Senin, 26 Juli 2010

Salahpaham Pemahaman

Kesalahpahaman tentang pemahaman
( manhaj salaf(i) atau wahabi ).


Berikut ini tulisan merupakan kelanjutan tulisan saya sebelumnya, kesalahpahaman tentang generasi terbaik, http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/24/generasi-terbaik/

Suatu kesalahpahaman lainnya yang telah berlarut-larut dan masih terjadi sampai zaman modern ini adalah kesalahpahaman tentang pemahaman (manhaj).  Kesalahpahaman yang telah membuat umat muslim kebingungan, dalam keraguan dan bahkan menimbulkan konflik antara umat muslim sendiri.

Sebagian muslim atau kaum muslim mengikuti pemahaman  ulama Muhammad  bin Abdul Wahab, ulama yang mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyah. Mereka disebut kaum Wahabi atau Salaf(i).

Kesalahpahaman terjadi karena mereka menyatakan bahwa pemahaman mereka adalah sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh. Mereka mengatasnamakan pemahaman mereka sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh. Lihat tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/01/atasnama-salaf/

Begitu juga , saya agak risih jika menemukan tulisan dimulai dengan
"Pemahaman dalam Islam ..........", secara tidak disadari merupakan tulisan yang mengatasnamakan Islam, yang bisa mengakibatkan bahwa klo berbeda pemahamannya maka pemahaman yang berbeda bisa diartikan pemahaman di luar Islam ?

Kita sebaiknya tidak mengatasnamakan pemahaman kita atau kaum kita pada muslim lainnya atau kaum muslim lainnya. Kita harus tegas mengatakan atau mengakui sebagai pemahaman kita atau sebagai pemahaman kaum kita.  Begitu juga harus tegas mengatakan atau mengakui sebagai penafsiran kita, yang umumnya mengikuti nama yang menafsirkan atau yang memahaminya. Contoh Mazhab Syafi’i, Manhaj Asy’ariah, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir , Tafsir Buya Hamka dll.

Bagaimana pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh menjadi termasuk perihal yang ghaib karena waktunya sudah berlalu (Al-Ghaibul Madhi) yaitu segala sesuatu atau kejadian yang terjadi pada zaman dahulu, yang mana kita tidak hidup sezaman dengannya. Sehingga kita tidak bisa melakukan konfirmasi (temu-muka) akan pemahaman mereka sesungguhnya.

Apa yang kita lakukan adalah upaya pemahaman (ijtihad) terhadap tulisan, riwayat, lafadz, nash Al-Qur’an , Hadits, riwayat atau perkataan Salafush Sholeh, yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan juga pemahaman-pemahaman ulama–ulama terdahulu.

Pendapat/Pemahaman/Pemikiran seorang muslim bisa  benar dan bisa salah namun perkataan dalam Al-Qur’an dan Hadits adalah yang pasti benar.

Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) berkata “Setiap (pendapat) dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaih

Sebenar benar perkataan adalah kitabullah(alquran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam..”(HR.Muslim)

Upaya pemahaman yang telah dilakukan dan disampaikan kepada muslim lainnya atau kaum muslim lainnya harus diakui oleh orang yang melakukan pemahaman  yang kelak harus mempertanggungjawabkan di akhirat nanti.  Kita tahu apapun lisan maupun tulisan kita harus mempertanggung jawabkan di akhirat nanti. Apalagi pemahaman kita menjadi dasar amal atau perbuatan muslim lainnya.

Oleh karenanya pemahaman dengan sistem guru-murid secara temu muka atau lisan, turun temurun (memperhatikan sanad/keterhubungan), sistem peng-ijazah-an pada suatu thariqah lebih baik dibandingkan pemahaman yang digali berdasarkan tulisan atau tekstual semata.

Bayangkan kemungkinan distorsi yang terjadi antara ulama Muhammad bin Abdul Wahab dengan ulama Ibnu Taimiyah yang terpaut ratusan tahun zamannya. Oleh karananya saya katakan bahwa ulama Muhammad bin Abdul Wahab, "mengangkat kembali" metode pemahaman ulama Ibnu Taimiyah dan dicampur dengan pemahaman pribadi beliau sendiri.

Jadi harus kita katakan dengan tegas dan mengakui bahwa  apa yang telah dipahami oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahab ataupun ulama Ibnu Taimiyah adalah pemahaman mereka masing-masing

Sehingga jika kita menemukan perbedaan pemahaman, kita masing-masing harus memutuskan dengan merujuk kepada  Al-Qur’an dan Hadits.

