Rabu, 31 Maret 2010

Imam Mujtahid

SYARAT-SYARAT UNTUK MENJADI IMAM MUJTAHID

Syarat muthlak bagi orang yang hendak menjadi  Imam Mujtahid, ialah pandai, sekali lagi pandai. Tidak mungkin si Awam akan sanggup menjadi Imam Mujtahid. Kalau si Awam mencoba hendak menjadi Mujtahid maka akan rusaklah agama, akan hancurlah agama dan akan porak porandalah hukum-hukum agama Islam yang suci. Ini masuk akal.

Dapatkah orang yang tidak pernah belajar hukum akan menjadi hakim yang baik dalam Negara Hukum ?

Sudah pasti tidak.

Manakala ada orang yang bukan ahli hukum mencoba menjadi Hakim, maka hukum itu akan diinjak-injaknya dan ia akan menjalankan “Hukum Rimba”, yang berdasarkan Siapa kuat siapa di atas.

Di dalam hukum Islam juga begitu.

Setiap orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, yaitu orang-orang yang bertugas mengeluarkan hukum dari dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka orang itu harus memenuhi beberapa syarat.

Syarat-syarat itu adalah :



Syarat Pertama, mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya karena Al-Qur’an dan Hadits, diturunkan Tuhan dalam bahasa Arab yang fasih, yang mutunya tinggi dan pengertiannya luas dan dalam.

Tuhan berfirman :

Artinya : “Kami, kata Allah, menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu fikirkan dan teliti.” (Surat Yusuf : 2)

Tuhan berfirman pula :

Artinya : “Begitulah kami turunkan Al-Qur’an berisi hukum-hukum peraturan dalam bahasa Arab”. (Ar Ra’d : 37)

Orang yang tidak belajar bahasa Arab tidak mungkin akan dapat menggali hukum-hukum dalam Al-Qur’an. Ini logis.

Karena itu tidak mungkin ia menjadi Imam Mujtahid. Jadi ia harus mengikuti salah satu Imam, tidak boleh tidak.

Al-Qur’an itu dalam bahasa yang fasih dan bermutu tinggi, tidak sama dengan bahasa pasaran atau bahasa-bahasa daerah yang sekarang banyak terpakai di daerah-daerah Arab, atau katakanlah tidak sama dengan “bahasa Arab Tanah Abang”.

Orang Arab sendiri yang tidak mendalami bahasa Arab dan tidak belajar undang-undang bahasa Arab, tidak akan bisa menjadi Imam Mujtahid karena ia tidak akan pandai menggali isi Al-Qur’an sedalam-dalamnya.

Jadi harus dipelajari semahir-mahirnya, bukan saja arti bahasa, tetapi ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa, seumpama Nahwu, Saraf, Bayan, Badi’, Balagah, ‘Arudh dan Qawafi, karena dengan ilmu-ilmu itu baru bisa diketahui yang mana dalam ayat-ayat itu yang sifatnya umum, yang sifatnya khusus, yang suruhan, yang larangan, yang pertanyaan, yang nash (nyata), yang majaz (tersirat), yang muthlaq, yang muqayad, yang berita, yang hikayat dan lain lain sebagainya.

Syarat yang kedua bagi Imam Mujtahid ialah mahir dalam hukum-hukum Al-Qur’an, yakni diketahui lebih dahulu mana diantara ayat Al-Qur’an itu yang umum sifatnya, yang khusus, yang mujmal, yang mubayan, yang muthlaq, yang muqayad, yang zahir, yang nash, yang nasikh, yang mansukh, yang muhakkam, yang mutasyabih dan lain-lain sebagainya.

Untuk mengetahui hal ini semuanya calon Imam Mujtahid harus mengerti Ilmu Usul Fiqih, kalau tidak, tidaklah mungkin menjadi Imam Mujtahid, tetapi harus menjadi orang bertaqlid saja kepada salah seorang Imam Mujtahid.

Memang berat syarat-syarat ini, karena seperti yang kami katakan di atas, bahwa jabatan Imam Mujtahid itu adalah jabatan yang sangat tinggi, karena ia adalah sebagai pengganti Rasulullah dalam membentuk hukum agama.

Syarat yang ketiga bagi Imam Mujtahid ialah mengerti akan isi dan maksud Al-Qur’an keseluruhannya, ke 30 juznya. Pada ketika ia berjihad dalam sesuatu masalah semua isi dari Al-Qur’an terbayang di kepalanya, sehingga tidak menimbulkan hukum yang bertentangan dengan salah satu dari ayat-ayat Al-Qur’an itu.

Imam Syafi’i Rhl. dalam usia 9 tahun telah hafal keseluruhan ayat Al-Qur’an di luar kepala, begitu juga Imam Hanafi telah hafal seluruh ayat Al-Qur’an di luar kepala semasa beliau masih kecil.

Adalah tidak mungkin bagi seseorang Imam Mujtahid kalau ia hanya mengetahui 10, 20 atau 100 ayat saja, karena ayat-ayat Al-Qur’an sangkut-bersangkut antara satu dengna yang lainnya. Untuk menggambarkan kesulitannya, baiklah kami nukilkan perkataan Imam Ibnul Arabi al Maliki, pengarang kitab Tafsir “Ahkamul Qur’an”, bahwa gurunya mengatakan kepadanya, bahwa dalam surat Al Baqarah saja terdapat seribu perintah, seribu larangan, seribu hukum, seribu berita (Ahkamul Qur’an, jilid I, halaman 8).

Syarat yang ke-empat bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui “Asbabun-nuzul” bagi setiap ayat itu, yakni mengetahui sebab maka ayat-ayat itu diturunkan.

Seperti dimaklumi bahwa ayat-ayat suci Al-Qur’an bukan diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur selama 23 (dua puluh tiga) tahun.

Setiap ayat itu diturunkan karena ada perlunya, umpamanya untuk menjawab suatu pertanyaan dari rakyat, untuk mengalahkan sesuatu hujah musuh, untuk suatu kabar yang diperlukan dan lain-lain sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an itu.

Ini dinamai “Asbabun-nuzul”, yaitu sebab-sebabnya turun.

Setiap Imam Mujtahid harus mengetahui Asbabun-nuzul, kalau tidak maka ia akan tersalah dalam mengartikan ayat-ayat itu.

Syarat yang kelima bagi seseorang Imam Mujtahid ialah mengetahui hadits-hadits Nabi, sekurangnya apa yang telah termaktub dalam Kitab-kitab Hadits yang 6, yaitu : 1. Sahih Bukhari, 2. Sahih Muslim, 3. Sahih Tirmidzi, 4. Sunan Nisai, 5. Sunan Abi Daud dan ke 6. Sunan Ibnu Majah.

Dan sebaiknya mengerti juga hadits-hadits yang tersebut dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Mustadrak Hakim. Sahih Ibnu Habban, Sahih Tabhrani, Sunan Daruquthni dan lain-lain sebagainya.

Hal ini sangat perlu, karena hukum-hukum fiqih itu bersumber kepada Qur’an dan Hadits, bukan kepada Qur’an saja, atau kepada aqal saja, atau pendapat manusia saja. Karena itu setiap Imam Mujtahid harus mengerti Qur’an dan Hadits.

Syarat yang ke-enam bagi setiap Imam Mujtahid ialah berkesanggupan menyisihkan mana hadits-hadits yang sahih, mana yang maudhu’ (yang dibuat-buat oleh musuh-musuh Islam), mana hadits yang kuat, mana hadits yang lemah.

Hal ini dapat diketahui dengan mengetahui pula si “Rawi”, yakni keadaannya orang yang meriwayatkan hadits itu. Ini penting, kalau tidak, kita akan terjerumus kepada mengambil hadits-hadits yang palsu, yang bercacat, yang lemah lain-lain sebagainya.

Syarat ketujuh, mengerti dan tahu pula fatwa-fatwa Imam Mujtahid yang terdahulu dalam masalah-masalah yang dihadapi.

Ini sangat perlu agar setiap Imam Mujtahid tidak terjerumus kepada mengeluarkan hukum yang melawan ijma’, yaitu kesepakatan Imam-imam Mujtahid dalam suatu zaman. Oleh karena itu sekurangnya ia harus membaca dan memahami kitab-kitab karangan Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, yang semuanya bisa didapat waktu sekarang, karena sudah banyak dicetak pada percetakan-percetakan di Mesir.

Demikianlah diantaranya syarat-syarat yuridis bagi seorang Imam Mujtahid, di samping ada pula syarat-syarat yang lain, yaitu saleh yang bertaqwa kepada Tuhan, berbudi dan berakhlak yang tinggi, tidak sombong dan tidak takabur, tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang keji yang dilarang oleh agama Islam.

Nah, cobalah ukur diri kita masing-masing, apakah kita sudah mempunyai syarat yang cukup untuk menjadi Imam Mujtahid atau belum. Kalau sudah cukup, benar-benar cukup, silahkanlah menjadi Imam Mujtahid dan tampillah ke muka secara terus terang mengatakan : “Inilah ijtihad saya” !

Rakyat yang banyak ini, yang kebanyakannya sudah cerdas pula, tentu akan memberi angka pula, yakni apakah benar-benar orang ini sudah berhak menjadi Imam Mujtahid, ataukah masih “taqlid” kepada ulama-ulama lain.

