Senin, 28 Februari 2011

Tuhan di langit

Cobalah lihat beberapa situs mereka yang mengaku-aku berpemahaman sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh
http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/3351-di-manakah-allah-8.html
atau
http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/76-mengungkap-tipu-muslihat-abu-salafy-cs

Mereka adalah yang memahami Al-Qur'an dan Hadits dengan metodologi yang kami katakan memahami dengan konsep/metodologi "terjemahkan saja". Silahkan baca tulisan kami pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/

Dalih mereka menggunakan metodologi "terjemahkan saja" adalah
dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195).

Itu pulalah inti yang disampaikan oleh syaikh Al-Albani bahwa  semua orang haram hukumnya merujuk kepada ilmu fiqih dan pendapat para ulama. Setiap orang wajib langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan untuk memahaminya, tidak dibutuhkan ilmu dan metodologi apa pun. Keberadaan mazhab-mazhab itu dianggap oleh Al-Albani sebagai bid’ah yang harus dihancurkan, karena semata-mata buatan manusia. Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/18/paham-anti-mazhab/

Mereka menyeru agar kita wajib langsung merujuk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang dapat dipahami tanpa metodologi apapun alias metodologi "terjemahkan saja".  Untuk itu setiap muslim wajib mengetahui bahasa Arab karena bagi mereka  dengan kemampuan bahasa Arab sudah cukup untuk memahami Al-Qur'an dan Hadits. Hindari taqlid atau mengikuti imam atau orang-orang sholeh dan bagi mereka,  setiap muslim wajib berupaya sendiri untuk memahami Al-Qur'an dan Hadits.

Oleh karenanya mereka berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat di langit dan Allah ta'ala mempunyai tangan, mata, kaki , dll namun tidak serupa dengan makhluk. "Al-Qur'an yang mengatakan seperti itu" kata mereka dan "kita harus berserah diri".

Tuhan di langit ?

Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan "langit" ?

Begitu juga dalam peristiwa mi'raj baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dikatakan melewati "langit dunia".  Apakah yang dimaksud dengan langit dunia ?

Sebagian saudara-saudara kita kaum mengaku-aku berpemahaman sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh, mereka  berkeyakinan Tuhan bertempat di atas langit atau di atas arasy karena mereka  memahami "langit" atau "langit dunia" sebagaimana langit bumi.

Sehingga kalau kita katakan Tuhan tidak di langit, langit sebagaimana yang mereka pahami  maka mereka bertanya apakah Tuhan di bumi ?

Kalau kita katakan Tuhan tidak pula di bumi dan Tuhan tidak bertempat  kemudian mereka bertanya apakah Tuhan ada dimana-mana ?

Kalau kita katakan Tuhan tidak ada di mana-mana dan Tuhan tidak berarah maka mereka bertanya lalu Tuhan ada di mana ?

Jawaban kami,  maha suci Allah Azza wa Jalla dari di mana dan bagaimana.

Allah Azza wa Jalla  ada atau wujud , tidak memerlukan tempat maupun arah.
Allah Azza wa Jalla  ada atau wujud , tidak memerlukan pembuktian.
Dia ada sebelum tempat, arah dan semua bukti itu ada.

"langit" adalah termasuk sesuatu yang ghaib yang tidak dapat diindera oleh panca indera kita seperti alat pembantu untuk melihat (mata), alat pembantu untuk mengecap (lidah), alat pembantu untuk membau (hidung), alat pembantu untuk mendengar (telinga), ataupun alat pembantu untuk merasakan (kulit/indera peraba).

Allah Azza wa Jalla mempunyai nama Az Zahir dan Al Batin.

Begitupula petunjukNya yakni Al-Qur'an, Rasulullah mengatakan bahwa al-Qur'an mempunyai sisi/dimensi/makna lahir dan sisi/dimensi/makna batin.

Jika makna zahir sama dengan makna batin maka disebut muhkamat, jika makna zahir berbeda dengan makna batin atau tidak sama sekali bisa dimakna maka disebut mutasyabihat.

Ayat-ayat muhkamat disebut juga umm al-kitab artinya pokok-pokok isi Al-Qur’an, karena ayat muhkamat tersebut yang menjadi acuan dan rujukan dalam memahamii ayat-ayat mutasyabihat.

Ayat mutasyabihat terbagi menjadi dua.
Pertama, ayat mutasyabihat yang pengertiannya hanya Allah ta’ala yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal ghaib misalnya ayat-ayat mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain atau seperti “Alif laam miim“. Dan kedua, ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhun fi al’ilm). Mereka memahami berdasarkan karunia dari Allah Azza wa Jalla berupa al-hikmah atau pemahaman yang dalam. Mereka adalah yang termasuk “ulil albab”. Siapa yang dimaksud dengan “ulil albab” silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/2010/05/07/ulil-albab/

Jika kita memaknai zahir ayat-ayat mutasyabihat maka itulah salah satu pangkal kekufuran.

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad menyatakan:
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat mutasyabihat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Allah di langit , Allah di atas arasy adalah sesuatu yang dapat diyakini dengan makna batin atau sesuatu yang diyakini namun tidak dapat diindera oleh panca indera kita.

Sesuatu yang tidak dapat diindera oleh panca indera kita maka pada hakikatnya tidak pula dapat didalami dengan akal karena akal bergantung dengan "masukan" dari panca indera.  Maka mereka mengatakan itu tidak ilmiah atau mistik atau ghaib bahkan sebagian mengatakan tahayul atau khurafat.

Kami sangat mengkhawatirkan sebagian keimanan saudara-saudara kami berlandaskan keilmiahan atau ke-masuk akal-an. Mereka kerap bertanya "mana bukti", "mana dalil", "mana contoh". Sehingga kalau mereka mendapatkan "bukti" yang baru dan bertolak belakang dengan apa yang mereka yakini selama ini maka keimanan merekapun goyah. Mereka tanpa disadari terpengaruhi akibat ghazwul fikri dari kaum berpaham materialisme yang berlandaskan ilmiah, bukti dan materi sehingga mereka menolak dimensi/sisi immateri atau ghaib atau batin.

Inilah yang kami khawatirkan ketika Syaikh Ibnu Baz berfatwa bahwa “seseorang yang berkeyakinan Rasulullah mengetahui hal ghaib maka ini adalah keyakinan kufur yang pelakunya dianggap sebagai orang kafir karena melakukan kekufuran yang besar”. Fatwa tersebut termuat salah satunya pada http://fatwaulama-online.blogspot.com/2008/03/hukum-orang-yang-meyakini-bahwa.html .

Fatwa tersebut secara tidak di sadari akan mengakibatkan umat Islam menolak sisi/dimensi immateri atau ghaib atau batin sebagaimana yang diketahui oleh Rasulullah.

Bagi pemahaman kami untuk mengenal Allah Azza wa Jalla (ma'rifatullah) kita tidak dapat lagi "memandangnya"  dari sisi materi/lahiriah/akal dan nafsu namun harus memandangnya pula dari sisi immateri/ghaib/batin atau memandangnya dengan hati atau hakikat keimanan.

Sebagaimana yang diriwayatkan berikut
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”

Kita memandang dari sisi/dimensi hakikat yang semua itu bisa kita dapatkan dalam tasawuf. Tasawuflah yang menguraikan tentang syariat, tarekat, hakikat dan ma'rifat yang tidak bisa ditemukan dalam ilmu fiqih, ushuluddin atau yang lainnya.

Dengan tasawuflah kita akan mencapai muslim tingkatan terbaik atau muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan.

Tasawuflah jalan orang-orang yang ihsan atau orang-orang yang baik atau orang-orang sholeh sebagaimana Salafush Sholeh.

Kita wajib mengikuti jalan orang-orang sholeh karena mereka pada jalan yang lurus dan mereka dikarunia ni'mat oleh Azza wa Jalla.

Landasan kami mengatakan seperti itu adalah:

Tunjukilah kami jalan yang lurus“, (QS Al Fatihah [1]: 6 )

(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. “(QS Al Fatihah [1]:7 )

Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An Nisaa [4]: 69 )

Orang-orang sholeh atau ulama-ulama Tasawuf mengatakan bahwa Mengenal Allah Azza wa Jalla (ma'rifatullah) hanya dapat melalui NamaNya, SifatNya dan PerbuatanNya

Oleh karenanya ketika ada yang bertanya Allah yang mana yang kami sembah maka kami menjawab dengan mengutarakan sifatNya

Kami menyembah Allah ta'ala yang Wujud (ada), Qidam (Terdahulu), Baqo’ (Kekal), Mukhollafatuhu lil hawaadits (Tidak Serupa dengan MakhlukNya), Qiyamuhu Binafsihi (Berdiri dengan sendirinya), Wahdaaniyah (Esa), Qudrat (Kuasa), Iroodah (Berkehendak), Ilmu (Mengetahui), Hayaat (Hidup), Sama’ (Mendengar), Bashor (Melihat), Kalam (Berkata-kata), Qoodirun (Yang Memiliki sifat Qudrat), Muriidun (Yang Memiliki Sifat Iroodah), ‘Aalimun (Yang Mempunyai Ilmu), Hayyun (yang Hidup), Samii’un (Yang Mendengar), Bashiirun (Yang Melihat), Mutakallimun (Yang Berkata-kata).

Kalau mau mengenal Allah ta'ala melalui perbuatanNya, contohnya dapat dipahami melalui tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/02/perbuatan-afal/

Sedangkan mengenal Allah ta'ala melalui namaNya telah banyak diuraikan oleh para ulama baik ulama syariat maupun ulama tasawuf.

Akhirnya kami sampaikan bahwa mengenal Allah ta'ala tidak dapat diyakini melalui "di mana" dan tidak layak ditanyakan "di mana" atau "bagaiamana" bagi  Allah Azza wa Jalla.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

Kamis, 24 Februari 2011

Menjadi Fitnah

Bisa menjadi fitnah siapa yg mengaku-aku berpemahaman sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh

Dalam sebuah forum diskusi, ada peserta diskusi menanyakan sanad ilmu kami.

Kami tidak dapat menyampaikan sanad ilmu, karena kami menyadari bahwa kami belum ada apa-apanya dibandingkan guru atau ulama atau syaikh sebelum kami. Juga kami menghindari fitnah terhadap guru/ulama/syaikh di atas kami kalau-kalau khalayak ramai menemukan ketidaksesuaian pemahaman dengan guru/ulama/syaikh di atas kami.

Sebaiknya perhatikanlah saja apa yang kami sampaikan dan tidak berupaya melihat siapa kami atau menilai/menghukum pribadi kami (adhominem).


Kata orang bijak "Dengarkan lagunya dan jangan terbius figur siapa penyanyinya,"

Sebaiknya kita menyampaikan sanad ilmu kalau memang kita sudah sangat berkompeten atau ada banyak kesesuaian dengan guru/ulama/syaikh di atas kita.

Oleh karenanya kami lebih baik menyampaikan bahwa apa yang kami sampaikan adalah apa yang kami pahami.

Kalaupun kita hendak menyampaikan siapa guru/ulama kita , cukup sampaikan perkataan guru/ulama kita , persis sama dengan apa yang mereka katakan tanpa upaya penafsiran. Selebihnya adalah pemahaman kita sendiri.

Sesungguhnya sebagian syaikh/ulama/ustadz yang mengaku-aku bahwa pemahaman mereka sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh bisa menjadi fitnah bagi Salafush Sholeh.

Mereka mengaku menisbatkan diri kepada Salafush Sholeh namun kenyataan yang ada, kami temukan adanya kesalahpahaman-kesalahpahaman sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam blog kami. Silahkan lihat daftar tulisan dalam blog kami pada lajur/sisi paling kanan dengan judul "Kesalahpahaman" di bawah "Tulisan Teratas"

Kesalahpahaman adalah salah menurut apa yang kami pahami. Lebih tepatnya disebut sebagai kebedapahaman artinya beda menurut apa yang kami pahami.

Pada hakikatnya kita sebaiknya tidak mengatakan itu salah , itu benar, karena dalam upaya pemahaman (ijitihad) sangat mungkin terjadi bahwa pendapat teman diskusi kita benar dan pendapat kita salah atau sebaliknya. Yang pasti benar hanyalah firman Allah Azza wa Jalla dan perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Jadi boleh kami simpulkan, maaf, bahwa sesungguhnya mereka yang menisbatkan diri pada Salafush Sholeh, pada kenyataannya sebagian mereka menjadi merupakan fitnah terhadap Salafush Sholeh jika pemahaman/pendapat mereka tidak sesuai dengan pendapat/pemamahan Salafush Sholeh sebenarnya.

Begitupula , maaf, kita sebaiknya tidak mempergunakan id / nick name seperti sahabat atau salafi kalau pada kenyataannya pernyataan / pendapat yang disampaikan, bisa ada yang tidak sesuai dengan pendapat Sahabat atau Salafi yang sebenarnya yakni Salafush Sholeh. Jadi tanpa disadari telah memfitnah Sahabat ataupun Salafush Sholeh.