Kenapa saya katakan masing-masing pribadi yang memutuskan, karena kita bertanggung jawab pada pemahaman kita masing-masing, tidak bisa kita membebankan tanggung jawab kepada orang lain yang telah mengutarakan pemahamannya.  Pemahaman adalah dasar dari sebuah amal / perbuatan. Di akhirat nanti kita tidak bisa mengatakan bahwa perbuatan kita didunia dikarenakan buah dari pemahaman si fulan

Firman Allah,

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)

Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)

Oleh karenanya, jika kita mengeluarkan sebuah pemahaman, kita wajib mengingatkan orang yang menerima pemahaman itu  untuk selalu merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits.

Kesalahpahaman lain yang berhubungan dengan kesalahpahaman diatas adalah kesalahpahaman memahami hadits berikut,

Nabi bersabda yang artinya, “Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditanganNya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah,  yang satu masuk surga  dan yang lain masuk neraka”.
Berkata para Sahabat : ” Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu Ya Rasulullah ?”
Nabi menjawab :
(nama firqah) .

Kita dapat menemukan matan nama firqah yang berbeda  pada hadits atau riwayat lainnya.

Sebagian umat muslim “menggunakan” hadits di atas sebagai “keputusan” bahwa jama’ah  mereka adalah firqah “yang satu masuk surga”. Bahkan lebih keji dengan menyatakan bahwa diluar jamaah mereka adalah sesat, ahlu bid’ah dan kafir. Naudzubillah min zalik.

Sangat berbahaya jika mengukur, menilai saudara muslim atau jamaah lainnya dengan batasan ukuran ilmu atau pemahaman kita sendiri, karena sesungguhnya tingkat pemahaman muslim terhadap agama adalah sangat berbeda-beda tergantung anugerah / karunia yang telah Allah berikan.

Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (Al-Baqarah – 269).

Kita harus menghormati perbedaan pemahaman saudara-saudara muslim lainnya.

Hadits-hadits, riwayat-riwayat yang senada dengan di atas , kita pergunakan untuk selalu sadar dan merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Sebaiknya kita harus meyakini bahwa “keputusan” atau hasil bahwa “firqah yang masuk surga” adalah hak Allah sedangkan hak manusia hanyalah pada proses, upaya atau ikhtiar pemahaman semata.

Sedangkan petunjuk Allah dalam al-Qur’an  tentang kaum yang dicintaiNya ada dalam firmaNya  yang artinya,

"…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Maidah: 54)

Pada zaman modern ini, malah kita dapatkan menemukan suatu kaum yang bersikap keras kepada orang muslim dan berlemah-lembut kepada orang-orang kafir. Kitapun dapat menemukan para penguasa negeri yang muslim namun seolah-olah  keras/tegas terhadap rakyatnya yang muslim dan tetap melanjutkan perjanjian dengan orang-orang kafir untuk mengolah anugerah Allah yakni hasil bumi, pertambangan dll.

Padahal Allah telah memperingatkan  kita lewat firmanNya yang artinya,

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).

Kita harus berupaya untuk termasuk kedalam kaum yang Allah cintai itu

Bagaimana agar kita  atau kaum kita dicintai Allah ?

Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Selengkapnya tentang zuhud, silahkan baca tulisan pada,

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/30/zuhudlah-di-dunia/

Inti dari zuhud itu adalah menjadi muslim yang memahami dan menjalankan seluruh pokok-pokok dalam ajaran agama Islam secara menyeluruh (kaffah), sebaiknya tidak menolak/meningkari satu pokokpun. Pokok-pokok ajaran dalam Islam yakni, , Islam (rukun Islam, fiqih), Iman (rukun Iman, Ushuluddin), Ihsan (akhlak,  Tasawuf).

Upaya untuk menjadi muslim yang terbaik, muslim sholeh, muslim berakhlakul karimah, muslim yang ihsan atau muhsin/muhsinin yakni muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah atau minimal muslim yang yakin bahwa segala perbuatan di lihat Allah.

Muslim yang sholeh, sebagaimana Tauladan  kita, Junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ketika mi'raj dan bertemu dengan para Nabi terdahulu disambut dengan sambutan "Saudaraku yang sholeh", "Nabi yang sholeh" atau "Anakku yang sholeh".