Akan tetapi, kalau umpamanya belum memenuhi syarat di atas janganlah buru-buru, belajarlah dulu sampai matang. Ketika itu ikut sajalah salah seorang dari Imam Mujtahid yang terdahulu, umpamanya Imam Syafi’i Rhl., misalnya.

Mengikuti Imam Mujtahid itu pada hakikatnya adalah mengikut Qur’an dan Hadits dalam arti kata yang sebenarnya, kata Syeikh Yusuf Dajwi, seorang yang pernah menjadi guru besar Universitas Al Azhar di Mesir.

Masih adakah Imam Mujtahid ?

Satu soal yang ramai dibicarakan dalam dunia Islam pada masa terakhir ini ialah, persoalan tentang masih ada atau tidakkah Imam Mujtahid pada waktu sekarang atau pada waktu-waktu yang akan datang ?

Sebelum kita melanjutkan pembicaraan ini, lebih baik kita ketahui dahulu bahwa derajat Imam Mujtahid Muthlak (Mujtahid penuh) adalah derajat yang tinggi, sukar dicapai oleh sembarang orang, apalagi kalau orang itu tidak pernah masuk "Sekolah Tinggi Agama Islam" dalam arti yang sebenarnya.

Betapa tidak, pangkat itu adalah seolah-olah pangkat Nabi, pengganti Nabi, Khalifah Nabi dalam memberikan hokum-hukum sesuatu persoalan. Ia menggantikan Nabi dalam membina hukum-hukum syari’at Islam, yang mana fatwanya itu dapat menyelamatkan manusia dunia dan akhirat.

Alangkah mulia dan tingginya pangkat itu !!....

Pada zaman sahabat Nabi, tidak ada yang berani muncul menjadi Mujtahid kecuali hanya kira-kira 130 orang, sedang yang lain hanya Mubaligh, menyampaikan hadits-hadits dan menyampaikan hukum-hukum ijtihad orang lain, tidak berani berijtihad sendiri.

Pada zaman Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in pun, yaitu zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan agama, tidak banyak orang yang ke derajat Imam Mujtahid, paling banyak hanya 10 orang.

Barangkali tidak ada orang yang tidak kagum dengan ilmu Imam Ghazali, atau ilmu Imam Bukhari ahli hadits yang terkenal, atau ilmu Imam Nawawi, tetapi beliau-beliau ini belum berani menyatakan bahwa beliau sampai ke derajat Mujtahid Muthlak / penuh. Beliau-beliau ini masih mengatakan bahwa beliau Taqlid kepada Imam Syafi’I Rhl.

Banyak Ulama dari abad-abad kemudian yang tinggi ilmunya, yang dapat menghafal beribu-ribu hadits, yang dapat menghafal Al-Qur’an di luar kepala, yang tahu seluk-beluknya bahasa Arab, tetapi hampir tidak ada yang mau menjadi Imam Mujtahid  yang langsung berfatwa menurut ijtihad sendiri. Mereka lebih aman menjadi orang yang taqlid dibanding menjadi Imam Mujtahid, karena menjadi Imam Mujtahid besar sekali resikonya, besar sekali bahayanya, bisa menyesatkan ummat dan akhirnya bisa merusak agama.

Coba perhatikan, tidak sedikit orang yang telah mencoba menjadi Imam Mujtahid, tetapi fatwanya itu tidak laku, tidak diterima orang dan akhirnya hilang diterbangkan angin. Hal ini disebabkan karena sendi-sendi ijtihadnya tidak kuat.

Banyak orang yang berfatwa diatas mimbar, memfatwakan ini dan itu, kadang-kadang sampai mengecam Imam-imam Mujtahid. Kemudian fatwanya sebentar saja sudah hilang lenyap karena sendi-sendinya tidak kuat.

Demikian keadaannya.

Dalam hal ini sudah terdapat dua pendapat.

Imam Rafi’i seorang  Ulama pada abad VII H, berkata : ‘Orang-orang tampaknya sudah sepakat bahwa tidak ada lagi Imam Mujtahid pada waktu sekarang” (maksudnya pada abad VII H).

Imam Ghazali mengatakan dalam abad VI H: “Sesungguhnya  tidak berisi zaman ini dengan Mujtahid Muthlak”.

Berkata Imam Ibnu Daqiqil’id pada abad VII H: “Tidak ada zaman yang kosong dari Imam Mujtahid.”

Berkata Imam Abu Ishak Sirazi pada permulaan abad IV H: “Tidak boleh satu masa kosong dari Imam Mujtahid”.

Demikianlah pendapat-pendapat itu.

Perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa semua Imam tersebut adalah Ulama-ulama penganut Madzhab Syafi’i. Beliau-beliau itu hanya berselisih pendapat tentang “ada dengan tidak”, bukan antara “boleh dengan tidak”.

Yang mengatakan “tidak ada” itu bukan artinya ia melarang, tetapi hanya mengatakan bahwa tidak ada Imam Mujtahid pada abadnya itu, atau tidak ada lagi orang yang dapat mencapai derajat Imam Mujtahid Muthlaq.

Beliau-beliau itu bukan mengatakan terlarang untuk menjadi Imam Mujtahid Muthlaq yang baru, atau haram menjadi Imam Mujtahid Muthlaq baru, bukan begitu maksudnya.

Beliau-beliau itu bersatu hati bahwa syarat untuk menjadi Mujtahid Muthlaq sangat berat, sangat sulit, sehingga ada yang mengatakan tak sanggup orang ketika itu, apalagi zaman sekarang.

Tetapi andaikata ada yang sanggup, yang betul-betul sanggup, silahkanlah dan tidak perlu diomongkan, bekerjalah dan orang akan menilai hasil karyanya. Yang sangat dikhawatirkan adalah bisikan iblis yang dengan sengaja membisikkan ke telinga orang-orang agar is meloncat ke muka, menggali hokum, memberi fatwa, padahal belum pada tempatnya, sehingga menjadi Imam Mujtahid gadungan yang merusak binasakan agama.

Umpamanya saja orang yang belum insinyur dan bahkan belum sekolah tukang, tetapi ia bekerja berkeras hati hendak membuat gedung pencakar langit. Dibuatnya juga sebentar akan runtuh.

Seorang yang belum belajar menyetir mobil, tetapi berkeras hati membawa dan melarikan mobil. Akhirnya masuk jurang, bukan  ?

Yang lebih baik kalau belum pandai menyetir mobil duduk sajalah di belakang, serahkanlah setir kepada yang ahlinya supaya selamat. Kita selamat, penumpang selamat dan mobilnya pun selamat.

Apakah taqlid tidak menghambat kemajuan

Tidak, bukan itu maksudnya. Tapi demi keselamatan Agama, demi keagungan Agama Tuhan, serahkanlah itu kepada yang ahlinya.

Adalah lebih baik dan aman bagi orang-orang yang belum sampai kepada derajat ijtihad, agar ia berfatwa menurut ajaran Imamnya yag ahli.

Kalau bertabligh boleh mengemukakan hadits dan Al Qur’an, tetapi tafsirnya haruslah menurut yang difatwakan oleh Imam-imam Tafsir dan kalau mengadili sesuatu soal dalam fiqih, boleh mengeluarkan hadits dan Al Qur’an, tetapi tafsirnya haruslah mengikuti Imamnya. Jangan bermain di luar garis. Inilah yang paling aman.

Sumber: Sejarah & Keagungan Madzhab Syafi’i, K.H. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah Baru.

NU Pragmatis

Apakah sikap pragmatis telah menyusupi NU

Harapan yang saya tuangkan dalam tulisan sebelumnya http://eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/mengapa-kita-menyebut-nama-penguasa.htm , agar pemilihan ketua umum PB NU, organisasi massa muslim terbesar di Indonesia, tidak dilakukan dengan suara terbanyak, tidak terwujud.

Dalam sistem pemilihan ketua/pemimpin secara Islami, sebaiknya pemilihan ketua / pemimpin dilakukan oleh Ahlul Halli wal Aqdi, sehingga memungkinkan terpilihnya atau menetapkan pemimpin sesuai syar’i yakni pemimpin yang tidak mencalonkan dirinya sendiri namun diminta untuk memimpin dikarenakan kompetensi dan rekam jejak pendapat, pemahaman dan perilaku selama ini.

Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu yang artinya
“Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberinya karena engkau mencarinya engkau akan dibiarkan mengurusi sendiri (tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala bantu). Tetapi jika engkau diberinya tanpa mencarinya maka engkau akan dibantu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dalam mengurusinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam Shahih Al-Bukhari juga, dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada dua orang mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, jadikan kami sebagai pemimpin.” Maka beliau menjawab yang artinya
“Sesungguhnya kami tidak akan memberikan kepemimpinan kami ini kepada seseorang yang memintanya atau berambisi terhadapnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dengan sistem pemilihan dengan suara terbanyak maka memungkinkan terpilih pemimpin yang “berkeinginan”/”ambisi” untuk memimpin, yang popular/idola/terkenal atau yang didukung penguasa. Sebagaimana berita-berita sebelum proses pemilihan terjadi, misal,

KH Said Aqil Siradj, Sabtu lalu, terang-terangan mendapat ”dukungan” dari Presiden Yudhoyono (Kompas, 21/3)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/22/03100886/para.calon.ketua.umum.saling.klaim.dukungan

Atau

"Kedatangan Kiai Said dan Gus Sholah ke SBY jelas punya agenda politik, khususnya untuk melicinkan pencalonan mereka di muktamar NU," kata Umar di Jakarta, Minggu.
Menurutnya, hal itu tidak sehat bagi pembelajaran politik warga NU karena secara psikologi politik NU akan menjadi subordinat kekuasaan.

http://www.antaranews.com/berita/1269213947/said-aqil-gus-sholah-dinilai-punya-agenda-politik-temui-sby

Berbahaya jika kepentingan atau sikap pragmatis menyusupi organisasi massa muslim yang seharusnya bersikap idealis, berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits. Jika kepentingan lebih diutamakan maka memungkinkan terjadi upaya-upaya "pembenaran", bukan lagi upaya-upaya penegakan kebenaran. Upaya “pembenaran” terhadap tindakan, kegiatan, aktivitas dengan memilih-milih ayat Al-Qur’an dan Hadits yang sesuai dengan maksud atau kepentingan. Sebagaimana peringatan yang disampaikan Saidina Ali Rda, “kalimatu haqin urida bihil batil”, perkataan yang benar dengan maksud / tujuan yang salah.

Kemungkinan adanya kepentingan dalam sebuah kepemimpinan, salah satunya diketahui dari rekam jejak pemahaman, pendapat atau tulisan sang pemimpin (tanfidziyah PB NU terpilih). Salah satu rekam jejaknya telah diuraikan oleh Hartono Ahmad Jaiz dalam buku berjudul “Mengungkapkan kebatilan KYAI LIBERAL Cs, penerbit Pustaka Al-Kautsar atau bisa temukan dalam tulisan disini, http://www.voa-islam.net/news/citizens-jurnalism/2010/03/30/4558/said-aqiel-siradj-menangjil-girangada-apa/

Kemungkinan adanya kepentingan dalam sebuah kepemimpinan, dapat kita waspadai dari pendapat orang-orang yang memusuhi kita kaum Ahlussunnah Wal Jamaah seperti Ulil Abshar Abdalla.

Menurut tokoh muda NU ini, terpilihnya Said Agil merupakan kemenangan terbaik sepanjang pergantian kepemimpinan NU yang diikutinya.
"Ini saya katakan sebagai the best result. The best karena kemenangan ini adalah kemenangan melawan Hasyim Muzadi," kata Ulil, kandidat calon ketua umum PBNU periode 2010-2015 yang tidak lolos putaran kedua di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sabtu 27 Maret 2010.
Menurut Ulil, Said Agil adalah sosok yang dianggapnya paling tepat memimpin NU. Sebab Said bisa menjadi panutan, alim, serta sosok yang bisa menyesuaikan dengan tantangan zaman yang dihadapi NU saat ini.
http://politik.vivanews.com/news/read/139685-ulil_abshar__said_agil_paling_pas_pimpin_pbnu

Silahkan pahami dua pernyataan Ulil , “kemenangan Agil adalah kemenangan melawan Hasyim Muzadi” dan “sosok yang bisa menyesuaikan dengan tantangan zaman”. Sebagaimana lazimnya pendapat kaum liberal bahwa agama “menyesuaikan” dengan zaman, yakni sesuai dengan kepentingan mereka di dunia.

Padahal Allah telah memperingatkan dalam firmanNya yang artinya,
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat” (Asy Syura:20).

Dalam organisasi NU, harapan terakhir adalah pada kepemimpinan Rais Aam. Dalam proses pemilihan Rais Aam masih memperhatikan inaqam (level / derajat), yang semoga sesuai dengan derajat kemuliaan muslim di sisi Allah yang berdasarkan ketaqwaan, teguh memegang Al-Qur’an dan Hadits.

Ya Allah berikanlah kekuatan kepada para pemimpin agar dapat mentaatiMu dan Rasulullah serta berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits dalam kepemimpinan mereka.

Senin, 29 Maret 2010

Manisnya Iman

Iman terbagi menjadi dua: iman hakiki dan iman formalitas.

Al Bukhari meriwayatkan hadits marfu yang berbunyi, “Sesungguhnya telah merasakan manisnya iman orang ridha Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasulnya.”

Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah saw, bersabda,

“Tiga hal yang jika salah seorang dari kalian berada didalamnya, ia pasti merasakan manisnya iman:

  • Allah dan RasulNya lebih ia cintai daripada selain  keduanya

  • Mencintai seorang hanya karena Allah

  • Dipanggang di api yang berkobar lebih ia sukai ketimbang menyekutukan Allah”


Dalam hadist lain Rasulullah saw bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai daripada mukmin yang lemah. Masing-masing keduanya memiliki kebaikan.”

Selengkapnya, “Berusahalah meraih sesuatu yang bermanfaat untukmu. Minta tolonglah kepada Allah dan jangan merasa lemah.

Apabila kau dihadapkan pada sesuatu, jangan berkata, “seandainya aku melakukan ini dan itu”.

Tetapi ucapkan, “Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi”.

Sebab, kata “seandainya” membuka godaan setan. (HR Muslim)

Allah Swt, berfirman, “Mereka kaum yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni'mat) yang mulia” (Al Anfaal: 4)

Orang beriman terbagi kedalam dua golongan.

Orang yang beriman kepada Allah yang berdasarkan kepercayaan dan ketundukan serta

Orang yang beriman kepada Allah berdasarkan penyaksian.

Iman jenis kedualah yang kadang-kadang disebut iman dan kadang-kadang disebut yakin. Sebab, iman itulah yang cahayanya terpendar, pengaruhnya tampak jelas, tiangnya kokoh terpancang dalam hati dan jiwa pemiliknya bahagia menyaksikanNya. Kelompok kedua inilah yang mendapatkan wilayah yang murni sementara yang pertama mendapatkan wilayah lahiriah.

Sungguh berbeda iman orang yang mengalahkan hawa nafsu dan iman orang yang dikalahkan hawa nafsunya.

Begitu pula, iman seorang mukmin yang dihadapkan berbagai tantangan dan ia melawannya dengan imanya,  tidak sama dengan iman seorang mukmin yang hatinya telah dibersihkan dari berbagai tantangan sehingga ia tidak mempedulikan semua tantangan itu karena telah “menyaksikan” Allah.

Karena itulah para salik menuju Allah pun terbagi dua kelompok, yaitu kelompok yang tersusupi lintasan dosa sehingga ia berjuang melawan nafsunya sampai bisa melenyapkannya dan kelompok yang sama sekali tidak tersentuh lintasan dosa.

Tentu saja, golongan kedua lebih mulia. Ia lebih dekat pada ahwal para makrifat. Sedangkan golongan pertama adalah ahli mujahadah.

Hati menjadi sempurna apabila seluruh ruangnya telah diisi cahaya.Jika keadaan itu telah tercapai, tak ada lagi tempat untuk lintasan dosa.

Sumber: Ibnu Athoillah, Lathaif al Minan, Rahasia Yang Maha Indah, Penerbit Serambi.

Seolah melihat

Nabi saw. Bersabda, “ Aku melihat surga dan aku bisa mengambil setangkai buah darinya. Jika aku mengambilnya, niscaya kalian bisa memakannya sepanjang keberadaan dunia.”

Menurut Syekh Abu al Abbas, hadis di atas menyatakan bahwa para nabi melihat hakikat segala sesuatu, sementara para wali melihat yang serupa dengannya. Karena itu, Nabi mengatakan, “Aku melihat surga,” bukan, “Seolah-olah aku melihat surga.” Dalam hadis lain diriwayatkan bahwa ketika Nabi saw. bertanya kepada Haritsah, “Bagaimana kabarmu pagi ini wahai Haritsah?” Ia menjawab, “Pagi ini aku benar-benar beriman.”

Mendengar jawabannya, Nabi berujar, “Setiap kebenaran ada hakikatnya. Apa hakikat imanmu?”

Ia menjawab, “Aku berpaling dari dunia sehingga bagiku sama saja antara emas atau tanah. Seolah-olah aku melihat penduduk surga tengah merasakan nikmat surga. Dan seolah-olah aku melihat penduduk neraka sedang merasakan siksa. Juga seolah-olah aku melihat Arasy dengan jelas. Karena itu, aku bangun malam (untuk beribadah) dan berpuasa di siang hari.”

Mendengar jawabannya, Nabi bersabda, “Wahai Haritsah, kau telah makrifat. Tetaplah dalam keadaanmu!”

Kemudian Nabi melanjutkan, “Ia hamba yang Allah terangi hatinya dengan cahaya iman.”4

Dalam hadits itu, Haritsah berkata, “ Seolah-olah aku melihat.” Ia tidak berkata, “Aku telah melihat,” karena maqam itu hanya untuk para nabi. Demikian pula ucapan Hanzhalah al-Asadi kepada Rasulullah saw., “Engkau telah mengingatkan kami kepada surga dan neraka sehingga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala sendiri.”5 Ia tidak mengatakan, “Sehingga kami melihatnya dengan mata kepala sendiri.”