Sebagaimana yang kata bijak yang kami sampaikan sebelumnya yakni "Dengarkan lagunya dan jangan terbius figur siapa penyanyinya,"

Maka kita sebaiknya menyimak/memperhatikan apa pendapat/perkataan mereka jangan terbius bahwa mereka adalah yang menisbatkan kepada Salafush Sholeh

Salafush sholeh adalah Salafush baik atau Salafush Ihsan atau sebagain mereka pada tingkat muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati / hakikat keimananan dan sebagian lainnya lagi adalah mereka yang selalu yakin bahwa Allah Azza wa Jalla selalu melihat mereka. Kalau mereka membuat sebuah kesalahan maka mereka menyegerakan memohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla karena mereka tidak ma'sum sebagaimana tauladan mereka yakni baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Salafush sholeh, mereka bukan sekedar mentaati sunnah Rasulullah namun mereka mempunyai ikatan bathin atau ikatan hati dengan Rasulullah, mereka mengagungkan dan memuliakan Rasulullah dan tidak menganggap Rasulullah sebagai manusia biasa yang bedanya cuma menerima wahyu.
Mereka merasakan bahwa Rasulullah hidup di sisi Allah Azza wa Jalla sebagaimana mereka memandang para Syuhada sebagaimana apa yang disampaikan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya yanga artinya

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)

Bagaimana kita dapat me-rasa-kan bahwa Rasulullah hidup disisi Allah Azza wa Jalla, tidak ada jalan selain kita berupaya menempuh jalan orang-orang yang telah diberi ni'mat yakni apa yang telah "dijalani" Rasulullah, para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada atau para Sholihin (orang-orang sholeh).

Jalan itu tidak lain adalah perjalanan dengan Tasawuf atau perjalanan Ihsan atau perjalanan Akhlakul Kharimah atau perjalanan orang-orang sholeh atau perjalanan para Sufi atau perjalanan para Wali Allah.

"Tunjukilah kami jalan yang lurus" (QS Al Fatihah [1]: 6 )
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (QS Al Fatihah [1]:7 )

Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An Nisaa [4]: 69 )

Marilah kita ikuti perintah Allah Azza wa Jalla, jika kita ridho sebagai hamba Allah.

Berjihadlah pada jalan-Nya, istiqomah pada jalan-Nya agar kita mendapat keberuntungan atau mendapatkan akhir yang paling baik, berkumpul dengan Rasulullah, para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan para Sholihin. Inilah yang dimaksud mereka yang telah sampai pada Allah Azza wa Jalla.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Maa’idah [5]: 35 )”

Kalau pembaca sudah berkeinginan untuk mendalami dan menjalankan Tasawuf maka ikutilah apa yang kami sampaikan dalam http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/21/tips-bertasawuf/

Belilah semua buku yang kami sarakan dalam Tips Bertawasuf, kalau di toko buku Jakarta, biayanya tidak melebih 300 ribu rupiah. Namun dengan investasi senilai itu dan meluangkan waktu untuk membaca dan memahami buku-buku tersebut, kami yakin insyaallah antum sekalian akan mengalami perubahan dalam hidup karena dengan membaca buku-buku karya ulama tasawuf seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani ~rahimullah, Syaikh Ibnu Athoillah ~rahimullah dan ulama tasawuf lainnya adalah termasuk bergaul dengan orang-orang Sholeh, orang-orang yang telah diberi ni'mat oleh Allah Azza wa Jalla.

Ilahi Anta Maqsudi Waridhoka Matlubi
Tuhan hanya Engkaulah yang kumaksud dan ridhoMu yang kuharap

Semoga Allah Azza wa Jalla meridhoi kita untuk bisa berkumpul dengan Rasulullah, para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan para Sholihin,  mereka yang  hidup di sisi Allah Azza wa Jalla.

Amin ya Robbal alamin







Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor

Rabu, 23 Februari 2011

Perantara Orang Sholeh

Bolehkah meminta tolong orang lain untuk menyampaikan maksud kita kepada Allah Azza wa Jalla

Menurut pemahaman kita kenapa kita tidak berdo'a langsung kepada Allah Azza wa Jalla?
Kenapa harus melalui perantara ?

Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa kita bisa minta tolong orang lain (yang menurut mereka mempunyai kelebihan didalam berdo'a atau termasuk orang-orang sholeh) sehingga mereka berkeyakinan bahwa do'anya orang tersebut lebih "didengar" oleh Allah Azza wa Jalla daripada do'a yang disampaikan oleh kita sendiri.

Ada kisah menarik berkaitan dengan pertanyaan tersebut

Suatu hari Umar r.a. kedatangan rombongan dari Yaman, lalu ia bertanya :
"Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?".

Lalu seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap pandang sejenak dengan Umar. Umar pun memperhatikannya dengan penuh selidik.

"Siapa namamu?" tanya Umar.

"Aku Uwais", jawabnya datar.

"Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya Umar lagi.

"Benar, Amirul Mu'minin", jawab Uwais tegas.

Umar masih penasaran lalu bertanya kembali "Apakah engkau mempunyai bercak putih sebesar uang dirham?" (maksudnya penyakit kulit berwarna putih seperti panu tapi tidak hilang).

"Benar, Amirul Mu'minin, dulu aku terkena penyakit kulit "belang", lalu aku berdo'a kepada Allah agar disembuhkan. Alhamdulillah, Allah memberiku kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di dekat pusarku yang masih tersisa, itu untuk mengingatkanku kepada Tuhanku".

"Mintakan aku ampunan kepada Allah".

Uwais terperanjat mendengar permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan
penuh keheranan. "Wahai Amirul Mu'minin, engkau justru yang lebih behak memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau sahabat Nabi?"

Lalu Umar berkata "Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w berkatab "Sesungguhnya sebaik-baik Tabiin adalah seorang bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu dipatuhinya, pernah sakit belang dan disembuhkan Allah kecuali sebesar uang dinar di dekat pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila kalian menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah"

Uwais lalu mendoa'kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun menghilang dalam kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutkan perjalanan ke Kufah.
(H.R. Muslim dan Ahmad)

Mungkin ini cukup dijadikan tauladan bahwa orang setingkat Umar yang termasuk orang yang mendapat jaminan masuk sorga, diperintahkan oleh Rasulullah untuk meminta tolong kepada seorang Tabiin bernama Uwais agar memintakan ampunan kepada Allah Azza wa Jalla. Meminta ampunan adalah bagian dari do'a, karena do'a tidak lain adalah meminta sesuatu kepada Allah Azza wa Jalla.

Firman Allah, yang artinya,
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)“. (QS al Maaidah [5]: 55 )
"Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang". (QS al Maaidah [5] : 56 )

Wassalam

 

Zon di Jonggol

 

Catatan:

Boleh memohonkan bagi saudara muslim kita yang lainnya.

Namun kami menganjurkan sebelum kita mengabulkan permohonan mendoakan tersebut tetaplah kita menganjurkan kepada si pemohon untuk tetap memohon langsung kepada Allah swt. Seolah-olah doa kita sebagai pembuka hijab atau prasangka si pemohon atau ketidak yakinan pemohon dalam berdoa secara langsung.
Hal ini sebaiknya dilakukan untuk menghindari fitnah bahwa kita yang mengabulkan doa/permohonan si pemohon atau kita yang menjadikan apa yang mereka ingin doakan

Selasa, 22 Februari 2011

Bertawasullah

Bertawasullah

Tawasul atau washilah menurut bahasa ialah "sesuatu yang dapat mendekatkan kepada yang lain"

Tawasul (washilah)  dimaknai secara singkat adalah "jalan"

Jalan yang dimaksud di sini tentulah bukan yang dimaksud dengan jalan raya atau tempat kita menempatkan kaki untuk berjalan.  Hal ini sama dengan istilah langit, kursi yang kita temukan dalam Al-Qur’an berkaitan dengan Allah Azza wa Jalla bukanlah yang dimaksud dengan langit bumi atau kursi tempat duduk yang dapat kita indera dengan panca indera kita seperti dengan mata (penglihatan)

Wasilah, langit, kursi  adalah sesuatu yang termasuk hal ghaib atau dimensi batin, karena tidak dapat diindera dengan alat pembantu untuk melihat (mata), alat pembantu untuk mengecap (lidah), alat pembantu untuk membau (hidung), alat pembantu untuk mendengar (telinga), ataupun alat pembantu untuk merasakan (kulit/indera peraba).

Kita meyakini bahwa Baginda Rasulullah pasti mengetahui tentang hal ghaib atau dimensi batin, termasuk mengetahui tentang washilah, kursi, langit

Disisi lain, Syaikh Ibnu Baz berfatwa bahwa “seseorang yang berkeyakinan Rasulullah mengetahui hal ghaib maka ini adalah keyakinan kufur yang pelakunya dianggap sebagai orang kafir karena melakukan kekufuran yang besar
Periksa fatwa beliau, contohnya pada http://fatwaulama-online.blogspot.com/2008/03/hukum-orang-yang-meyakini-bahwa.html

Fatwa seperti itu merupakan sebuah kesalahpahaman. Kesalahpahaman adalah salah menurut apa yang kami pahami. Allah ta'ala mennyampaikan bahwa Rasulullah mengetahui hal ghaib walaupun sedikit sebagaimana firmanNya yang artinya

Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada Rasul yang di kehendaki”. (QS. Al Jin [72]: 26-27).

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit“. (QS Al Isra [17]:85 )

Dalam tulisan kali ini, kita akan mencoba menguraikan masalah tawasul atau washilah yang merupakan salah satu bagian terpenting dalam agama Islam

Para ulama memahami washilah  ini berbeda-beda pendapat namun intinya mereka bersepakat bahwa washilah adalah sesuatu yang dibenarkan dan dianjurkan dalam Islam, sebagaimana ditegaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala  dalam firmanNya yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Maa’idah [5]: 35 )”

Pengertian Tawassul

Pemahaman tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat islam selama ini adalah bahwa Tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui suatu perantara atau jalan atau cara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah.

Jadi tawassul merupakan perantara, jalan  doa untuk menuju/sampai kepada Allah SWT.

•    Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada  Allah menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut.

•    Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya dan. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.

•    Tawassul merupakan salah satu cara atau jalan dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdo'a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di tempat-tempat mustajab seperti Maqam Ibrahim, Multazam, Raudoh,  dll. Berdoa dengan mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat  dan meminta doa kepada orang sholeh.

Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do'a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah s.w.t.

Ada yang bertanya kenapa kita harus bertawasul dalam berdoa sedangkan kita dijanjikan Allah Azza wa Jalla akan mengabulkan segala permohonan hambaNya sebagaimana firmanNya yang artinya

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran" (QS Al Baqarah [2]:1860 )

Kadang kita dalam memahami ayat seperti ( QS Al Baqarah[2]:186 ) mengambil hanya sebagaian dari ayat itu yakni "Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku". Sehingga sebagian muslim, ketika selesai berdoa, seolah-olah "menagih janji" Allah swt berdasarkan apa yang dipahaminya itu.

Padahal ayat itu menjelaskan jalan/cara/syarat agar Allah ar Rahmaan ar Rahiim mengabulkan doa hambaNya.

Doa agar sampai kepada Allah Azza wa Jalla atau terkabul harus memperhatikan "adab berdoa"

Adab berdoa yang utama adalah bagaimana kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla di terangkan dalam ayat itu juga yakni "hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran".

Mereka yang lebih "didengar" doanya adalah adalah orang-orang yang istiqomah di jalan yang lurus yakni jalan orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS Al Fatihah [1]: 6 )
"(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS Al Fatihah [1]:7 )

Kita semua berdoa setiap hari minta petunjukNya akan ”jalan yang lurus” namun seolah-olah tidak berupaya agar permintaan  / doa itu terlaksana.

Kenyataannya sebagian muslim hanya sebatas meminta / berdoa saja tanpa upaya atau tidak pernah tahu apa upaya yang harus dilakukan terhadap permintaan / doa tersebut, atau malah tidak pernah merasa meminta / berdoa walaupun melaksanakan sholat 5 waktu.

Ketidaktahuan itu terjadi karena tidak mengikuti nasehat para ulama  sebagai contoh nasehat ulama kita terdahulu seperti Wali Songo dalam syair lagu "obat hati" dimana mereka menasehatkan "Obat hati ada lima perkara, Yang pertama, baca Qur’an dan maknanya"

PetunjukNya semua ada dalam Al-Qur'an dan jadikanlah Al-Qur'an sebagai petunjuk kita dengan mengetahui maknanya atau dengan memahaminya .

"Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa," (QS. Al Baqarah [2] : 2 )

"Dengan kitab (Al-Qur’an) itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (QS Al Maa’idah. [5]:16 )

Siapakah orang-orang yang istiqomah di jalan yang lurus atau orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Azza wa Jalla ?