Begitu juga ketika mi'raj dan menghadap Allah Subhaanahu wa Ta'ala, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam membaca, "Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin" yang artinya  "Keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh".  Do'a yang selalu kita baca pula setiap sholat.

Muslim yang sholeh yakni muslim yang selalu sadar dan mengingat Allah. Setiap perilaku kita / akhlak kita harus dengan mengingat Allah, seluruh waktu kita penuh berinteraksi dengan Allah.

Berinteraksi dengan Allah dengan cara berinteraksi dengan firman-firmanNya yakni Al-Qur’an. Seluruh perbuatan / akhlak kita harus selalu sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits

Dengan kitab (al Qur’an) itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus” (QS-al Maaidah [5]: 16).

Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS Al-Baqarah [2] : 2).

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”(QS  al Baqarah [2] : 147)

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quraan) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quraan itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu” (QS al An’aam [6]: 114)

Wassalam

Zon di Jonggol

Minggu, 25 Juli 2010

Firqah Musyabbihah

Firqah MUSYABBIHAH adalah firqah dengan pemahaman yang menyerupakan Allah dengan Makhluk :
- Bersifat BENDA
- Punya organ tubuh (MUJASIMAH)
- Mengambil tempat di tempat tertentu
- Terikat dengan arah tertentu
- Melakukan gerakan transposition : turun, datang.

Pembahasan tentang Firqoh Musyabbihah secara lebih detail ada di kitab :
- Maqolat Islamiyyin karangan Imam Abu Hasan Asy'ari.
- Al Farq Bain Al Firaq karangan Imam Abu Qahir Muhammad Al Baghdadi.
- Al Milal Wa An Nihal karangan Imam Syarastani.

Siapakah kaum MUSYABBIHAH ?

Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al Jami li Ahkaam Al Qur'an (Tafsir Qurthubi) dalam penafsirannya tentang lafadz "Tsumma ASTAWA" pada QS Al Baqarah : 29 menjelaskan secara ringkas :

"...Ayat ini termasuk musykilat (sulit dipahami). Berkaitan dengan ayat musykilat ini para ulama terbagi menjadi tiga kelompok :

Kelompok pertama : Kita membacanya dan mengimaninya, tetapi tidak boleh menafsirkannya.

Kelompok kedua : Kita membacanya dan boleh menafsirkannya sesuai (dzahirnya) bahasa. Ini adalah pendapat AL-MUSYABBIHAH (yang menyerupakan Allah dengan makhluk).

Kelompok ketiga : Kita membacanya dan boleh mentakwilkannya serta mengalihkan maknanya kepada makna yang layak bagi Allah.

Penjelasan yang hampir sama dijelaskan oleh Imam Badaruddin Zarkasy (lahir : 745H – wafat : 794H) menerangkan dalam kitabnya “Al Burhan fi ‘Ulumil Quran”

‘Sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat dalam mengartikan ayat-ayat mutasyabih atas 3 aliran :

1. Golongan pertama yang memperlakukan ayat-ayat itu menurut lafazhnya yang dzahir, tidak boleh dita’wilkan sedikitpun. Cara yang begini dianut oleh firqah Musyabbihah.

2. Golongan kedua ialah golongan yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang mutasyabih itu mesti dita’wilkan, yaitu dialihkan artinya ke arti lain, tetapi apa “arti lain” itu kita tidak tahu, serahkan saja kepada Tuhan yang paling mengetahui, tetapi kita tetap mengi’tiqadkan bahwa Tuhan itu Maha Suci dari akan menyerupai makhluk dan Maha Suci dari akan tidak mempunyai sifat. Cara yang begini adakah aliran Salaf.

3. Golongan ketiga ialah golongan orang-orang Khalaf yang menta’wilkan ayat-ayat mutasyabih, yaitu mengalihkankan artinya ke arti lain yang layak bagi Allah.

Saat ini ada suatu kaum menyerupai kaum Musyabbihah

Kaum Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan.

Kaum Musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhlukNya.

Mereka mengatakan bahwa Allah, bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia,

Kaum Musyabbihah memfatwakan bahwa Allah bermuka dan bertangan.

Mereka mengemukakakn dua dalil dari ayat al-Qur'an yaitu, yang artinya

'Dan yang kekal muka Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan" (Ar- Rahman : 27)

"Tangan Tuhan di atas tangan mereka" (al Fath : 10)

Kaum Musyabbihah mengatakan bahwa dalam ayat-ayat ini nyata benar bahwa Tuhan mempunyai muka dan itulah yang kekal dan mempunyai tangan yang lebih tinggi dari tangan manusia.