Pada hadits pertama, yang menyebutkan dialog Nabi saw. dengan Haritsah, ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik:

Pertama, Haritsah tidak mengatakan bahwa pagi itu ia kaya, sehat, atau menyebutkan keadaan fisik dan urusan duniawi lainnya. Sebab, Haritsah menyadari bahwa Rasulullah saw. tidak akan menanyakan urusan dunia. Ia paham bahwa Rasulullah menanyakan hubungannya dengan Allah. Karena itu, ia menjawab, “Pagi ini aku benar-benar beriman.” Sedangkan para pencinta dunia, jika ditanya dengan pertanyaan serupa, akan menjawabnya dengan menyebutkan urusan dunia mereka. Mungkin mereka akan menyebutkan urusan dunia mereka. Mungkin mereka akan menyebutkan kerisauan menghadapi takdir Allah. Orang yang bertanya kepada orang semacam itu berarti sama dengannya karena , berkat pertanyaannya, ia menjadi sebab orang itu mengungkapkan urusan dunianya.

Syekh Abu al-Abbas r.a. pernah bertanya kepada seorang yang baru pulang dari haji, “Bagaimana hajimu?”

Ia menjawab, “Banyak kemudahan dan banyak air. Harga barang anu sekian, barang anu sekian.”

Mendengar jawabannya, Syekh berpaling dan berkata, “Kalian bertanya kepada mereka tentang haji mereka. Mereka tidak mendapatkan ilmu, cahaya, dan penyingkapan. Mereka menjawab dengan menyebutkan murahnya harga-harga dan banyaknya air sehingga seakan-akan hanya itu yang ditanyakan kepada mereka.”

Kedua, seorang guru atau syekh harus melihat ahwal para murid dan seorang murid boleh memberitahukan ahwalnya kepada sang guru meskipun hal itu akan menelanjangi dirinya. Sebab, guru adalah dokter, sedangkan ahwal murid adalah aurat yang boleh diperlihatkan kepada dokter agar ia bisa mengobatinya.

Ketiga, lihatlah kekuatan cahaya Haritsah dalam ucapannya, “Pagi ini aku benar-benar beriman.” Seandainya ia tidak diberi cahaya bashirah (penglihatan batin) yang mengantarkannya kepada keyakinan dan sunah, niscaya ia tidak akan memberitahukan keadaannya, serta tidak akan memperlihatkan dan menetapkan keadaan imannya di depan orang yang paling berhak untuk menetapkan. Namun, ia mengatakannya karena tahu bahwa ia wajib mematuhi Rasulullah saw. yang bertanya kepadanya, dan ia tidak boleh menyebunyikannya. Ia memperlihatkan karunia yang Allah berikan kepadanya berkat mengikuti Rasulullah saw. agar Rasul senang. Rasulullah bersyukur kepada Allah dan meminta Haritsah untuk istikamah dalam keadaan itu.

Sumber: Ibnu Athoillah, Lathaif al Minan, Rahasia Yang Maha Indah, Penerbit Serambi

Taqlid dan Ittiba'

Marilah kita perhatikan beberapa dalil yang biasa dipergunakan sebagian muslim kita untuk mencela sikap taqlid yang dilakukan kaum ahlussunah wal jama'ah

Apabila dikatakan kepada mereka:  "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ?". (Al Maidah : 104)

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (Al Baqarah : 170)

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan". (At Taubah : 31)

Dalam mengartikan ayat ini dikemukakan bahwa pendeta-pendeta itu bukan disembah seperti Tuhan, tetapi dituruti saja perkataan yang mengharamkan yang halal dan  menghalalkan yang haram. Itu berarti sudah menjadikannya menjadi Tuhan.

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa dengan dalil tsb untuk melarang taqlid kepada Imam Mujtahid, menganggap bahwa:

  1. Mengikuti Imam Mujtahid itu sama dengan orang kafir yang mengikuti bapaknya yang bodoh-bodoh dalam menyembah berhala.

  2. Imam Mujtahid itu orang bodoh-bodoh yang tidak dapat petunjutk sedikit pun dari Tuhan.

  3. Imam Mujtahid itu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

  4. Pengikut Imam Mujtahid adalah orang-orang yang menjadikan gurunya menjadi Tuhan.


La haula wala quwwata illa billah ! ini betul-betul terlalu

Ayat  dalam (Surat Al Maidah :  104) dengan Al Baqarah  : 107) itu adalah ayat-ayat yang diturunkan untuk menyatakan hal ihwal orang kafir yang ikut-ikutan saja kepada bapak mereka dalam menyembah berhala.

Ini diterangkan Tuhan dalam ayat surat (At Taubah : 31), dimana dinyatakan bahwa mereka mengambil pendeta-pendetanya dan padri-padrinya dan Isa bin Maryam menjadi Tuhan selain Allah.

Ayat ini tidak tepat dipakai untuk orang Islam yang mengikut Imam Mujtahid, karena:

  1. Imam Mujtahid bukan mendakwakan dirinya Tuhan.

  2. Imam-imam Mujtahid bukanlah orang-orang yang tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula orang-orang yang tidak menurut jalan kebenaran.

  3. Imam Mujtahid bukanlah orang-orang yang tidak berakal dengan tidak dapat menimbang buruk dan baik.

  4. Pengikut Imam Mujtahid bukanlah orang-orang yang menyembah guru atau menyembah Imam, tetapi hanya menghormati Imam dan mengikutinya.


Jadi tegasnya ayat-ayat ini tdak boleh dan tidak tepat dipakai untuk dijadikan dalil pelarang ummat Islam mengikut  Madzhab-madzhab.

Ada sebagian muslim “membedakan” antara taqlid (mengikuti) dan ittiba’ (mengikuti).

Mereka berkata, bahwa arti taqlid adalah mengikuti orang lain tanpa diketahui dalil-dalilnya dan ittiba’ mengikuti orang lain dengan mengetahui dalil-dalilnya.

Kalau begitu perlu kita bertanya:

  1. Dari mana diambilnya arti taqlid dan ittiba’ yang begitu ?

  2. Apakah ada Allah dan Rasul mengatakan begitu ?

  3. Apakah kedua-duanya tidak sama-sama berarti mengikut (taqlid kepada Mujtahid)? Kalau sama, kenapa dibeda-bedakan hukumnya ?


Dilihat dalam kamus, “tabi’a” artinya mengikut / berjalan di belakang (lihat Munjid hal 56 – Al Mu’tamad hal 58 – Qamus al Munjib juz 3 halaman 8, Adz Dzhabi hal 46).

Tidak ada sebuah kamus pun yang mengartikan arti “ittiba” itu mengikut orang lain dengan mengetahui dalilnya.

Dan perkataan ittiba’ di dalam Al-Qur’an dipakai untuk segala macam, ada yang dipakai untuk hal yang baik, ada untuk hal yang buruk.

Untuk hal yang baik :

a. Ikutlah Agama Ibrahim   (An Nisa : 125)

b. Ikutlah apa yang diwahyukan kepadamu  (Al Ahzab : 2)

c. Ikutlah saya, Tuhan akan mengasihimu  (Imran : 31)

d. Ikutlah jalan orang yang kembali kepada Ku   (Luqman : 15)

e. dan banyak lagi yang lain

Untuk hal yang buruk :

a. Maka mengikut akan dia Syetan   (Al A’raf : 174)

b. Maka mengikut akan mereka Fir’aun  (Thaha : 78).

c. Jangan diikuti jalan orang berbuat binasa  (Al A’raf: 142)

d. Jangan diikuti hawa nafsu   (Shad : 26)

c. dan banyak lagi yang lain.

Kesimpulannya, kalau kita lihat dan perhatikan kitab kamus atau kita lihat didalam Al-Qur’an, tidak dijumpai arti ittiba' mengikut orang dengan mengetahui dalilnya,  sebagai yang dibuat-buat.

Demikianlah yang diuraikan KH. Siradjuddin Abbas dalam bukunya, "Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi'i" yang diterbitkan  Pustaka Tarbiyah Baru.

Ciri-ciri sebagian muslim yang berprinsip tsb  sbb:

  • Menyerukan “Ijtihad” dan pembaruan. Memerangi “Taqlid” dan kebekuan

  • Menekankan sikap “ittiba’” (mengikuti) dalam masalah agama. dan menanamkan semangat “ikhtira’” (kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.


Mereka telah "menggunakan" firman Allah sebagai dalil dengan maksud/tujuan tertentu.

Dibeberapa tulisan mereka menyatakan seperti ini

Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mencela taqlid dalam Kitab-Nya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah” [AtTaubah :31]

http://www.almanhaj.or.id/content/2194/slash/0

Mereka “menggunakan” ayat-ayat tersebut dengan mengatakan bahwa Allah telah mencela taqlid ?

Hal ini mengingatkan penulis pada apa yang disampaikan Saidina Ali Rda, “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan maksud/tujuan yang salah).

Wallahu a'lam

Rabu, 24 Maret 2010

Allah itu dekat

Sudahkah membaca tulisan sebelumnya tentang Menjadi Muslim Terbaik ?.

Klo belum, silahkan baca dahulu

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/01/28/menjadi-muslim-terbaik/.

Muslim yang terbaik adalah yang dapat mencapai tingkatan Ihsan (muhsin).

Seorang yang sampai pada tingkatan seolah-olah melihat Allah atau paling tidak seorang yang yakin bahwa segala perbuatannya dilihat Allah maka tentu akan terdorong melakukan perintahNya dan menjauhi laranganNya

Inilah sesungguhnya bentuk ketaqwaan kepada Allah yang menentukan tingkat/ukuran kemuliaan seorang muslim dihadapan Allah.