"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS An Nisaa [4]: 69 )

Orang-orang sholeh (sholihin) dan muslim dengan derajat/tingkatan orang sholeh itu ada yang masih hidup dan ada pula yang sudah meninggal sedangkan para Shiddiqin dan para Syuhada adalah mereka yang mendapatkan derajat tersebut setelah wafat.

Kita bisa minta tolong orang lain yang menurut kita termasuk orang-orang sholeh atau orang-orang yang dekat di sisi Allah Azza wa Jalla karena kita meyakini bahwa do’a mereka lebih “didengar” oleh Allah Azza wa Jalla daripada do’a yang disampaikan oleh kita sendiri dengan syarat kita harus yakin bahwa sesungguhnya yang mengabulkan doa/permintaan adalah Allah ta’ala semata. Orang-orang sholeh hanyalah sebagai washilah atau jalan.  Inilah salah satu bertawasul.

Kalau kita mau berdoa langsung kepada Allah Azza wa Jalla maka kitapun harus memenuhi adab berdoa itu atau bertawasul

Bertawasul yang paling sederhana adalah dengan sholawat.

Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi SAW, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“.

Bertawasul yang lain adalah sebelum berdoa meng"hadiah"kan bacaan al fatihah untuk orang-orang sholeh umumnya untuk yang telah wafat.  Ini termasuk bertawasul dengan amal kebaikan/sholeh kita.

Ada beberapa cara bertawasul antara lain

Hadits dengan sanad bagus riwayat ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, bahwa Rasulullah menyebutkan dalam doanya (bertawasul dengan para nabi): "Dengan haq Nabimu dan para Nabi-Nabi sebelumku"

Hadits riwayat al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bahwa ketika para shahabat kepayahan karena ketiadaan air, Umar bin Khaththab ber-istisqa’ lewat ‘Abbas bin Abdil Muththalib, beliau berdoa: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau lewat dengan Nabi kami dan Engkau memberu hujan kami. Dan kami bertawassul kepada Engkau lewat dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan!

Hadits riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Umar bin Khaththab mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Ketika Nabi Adam melakukan kesalahan, dia bermunajat: “Wahai Rabb-ku, aku memohon kepada-Mu dengan lewat haq-Muhammad ketika Engkau mengampuni kesalahanku.” Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, bagaimana engkau tahu tentang Muhammad sementara Aku belum menciptakannya?” Adam menjawab: “Wahai Rabb-ku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu (kekuasaan-Mu) dan meniupkan ruh di jasadku dari ruh-Mu, aku mengangkat kepalaku dan aku melihat di tiang-tiang ‘Arsy tertulis La ilaha illallah, Muhammad Rasulallah, dan aku tahu Engkau tidak akan menyandarkan nama-Mu kecuali kepada makhluk yang paling Engkau kasihi.” Allah kembali berfirman: “Benar wahai engkau Adam, karena sesungguhnya Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai; dan jika engkau memohon kepada-Ku lewat dengan haq-nya Aku akan mengampunimu. Andai bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu.

Kesimpulannya

Tawasul adalah pembuka (jalan/wasilah) doa atau Tawasul merupakan  adab berdoa..

Tawassul adalah sebab (cara, sarana) yang dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba.

Tawassul dengan para Nabi, orang-orang sholeh  atau para wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal. Karena mukmin yang bertawassul tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah Azza wa Jalla.

Para Nabi dan orang-orang sholeh atau para wali  tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka di sisi Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla sendiri yang menyampaikan tentang kemulian dan ketinggian derajat mereka dalam (QS Ali Imran [3]: 169 ) yang artinya ”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.

Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah berkomentar dlm kitabnya Al-Kawakib Al Durriyah juz 2 hal. 6 yaitu:
"Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati seperti yg dianggap sebagian orang. Jelas shohih hadits riwayat sebagian sahabat bahwa telah diperintahkan kpd orang2 yg punya hajat di masa Kholifah Utsman untuk bertawasul kpd nabi setelah beliau wafat (berdo'a dan bertawasul di sisi makam Rosulullah) kemudian mereka bertawasul kpd Rosulullah dan hajat mereka terkabul, demikian diriwayatkan al-Thabary"

Para Nabi tentu termasuk Rasulullah pemimpin para Nabi, para Shiddiiqiin, para Syuhada dan orang-orang sholeh mereka hidup disisi Allah Azza wa Jalla sebagaimana yang disampaikan Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya tentang para Syuhada

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)

Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/21/rasulullah-hidup/

Siapakah orang-orang sholeh atau para wali ?

Mereka adalah muslim yang sholeh atau muslim yang terbaik atau muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) yakni muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati/keimananan atau muslim yang selalu setiap saat yakin bahwa Allah Azza wa Jalla melihat setiap perbuatan.

Sebagaimana yang diriwayatkan berikut
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”

Kitapun tanpa disadari telah bertawasul dengan orang-orang sholeh atau bersholawat kepada orang-orang sholeh setiap hari dengan mengucapkan

Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.

Masihkah kita mengingkari bertawasul ?

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Senin, 21 Februari 2011

Mencintai Rasulullah

Muslim yang mengikuti (i’ttiba)  Rasulullah belum tentu ia mencintai Rasulullah akan tetapi yang mencintai Rasulullah pasti ia akan berusaha untuk mencari tahu kabar tentang kekasihnya dan akan selalu berusaha untuk mengikutinya.

Ingin tahu kabar tentang junjungan kita Rasulullah silahkan baca tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/21/rasulullah-hidup/

Hujjatul Islam Al Ghazali meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang lupa membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. Lalu pada suatu malam ia bermimpi melihat Rasulullah SAW tidak mau menoleh kepadanya, dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau marah kepadaku?" Beliau menjawab, “Tidak.” Dia bertanya lagi, “Lalu sebab apakah engkau tidak memandang kepadaku?" Beliau menjawab, “Karena aku tidak mengenalmu.” Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana engkau tidak mengenaliku, sedang aku adalah salah satu dari umatmu? Para ulama meriwayatkan bahwa sesungguhnya engkau lebih mengenali umatmu dibanding seorang ibu mengenali anaknya?”

Rasulullah SAW menjawab, “Mereka benar, tetapi engkau tidak pernah mengingat aku dengan shalawat. Padahal kenalku dengan umatku adalah menurut kadar bacaan shalawat mereka kepadaku.” Terbangunlah laki-laki itu dan mengharuskan dirinya untuk bershalawat kepada Rasulullah SAW, setiap hari 100 kali. Dia selalu melakukan itu, hingga dia melihat Rasululah SAW lagi dalam mimpinya. Dalam mimpinya tersebut Rasulullah SAW bersabda, “Sekarang aku mengenalmu dan akan memberi syafa’at kepadamu.” Yakni karena orang tersebut telah menjadi orang yang cinta kepada Rasulullah SAW dengan memperbanyak shalawat kepada beliau...

Maka barangsiapa yang ingin dikenali oleh Rasulullah SAW, hendaklah ia memperbanyak bacaan shalawatnya..

Maka Shollu 'Alan-Nabiyyil Musthafa..

(Kitab Mukasyafatul Qulub, bab IX, hal 55, karangan Hujjatul Islam Al Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali RA)

Berikut faedah Sholawat, tulisan bersumber dari : http://majlisdzikrullahpekojan.org/kisah-quran-dan-hadist/keutamaan-shalawat.html

Disebutkan beberapa faedah shalawat atau manfaat shalawat dan mengucapkan salam kepada Nabi. Seperti yang dikatakan para ulama. Terutama Al Alamah Ibn Al Qayyim, dan Al Hafizh Ibn Hajar Al Haitsami dengan secara rinci dan ringkas.

Ada pun beberapa faedah shalawat atau dengan kata lain keutamaan shalawat dan mengucap salam kepada Rasulullah Saw, yaitu:

1. Shalawat adalah serupa dengan perintah Allah Swt.
2. Bersamaan dengan Allah Swt ketika kita bershalawat. Sedangkan jika shalawat kita berbeda. Shalawat kita adalah doa dan permohonan. Sedangkan shalawat Allah Swt adalah keagungan dan kemuliaan.
3. Malaikat pun ikut shalawat didalamnya.
4. Allah akan memberikan balasan sepuluh, jika orang tersebut mengucapkan shalawat sekali.
5. Shalawat mengangkat sepuluh derajat.
6. Dituliskan sepuluh kebaikan.
7. Shalawat menghapus sepuluh keburukan.
8. Shalawat akan mendatangkan pengijabahan atas doanya. Jika shalawat didahulukan maka akan menghantar kepada Allah Swt. Sedangkan jika tidak diucapkan ketika berdoa, maka doa tersebut akan menggantung antara langit dan bumi.
9. Penyebab syafaat Nabi, jika ia meminta perantaraan ataupun meninggalkannya.
10. Penyebab diampunkannya dosa.
11. Penyebab untuk dicukupkannya kesedihan oleh Allah Swt kepada hamba-Nya.
12. Penyebab kedekatan seorang hamba kepada Rasulullah Saw di hari Kiamat.
13. Menempatkan kedudukan sedekah pada yang sepuluh.
14. Penyebab ditunaikannya kebutuhan.
15. Penyebab Allah dan para malaikat bershalawat kepadanya.
16. Shalawat adalah bentuk zakat bagi orang yang bershalawat dan merupakan penyuci baginya.
17. Penyebab datangnya kabar gembira bagi si pelakunya dengan surga sebelum ia mati.
18. Penyebab diselamatkannya si pelaku dari keadaan hari Kiamat.
19. Penyebab menjawabnya Nabi Saw (atas shalawat yang dilantunkannya).
20. Penyebab pengingat dari sesuatu yang ia lupakan.
21. Penyebab baiknya sebuah majelis, juga tidak akan merugikan seseorang yang termasuk ahli didalamnya.
22. Penyebab menolak kefakiran.
23. Menolak kepada pelakunya nama bakhil jika ia membalas orang mengucap shalawat atas Nabi Saw.
24. Penyebab kesuksesan doa jika disebutkan diawal doa atau pun dibelakangnya jika ia lupa bershalawat kepada Nabi Saw.
25. Shalawat akan mengantar pada jalan surga, serta seseorang akan meninggalkan jalan itu karena sebab meninggalkan shalawat.
26. Menyelamatkan dari fitnah di sebuah majelis yang tidak berdzikir kepada Allah dan Rasul-Nya, atau tidak memuji dan mengagungkan-Nya, dan bershalawat kepada Rasul-Nya.
27. Merupakan kesempurnaan bicara yang diawali denhan Hamdallah (memuji Allah) lalu shalawat kepada Rasul-Nya.
28. Berlimpahnya cahaya seorang hamba ketika berada di Shirath.
29. Shalawat akan mengeluarkan seorang hamba dari kehilangan.
30. Penyebab akan ketetapan Allah Swt dalam mengagungkan kebaikan bagi orang yang bershalawat kepadanya antara penduduk langit dan bumi. Karena orang yang bershalawat adalah menuntut kepada Allah agar kiranya Allah mengagungkan kepada Rasul-Nya, memuliakan, dan menghormatinya. Ini merupakan bagian dari amal, maka adalah harus bagi orang yang shalawat bagian seperti itu.
31. Penyebab keberkahan, baik pekerjaan ataupun usianya
32. Penyebab untuk menggapai rahmat Allah, karena rahmat adalah makna dari shalawat.
33. Penyebab kekalnya kasih sayang kepada Nabi Saw, dengan cara menambah atau melipat-gandakannya. Ini merupkan bentuk ikatan iman yang tidak akan sempurna bila tidak ada shalawat didalamnya. Karena ketika ia memperbanyak dalam mengingat yang ia cintai dan menghadirkannya dalam hati, serta memperindah dalam menghadirinya. Maka itu adalah bentuk cinta yang penuh dan semakin berlipat cintanya dan semakin bertambah rasa rindunya. Jika semakin penuh rasa rindunya, merupakan kebiasaan jika seseorang mencintai sesuatu, maka pasti ia sangat menginginkan untuk melihatnya. Sedangkan jika ia merasa cinta, maka akan semakin kuat ia mengingatnya. Sehingga lisan senantiasa memuji dan mengagungkan yang dicintainya. Sehingga ia akan terus menggandakan dan menambahkan keindahan dalam tiap kata ketika mengingatnya.
34. Penyebab rasa cinta Nabi Saw kepada seorang hamba.
35. Penyebab mendapatkan hidayah dari Allah, serta penyebab hidupnya hati.
36. Penyebab dikembalikannya nama orang yang bershalawat oleh Nabi Saw 9Nabi Saw menjawab shalawat dan ucapan salam orang tersebut). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, "Sesungguhnya shalawat kalian akan disampaikan kepadaku. Kemudian sabdanya pula, "Sesungguhnya Allah mewakilkan atas kuburku malaikat yang senantiasa menyampaikan nama umatku yang mengucapkan salam kepadaku."
37. Penyebab tetapnya kedua kaki ketika berada di Shirath.
38. Bershalawat merupakan menunaikan sedikit daripada hak Nabi Saw, serta merupakan perlambang dari rasa syukur atas diturunkannya, yang merupakan bentuk dari nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita.
39. Bershalawat adalah gabungan antara shalawat dan dzikir kepada Allah, serta bersyukur kepada Allah. Bershalawat juga merupakan bentuk pengetahuan akan nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya dengan bentuk mengutus Nabi Saw.

