungjawabkan untuk membangunkan syariat. Mereka memikul beban untuk membangunkan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Sebaliknya roh tamyiz atau ruhul amri itu tidak ada pada binatang. Binatang hanya ada ruhul hayah dan nafsu tanpa akal. Ia hanya memiliki roh yang membolehkan seseorang atau binatang itu hidup dengan izin Allah. Jadi roh tamyiz ini tidak ada pada binatang dan seluruh jamadat. Oleh kerana itulah binatang dan jamadat itu tidak mukalaf dan tidak diwajibkan membangunkan syariat. Ia tidak terlibat melaksanakan perintah suruh dan menjauhi perintah larang dari Allah SWT.

Bagi para malaikat, manusia dan jin, mereka wajib melaksanakan perintah suruh dan menjauhi larangan dari Allah. Dengan lain perkataan, mereka dianggap makhluk yang mukalaf yang mesti bertanggungjawab kepada Allah kerana adanya ruhul tamyiz ini.

Roh tamyiz terkenal dengan sebutan akal. Hadis ada meriwayatkan:


Maksudnya: “Ketika Allah menciptakan akal, Dia memanggil akal itu dan akal itu pun datang. Dia menyuruh akal itu pergi maka pergilah ia. Kemudian Allah berfirman kepada akal: ‘Demi kebesaran dan kemuliaan-Ku, Aku tidak menciptakan sesuatu makhluk yang lebih Aku sayangi daripada kamu. Dan tidak Aku sempurnakan kamu melainkan pada orang yang Aku cintai. Kepadamulah Aku akan menyuruh, melarang dan menyeksa serta memberi pahala’.”

(Riwayat Abdullah bin Imam Ahmad)

Inilah yang membezakan antara manusia, jin dan malaikat dengan lain-lain makhluk yang hanya semata-mata ada ruhul hayah. Umpamanya binatang, ia tidak mukalaf. Sebab itu pada binatang walaupun ia berbuat baik, tidak diberi pahala. Ia berbuat jahat pun tidak berdosa. Maka bila mati mereka jadi tanah. Ke Syurga tidak, ke Neraka pun tidak.

Tetapi ketiga-tiga makhluk ini yakni manusia, jin dan malaikat, oleh kerana memiliki akal atau ruhul amri maka mereka akan dibalas sama ada ke Syurga dengan rahmat-Nya atau ke Neraka dengan keadilan-Nya. Kalau mereka berbuat baik akan diberi pahala. Sebaliknya bila berbuat jahat, mereka berdosa dan akan dicampakkan ke Neraka. Selama ini kita mungkin jarang mendengar tentang istilah roh tamyiz ini. Mungkin kita hanya biasa mendengar tentang istilah roh atau ruhul hayah sahaja.


Ruhul hayah yang ada pada binatang, manusia, malaikatdan jin, kiranya ia keluar dari badan, mereka akan mati. Kalau ia keluar dari malaikat, malaikat akan mati. Begitu juga kalau ia keluar dari jin, jin akan mati. Kalau ia keluar dari haiwan, haiwan itu juga akan mati. Kerana ruhul hayah ini menjadi penyebab pada manusia dan lain-lain makhluk itu hidup.

Manakala roh tamyiz pula, kalau ia keluar dari badan manusia, manusia tidak akan mati.  Sebaliknya ia akan pergi ke alam-alam lain. Mungkin dapat melihat alam malakut, dapat melihat alam roh, dapat melihat alam ghaib, dapat melihat alam kubur, dapat melihat alam Akhirat, dapat melihat alam jin, dapat melihat alam malaikat, alam yang seni-seni (alam mawaraa-ul maddah - ) iaitu dapat melihat alam di luar material (kebendaan) ini dengan izin Allah.

Ini yang berlaku apabila roh tamyiz keluar dari jasad sama ada keluar di waktu kita tidur atau secara jaga. Kiranya roh tamyiz itu keluar di waktu seseorang itu sedang tidur, dia akan dapat mimpi. Bila ia jumpa roh yang suci, seseorang itu akan dapat mimpi yang baik-baik. Tetapi apabila roh tamyiz itu bertemu dengan ruhul khabitah (roh yang jahat) ia akan berjumpa dengan jin yang jahat, syaitan, iblis atau benda-benda yang menakutkan.

Jika ruhul tamyiz ini keluar di waktu jaga, secara yakazah, dia akan dikasyafkan iaitu tabir yang bersifat maddiah dibuka atau diangkat. Ia akan dapat melihat alam malaikat, alam jin, alam kubur, dapat membaca hati orang dan Allah memperlihatkan hakikat manusia itu sendiri atau melihat benda-benda yang jauh darinya seperti manusia lain yang tidak semajlis dengannya. Mungkin manusia yang dilihatnya itu berada di jarak ratusan atau ribuan batu darinya. Apa yang ada pada manusia itu, bagaimana perangai manusia itu, begitulah yang akan dilihat oleh roh. Itulah kelebihan ruhul tamyiz dengan kuasa Allah. Tetapi ruhul hayah itu bila keluar dari badan mana-mana makhluk, maka makhluk itu akan mati.

Perlu dijelaskan lagi:

1. Malaikat ada roh, ada akal tetapi tidak ada nafsu. Dia mukalaf yang taat atau tabiat makhluknya taat, patuh dan tidak pernah ingkar. Seperti yang disebutkan di dalam Al

Quran:

Maksudnya: (Malaikat itu) tidak pernah menderhakaiAllah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka danselalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim:6)

2. Binatang ada roh, ada nafsu tetapi tidak ada akal dan tidak mukalaf. Tidak dipertanggungjawabkan syariat kepada mereka. Bila mati jadi tanah. Tidak ke Syurga dan tidak ke Neraka.

3. Manusia ada roh, ada nafsu dan ada akal. Ertinya, ada ketiga-tiga sekali. Kalau diasuh, dididik dan dibersihkan hatinya, ia akan berwatak malaikat yang berupa manusia. Bila tidak dididik dan diasuh atau tidak dibersihkan hatinya, dia akan jadi watak binatang atau watak syaitan yang berupa manusia.

Sumber : http://ibnunajm.blogspot.com/2010/05/ilmu-rohani.html