Sesuai firman Allah, “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa” (QS. Al-Hujurat: 13).



Tingkatan utama yakni  “Seolah-olah melihat Allah” bersifat aktif artinya dengan karunia Allah kita “melakukannya”/”merasakannya” sedangkan tingkatan dibawahnya adalah “Segala perbuatan  dilihat Allah” bersifat pasif.




“Seolah-olah melihat Allah”, tentu tidak boleh diartikan secara harfiah atau secara fisik atau tersurat.  Namun pahami secara hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi / tersirat, mencari makna spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).



Sesungguhnya manusia tidak akan mampu “melihat” Allah ketika di dunia.

Peristiwa ini diabadikan dalam surat Al A’raf (7) ayat 143,

“Dan tatkala Musa tiba di miqat lalu berkata, ‘Tuhanku, tampakkanlah diri-Mu supaya aku bisa melihat-Mu.’ Maka Tuhan pun berkata, ‘Kamu tidak akan bisa melihat-Ku , tetapi pandang saja gunung di seberangmu, bila dia tetap di tempatnya, maka kamu akan melihat-Ku’. Maka ketika Tuhannya menampakkan cahaya-Nya ber-tajalli kepada gunung, jadilah gunung itu hancur lebur. Maka Musa tersungkur pingsan. Dan setelah siuman dia berkata, ‘Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku akan menjadi orang mukmin pertama’.”

Kisah ini tercantum juga dalam kitab Qishashul Anbiya’ karangan Ibnu Katsir yang mencoba menjelaskan bahwa Nabi Musa a.s. adalah Kalimullah, orang yang mampu berbicara langsung dengan Allah. Namun dia hanya mendengar suara Allah dari balik hijab. Ketika dia meminta hijab itu disingkapkan, Allah tidak menuruti, tetapi Ia memberikan pelajaran telak kepada hamba-Nya sehingga pingsan dan sadar kelemahan diri. Manusia memang tidak akan sanggup melihat Allah. Jangankan cahaya Allah, memandang matahari pun mata manusia akan terbakar.

Tetapi kelak di akhirat, melihat Allah merupakan puncak kenikmatan ahli surga. Lebih mulia dari kenikmatan istana, kebun, buah-buahan, dan bidadari surgawi.

Ketika para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, akankah kita kelak bisa memandang Allah?” Beliau menjawab, “Kalian akan memandang-Nya sebagaimana kalian memandang bulan purnama raya. Dan setelah itu para ahli surga tidak mau lagi memalingkan wajah mereka dari memandang Allah.”

Subhanallah.



Sebagian umat muslim memahami ihsan itu khususnya pada ketika ibadah saja, seperti ketika sholat.

Maka setiap melakukan ibadah khususnya pada waktu sholat, bila tidak disertai perasaan, “seperti sungguh-sungguh” melihat Tuhan, maka ibadah itu tidak tergolong dalam katagori ibadah yang ihsan (baik). Allah SWT. berfirman :

“Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).

Sebagian umat muslim lainnya memahami ihsan ibaratnya “melihat” dengan “mata hati”.

Sebagian umat muslim lainnya memahami ihsan ibaratnya “merasakan” “kedekatannya” dengan Allah disetiap saat kehidupan.

Sungguh Allah itu dekat, sesuai dengan firman Allah yang artinya

Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah: 85).

Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang "Aku" maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran ( Al Baqarah: 186).

Allah swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )

Selalu berada dalam kebenaran bisa diartikan selalu merasakan “bersama” Allah dalam menjalani kehidupan di dunia.

Kedekatan kita dengan Allah terhalang/terhijab dengan dosa. Untuk itulah langkah pertama agar kita lebih dekat dengan Allah adalah bertaubat, salah satunya dengan berzikir

Astaghfirullah.

“Ampunilah hambamu ini ya Allah”.

Firman Allah yang artinya

dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (Al Hud : 3)

dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (Al Hujurat : 12) .

Istighfar diikuti dengan taubat, penyesalan atas dosa dan sekuat tenaga dan sepenuh kesadaran untuk tidak mengulangi lagi.

Kemudian perbaharuilah selalu kesaksian dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.



Asyhadu anlaailaaha illallah Wa-asyhadu anna Muhammadar-rasulullah

Syahadat berarti bersaksi dan meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.

Membaca dua kaliamat Syahadat merupakan cara untuk mengislamkan kembali atau untuk mengembalikan iman seorang muslim yang telah murtad, karena melakukan perbuatan syirik kepada Allah atau lainnya baik disengaja ataupun tidak disengaja.

Seorang yang kafir bila beramal shaleh maka tidak akan diterima dan bila berdoa maka akan terhijab ( tertutup ). Semua amal dan doa mereka sia-sia dan ditolak oleh Allah, kecuali jika mereka beriman dengan mengucapkan dua kalimat Syahadat.

"Dan doa ( ibadah ) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka " ( Arra'd : 14 ).

Selanjutnya biasakan Zikir Hauqolah  agar kita didekatkan dengan Allah atas pertolonganNya.



Laahaulaa walaaquw-wata il-laabillahil 'aliy-yil 'adziim.

Tiada daya upaya dan kekuatan selain atas izin/pertolongan Allah”

Yakinlah bahwa kita sebagai manusia adalah “lemah”  dan upaya kita mendekatkan diri kepada Allah semata-mata atas karunia / izin Allah.

Tentang karunia Allah. Allah telah berfiman yang artinya,

Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar” ( Al-Jumu’ah : 4)

Bershalawat kepada Nabi Muhammad adalah salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

"Allahumma sholli alaa Muhammad wa alaa ali Muhammad"

Membaca shalawat atas Nabi merupakan perintah Allah dan anjuran dari Nabi Muhammad.

Firman Allah yang artinya " Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya " ( Al Ahzab:56 ) ]

Membaca shalawat merupakan salah satu kunci diterimanya doa, karena tanpa diawali dengan shalawat maka doa tidak diterima oleh Allah.

" Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan " ( Al Maidah:35 ).

Selanjutnya adalah upaya yang sering  dilakukan oleh muslim agar terjaga dekat dengan Allah yakni dengan berdoa sebelum melakukan perbuatan/kegiatan atau minimal dengan membaca basmalah.



Bismillahirohmanirohim



"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih  Maha Penyayang"



Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda, “Setiap pekerjaan yang baik, jika tidak dimulai dengan “Bismillah” (menyebut nama Allah) maka (pekerjaan tersebut) akan terputus (dari keberkahan Allah)”.

Sebagaimana dalam kehidupan kita ,secara naluri jika ingin keberhasilan perbuatan atau permohonan biasanya kita menyebut nama orang yang berkuasa.

Misalnya,

-          Zaman orde baru, tingkat keberasilan menjadi besar, jika kita menyebut (mengenalkan/mereferensi) nama pa Harto yang berkuasa kala itu.

-          Memberikan perintah kepada bawahan atau ajakan kepada sesama staff akan “lebih segera” dilaksanakan/diikuti jika menyebut nama yang lebih berkuasa  seperti nama direktur atau manajer sebagai sumber perintah atau bentuk izin.

Begitu pula dalam mengarungi kehidupan kita di dunia, sebelum melakukan perbuatan/tindakan upayakan selalu diawali menyebut nama Allah, mengingat Allah. Sehingga Allah yang Maha Kuasa akan mengizinkan dan menolong perbuatan/tindakan tersebut akan terlaksana. Seberapa dekat dengan Allah akan memperbesar kemungkinan terkabulkannya.

Perbedaannya, kalau kita menyebut nama manusia, manusia yang kita sebutkan tidak mendengar dan bukan pula dia yang menolong. Namun kalau kita menyebut nama Allah, Allah Maha Mendengar dan berkenan menolong kita

Kita sangat ingin untuk taqarrub mendekatkan diri kepada-Nya.

Dari Abu Hurairah RA disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah bersabda, ‘Aku menuruti prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Kalau ia mengingat-Ku dalam hati, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Kalau ia mengingat-Ku di tengah kerumunan orang, Aku pun akan mengingatnya di tengah kerumunan yang lebih baik daripada mereka. Kalau ia mendekat diri kepada-Ku sejengkal, Aku pun mendekatkan diri kepadanya sehasta. Kalau ia mendekatkan diri pada-Ku sehasta. Aku pun akan mendekatkan diri padanya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari kecil”.

Waktu-waktu di keseharian kita, perbanyaklah dzikir kepada Allah.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang duduk dalam suatu tempat, lalu di situ ia tak berdzikir kepada Allah, maka kelak ia akan mendapat kerugian dan penyesalan” (HR Abu Dawud).

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Berlaku zuhudlah di dunia, pasti dicintai Allah SWT dan berlaku zuhudlah terhadap milik orang lain, pasti dicintai oleh sesama manusia.

Manakala sifat zuhud di kalangan muqarrabin (orang yang sentiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT) pula adalah dengan terus meninggalkan kenikmatan dunia; segala-galanya adalah tidak penting bagi mereka melainkan mendekati Allah SWT semata-mata.

Suatu saat terjadi dialog antara Rosulullah SAW dengan Hudzaifah Ra. Rosulullah bertanya kepada HUdzaifah, " Ya Hudzaifah, bagaimana keadaanmu saat ini?"