Dikutip dari "Umat Akhir Zaman," Muhammad bin Alwi Al Maliki, Penerbit: Iqra Kurnia Gemilang.

Hadits Ubay bin Ka’ab yang berbunyi,
“Seorang lelaki berkata kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai rasulullah sesungguhnya aku adalah seorang yang sering berdoa, berapa bagiankah dari doaku itu aku peruntukkan untuk bershalawat kepadamu? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sekehendak hatimu.” Lelaki itu berujar, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab, “Terserah anda, jika engkau menambahnya maka itu lebih baik.” Lelaki itu kembali berujar, “Bagaimana kalau aku jadikan seluruhnya bagimu?” Maka beliau menjawab, “Hal itu tidak mengapa jika engkau mampu melakukannya.” Diriwayatkan Ahmad dan selainnya dengan sanad hasan. HR. Hakim nomor 3578, Al Baihaqi nomor 1499.

Wassalam

 

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Tips bertasawuf

Tips untuk memulai bertasawuf

Beberapa pertanyaan telah dilayangkan kepada kami, setelah mereka membaca tulisan “Rasulullah bertasawuf”,  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/11/rasulullah-bertasawuf/ dan tulisan “Penjelasan bertasawuf”,  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/14/penjelasan-bertasawuf/ . Pertanyaan umumnya berkisar tentang mursyid (pembimbing) dalam bertasawuf.

Pada hakikatnya siapakah mursyid yang akan ”menghampiri” kita adalah semata-mata kehendak Allah Azza wa Jalla.  Pesan kami jika pembaca dalam penantian mursyid, berhati-hatilah jika seseorang mempromosikan dirinya sebagai mursyid bagi anda namun jangan pernah menganggap remeh seorang muslimpun yang dijumpai karena bisa jadi beliau adalah mursyid anda.

Baiklah sambil menanti mursyid, berikut adalah tips atau langkah-langkah awal dalam bertasawuf

Bertauhidlah dengan cara menjadikan Allah Azza wa Jalla sebagai pihak pertama yang dikomunikasikan segala permasalahan, cobaan, kebutuhan dan keinginan kita, termasuk atas segala kenikmatan  yang telah Allah ta’ala berikan dalam bentuk bersyukur.  Begitupula kita komunikasikan kebutuhan dan keinginan bertasawuf kepada Allah ta’ala.

Teguhkan tujuan hidup kita adalah untuk sampai kepada Allah Azza wa Jalla sedangkan surgaNya adalah keniscayaan/kepastian bagi mereka yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya.

Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )

Sampai kepada Allah Azza wa Jalla , sehingga dapat berkumpul dengan Rasulullah dan para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan para Sholihin.  Ikutilah jalan mereka yang termasuk orang-orang yang telah Allah Azza wa Jalla berikan nikmat.

(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:7 )

Shiddiqin adalah orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran Rasul
Syuhada adalah orang-orang yang mati syahid
Sholihin adalah orang-orang sholeh atau muslim yang terbaik atau muslim yang Ihsan (muhsin), muslim yang dapat melihat Allah ta'ala dengan hati/keimanan atau muslim yang selalu yakin bahwa Allah ta'ala melihat perbuatan.

Allah Azza wa Jalla telah memberikan ni’mat kepada mereka dan setelah mereka merasakan kematian, mereka hidup di sisi Allah Azza wa Jalla, sesuai dengan kehendak Allah menempatkan mereka dan mereka masih mendapatkan rezeki atau kehendakNya.

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)

Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: “Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada.“

Selengkapnya silahkan baca tulisan ” Rasulullah hidup di sisi Allah Azza wa Jalla” pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/21/rasulullah-hidup/

Jadi tujuan kita bertasawuf karena Allah ta’ala semata atau agar kita sampai kepadaNya dan berkumpul dengan mereka yang telah menerima ni’mat dari Allah Azza wa Jalla.

Berikut langkah-langkah untuk memulai bertasawuf sampai Allah Azza wa Jalla menetapkan mursyid (pembimbing) bagi kita.

Mulailah dengan pembersihan diri, bertobatlah kepada Allah Azza wa Jalla

Bersikap tawaduk, merendah serta memohon maaf dan ampunan, apakah kita telah melakukan dosa atau tidak. Jika kita melakukan kesalahan atau dosa, akuilah segera dan mintalah ampunan, karena orang yang bertobat dari dosa laksana orang tidak berdosa. Semua manusia pasti melakukan kesalahan. Tak ada yang lepas sepenuhnya dari dosa. Namun yang paling penting, jagalah diri kita agar tidak terus berkubang dosa.

Nasehat Syaikh Ibnu Athoillah dalam al-Hikam,

Adakalanya Dia bukakan pintu ketaatan untukmu, tetapi tidak membukakan pintu penerimaan.
Adakalanya Dia menetapkanmu berbuat dosa, tetapi itu menjadi sebab kau sampai kepada-Nya
Maksiat yang melahirkan rasa hina dan papa lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan kecongkakan dan kesombongan.

Setelah pembersihan diri dengan bertobat kemudian buktikan syahadat kita dengan menegakkan sholat wajib 5 waktu, zakat,  puasa dan berhaji jika mampu.

Jadikan sholat wajib 5 waktu bukan sebuah beban namun rasakan sebagai wujud Ar Rahmaan dan Ar Rahiim nya Allah Azza wa Jalla dalam bentuk peluang bagi kita untuk dapat berkomunikasi denganNya, 5 kali sehari. Kitalah yang membutuhkan sholat.

Raihlah ridho Allah ta’ala dengan sholat wajib 5 waktu dengan tepat waktu dan di masjid bagi pria. Karena sesungguhnya bagi yang tidak sholat berjamaah ke masjid tanpa alasan yang berarti dan mereka yang tidak sholat wajib 5 waktu tepat waktu tanpa alasan yang berarti adalah mereka yang mengharapkan maafnya Allah ta’ala. Sedangkan kita butuh ridho Allah ta’ala agar kita sampai kepadaNya. Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/11/ridho-allah-taala/

Disetiap selesai sholat wajib 5 waktu, berdzikir dan berdoalah. Dalam berdzikir sebaiknya diawali istighfar, syahadah, sholawat dan dzikir sebagaimana Rasulullah anjurkan kemudian akhiri dengan doa yang menunjukkan keinginan kita bertasawuf  agar sampai kepadaNya. Berdoalah seperti “Ilahi Anta Maqsudi Waridhoka Matlubi“, Tuhan hanya Engkaulah yang kumaksud dan ridhoMu yang kuharap. dan ditambah berdoa dengan redaksi sesuai keinginan sendiri seperti “Ya Allah ampunkanlah dosa kami, Bimbinglah kami dengan kasih sayangMu, untuk sampai kepadaMu“. .

Setelah seluruh perkara yang Allah Azza wa Jalla  wajibkan berikut niat dan doa kita laksanakan maka lanjutkan untuk meraih cintanya Allah Ar Rahmaan dan Ar Rahiim dengan amalan-amalan sunnah agar kita sampai kepadaNya dengan derajat  kekasih Allah (Wali Allah).

Dari Abu Huriroh rodhi Allahu ta’ala ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah ta’ala berfirman, barang siapa memusuhi wali-Ku maka aku izinkan untuk diperangi. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku akan Aku berikan, jika dia meminta perlindungan pada-Ku, akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari)

Ikutilah amalan-amalan sunnah sebagaimana para ulama kita terdahulu contohkan yakni para Wali Songo yang mengajak kita untuk mentaati Allah ta’ala dan RasulNya.

Nasehat  mereka tertuang dalam  syair lagu ”OBAT HATI”

Obat hati ada lima perkara.
Yang pertama, baca Qur’an dan maknanya
Yang kedua, shalat malam dirikanlah
Yang ketiga, berkumpulah dengan orang saleh
Yang keempat, perbanyaklah berpuasa
Yang kelima, dzikir malam perpanjanglah.


Yang pertama, baca Qur’an dan Maknaya
Untuk bertasawuf atau menjadi orang khusus (yang dicintai Allah ta’ala) , bacalah Al-Qur’an dengan maknanya. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam kita melakukan segala aktivitas. Pergunakanlah terjemahan Al-Qur’an dan lebih baik dengan tafsir.

Yang kedua, Sholat malam dirikanlah
“Dan pada sebagian malam tahajudlah kamu, sebagai ibadah tambahan bagimu, semoga Rabbmu mengangkat derajatmu ke tempat yang paling terpuji.” (QS Al Isro’ [17]:79 )

“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (QS Al Muzzammil [73]:6 )

Rasulullah SAW. bersabda: “Kerjakan sholat malam, sebab hal itu adalah kebiasaan orang-orang sholeh sebelum kamu, juga sebagai suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagai penebus keburukan-keburukanmu, dan pencegah dosa.” (HR Tirmidzi)

Yang ketiga, berkumpulah dengan orang sholeh
Untuk bertasawuf atau menjadi orang sholeh maka kitapun harus memperbanyak berkumpul dengan orang sholeh.
“ar-ruuhu junnudun mujannadah
"Ruh itu kelompok (berbala) yang mengelompok atau teman yang ditemankan." (HR Bukhari)

Kalau kita berkumpul dengan orang-orang sholeh, maka kita akan menjadi orang sholeh. Orang sholeh seperti penjual minyak wangi – kata Nabi. Jadi orang sholeh itu akan menyemprotkan wangi-wangiannya ke sekelilingnya. Jadi sekitarnya akan menjadi wangi karenanya. Oleh karena itu dekat-dekatlah kita kepada penjual minyak wangi sebab kalaupun toh tidak mampu membeli kita akan memperoleh bau wanginya.

Berkumpul adalah melihat dan mendengar. Termasuk berkumpul dengan orang sholeh jika kita membaca tulisan/buku-buku yang ditulis oleh orang sholeh. Hindari membaca buku yang ditulis oleh  Dukhala ‘Ilmi yakni ahli ilmu (ulama) namun bukan ahli bidang tasawuf.

Kami merekomendasikan beberapa buku-buku baru yang merupakan terjemahan dari karya penulis ulama Tasawuf ternama.

Karya Syaikh Abdul Qadir Jailani yang diterjemahkan
Trilogi “Jalan Sejati Menuju Sang Khalik”
Buku ke 1 “Rahasia mencintai Allah”
Buku ke 2 “Rahasia berjumpa Allah”
Buku ke 3 “Rahasia menjadi kekasih Allah”
Buku-bukut itu diterbitkan oleh penerbit Sabil, Jogyakarta. http://www.divapress-online.com

Karya Syaikh Ibnu Athoillah yang diterjemahkan
1 set buku “Terapi Makrifat” penerbit Zaman, http://www.penerbitzaman.com
1. Misteri Berserah kepada Allah
2. Rahasia Kecerdasan Tauhid
3. Tutur Penerang Hati
4. Zikir Pententram Hati
5. Kasidah Cinta dan Amalan Wali Allah

Bacaan dalam bentuk majalah yang kami rekomendasikan adalah Cahaya Sufi.

Sejauh ini kami tidak ada hubungan dengan para penerbit, kami merekomendasikan karena untuk tahap permulaan lebih baik membaca buku yang mudah untuk dipahami, diresapi dan diambil hikmahnya. Buku-buku tersebut adalah termasuk buku yang baru diterbitkan dan diterjemahkan oleh penterjemah masa kini.

Ikuti pengajian yang membahas kitab-kitab Tasawuf seperti kitab Al Hikam , Syaikh Ibnu Athoillah atau pengajian yang membahas seputar hati atau tazkiyatun nafs seperti manajemen qalbu.

Selain bergaul dengan orang sholeh, kita upayakan meninggalkan pergaulan dengan orang yang tidak sholeh seperti

  1. Tinggalkan menonton sinetron TV yang berisikan atau mempertunjukkan sifat-sifat orang yang tidak sholeh seperti marah, sombong, dengki, iri, hasut dll. Menonton sinetron TV seperti itu pada hakikatnya kita bergaul dengan orang tidak sholeh.

  2. Tinggalkan menonton infotainment yang berisikan membicarakan keburukan orang lain (ghibah).

  3. Tidak menonton acara yang memperlihatkan gaya hidup yang bukan berzuhud. Sedangkan berzuhud adalah gaya hidup yang dicintai Allah ta’ala. Silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/30/zuhudlah-di-dunia/


Yang keempat, perbanyaklah berpuasa
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).