Kaum Musyabbihah berpendapat bahwa Allah itu duduk/bersemayam di atas Arsy.

Dalil yang dikemukakannya ialah, yang artinya

"Ar Rahman itu duduk / bersemayam di atas 'Arsy" (Thaha : 5)

Kaum Musyabbihah mengatakan bahwa Tuhan di atas langit

Dallil yang dikemukakannya ialah, yang artinya

"Adakah kamu merasa aman dengan yang ada di langit, bahwa kamu akan ditenggelamkan ke dalam bumi ketika ia bergoncang dengan kerasnya" (al Mulk: 16)

Dalam sebuah hadits yang panjang yang tersebut dalam kitab Hadits Bukhari, bahwa Saidina Umar Rda, memanggil Ibnu Abbas berkumpul bersama Sahabat-Sahabat tertua, yaitu sahabat-sahabat yang menghadiri peperangan Badara.
Saidina Umar bertanya kepada mereka:
Artinya :
Bagaimana pendapatmu tentang ayat “apabila datang pertolongan Tuhan dan kemenangan” ?
Jawab sebagian mereka: Kita diperintah apabila datang pertolongan Tuhan dan kemenangan supaya memperbanyak Tahmid dan Tasbih.
Sebagian sahabat yang lain tidak menjawab.
Dan engkau hai Ibnu Abbas, Bagaimana pendapatmu?
Jawabku: Tidak, bukan begitu, itu adalah ajal Rosulullah diberi tahukan sudah dekat. Apabila datang pertolongan Tuhan dan kemenangan itu suatu tanda bahwa ajal engkau sudah dekat. Pada ketika itu tasbihlah, tahmidlah dan istighfarlah karena Tuhan itu penerima taaubat.
Lalu Saidina ‘Umar berkata : Saya baru sekarang mengetahui arti serupa itu (HSR Bukhari – Shahih Bukhari III hal 158 ).
Berkata Iman Ibnu Hajar Asqalani pada ketika mensyarahkan hadits ini, bahwa ini adalah suatu pertanda boleh menta’wilkan Quran, dengan apa yang difahamkan dari isyarat-isyarat. Yang mengerjakan yang demikian adalah orang-orang yang dalam ilmunya (Fathul Bari Syarah Bukhari juz 10 halaman 367)

Masalah ayat atau hadist tasybih (kesaruan makna) atau mutasyabihat  dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya.
1. Pendapat Tafwidh Ma’attanzih
2. Pendapat Ta’wil

Madzhab Tafwidh Ma’a Tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kepada Allah swt, dengan I’tiqad Tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah (imam hanafi).

Madzhab Takwil yaitu menakwilkan ayat atau hadist tasybih sesuai dengan ke-Esaan dan Keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll. (Syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)

Dengan Takwil kita dapat pula menghindari dari kekufuran.

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad menyatakan:

"Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri"

“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Wassalam


Sabtu, 24 Juli 2010

Generasi Terbaik

Kesalahpahaman tentang Generasi Terbaik


Sebagian muslim menyerukan supaya kita ramai-ramai mengikuti generasi Salaf. Ketika mereka mengetahui bahwa saya seorang muslim yang sependapat, mendalami dan menyiarkan  Tasawuf dalam Islam, mereka mengatakan seperti ini,

Sezuhud-zuhudnya, sewara'-wara'nya, se tawadhu'-tawadhu'nya generasi Khalaf....Tidak akan pernah mampu menandingi generasi salaf

Pernyataan ini mereka merujuk pada hadits berikut,

Dari Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya". HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635.

Bagaimana mungkin matan hadits tersebut "sebaik-baiknya manusia adalah (yang hidup) di zamanku" berlaku untuk seluruh manusia generasi salaf di zaman Rasulullah SAW.

Matan hadits itu bertentangan dengan Al-Qur’an yang lebih banyak menyematkan atribut dan sifat-sifat negatif terhadap kebanyakan kaum muslimin yang sezaman dengan Nabiullah Muhammad saw?. Al-Qur’an menginformasikan kepada kita kebanyakan dari mereka yang sezaman dengan Nabi sebagai orang-orang munafik, yang keterlaluan dalam kemunafikannya (Qs. At-Taubah: 101), masih berpenyakit dalam hatinya, tidak memiliki keteguhan iman, dan berprsangka jahiliyah terhadap Allah swt (Qs. Ali-Imran: 154), sangat enggan berjihad (Qs. An-Nisa': 71-72 dan At-Taubah ayat 38), melakukan kekacauan dalam barisan (Qs. At-Taubah: 47), lari tunggang langgang ketika berhadapan dengan musuh (Qs. Ali-Imran: 153 dan At-Taubah : 25), bahkan kebanyakan mereka lebih memilih perdagangan dan permainan daripada mendengarkan Nabiullah Muhammad saww berkhutbah, “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.” (Qs. Al-Jumu’ah: 11).