Jawab Hudzaifah, " Saat ini saya bener-bener beriman ya Rosulullah." Rosulullah kemudian mengatakan, " setiap kebenaran itu ada hakikatnya, maka apa hakikat keimananmu wahai Hudzaifah?"

Jawab Hudzaifah, " Ada dua, Ya rosulullah.

Pertama saya sudah hilangkan unsur dunia dari kehidupan saya, sehingga bagi saya debu dan emas itu sama saja. Dalam pengertian, saya akan cari kenikmatan dunia, lantas andaikata saya dapatkan maka saya akan menikmatinya dan bersyukur pada Allah SWT.

Tapi kalau suatu saat kenikmatan dunia itu hilang dari tangan saya, maka saya tinggal bersabar sebab dunia bukanlah tujuan. Bila ia datang maka Alhamdulillah dan bila ia pergi maka Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Yang kedua Hudzaifah mengatakan, " Setiap saya ingin melakukan sesuatu, saya bayangkan seakan-akan syurga dan neraka itu ada di depan saya. Lantas saya bayangkan bagaimana ahli syurga itu menikmati kenikmatan syurga, dan sebaliknya bagaimana pula ahli neraka itu merasakan azab neraka jahanam. Sehingga terdoronglah bagi saya untuk melakukan yang di perintahkan dan meninggalkan yang dilarang Nya."

Kesimpulan,

Atas karunia Allah kita berupaya mendekatkan diri kepada Allah, Dengan kedekatan itulah kita terdorong untuk melakukan yang diperintah dan meninggalkan yang dilarangNya. Dengan ketaqwaan inilah membuat kita menjadi lebih mulia di sisi Allah.

Senin, 22 Maret 2010

Tips menjadi Presiden

Tips Menjadi Presiden
(Surat terbuka untuk para politisi)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Setelah saya menulis surat terbuka untuk Presiden RI, SBY mengenai teroris sebagaimana yang saya tulis di http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/17/wahai-presidenku/.

Kali ini saya mencoba menyampaikan surat terbuka untuk para politisi mengenai Tips agar berpeluang menjadi Presiden atau menjabat kekuasaan lainnya di negeri ini.

Surat terbuka ini untuk memenuhi permintaan saudara-saudaraku yang berkecimpung dalam dunia perpolitikan dalam rangka "saling-mengingatkan" dan juga InsyaAllah, sebagai pembelajaran agar tidak mengalami hal yang dialami salah seorang politikus yang telah mengungkapkan kekecewaan atas beberapa kali kalah dalam pilpres.

Mungkin ada yang bertanya bagaimana saya bisa menuliskan sebuah tips, apakah pernah menjabat  Presiden atau menjabat kekuasaan lainnya di negeri ini?

Jawaban saya tentu belum pernah menjabat presiden atau menjabat kekuasaan lainnya. Namun saya menyampaikan tips ini berdasarkan pemahaman saya dari petunjuk Allah dalam Al-Qur'an dan tuntunan Rasulullah yang terurai dalam Hadits.

Kita sama-sama ketahui bahwa kini banyak dikalangan politikus cenderung bersikap pragmatis atau mengedepankan kepentingan/keinginan/ambisi. Mereka terlampau berambisi dan berkeinginan akan kedudukan/kekuasaan/tahta. Ambisi tahta lebih berbahaya daripada ambisi harta karena harta dapat dikorbankan demi tahta. Bahkan prinsip-prinsip, nilai-nilai, idealisme dapat dikorbankan/dilemahkan demi tahta. Sehingga kita dapat temukan "perubahan-perubahan", kontradiksi, paradoks, pembohongan, penggiringan opini bahkan timbul kemunafikan dikarenakan upaya untuk mendapatkan tahta atau mempertahankan tahta.

Pilihan yang terbaik adalah tetap mempertahankan idealisme partai, istiqomah pada proses/upaya/ikhtiar daripada anda fokus, mengedepankan atau terlampau memperhatikan hasil berupa kedudukan/kekuasaan/tahta. Sungguh kedudukan/kekuasan/tahta adalah merupakan sebuah hasil / ketentuan yang menjadi hak Allah sedangkan manusia memiliki hak pada proses/upaya/ikhtiar.

Bersikap pragmatis berarti kita sebagai manusia yang ikut menentukan pilihan.  Sungguh Allah tidak minta kita menjadi Presiden atau "menjabat" kekuasaan lainnya.
Ikut menentukan pilihan menyalahi ketentuan berserah diri (Islam). Lebih lanjut tentang berserah diri ada dalam tulisan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/03/24/berserah/

Allah berfirman yang artinya,
Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan.(QS Qashash : 68).

Sedangkan yang Allah inginkan dari kita adalah, sesuai firman Allah yang artinya, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah/mengabdi kepada-Ku (Adz Dzariyat 56)
Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu (al Hijr 99).

Apapun pilihan Allah atas "kekuasan" yang ada pada kita saat ini, kita harus bersyukur dan melaksanakan "pilihan" Allah tersebut secara profesional dan istiqomah dalam rangka beribadah/mengabdi kepada Nya.

Apapun idealisme partai, sebagai contoh membela kepentingan rakyat kecil, mensejahterakan rakyat atau bahkan sebagai partai dakwah sekalipun, lakukan dengan apapun "kekuasaan" yang ada pada kita saat ini tanpa menunggu/mengharapkan menjadi presiden atau menjabat kekuasaan yang lain itu terwujud.

Tujuan setan adalah agar manusia tidak rida atas keadaan yang Allah tetapkan untuknya. Ia berusaha mengeluarkan mereka dari pilihan Allah menuju pilihan mereka sendiri. Ibnu Athoillah menulis pada sebuah buku, Ketahuilah, ketika Allah memasukkanmu ke dalam suatu keadaan, Dia pasti akan selalu membantumu. Namun, jika kau masuk ke dalamnya dengan kemauan sendiri, Dia akan membiarkanmu.

Allah berfirman, “Katakan, “Wahai Tuhan, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar, serta berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong (QS Al-Isra : 80)

Juga sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu yang artinya
Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberinya karena engkau mencarinya engkau akan dibiarkan mengurusi sendiri (tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala bantu). Tetapi jika engkau diberinya tanpa mencarinya maka engkau akan dibantu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dalam mengurusinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam Shahih Al-Bukhari juga, dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada dua orang mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, jadikan kami sebagai pemimpin.” Maka beliau menjawab yang artinya
Sesungguhnya kami tidak akan memberikan kepemimpinan kami ini kepada seseorang yang memintanya atau berambisi terhadapnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Jadi serahkan ketetapan pilihan (Presiden atau kekuasaan lainnya) kepada Allah sedangkan kepada kita, Allah meminta kita untuk mengabdi/beribadah kepada Nya dalam bentuk istiqomah pada idealisme partai, tingkatkan kompetensi dan profesionalitas pada yang kita miliki, lakukan apapun pada saat kini juga tanpa menunggu datangnya kedudukan/kekuasan/tahta.

Bagaimana proses/ikhtiar/upaya agar peluang menjadi Presiden dan Kekuasaan lainnya atau "pemimpin"  manusia lainnya menjadi besar ?

Jadilah muslim yang terbaik yang paling mulia disisi Allah
.
Muslim yang terbaiklah yang berhak menjadi pemimpin,

Allah telah berfirman dengan artinya,
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang - orang yang fasik" (Ali Imron : 110)

Untuk menjadi muslim yang terbaik adalah yang dapat mencapai tingkatan Ihsan.

Seorang yang sampai pada tingkatan Ihsan yakni, seolah-olah melihat Allah atau paling tidak seorang yang yakin bahwa segala perbuatannya dilihat Allah maka tentu tidak akan melakukan apa yang telah dilarang oleh Allah dan akan  menjalankan apa-apa yang diperintahkan Allah. Inilah sesungguhnya
bentuk ketaqwaan kepada Allah yang menentukan tingkat/ukuran kemuliaan seorang muslim dihadapan Allah.
Sesuai firman Allah, “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa” (QS. Al-Hujurat: 13)

Sedikit tulisan lebih lanjut menjadi muslim terbaik, ada di
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/01/28/2010/01/28/menjadi-muslim-terbaik/

Sebagaimana ibarat menjadi menteri di republik ini maka lazimnya harus "dekat" dengan kekuasaan atau presiden. Tentu lebih besar peluang muslim yang "dekat" dengan Allah yang Maha Kuasa.
Sebagaimana kita sedang dalam sebuah urusan/kepentingan atau menjalankan perintah pada umumnya kita menyebut nama orang yang paling berkuasa agar urusan/kepentingan terlaksana dengan baik. Tentu lebih baik muslim menyebut dengan nama Allah jika mempunyai urusan/kepentingan,  agar Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang akan membantu kita.
Untuk itulah setiap pekerjaan/perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim diperintahkan diawali dengan sebuah doa, minimal dengan firman Allah yang artinya "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang" (Al-Fatihah:1).
Sebagai muslim kita harus dapat "merasakan" dan "memanfaatkan" kedekatan dengan Allah yang Maha Kuasa. Ibaratnya "sedekat urat leher kita" namun kita tidak menyadarinya.