Dari Sahl dari Nabi bersabda : Sesungguhnya dalam surga terdapat sebuah pintu yang bernama Ar Rayyan, orang-orang yang berpuasa akan masuk melaluinya pada hari kiamat, dan selain mereka tidak akan masuk melaluinya. ….(Hadist riwayat Bukhari dan Muslim)

Lakukanlah puasa sunnah Senin-Kamis, sepanjang tahun jika kesempatan memungkinkan. Tulisan tentang puasa silahkan baca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/05/hakikat-puasa/

Yang kelima, dzikir malam perpanjanglah.
Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS Al Ahzab [33]:41 )

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” [QS Ar Rad [13]:28 ]

Hal yang sebaiknya dilakukan sebelum dalam berdzikir adalah harus diawali dengan bertawasul atau diawali beberapa dzikir yang telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/24/allah-itu-dekat/ yaitu istighfar, syahadah, laahaulaa , sholawat dstnya..

Dizkrullah adalah alat atau sarana  kita untuk mi'raj kepada Allah Azza wa Jalla atau untuk sampai kepada Allah Azza wa Jalla.  Sebaik-baiknya dzikir atau sebaik-baiknya mi'raj adalah sholat.  Inilah yang dimaksud perkataan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin,  “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“

Demikianlah tips dari kami untuk memulai bertasawuf, dalam perjalanannya nanti, jika dikehendaki Allah Azza wa Jalla datanglah mursyid yang ditetapkanNya.

Kalau ada waktu silahkan baca tulisan di blog kami. Temukan daftar/indeks tulisan pada kolom paling kanan dengan judul/kelompok
"Seputar Tasawuf", "Perjalanan Hidup (suluk)" dan "Tulisan khusus"

Tulisan ini kita akhiri dengan firman Allah swt yang terkait dengan jiwa, yang artinya
"Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku" QS (Al Fajr [89] 27-30 )

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Minggu, 20 Februari 2011

Rasulullah Hidup

Rasulullah hidup di sisi Allah Azza wa Jalla


Muslim yang mengikuti (i'ttiba)  Rasulullah belum tentu ia mencintai Rasulullah akan tetapi yang mencintai Rasulullah pasti ia akan berusaha untuk mencari tahu kabar tentang kekasihnya dan akan selalu berusaha untuk mengikutinya.

Dalam tulisan kami terdahulu http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/19/di-manakah-rasulullah/ , ada kami sampaikan pertanyaan yang intinya dimanakah Rasulullah berada saat ini setelah kematiannya?

Ada berbagai jawaban yang masuk dari kalangan salafy/wahhabi.

Namun sebuah pernyataan yang cukup menarik dari salah satu perserta dalam sebuah forum diskusi.

Pernyataaannya:  “Jika Rasulullah pernah menyuruh atau sahabat pernah berkata sewaktu Rasulullah hidup dan mohon Rasulullah mendoakan sang sahabat, itu karena ada hak dan kewajiban manusia untuk minta didoakan, untuk mendoakan. Berbeda ketika Rasulullah sudah wafat, dimana hanya dua perkara, Rasulullah sebagai jasad yang sudah dikubur dan Rasulullah sebagai ruh yang sudah dalam genggamanNya.

Pernyataan itu jauh lebih baik dibandingkan pernyataan (kalau memang ada) seorang murid Syaikh Muhammad bin AbdulWahhab bahwa “Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad (shallallahu alaihi wasallam), karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad (sallallahu alaihi wasallam) telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali“.

Baiklah kita kaji pernyataan dari saudara kita di atas , menurut pemahaman kami intinya adalah merujuk kepada firman Allah ta’ala sbb:

Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita'ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS An Nisaa [4]: 64 )

Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)” (QS Az Zumar [39]:30 )

Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir” (QS Az Zumar [39]:42 ).

Baik sebelum kita lanjutkan , kita sepakati terlebih dahulu bahwa apa yang difatwakan/ditetapkan oleh Syaikh Ibnu Baz adalah sebuah kesalahpahaman semata. Beliau memfatwakan/menetapkan bahwa “seseorang yang berkeyakinan Rasulullah mengetahui hal ghaib maka ini adalah keyakinan kufur yang pelakunya dianggap sebagai orang kafir karena melakukan kekufuran yang besar”.  Fatwa tersebut termuat salah satunya pada http://fatwaulama-online.blogspot.com/2008/03/hukum-orang-yang-meyakini-bahwa.html .

Kita katakan sebuah kesalahpahaman karena setelah kita merujuk kepada petunjukNya, ternyata Rasulullah mengetahui hal ghaib walaupun sedikit sebagaimana yang disampaikan oleh Azza wa Jalla yang Maha Mengetahui segala yang ghaib.

Rujukkannya adalah firman Allah ta’ala yang artinya; “Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada Rasul yang di kehendaki”. (QS. Al Jin [72]: 26-27).

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit“. (QS Al Isra [17]:85 ).

Maksud dikatakan kesalahpahaman adalah salah berdasarkan apa yang kita pahami, karena pada hakikatnya kita tidak menetapkan benar atau salah, hanya Allah ta’ala sajalah yang tahu makna segala firmanNya. Kita hanya berusaha untuk memahami petunjukNya atau dinamakan juga dengan berijtihad.

Kita perlu mensepakati bahwa fatwa/ketetapan tersebut adalah sebuah kesalahpahaman karena kita akan membahas masalah yang ghaib, masalah yang tidak dapat dicapai oleh panca indera kita dan kita tentu tidak ingin dikatakan sebagai orang kafir karena berupaya memahami hal yang ghaib.

Masalah ghaib hanya Allah Azza wa Jalla yang mengetahui dan menyampaikan kepada Rasul yang dikehendakiNya. Kemudian Rasulullah menyampaikan kepada siapa saja yang Allah ta’ala kehendaki, sebagai contoh kepada Sayyidina Ali ra. Inilah yang diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwa Rasulullah pernah mengatakan “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui / meyakini Ali sebagai wali, dan aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya

Hadits Qudsi yang terkait Hadits Rasulullah itu adalah adalah  “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya

dan

Dari Abu Hurairoh rodhi Allahu ta’ala ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah ta’ala berfirman, barang siapa memusuhi wali-Ku maka aku izinkan untuk diperangi.

Apa itu Mati ?

Umumnya mati diidentikkan dengan berpisahnya ruh atau nyawa seseorang dari jasadnya yang mengakibatkan seluruh aktivitas dalam dirinya terhenti, diam, kaku dan tidak bergerak. Jasad yang telah ditinggalkan ruhnya akan mengalami perubahan, dengan cepat akan rusak dan mengeluarkan bau.

Sebab itu harus segera disingkirkan dengan berbagai cara yang dilakukan manusia. Dengan membenamkannya ke dalam tanah, ada yang membakarnya, dan ada pula yang menyimpannya di gua-gua batu. Tujuannya agar tidak mengganggu ketenangan manusia yang masih hidup.

Keberadaan ruh dalam jasad, merupakan inti dari hakekat manusia. Tubuh tidak lebih dari wadah yang bergerak karena digerakkan. Ia tidak memiliki kekuatan kecuali apa yang diberikan oleh ruh.

Seseorang akan merasakan sakit ketika dipukul, karena adanya ruh yang mengalir dalam tubuh. Dengan ruhnyalah ia merasakan sakit. Begitu pula perkembangan tubuh terjadi karena ada ruh yang bersemayam di dalamnya. Ruh yang menumpang di dalam jasad akan mengikuti perkembangan jasad.

Ketika jasad sudah lemah dan tidak kuat lagi menampungnya, maka ia pun akan keluar atas ketetapan Allah swt. Keluarnya ruh dari tubuh atau jasad inilah yang disebut dengan wafat atau mati.

Dari firman Allah ta’ala di atas (QS Az Zumar [39]:42 ) memberikan penjelasan bahwa mati itu ada dua jenisnya. Ada yang berbentuk tertahannya nyawa seseorang sehingga tidak dapat lagi kembali kepada wadahnya (tubuh), dan ada yang dilepaskan Allah swt dari genggamanNya, sehingga memungkinkan kembali ke wadahnya semula.

Rasulullah bersabda, “sebagaimana engkau tidur begitupulah engkau mati, dan sebagaimana engkau bangun (dari tidur) begitupulah engkau dibangkitkan (dari alam kubur)”. Dalam riwayat lain, Rasulullah ditanya, “apakah penduduk surga itu tidur?, Nabi menjawa tidak, karena tidur temannya mati dan tidak ada kematian dalam surga”.

Rasulullah saw telah membukakan kepada kita salah satu sisi tabir kematian. Bahwasanya tidur dan mati memiliki kesamaan, ia adalah saudara yang sulit dibedakan kecuali dalam hal yang khusus, bahwa tidur adalah mati kecil dan mati adalah tidur besar. Ruh orang tidur dan ruh orang mati semuanya ada dalam genggaman Allah swt, Dialah Yang Maha berkehendak siapa yang ditahan jiwanya dan siapa yang akan dilepaskannya."

Ibnu Zaid berkata, “Mati adalah wafat dan tidur juga adalah wafat”.

Abdullah Ibnu Abbas r.a. pernah berkata, “ruh orang tidur dan ruh orang mati bisa bertemu diwaktu tidur dan saling berkenalan sesuai kehendak Allah swt kepadanya, karena Allah swt yang menggenggam ruh manusia pada dua keadaan, pada keadaan tidur dan pada keadaan matinya."

Bagaimana ruhNya Rasulullah dalam genggaman Allah Azza wa Jalla

Jawaban pertanyaan inilah yang akan menjadi jawaban pertanyaan dimanakah Rasulullah berada saat ini setelah kematiannya ?

Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya mengatakan: "Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lain."

Secara umum kita ketahui kematian adalah perpindahan dari Alam Dunia ke Alam Barzakh. Sedikit Informasi sekitar kejadian menuju Alam Barzakh atau dikenal dengan fitnah kubur, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/07/fitnah-kubur/

Tentu diperlakukan berbeda antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir.

Untuk orang-orang kafir, dari tulisan tersebut kami cuplikan

.... dan kuburannya pun menjadi semakin sempit dan menghimpit badannya sehingga tulng-tulangnya berserakan.

Di tangan-Nya ada sebatang besi. Jika besi tersebut ditimpkan pada sebuah gunung, niscaya gunung tersebut akan hancur menjadi debu. Allah lantas mengembalikan orang tersebut seperti sediakala. Orang tersebut dipukul lagi dengan satu pukulan hingga menjerit, sementara jeritannya dapat didengar oleh semua makhluk selain jin dan manusia.

Keadaan ini sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya

….,'Keluarkanlah nyawamu'. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadp ayat-ayatNya". [Al-An'am : 93]

Untuk orang-orang beriman, dari tulisan tersebut kami cuplikan

Jika memang hamba-Ku ini benar, maka hamparkanlah untuknya (permadani) dari surga, berilah ia pakaian dari surga, dan bukakanlah untuknya pintu yang menuju surga.” Kemudian ruh orang yang beriman dikembalikan ke jasadnya beserta bau wamgi-wangiannya, lalu diluaskan kuburannya sejauh mata memandang.

Ini adalah hari kebahagiaan Anda yang telah Allah janjikan

Keadaan ini sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya

Adapun jika dia (orang-orang mati) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki serta surga kenikmatan". ( Al-Waaqi'ah [56]:88-89 )

Kedua perlakukan tersebut untuk  manusia pada umumnya, sedangkan untuk manusia pilihan atau hamba-hamba Allah yang dicintaiNya tentu akan diperlukan khusus pula.

Ada keterangan perlakuan khusus untuk hamba Allah yang taat dan patuh sehingga gugur di jalan Allah ta’ala (para syuhada)  sebagaimana firman Allah swt yang artinya,

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)

Hal ini menunjukkan bahwa para syuhada (orang yang mati syahid) setelah kematian mereka, mereka hidup dengan diberikan rejeki, dalam keadaan gembira dan suka cita. Hal ini merupakan sifat orang-orang yang hidup di dunia.

Jika sifat kehidupan di dunia ini saja diberikan kepada para syuhada (orang yang mati syahid), tentu para nabi lebih berhak untuk menerimanya. Apalagi Rasulullah sebagai pemimpin para Nabi.

Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: "Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada."

Hamba-hamba Allah yang dicintaiNya akan diperlakukan khusus dan mereka berkumpul di sisi Allah Azza wa Jalla, yang terdekat denganNya tentulah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Al-Baihaqi mengeluarkan hadis dari Anas ra:

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya para nabi tidaklah ditinggalkan di dalam kubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka shalat (dzikrullah) di hadapan Allah SWT sampai ditiupnya sangkakala."

Al-Baihaqi menyatakan, atas dasar inilah mereka layaknya seperti orang hidup kebanyakan, sesuai dengan Allah menempatkan mereka.

Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid (syuhada), dan orang-orang saleh (sholihin). Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An Nisaa [4]:69 ).

Ustadz Abu Manshur 'Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi mengatakan: "Para sahabat kami yang ahli kalam al-muhaqqiqun berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam hidup setelah wafatnya". Adalah beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bergembira dengan ketaatan ummatnya dan bersedih dengan kemaksiatan mereka, dan beliau membalas shalawat dari ummatnya." Ia menambahkan, "Para nabi as tidaklah dimakan oleh bumi sedikit pun”

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku di atas kuburku kecuali Allah swt. akan mengembalikan ruhku kepadaku, lalu aku akan menjawab salamnya." (H.r. Ahmad).

Dari beberapa keterangan yang telah disampaikan di atas, kita pahami bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam hidup di sisi Tuhan setelah merasakan kematian.

Jika Allah berkehendak mengangkat hijab tersebut terhadap orang yang Dia kehendaki sebagai bentuk anugerah dengan melihat Nabi, maka orang tersebut akan melihat beliau dalam keadaan apa adanya (seperti saat beliau hidup) dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dari hal tersebut serta tidak ada pula yang menentang atas pengkhususan melihat yang semisalnya

Ketika, ada sebagian orang yang menanyakan bagaimana caranya orang-orang yang jumlahnya banyak dan di tempat yang berbeda-beda pula melihat beliau? Maka ada sebuah syair yang berbunyi: "Seperti matahari di angkasa, sinarnya menerangi, negeri-negeri baik di timur atau di barat."

Kita sekarang dapat memahami dimana Rasulullah setelah merasakan kematian. Rasulullah hidup di sisi Allah ta’ala. Dengan kehendak Allah Azza wa Jalla, beliau mendoakan umatnya yang bersholawat kepada Beliau. Begitu pula para Sholihin, dengan kehendak Allah Azza wa Jalla, mereka mendoakan setiap hamba-hamba Allah yang mengucapkan

Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,

Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.

Dari sinilah kita dapat memahami tentang faedah tawasul, istighotsah, sholawat nariyah dan lain-lain sehubungan jika atas kehendak Allah Azza wa Jalla , Rasulullah masih tetap dapat membalas sholawat atau memohonkan kepada Allah kepada umatnya yang bertawasul, istighotsah, sholawat Nariyah dll. Amal-amal tersebut termasuk perkara / perbuatan yang “telah Allah ta’ala diamkan” sebagai kesempatan untuk mendapatkan kecintaanNya dalam perihal kita menjalankan perkara sunnah.

Sholawat termasuk perkara/perbuatan yang “telah Allah ta’ala diamkan” artinya jika dilakukan/dibacakan, kita akan mendapatkan pahala dan tidak dilakukan oleh kita maka Allah ta’ala akan diamkan.

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

Oleh karena sholawat bukan perkara hukumnya wajib sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah namun dibolehkan kita bersholawat sesuai dengan keinginan kita asalkan matan/isi sholawat tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.

Perkara baru (bid’ah) dalam amal seperti ini tidak termasuk bid’ah dalam “urusan Kami” namun termasuk bid’ah hasanah. Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/11/memahami-bidah-2/

Buktinya banyak sekali macam sholawat yang dapat kita temukan seperti sholawat imam Syafi’i ~ rahimullah, sholat imam sayyidina Ali ~ ra, sholawat Nariyah, sholawat Badar dll.

Bahkan kita tidak disadari sering bersholawat dengan bahasa kita sendiri seperti “sholawat dan salam kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam“

Dengan mengetahui bahwa Rasulullah hidup di sisi Allah ta’ala, maka dengan kehendak Allah Azza wa Jalla, beliau tetap dapat memohonkan ampunan kepada Allah Azza wa Jalla bagi umat yang pada hakikatnya ”datang” kepada beliau walaupun beliau telah merasakan kematian.

Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita'ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS An Nisaa [4]: 64 )

Baiklah kita perhatikan sebuah riwayat berikut sehubungan dengan firman Allah ta’ala di atas.

Seminggu sepeninggal Rasulullah SAW, seorang Badwi datang ke Madinah. Ia bermaksud menjumpai Nabi.

Sesampainya di Madinah, ia menanyai sahabat yang dijumpainya. Tapi dikatakan kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah wafat seminggu sebelumnya dan makamnya ada di samping masjid, di kamar Aisyah, istri Rasulullah SAW.

Badwi itu pun sangat bersedih, air matanya bercucuran, karena tak sempat berjumpa dengan Nabi SAW.

Segera ia menuju makam Rasulullah SAW. Di hadapan makam Nabi, ia duduk bersimpuh, mengadukan dan mengutarakan kegelisahan dan kegundahan hatinya. Dengan linangan air mata, ia berkata, “Wahai Rasulullah, engkau rasul pilihan, makhluk paling mulia di sisi Allah. Aku datang untuk berjumpa denganmu untuk mengadukan segala penyesalanku dan gundah gulana hatiku atas segala kesalahan dan dosa-dosaku, namun engkau telah pergi meninggalkan kami. Akan tetapi Allah telah berfirman melalui lisanmu yang suci, ‘…. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya diri mereka datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun kepada Allah SWT untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.’ – QS An-Nisa (4): 64.

Kini aku datang kepadamu untuk mengadukan halku kepadamu, penyesalanku atas segala kesalahan dan dosa yang telah aku perbuat di masa laluku, agar engkau mohonkan ampunan kepada Allah bagiku….”

Setelah mengadukan segala keluh kesah yang ada di hatinya, Badwi itu pun meninggalkan makam Rasulullah SAW.

Kala itu di Masjid Nabawi ada seorang sahabat Nabi SAW tengah tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi Rasulullah. Beliau berkata, “Wahai Fulan, bangunlah dan kejarlah orang yang tadi datang kepadaku. Berikan khabar gembira kepadanya bahwa Allah telah mendengar permohonannya dan Allah telah mengampuninya atas segala kesalahan dan dosanya….”

Sahabat tadi terbangun seketika itu juga. Tanpa berpikir panjang ia pun segera mengejar orang yang dikatakan Rasulullah SAW dalam mimpinya.

Tak berapa lama, orang yang dimaksud pun terlihat olehnya. Sahabat itu memanggilnya dan menceritakan apa yang dipesankan Rasulullah SAW dalam mimpinya.

Dengan memahami bahwa Rasulullah hidup di sisi Allah ta’ala dan mengharapkan di akhirat kelak akan syafa’at Beliau atas kehendak Allah Azza wa Jalla, maka kita berlomba-loba bersholawat, memuliakan  dan mengagungkan Rasulullah.  Batas memuliakan dan mengagungkan sudah dijelaskan oleh Rasulullah yakni sebatas tidak menjadikan Rasulullah sebagai sekutu bagi Allah Azza wa Jalla.

Rasulullah bersabda: “Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Ahmad). Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/15/2010/08/15/pujian-bagi%c2%a0rasulullah/

Pada bagian akhir ini , kami sampaikan bahwa Rasulullah bukanlah manusia biasa,  Rasulullah adalah manusia sempurna (insan kaamil).

Muslim yang mengikuti (i'ttiba) Rasulullah belum tentu ia mencintai Rasulullah akan tetapi yang mencintai Rasulullah pasti ia akan berusaha untuk mencari tahu kabar tentang kekasihnya dan akan selalu berusaha untuk mengikutinya.

Kita tidak cukup mencintai Allah ta’ala dan RasulNya dengan ibadah rutin/wajib saja namun marilah tunjukkan kecintaan dengan bersholawat,  mengagungkan dan memuliakan baginda Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wasallam.

Beliau tidak membutuhkan sholawat , keagungan dan kemuliaan, namun pada hakikatnya semua itu akan kembali kepada kita sebagai keselamatan, keagungan dan kemuliaan bagi diri kita sendiri.

Sebaiknya hentikanlah memandang Rasulullah sebagai manusia biasa karena kita bisa menjadi seperti Abu Jahal. Marilah kita ambil pelajaran / hikmah dari kisah/nasehat berikut ini yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Athoillah dalam bukunya “Umwan al Tawfiq fi Adab al Thariq”. Salah satu terjemahan buku tersebut bisa didapatkan dari penerbit Zaman dengan judul Terapi Makrifat – Kasidah Cinta dan Amalan Wali Allah.

Seorang Sultan pernah mendatangi kuburan Abu Yazid ra. Ia bertanya kepada orang-orang, “Adakah yang pernah bertemu dengan Abu Yazid?”

Seseorang menunjukkannya kepada seorang kakek tua yang pernah bertemu dengannya. Sultan itu bertanya, “Pernahkah kau mendengar apa yang dikatakan Abu Yazid?”.

“Ya. Ia pernah berkata, “Siapa saja yang mengunjungiku, niscaya ia tidak akan terbakar api neraka.”

Jawabannya itu terasa aneh di telinga sang sultan sehingga ia kembali berkata, “Bagaimana mungkin Abu Yazid berkata seperti itu, sementara Abu Jahal pernah melihat Nabi saw saja, nyatanya dibakar api (neraka)”.

Kakek itu menjelaskan, “Abu Jahal tidak melihat/memandang nabi saw. Ia hanya melihat/memandang anak yatim yang dipelihara Abu Thalib. Seandainya ia melihat/memandang Nabi saw, tentu ia tidak akan terbakar api neraka.”

Sultan mengangguk takzim mendengar penjelasan orang tua itu. Ia kagumi jawabannya.

Jelasnya, Abu Jahal tidak melihat Nabi saw dengan sikap yang mengagungkan dan memuliakannya. Ia tidak percaya bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Seandainya ia melihat Nabi disertai sikap yang mengagungkan dan memuliakan, niscaya ia tidak akan dibakar api neraka.

Alih-alih, ia melihat Muhammad sebagai anak yatim yang lemah dan hina yang diasuh Abu Thalib. Pandangan semacam itu tentu saja tidak bermanfaat (pen. pada hakikatnya akan kembali pada dirinya sendiri).

Kesimpulannya: Muslim yang mencintai Rasulullah maka mereka dapat merasakan secara bathin (ghaib) bahwa Rasulullah hidup di sisi Allah Azza wa Jalla ditempat yang paling agung dan mulia atau merasakan Rasulullah hidup di dalam hati dengan sikap mengagungkan dan memuliakan Rasulullah.



Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

Kebangkitan Islam

Berikut tulisan menarik tentang kebangkitan Islam masa modern kini, apakah condong kebangkitan materi atau kebangkitan akhlak.

Pilihan kami adalah kebangkitan akhlak atau kebangkitan menuju muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau muslim bertasawuf.

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini

Kebangkitan Islam


PADA 22 Desember 2010 lalu, saya diminta menjadi pembahas dalam sebuah seminar tentang peradaban Islam di Jakarta Islamic Centre. Diantara pembicara ada Prof. Dr. Azyumardi Azra, mantan rektor UIN Jakarta. Dalam uraiannya, Prof Azyumardi menyatakan, bahwa peluang kebangkitan Islam lebih besar akan terjadi di Asia Tenggara ketimbang di Timur Tengah. Berbagai alasan dikemukakannya.

Pada sesi pembahasan saya menyampaikan bahwa soal kebangkitan Islam sebenarnya sudah banyak dipaparkan dalam al-Quran. Misalnya, dalam al-Quran Surat Al-Maidah ayat 54. Disitu disebutkan ciri-ciri satu kaum yang dijanjikan Allah yang akan meraih kemenangan: mereka dicintai Allah dan mereka mencintai Allah; mereka saling mengasihi sesama mukmin; mereka memiliki sikap ‘izzah terhadap orang-orang kafir; mereka berjihad di jalan Allah; dan mereka tidak takut dengan celaan orang-orang yang memang suka mencela. Kaum seperti inilah yang harus mampu dibentuk oleh umat Islam, khususnya lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Hanya saja, saat bicara tentang kebangkitan Islam, maka yang perlu didefinisikan terlebih dahulu adalah apa yang sebenarnya disebut dengan “bangkit”. Sebab, jangan-jangan, makna kata “bangkit” itu sendiri sudah kabur di benak banyak kaum Muslimin. Seperti kaburnya makna kata “kemajuan”, “pembangunan”, “kebebasan”, dan sebagainya.

Misalnya, negara-negara Barat membuat definsi yang materialistis terhadap makna “kemajuan”. Mereka membagi negara-negara di dunia menjadi negara maju, negara sedang berkembang dan negara terbelakang. Tentu saja, ukuran-ukuran yang digunakan adalah ukuran kemajuan materi. Faktor akhlak tidak masuk dalam definisi “kemajuan” atau “pembangunan” tersebut. Jadi, jika dikatakan suatu negara sudah maju, maka yang dimaksudkan adalah kemajuan materi, khususnya dalam ekonomi, sains dan teknologi. Padahal, secara akhlak, negara itu sebenarnya hancur-hancuran.