Yakinlah bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah akan menjadi mulia di sisi Manusia dan InsyaAllah menjadi Pemimpin entah Presiden atau menjabat kekuasaan lainnya.

Sedangkan jika ada yang tetap berkeinginan menjadi presiden atau menjabat kekuasaan lainnya (menghendaki keuntungan di dunia) tanpa mencapai tingkat mulia di sisi Allah maka sesuai firman Allah yang artinya,
"Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat" (Asy Syura:20).

Ya Allah berikanlah kekuatan kepada para pemimpin agar dapat mentaatiMu dan Rasulullah serta mentaati para alim ulama yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits.

Wassalam

Zon di Jonggol
http://mutiarazuhud.wordpress.com

Rabu, 17 Maret 2010

Siapakah Teroris Sesungguhnya

Banyak peneliti yang menyatakan bahwa pemerintahan Bush telah  memanfaatkan sikap ekstrim Al-Qaeda sehingga terjadi peristiwa 11 September.

Pemerintahan Bush telah mengetahui rencana aksi Al-Qaeda. Namun pemerintahan Bush bukan hanya tidak melakukan pencegahan, bahkan ada kemungkinan mereka memasang bom di gedung kembar WTC sehingga kehancuran sepasang gedung tersebut lebih dramatis (informasi terkait mengenai fakta-fakta gelap peristiwa 11 September, dapat dibaca dalam majalah Eramuslim Digest edisi 2, The Dark Side of 911).

Berbekal “fitnah” tragedi 11 September lah, sesungguhnya sebagai alasan pemimpin Amerika untuk melakukan tindakan teroris sesungguhnya dengan menyerang Irak, Afghanistan dan negara lain yang "diduga" sebagai tempat persembunyian Al-Qaeda. Semua penyerangan dilakukan dengan dalih perang melawan terorisme.

Seperti yang kita dapat duga, lembaga dunia seperti PBB tidak dapat berbuat banyak bagi tindakan teroris yang dipimpin Amerika  karena adanya ketidak adilan dalam  pada Dewan Keamanan PBB dalam bentuk hak veto.

Begitu juga pada awal tahun 2009, PBB “membisu” dengan kejahatan perang (terorisme yang sesungguhnya)  yang dilakukan Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza, semua karena adanya hak veto.

Di zaman Pemerintah Soekarno, Indonesia pernah keluar dari PBB di tahun 1965 karena PBB telah menjadi boneka Imperaliasme dan neo-kolonialisme Amerika dan sekutunya. Ini terjadi setelah Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap DK PBB.

Jauh sebelumnya, pada 30 September 1960, Bung Karno menyampaikan pidato kenegaraan di Sidang Umum PBB yang mendapat gemuruh tepuk tangan dan semangat yang berkobar-kobar. Pidato yang berlangsung hampir 1 jam, berjudul “To Build the World A New” – Membangun Kembali Dunia Yang Baru.

Presiden Soekarno mampu melihat PBB yang saat ini dan akan datang hanya menjadi boneka. Banyak negara anggota hanya diam dan pasrah. Oleh karena itu, Soekarno mengajak semua elemen anggota PBB agar sigap melihat realita ini.

Berikut salah satu cuplikan pidatonya di SU PBB, 30 September 1960.
“…..Saya katakan pada Tuan-tuan: Janganlah bertindak sebagai alat yang tak tahu apa-apa dari imperialisme. Janganlah bertindak sebagai tangan kanan yang buta dari kolonialisme. Jika tuan bertindak demikian, maka tuan pasti akan membunuh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, dan dengan begitu tuan akan membunuh harapan dari berjuta-juta manusia, yang tiada terhitung itu dan mungkin tuan akan menyebabkan hari depan mati dalam kandungan…..”

Kesimpulan pidatonya, Bung Karno menyatakan bahwa setelah KAA 1955 di Bandung, negara-negara dunia di Asia Afrika telah muncul menjadi kekuatan baru dunia ketiga. Karena itu, harus ada reformasi pada tubuh PBB. Hak Veto oleh 5 negara yang dapat sewenang-wenang menggunakan vetonya harus dihapus. [pemikiran Soekarno terlalu jauh ke depan...tidak ada Presiden yang begitu revolusioner] Dan hal yang menarik, Soekarno menyarankan Markas PBB harus dipindahkan dari New York ke negara yang tak terpengaruh oleh blok AS maupun Uni Soviet.

Apa yang Bung Karno ucapkan 4 tahun yang lalu, ia tetap konsisten. Setelah Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap DK PBB [manefestasi dari neo-kolonialsme], maka pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari PBB.  Beberapa bulan kemudian dengan tragedi G30S yang berujung penggulingan Soekarno dan setelah Soekarno digulingkan oleh tentara Orba yang menjadi antek neo-liberalisme dan imperialisme, Indonesia kembali bergabung dengan PBB.

Saat ini pun para pemimpin negeri masih menjadikan kaum kuffar sebagai “teman kepercayaan” dengan taat dan santun tetap menjalankan konsep ekonomi neo-liberalisme walaupun dalam masa kampanye dikatakan sebagai konsep ekonomi jalan tengah.

Begitu juga pemimpin negeri yang mengaku muslim, tetap taat kepada “Washington consensus” . Padahal sewaktu masa kampanye, sempat berkomitmen dengan Amien Rais untuk tidak lagi memperhatikan “Washington consensus”. Namun apa daya teman kepercayaan dari Boediono maupun Sri Mulyani adalah dari IMF dan penasehat-penasehat ekonomi lainnya dari kaum kuffar.

Ironis, mereka semua pemimpin negeri ini yang mengaku muslim namun tidak memperhatikan firman Allah,

Hai orang-orang yang beriman,  janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” ,  (Ali Imran, 118)

Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Ali Imran, 119)

Pada kasus Bom Bali 12 Oktober 2002, intelijen asing dengan komprador intelijen lokal memanfaatkan ekstrimisme jihad dari sisa-sisa jaringan JI. Saat itu dua buah bom meledak di Bali. Bom pertama meledak di Paddys Café, termasuk berdaya ledak rendah (low explosive). Disusul kemudian dengan ledakan bom berkekuatansangat tinggi (high explosive) di Sari Club, Kuta.

Saat itu pemerintah Bush tengah gencar merekrut negara-negara lain, salah
satunya Indonesia, agar mau bergabung dalam perang melawan terorisme.

Khawatir akan reaksi umat Islam, pemerintah Megawati kala itu gamang merespon ajakan Bush.

Lalu terjadilah Bom Bali sehingga Megawati pun ikut berperan aktif dalam
kampanye perang melawan terorisme yang diusung Amerika. Segera terjadi berbagai penangkapan terhadap para aktivis Islam. Muncul pula persepsi di masyarakat umum bahwa orang-orang yang menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh, termasuk dalam hal politik, maka orang-orang tersebut berpotensi menjadi teroris.

Amrozi dan kawan-kawannya telah mengakui membom Paddys Café, yang berdaya ledak rendah. Namun mereka menolak sebagai pelaku yang meledakkan bom berkekuatan sangat tinggi di Sari Club. "Kami tidak memiliki kemampuan untuk membuat bom sedahsyat itu, " ujar Imam Samudera. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), ZA Maulani menyatakan bahwa yang meledak di Sari Club adalah bom mikro nuklir. Sementara yang memiliki akses nuklir hanyalah beberapa negara tertentu, seperti Amerika dan Israel.

Joe Vialls, seorang investigator independen dari Australia, juga meyakini bom yang meledak di Sari Club adalah mikro nuklir karena ada efek cendawannya.

Dengan kejadian-kejadian tersebut membuat saya yakin dengan peringatan Allah,

"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik" (Al Maaidah: 82).

Apakah kita masih saja ingin “lanjutkan” tidak memperhatikan firman Allah ?

Salam.

Zon di Jonggol

Sumber:

http://studislam.blogdetik.com/2009/12/10/gerakan-islam-dan-jihad-di-era-tanpa-daulah/

http://nusantaranews.wordpress.com/2009/01/04/indonesia-ancam-keluar-dari-pbb-mungkinkah/

http://www.detiknews.com/read/2009/05/03/013039/1125278/700/andi-3-syarat-pan-sudah-dipraktekkan-demokrat

Selasa, 16 Maret 2010

Surat Terbuka utk SBY

(Surat terbuka untuk presiden RI, SBY )

Assalamu'alaikum wr. wb.

Satu lagi (maaf) kekeliruan yang telah dilakukan pemimpin negeri, presiden RI, SBY.

Kekeliruan ini dilakukan ketika beliau tidak “didampingi” oleh Jusuf Kalla, yang dapat menguasai perdamaian sesungguhnya.

Saat ini ironis sekali, pemimpin negeri yang mengaku muslim dan rakyatnya mayoritas muslim dapat "membunuh" sesama muslim yang berijtihad/berpemahaman berbeda, bahkan saudara-saudara muslim kita diberi "label" oleh pemerintah sebagai "teroris" seperti pelabelan yang dilakukan oleh kaum kafir.

Saudara-saudara muslim kita yang telah dilabeli  oleh negara  sebagai teroris dilakukan “pembunuhan” tanpa proses pengadilan yang merupakan hak asasi mereka sebagai warganegara/manusia.

Seharusnya pemerintah melakukan "penyelarasan" ijtihad / pemahaman mereka, dibantu oleh para alim ulama dalam rangka saling mengingatkan.