Kita, kaum Muslimin, yang masih memiliki keimanan dan menjaga akhlak mulia, sudah selayaknya tidak merasa hina dan rendah martabat saat berhadapan dengan dunia Barat yang serba gemerlap dalam dunia materi. Kita sungguh kasihan kepada sebagian pejabat kita yang rela begadang, bersorak-sorai, menghambur-hamburkan uang hanya untuk menyambut pergantian Tahun Baru dalam tradisi Barat. Mestinya, jika mereka Muslim, mereka mengajak rakyatnya untuk beribadah, mensyukuri setiap tambahan nikmat umur yang mereka terima dari Allah SWT.

Jika kita memiliki kebanggaan akan nilai-nilai dan akhlak kita, maka kita justru akan bersikap sebaliknya. Kita kasihan pada orang-orang sekular – di mana pun -- yang tidak tahu lagi kemana hidup mereka harus diarahkan. Hidup mereka hanya ditujukan untuk memuaskan syahwat, tidak beda jauh dengan peri hidup binatang. Mereka tidak ingat lagi perjanjian azali dengan Allah, saat berada di alam arwah, bahwa mereka pernah mengakui Allah sebagai Tuhan mereka, dan mereka adalah hamba Allah. (QS 7:172).

Maka, ketika negara kita diminta mengejar kemajuan, kita melihat, yang lebih difokuskan adalah kemajuan materi, bukan kemajuan akhlak. Padahal, dalam UU Sisdiknas disebutkan, tujuan pendidikan nasional juga mencakup persoalan akhlak. Juga, sesuai lagu “Indonesia Raya”, kita harus membangun jiwa, baru membangun badan/raga. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” begitu katanya. Tapi, apakah setiap tahun, ada laporan pemerintah kita tentang keberhasilan atau kegagalan membangun jiwa?

Bagi kita, umat Muslim, jika ingin membangun atau membangkitkan sebuah peradaban, maka yang seharusnya dibangun adalah manusia-manusia yang beradab. Membangun peradaban bukan sekedar bercita-cita merebut kekuasaan. Sebab, untuk sekedar berkuasa yang diperlukan adalah kekuatan, dan tidak harus selalu berbasis pada keilmuan. Bangsa Mongol pernah berhasil merebut kekuasaan di Baghdad, 1215, meskipun mereka sangat rendah ingkat peradabannya. Pasukan Salib pernah menaklukkan kaum Muslimin yang jauh lebih tinggi tingkat peradabannya.

Sekarang pun, kita menyaksikan, banyak orang di dunia bisa merebut kekuasaan, dengan mengandalkan modal kecantikan, popularitas, dan banyaknya anak buah, meskipun tingkat keilmuan dan akhlaknya sangat rendah. Jika seorang atau satu kelompok berperadaban rendah tetapi kuat secara fisik dan materi berhasil merebut kekuasaan, maka bisa menimbulkan kerusakan.

Jadi, sekali lagi, dalam merumuskan kebangkitan Islam, yang perlu digariskan adalah makna kebangkitan itu sendiri! Bangkit dalam hal apa? Barulah setelah itu dirumuskan, bagaimana cara bangkitnya! Sejarah Islam menunjukkan, bahwa kebangkitan umat Islam sebagai sebuah peradaban terjadi saat umat berhasil menghidupkan tradisi ilmu dan menanamkan jiwa cinta pengorbanan. Dua aspek ini pun sebenarnya bukan khas Islam. Peradaban lain juga harus menempuh jalan yang sama untuk bisa bangkit, yakni membangun tradisi ilmu dan menanamkan semangat pengorbanan.

Kita bisa menyimak kisah-kisah hebat berikut ini, seputar semangat pengorbanan:

Alkisah, Imam at-Thabari menceritakan, usai penaklukan kota Madain, datanglah seorang laki-laki kepada para petugas pengumpul harta rampasan perang. Ia membawa sejumlah harta yang mencengangkan. Petugas bertanya kepadanya, “Apakah kamu mengambil sebagian untukmu?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak, demi Allah!” Jika bukan karena Allah, pastilah harta ini sudah aku gelapkan untukku.” Penasaran dengan jawaban itu, para petugas bertanya lagi, “Siapa nama kamu?” Dijawab si laki-laki, “Tidak, kalian tidak perlu tahu namaku agar kalian dan orang-orang lain tak memujiku. Aku sudah cukup bersyukur kepada Allah dan puas dengan ganjaran-Nya itu.” Setelah diselidiki, diketahuilah, laki-laki itu bernama Amir bin Abdi Qais.

Sebelum terjadi perang Qadisiah, Panglima Perang Sa’ad bin Abi Waqash mengirimkan utusan bernama Rabi’ bin Amir untuk menemui Jenderal Rustum, panglima Perang Persia. Rabi’ masuk ke tenda Rustum yang bergelimang kemewahan dengan tetap memegang tombak dan menuntun kudanya. Ketika Rustum bertanya, “Apa tujuan kalian?” Dengan tegas Rabi’ menjawab, “Allah telah mengutus kami untuk membebaskan orang-orang yang dikehendaki-Nya dari penyembahan sesama manusia menuju penyembahan Allah semata, dan membebaskan manusia dari kesempitan menuju kelapangan hidup di dunia, dan dari penindasan berbagai agama yang sesat menuju agama Islam yang menuh keadilan.”

Kita ingat sebuah cerita terkenal, ketika Ja’far bin Abdul Muthalib dan kawan-kawan sedang berada di Habsyah, sejumlah pemuka Quraish juga mengejar mereka. Raja Najasyi diprovokasi untuk mengusir kaum Muslim itu. Kepada Najasyi dan para pendeta Kristen, Amr bin Ash dan Amarah menyatakan, bahwa orang-orang Islam tidak akan mau bersujud kepada Raja. Ketika kaum Muslim dipanggil menghadap Raja, mereka diperintahkan, “Bersujudlah kalian kepada Raja!”. Dengan tegas Ja’far menjawab, “Kami tidak bersujud kecuali kepada Allah semata.”

Sejumlah cerita tentang kezuhudan dan kegigihan generasi-generasi awal Islam itu diungkap oleh Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dalam bukunya, “Maa Dzaa Khasiral ‘Aalam bi-inkhithaathil Muslimin.\\\\\\\" (Terjemah versi Indonesia oleh M. Ruslan Shiddieq, Islam Membangun Peradaban Dunia, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1988). Melalui bukunya, Ali an-Nadwi memang ingin menggugah kaum Muslim, bahwa kebangkitan dan kemenangan kaum Muslim hanya akan bisa diraih jika umat Islam memiliki keimanan yang kokoh, dan tidak goyah dengan berbagai godaan dunia.

Dalam risalahnya yang terkenal, Limaadza Taakkharal Muslimun wa-Limaadza Taqaddama Ghairuhum, Syekh Amir Syakib Arsalan juga mengungkap sejumlah perbandingan, mengapa kaum Muslimin bisa dikalahkan oleh bangsa-bangsa Barat di berbagai lini kehidupan. Salah satu sikap yang menonjol adalah rendahnya sikap rela berkorban kaum Muslim dalam perjuangan. Sebagai contoh, ia mengungkapkan kesetiaan bangsa Inggris terhadap barang-barang produksinya dan toko-tokonya sendiri, walaupun harganya lebih mahal. “Aku pernah mendengar bahwa bangsa Inggris yang ada di daerah jajahannya, mereka tidak suka membeli barang-barang yang diperlukan terutama barang-barang yang berharga, melainkan mereka mesti membeli (pesan) dari negara mereka sendiri…”.

Lebih jauh tentang sebab-sebab kemunduran umat Islam di awal abad ke-20, diuraikan dengan sangat tajam oleh Amir Syakib Arsalan dalam risalah yang ditulisnya menjawab pertanyaan Syekh Muhammad Basyuni Imran, Imam Kerajaan Sambas, dengan perantaraan Muhammad Rasyid Ridha. Moenawwar Chalil menerjemahkan buku ini tahun 1954 dengan judul Mengapa Kaum Muslim Mundur. (Jakarta: Bulan Bintang, 1954).

Hilangnya semangat berkorban – jiwa, raga, harta, dan sebagainya – di tengah umat Islam bersamaan dengan munculnya sikap cinta dunia (hubbud-dunya). Sikap ini muncul karena ilmu yang salah, yang melihat dunia sebagai sesuatu yang lebih penting ketimbang kehidupan akhirat. Kapan saja sikap ini muncul, maka umat Islam tidak akan pernah mengenyam kejayaan. Rasulullah saw sudah mengingatkan, umat Islam akan menjadi sampah (buih), ketika sudah terjangkit penyakit “al-wahnu” (hubbud-dunya dan takut mati) dalam diri mereka.

Kecintaan akan pengorbanan tidak mungkin muncul dalam diri seseorang atau masyarakat, jika tidak didahului dengan tumbuhnya tradisi ilmu yang benar di tengah masyarakat. Bisa dikatakan, tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa kecuali, peradaban Islam. Rasulullah saw telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliah gurun pasir, Rasulullah saw berhasil mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi saw dikenal sebagai orang-orang yang “gila ilmu”.

Bukan hanya itu, tradisi ilmu Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw telah melahirkan manusia-manusia unggulan dalam satu ”generasi shahaby” yang belum mampu dicapai oleh peradaban manapun, hingga kini. Rasulullah saw berhasil mengubah ”masyarakat ummiy” yang hidup dalam tradisi lisan menjadi masyarakat yang cinta ilmu dan tradisi tulis. Tradisi ilmu Islam saat itu pun mampu mengubah masyarakat yang gila minuman keras menjadi masyarakat yang bersih dari ”tradisi teler” hanya dalam tempo beberapa tahun saja.

Memang, peradaban yang dibangun oleh Islam adalah peradaban tauhid, yang menyatukan unsur dunia dan akhirat, aspek jiwa dan raga. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan. Nabi memerintahkan umatnya bekerja keras untuk menaklukkan dunia dan meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi melarang keras sahabatnya yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya, agar bisa fokus kepada ibadah.

Berbeda dengan jalan pikiran banyak tokoh agama pada zaman itu, Nabi Muhammad saw justru mendeklarasikan: ”Nikah adalah sunnahku, dan siapa yang benci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” Meskipun begitu, Rasulullah saw juga memperingatkan dengan keras: ”Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan dicabut kehebatan Islam dari mereka.”

Inilah peradaban Islam: bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuwan yang zalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, (radhiyallahu ’anhum), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan sebagainya. Imam Abu Hanifah, misalnya, lebih memilih dicambuk setiap hari, ketimbang menerima jabatan Qadhi negara.

Tradisi ilmu yang tinggi disertai dengan tertatanamnya kecintaan akan pengorbanan untuk meraih cita-cita luhur itulah yang harus diwujudkan di tengah umat Islam, jika umat Islam ingin meraih satu kebangkitan sebagai sebuah peradaban. [Depok, Januari 2011/hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP} Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Sumber:  http://www.hidayatullah.com/read/14903/15/01/2011/kebangkitan-islam?.html

Sabtu, 19 Februari 2011

Bagaimana mengikutinya

Sungguh bagus dan mulia motto sebagian saudara muslim kita,  yakni : "Belajar Islam Sesuai Al-Qur'an dan Sunnah Menurut Pemahaman Para Sahabat"

Cobalah periksa salah satunya http://www.alquran-sunnah.com/artikel/manhaj/94-salah-paham-tentang-salafi.html

Kami kutipkan dari situs tersebut
*****awal kutipan *****
Maka dari sini dapat dipahami bahwa Salafi maksudnya adalah orang-orang yang menisbahkan (menyandarkan) diri kepada generasi Salafus Shalih. Atau dengan kata lain “Salafi adalah mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka”. (Kun Salafiyyan ‘Alal Jaddah, hal. 10)
***** akhir kutipan ****

Inilah pokok kesalahpahaman selama ini yang menjadikan sebagian umat muslim gemar mentakfirkan sesama saudara muslim, terpecah belah, saling berlepas diri, saling berdebat bahkan saling bertengkar seperti kejadian di NTB

Salafi adalah mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka

Pertanyaan sekarang adalah bagaimana cara mengikuti pemahaman dan cara beragama mereka ?

Ada tiga metode "cara mengikuti" atau penyampaian dari Salafush Sholeh yakni

1. Penyaksian langsung atau bergaul, hidup sezaman dengan para Salafush Sholeh
2. Penyampaian dari mulut ke mulut / lisan / temu muka atau dikenal dengan sanad ilmu/ pengijazahan atau bisa pula sanad silsilah (keturunan).
3. Mengikuti yang paling lemah adalah melalui tulisan / literatur karena tidak ada proses konfirmasi apa yang dipahami.

Imam Mazhab yang empat termasuk yang menggunakan metode 1 karena mereka bertemu dengan Salafush Sholeh
***** awal kutipan *****
Imam Abu Hanifah hanya berjumpa dengan 7 orang sahabat Nabi, yaitu:
Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Wasnilan bi Al Asda, Maaqil bin Yasar, Abdullah bin Anis, Abu Thafail.

Guru-gurnya yang lain para Tabi’in. Abu Hanifah menggali hukum dari Al-Qur’an dan Hadits, baik hukum yang ditanyakan kepada beliau atau yang belum ditanyakan.

Imam Hanafi di Kufah (Ibu kerajaan Islam), tetapi Imam Maliki tinggal di Madinah, negeri yang pada ketika itu boleh dikatakan tidak ramai, hanya didiami oleh pemangku-pemangku hadits, ulama ahli tasawuf, ahli tafsir, sedang kota Kufah didiami oleh ahli-ahli politik dan ulama-ulama fungsinya.

Pemangku-pemangku hadits yaitu Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in banyak tinggal di madinah. Hal ini sangat menolong Imam Maliki dengan mudahnya dalam mengumpulkan Hadits-hadits Nabi, Sunnah Rasul.

Imam Maliki sebelum menjadi Imam Mujtahid Muthlaq telah menghafal hadits-hadits sahih sejumlah 100.000 hadits yang dikumpulkan dari gurunya.

Hadits yang 100.000 itu diteliti lagi oleh beliau, diteliti matannya, diteliti pemangkunya, dicocokan isinya dengan Al-Qur’an dan kalau kedapatan agak lemah maka hadits itu ditinggalkannya dan tidak pakai untuk dasar hukum.

Imam Syafi’I sebagai dimaklumi adalah seorang yang sering pindah-pindah tempat tinggal dari satu negeri ke negeri lain.

Beliau tinggal di Mekkah dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, kemudian pindah ke Madinah dan bergaul juga dengan seluruh Tabi’in, pndah lagi ke Yaman dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Iraq dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Persia, kembali lagi ke Mekkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.

Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama.

Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’I Rhl, lebih banyak mendapatkan hadits daripada Tabi’in yang lain, melebih dari yang didapat oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki.

Ilmu beliau pun lebih banyak dari kedua Imam sebelumnya karena beliau banyak melihat, banyak mendengar, banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain bukan Arab (dari Persia, Turki dll).

Hadits-hadits dicari beliau kemana-mana. Para Tabi’in yang telah berjauhan tempat tinggalnya dijumpai dan ditemui bliau. Oleh karena itu beliau banyak sekali mendapat Hadits.

Imam Hanbali belajar Tafsir, Hadits, Tasauf dan lain-lain, yaitu kepada murid-murid Imam Abu Hanifah dan lain-lain, juga kepada Imam Syafi’I Rhl, ketika beliau berada di Bagdad.

Imam Hanbali kemudian sampai derajat ilmunya kepada Mujtahid yang bisa berijtihad sendiri, lepas dari ijtihad guru-gurunya. Sebagai bukti atas ke’aliman beliau adalah sebagai yang diceritakan oleh anak beliau sendiri Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa, “ayahku telah menghafal diluar kepala 10.000.000 (sepuluh juta).

Di dalam kitab al Masnad karangan Imam Ahmad bin Hanbal yang kemudian terkenal dengan nama Masnad Ahmad bin Hanbal dikumpulkannya empat puluh ribu (40.000) hadits, yaitu hadits-hadits yang disaringnya dari yang 10.000.000 itu.

Selengkapnya silahkan baca arsip pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/03/madzhab-empat/
***** akhir kutipan *****

Jadi Imam Mazhab yang empat menggunakan metode yang paling shahih dalam mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, tabi'in, tabi'ut tabi'in

Lalu bagaimana metode yang dipergunakan oleh para syaikh/ulama/ustadz yang mengaku menisbatkan kepada Salafush Sholeh ?

Pada umumnya dengan metode 3 yakni melalui tulisan , mereka memahami melalui tulisan tanpa dapat konfirmasi sehingga bercampur dengan pemahaman mereka sendiri. Tepatlah apa yang disampaikan oleh Ustadz Ahmad Sarwat Lc sbb:
*****awal kutipan *****
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa seorang Al-Albani ketika membaca Quran dan Sunnah, lalu dia pun berjtihad dengan pendapatnya. Apa yang dia katakan tentang Quran dan Sunnah, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu dia sendiri. Sumbernya memang Quran dan Sunnah, tapi apa yang dia sampaikan semata-mata lahir dari kepalanya sendiri.

Sayangnya, para pendukung Al-Albani diyakinkan bahwa yang keluar dari mulut Al-Albani itulah isi dan makna Quran yang sebenarnya. Lalu ditambahkan bahwa pendapat yang keluar dari mulut para ulama lain termasuk pada imam mazhab dianggap hanya meracau dan mengada-ada. Naudzu billahi min dzalik.

Disinilah letak ketidak-adilan para pendukung Al-Albani. Seolah-olah mereka mendudukkan Al-Albani sebagai orang yang paling mengerti dan paling tahu isi Quran dan Sunnah. Apa pun yang dikatakan Al-Albani tentang pengertian Quran dan Sunnah, dianggap kebenaran mutlak. Sedangkan kalau ada ulama lain berbicara dengan merujuk kepada Quran dan Sunnah juga, dianggap sekedar ijtihad dan penafsiran.

Padahal kapasitas Al-Albani yang sebenarnya bukan ahli tafsir, juga bukan ahli fiqih. Bahkan sebagai ahli hadits sekalipun, banyak para ulama hadits di masa sekarang ini yang masih mempertanyakan kapasitasnya. Sebab secara tradisi, seorang ahli hadits itu idealnya punya guru tempat dia mendapatkan riwayat hadits. Al-Albani memang tidak pernah belajar hadits secara tradisi lewat perawi dan sanad, sebagaimana umumya para ulama hadits. Al-Albani hanya sekedar duduk di perpustakaan membolak-balik kitab, kemudian tiba-tiba mengeluarkan statemen-statemen yang bikin orang bingung.
Selengkapnya silahkan baca arsip tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/07/2011/01/18/paham-anti-mazhab/

*****akhir kutipan*****

Lalu bagaimana dengan Syaikh Ibnu Taimiyah (yang diakui sebagai “guru” oleh Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab, pendiri Salafi Wahabi).

Zaman kehidupan Syaikh Ibnu Taimiyah jauh terpaut dengan imam-imam mazhab, tentu hadits sampai kepada beliau tidak melalui pergaulan dengan tabi’in atau tabi’ut tabi’in sekalipun.

Hadits “sampai” kepada Syaikh Ibnu Taimiyah pertama kali dari Syihabuddin (bapaknya) seorang ulama muqolid, pengikut Mazhab Hanbali dan selanjutnya melalui guru/ulama yang diikuti oleh Syaikh Ibnu Taimiyah. Syaikh Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya memahami Al-Qur'an dan Hadits secara dzahir/harfiah/tersurat, kami memberi nama metodology "terjemahkan saja" .

Dengan metodology inilah beliau menjelaskan dan menyebarluaskn konsep Tauhid jadi tiga, seperti Tauhid al-Asma’ wa al-Shifat, yaitu menetapkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan arti secara dzahir/harfiah/tersurat , yang telah dikenal/dipahami di kalangan manusia.

Dalih metodology pemahaman mereka adalah firman Allah yang artinya,
dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195).

Padahal ada firman Allah ta’ala pada ayat lain yang menerangkan bahwa walaupun Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten (ahlinya). “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Selengkapnya silahkan baca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/18/2011/02/02/terjemahkan-saja/

Oleh karena metodologi "terjemahkan saja",  i'tiqad Syaikh Ibnu Taimiyah antara lain adalah
"Allah Azza wa Jalla bertempat di atas arasy"
"Allah Azza wa Jalla, punya tangan, kaki,dll namun tidak serupa dengan makhluk"

Ada keterengan sebenarnya Syaikh Ibnu Taimiyah telah bertobat dengan i'tiqad tsb, cuma kebenarannya perlu dikaji dahulu
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/14/waspadai-wahhabi/

Lalu bagaimana sampainya dari Syaikh Ibnu Taimiyah kepada Syaikh Muhammad bin AbdulWahhab yang zaman hidupnya beratus tahun setelah wafatnya Syaikh Ibnu Taimiyah ?
Tentulah melalui upaya pemahaman melalui guru/ulama yang diikuti oleh beliau.

Inilah yang kami sampaikan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab “mengangkat” kembali pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah. Dalam penyiaran pemahamannya Syaikh Muhammad bin Abdulwhahab bersekutu dengan penguasa Muhammad bin Sa’ud pendiri dinasti/kerajaan Saudi.

Seorang pengunjung blog kami menyampaikan bahwa ustadz mereka mengajak orang-orang yang menuduh Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab membawa pemahaman baru, untuk menunjukkan satu saja perkataan Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab yang tidak didahului oleh ulama’-ulama’ sebelum beliau.”

Ada kesalahpahaman selama ini yang tidak disadari bahwa seolah-olah Syaikh/Imam kaum Salafi/Wahabi tidak membawa pemahaman baru atau tidak melakukan pemahaman (ijtihad). Sesungguhnya setiap kita menyatakan pendapat dan mengambil firman Allah atau hadits Rasulullah sesungguhnya termasuk kedalam upaya pemahaman (ijtihad)

Contohnya dalam sebuah forum diskusi,  ada salah satu peserta diskusi yang mengaku bukan pengikut Salafi Wahabi (mungkin seorang pendukung) namun dia mengaku paham minhaj ilahi, “memperbolehkan” dirinya menghujat ataupun mengolok-olok saudara muslim lain dalam forum diskusi (menurut pemahaman dia) berdasarkan firman Allah antara lain,

atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” (QS Al Furqan [25]:44 )

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.” (QS Al Anfaal [8]: 22 )

Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti” [QS Al Baqarah [2]:171 )

Benarkah kaitan firman Allah dengan pendapat dia ?
Inilah contoh upaya pemahaman (ijtihad).
Jelaslah bahwa pemahaman yang disampaikan saudara kita itu bukanlah pemahaman Salafush Sholeh.

Disinilah kesalahpahaman pengikut kaum yang menisbatkan kepada manhaj Salaf. Apapun yang disampaikan oleh syaikh/ulama mereka maka para pengikutnya menganggap pastilah itu pemahaman Salafush Sholeh , sedangkan ulama/syaikh diluar kaum mereka pastilah bukan pemahaman Salafush Sholeh.

Jadi ketika kita menyatakan pendapat dan berhujjah dengan nash-nash Al-Qur’an dan hadits, atau pendapat-pendapat ulama salaf/terdahulu termasuk upaya pemahaman (ijtihad)

Syaikh/Ulama Salafi/Wahabi yang menyertakan nash-nash Al Qur’an, Hadits, dan pendapat-pendapat ulama salaf/terdahulu, yang terkait pendapat mereka adalah termasuk upaya pemahaman (ijtihad).

Oleh karenanya kami sampaikan dalam tulisan terdahulu
***** awal kutipan *****
Salafy adalah saudara-saudara kami yang seolah-olah terhipniotis atau terindoktrinisasi oleh ulama/syaikh/ustadz mereka bahwa mereka berpemahaman sebagaimana Salafush Sholeh dan merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Hadits sehingga apapun yang disampaikan atau ditetapkan/difatwakan oleh ulama/syaikh/ustadz mereka adalah pasti benar sedangkan disisi lain mereka berseru bahwa imam madzhab adalah tidak ma’sum.

Salafy adalah saudara-saudara kami yang terhipnotis bahwa ulama/syaikh/ustadz mereka adalah mereka yang berkemampuan bahasa arab yang tinggi dan pastilah mereka dapat memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar.

Salafy adalah saudara-saudara kami yang diibaratkan “terkukung dalam tempurung” karena diidoktrin jangan bergaul dengan ustadz/syaikh/ulama yang menurut mereka ahlul bid’ah , padahal mereka tidak memahami tentang bid’ah dengan baik

Arsip tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/18/peduli-salafy/
*****akhir kutipan *****

Wahai saudaraku Wahhabi / Salafi periksalah hasil kajian atau temuan seorang ustadz tentang seputar Salafy Wahhabi pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/14/waspadai-wahhabi/
Biar antum sekalian dapat memahami keadaan antum sebenarnya.

Sungguh kami bukan salah paham tentang salafi. Juga kami tidaklah membenci kalian namun kami peduli kepada antum sekalian dengan semangat persaudaraan sesama manusia yang telah bersyahadat. Kepedulian kami karena Allah Azza wa Jalla semata.


Kembalilah kepada ulama/syaikh/ustadz negeri kita sendiri yang tidak tercemar dengan paham Wahhabi/Salafi.

Hal yang perlu dingat selalu ketika kita berguru dan untuk intropeksi diri adalah
Semakin berilmu seorang hamba, semakin ia merunduk
Semakin bodoh seorang hamba, semakin kepalanya tegak.


Semoga Allah Azza Wa Jalla, memberikan taufik dan hidayahNya kepada kita semua.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830