Sebagaimana firman Allah,

Sesungguhnya manusia dalam kerugian” (Al ‘Ashr, 2)

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling mengingatkan supaya mentaati kebenaran dan saling mengingatkan supaya menetapi kesabaran” (Al ‘Ashr: 3)

Apapun pemahaman/ijtihad muslim selagi sama-sama menegakkan La Ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah, maka tetaplah kita bersaudara. Marilah kita bersatu dalam kesatuan Aqidah Islam tanpa disekat oleh batasan negara, bangsa, suku maupun tarekat, kelompok atau golongan.

Ingatlah selalu apa sesungguhnya maksud Allah menciptakan manusia dan jin sebagaimana firmanNya,

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku (Az Zariyat 56)

Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu (al Hijr 99)

Saya mengajak diri saya pribadi dan para pemimpin untuk menggapai ridho Allah bukannya menggapai ridho kaum kuffar.

Sudah saatnya kita menegakkan Islam sesungguhnya bagi perdamaian dunia tidak sekedar “menggunakan” Islam untuk  kepentingan politik atau kekuasaan.

Pemimpin negeri ini, presiden RI, SBY yang muslim dengan potensi/kekuatan jumlah umat muslim yang sangat besar  sebaiknya berperan dalam menjaga perdamaian dunia dan menegakkan kebenaran, bukannya “mengekor” saja kepada kaum kuffar, (maaf) bagaikan kerbau dicucuk hidungnya.

Sebagaimana firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman,  janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya" ,  (Ali Imran, 118)

"Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata "Kami beriman", dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Ali Imran, 119)

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).

Sebagai muslim sesungguhnya,  Andalah yang berhak “mewarnai” tatanan dunia baru atau bahkan memimpin dunia. Umat terbaik yang memimpin dunia.

Allah telah berfirman dengan artinya,
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik" (Ali Imron : 110).

Saatnya sekarang pemimpin negeri ini yang muslim dibantu para alim ulama untuk “menyatakan pendapat” kepada mereka-mereka yang melabeli “teroris” kepada saudara-saudara muslim kita. Saatnya “menyatakan pendapat” terhadap saudara-saudara muslim kita yang negaranya “diguncang”, “diserang”,  bahkan “dijajah” seperti Palestina, Afghanistan, Irak, Somalia dll. Umumnya  adalah saudara-saudara muslim kita yang dalam kehidupan mereka di dunia hendak menegakkan Syariah Islam

Saatnya kita memainkan peran dalam kancah dunia sebagai bentuk upaya perdamaian dunia  sejati sebagai perwujudan perintah Allah agar kita tidak membuat kerusakan dimuka bumi  Sekaligus perwujudan kehendak Allah menjadikan manusia sebagai khalifah sebagaimana firman Allah,

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:  "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Al Baqarah:30)

Salam Ukhuwah Islamiyah.

Zon di Jonggol

*********************     *******       ***********************

*********************      *******     ***********************

(Berikut tanggapan atas tanggapan para pembaca (netters) )

Banyak tanggapan yang disampaikan oleh para pembaca (netters). Pada umumnya berisikan "mengajak" saya memahami korban-korban yang diakibatkan oleh bom-bom seperti di bali, kuningan, jw marriot dll.

Bagaimana klo korban itu, ada hubungan keluarga dengan penulis, mereka anggap mungkin saya akan memikirkan kembali tulisan diatas.

Saya bukannya sekedar membela saudara-saudara muslim saya yang oleh pemerintah dilabeli "teroris" untuk memperoleh haknya sebagai warganegara/manusia, namun saya juga membela para pemimpin negeri ini agar tidak membuat kekeliruan. Sekaligus menghindari kemungkinan korban-korban berikutnya dari kemungkinan kekeliruan kebijakan pemerintah.

Kita sebagai manusia, pada umumnya selalu berpikir atau memberikan reaksi
terhadap suatu akibat bukan pada "penyebab"nya.

Sebagai contoh ketika kita sakit dan "mengeluh" sakit kepala, umumnya kita
berpikir atau memberikan reaksi pada sakit kepalanya. Padahal untuk memecahkan masalah tersebut, sang dokter akan mencari tahu apa yang menyebabkan sakit kepala.

Berkali-kali negeri kita ditimpa masalah dari "akibat" Bom Bali, Bom Kuningan, Bom Marriot. Namun tampaknya "kecerdasan" pemerintah, hampir sama dengan masyarakat pada umumnya, memberikan reaksi terhadap "akibat" semata.

Bagi saya, solusi yang baik untuk mengatasi "akibat" yang telah terjadi adalah
pemerintah bersama alim-ulama membahas, mencari tahu kenapa (sebab apa) saudara-saudara muslim kita itu berpemahaman / ijtihad seperti itu ? Inilah yang saya sebut mencari penyebab atau mendiagnosa masalah.

Sayapun sebagai warganegara tidak menginginkan berjatuhan korban-korban berikut, apalagi kalau korban tersebut adalah mempunyai hubungan keluarga dengan saya.

Saya turut menghaturkan terima kasih atas kepedulian, bantuan yang telah
diberikan terhadap saudara-saudara saya juga yang menjadi korban bom-bom yang lalu.

Sungguh jangan sampai terulang kembali kejadian bom di negeri ini.

Juga janganlah ada polisi-polisi atau warga sipil lainnya yang meninggal karena sebuah kebijakan pemerintah yang keliru.
Salam damai.

*********************     *******       ***********************

*********************      *******     ***********************

(Berikut tanggapan atas tanggapan lain para pembaca (netters) )

Menurut pembaca (netter):  Dalam kasus teroris , yang harus dilakukan oleh manusia adalah satu , yaitu mengutuknya . Titik . Tidak perlu mencari pembenaran atas tindakan yg melanggar kemanusiaan tersebut .Tidak perlu melakukan pembelaan terhadap mereka. Jangan berikan dukungan apapun terhadap para penebar teror dan ketakutan ini , bahkan simpati sekalipun . Hukum harus ditegakkan !

Setuju, hukum harus ditegakkan. Saya tidak melakukan pembenaran namun mempertanyakan hak saudara-saudara muslim yang telah dilabeli teroris oleh pemerintah.

Bagaimanakah pendapat anda, jika ada kemungkinan pemerintah berkeinginan melakukan “pembunuhan” kepada sekelompok warganegara muslim  dengan membuat sebuah “rencana”, “perangkap”, “siasat” sehingga sekelompok warganegara muslim tersebut terkondisikan dan dilabeli “teroris” kemudian dilaksanakanlah “pembunuhan” atau penghukuman terhadap mereka ?

Tentu hal itu hanyalah sebuah mimpi / skenario buruk yang tidak terjadi di negeri yang berlandaskan Pancasila ini. Namun tetaplah itu sebuah kemungkinan.

Sekali lagi tidak mungkin seperti itu.

Sebagaimana yang saya muat di tulisan “surat terbuka”  diatas, solusi yang terbaik adalah

Pemerintah melakukan “penyelarasan” ijtihad / pemahaman mereka, dibantu oleh para alim ulama dalam rangka saling mengingatkan.

Kita ibaratkan negeri/pemerintahan ini sebagai sebuah keluarga besar. Presiden sebagai orang tua / kepala keluarga  dan warganegara sebagai putra-putri / anak.

Apakah yang dilakukan orang tua / kepala keluarga untuk mewujudkan keluarga sakinah ?

Diantaranya adalah,

Membuat peraturan/hukum dalam keluarga agar hubungan antar anggota keluarga terjalin harmonis.

Mendidik,  memberikan pemahaman, membuat kesepakatan agar setiap anggota keluarga dapat berperilaku baik

Seorang anak  dapat saja menerima pegaruh / pemahaman yang buruk dari luar/eksternal.

Kadang kita temukan orang tua yang kurang baik akan melabeli anak tersebut sebagai “anak nakal”.  Sebagaimana pemerintah melabeli warga negaranya sebagai “teroris”.

Pemberian label kepada anak tersebut sesungguhnya bagaikan sebuah “sertifikat” kegagalan orang tua mewujudkan keluarga sakinah bahkan sebagian orang berpendapat bahwa pemberian label kepada anak tersebut bisa jadi merupakan sebuah “doa” kepada Allah.

Belajar dari contoh kasus anak menerima pengaruh / pemahaman buruk dari luar/eksternal, solusi yang terbaik adalah “menyelaraskan” kembali pemahaman anak tersebut sesuai aturan/hokum yang berlaku dalam keluarga.

Kita sebagai orang tua tidak baik jika memberi hukuman “membuang” anak tsb atau bahkan “membunuh” anak tersebut. Hal ini karena ada “ikatan”/”hubungan” antara orang tua dengan anak.

Dalam dunia pemerintahan/negara, antara pemimpin dan yang dipimpin tampak semakin memudar “ikatan” atau “hubungan” tersebut.

Apalagi seorang pemimpin yang muslim   terhadap warga negara yang muslim seharusnya berlaku sesuai yang difirmankan Allah,

Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10).

Silahkan baca sebuah tulisan yang cukup menyentuh dan menarik sebagai bahan pelajaran bagi kita semua,

http://syumulnetwork.blogspot.com/2008/08/muslim-itu-bersaudara.html

Salam damai dan bersaudara.