Kalau pula dikatakan bahwa ketiga generasi itu yang dikatakan terbaik, orang-orang muslim semuanya akan berpegang teguh pada satu akidah yang benar sebagaimana yang disampaikan Rasulullah saw.

Namun realitanya beragam sekte, firqah dan mazhab dalam masyarakat Islam timbul pada generasi itu.
Khawarij muncul dipenghujung tahun ke-30 H, mereka memiliki akidah yang batil mengenai keimanan, mereka membunuhi kaum muslimin yang berselisih paham dengan keyakinan mereka, dengan mudah mereka menyematkan kekafiran kepada banyak kaum muslimin, sehingga hamparan bumi bersimbah darah karenanya. Belum berakhir satu abad pertama, kembali muncul Murjiah, mereka mengajak umat Islam untuk berlepas dari tatanan dan komitmen syariat dengan slogan yang terkesan humanis dan elegan, “Selama seseorang masih beriman, maksiat apapun yang dilakukan tidak tercatat sebagai dosa”. Iman bagi paham ini cukup dengan ucapan, sehingga berbagai kewajiban agama, moralitas dan berbagai kode etik diremehkan dan ditinggalkan. Tidak lama berselang setelah itu, muncul kembali Mu’tazilah pada tahun 105 H dengan jarak yang singkat sebelum wafatnya Hasan al Bashri. Kehadiran paham baru ini semakin membuat jurang perselisihan dan perpecahan kaum muslimin semakin menganga dan melebar dan bahkan terkadang perselisihan yang ada mesti diselesaikan dengan pertumpahan darah.

Bagaimana mungkin sebuah hadits bertentangan dengan realita yang terjadi ?

Pengertian sebenarnya dari Salafush Sholeh adalah mereka-mereka generasi salaf yang sholeh, sholeh = berakhlak baik. Yang menjalankan ketiga pokok ajaran Islam , termasuk Ihsan yang artinya berakhlak baik atau pun muslim yang terbaik atau muhsinin. (Ihsan dalam bahasa arab artinya terbaik, sempurna).

Siapa mereka ?, tentu adalah para Sahabat, para Tabi'in dan para Tabi'ut Tabi'in, disini jelas yang dimaksud adalah orangnya bukan generasinya.

Lalu, apakah tidak mungkin muslim yang hidup setelah generasi Salaf menjadi muslim yang terbaik, berakhlak baik, atau muhsinin ?

Firman Allah SWT, "Sungguh sebaik-baiknya diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa." (Qs. Al-Hujurat: 13).

Allah SWT berfirman, "Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran." (Qs. Al-'Asr: 1-3). Ayat ini menegaskan manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka beriman, mengerjakan kebajikan, saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. Allah SWT tidak mempersyaratkan generasi, masa dan zaman di mana seorang hambanya hidup dan bermukim.

Seorang manusia tidak pernah memilih dan tidak punya ikhtiar mengenai kapan dan dimana ia dilahirkan, sebab telah menjadi hak mutlak Allah swt untuk menetapkannya. Karenanya berdasarkan falsafah keadilan Ilahi adalah keniscayaan tidak menjadikan semata-mata masa dan tempat lahir sebagai persyaratan seseorang disebut memiliki kebaikan dan kemuliaan, melainkan berdasarkan kekuatan iman, kedalaman ilmu dan keikhlasan amal.

Coba kita perhatikan hadits diriwayatkan dari Abu Jum’ah ra yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah saww dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah ra yang berkata “Wahai Rasulullah saww adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau”. Beliau saww menjawab “Ya ada, yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth dimana beliau berkata hadis ini shahih.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi juz 2 hal 398 hadis no 2744 dengan sanad yang shahih. Dan diriwayatkan pula oleh Al Hakim dalam kitabnya Mustadrak Ash Shahihain juz 4 hal 85 hadis no 6992 dimana Beliau berkata hadis tersebut shahih dan disepakati oleh Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak

Begitu juga ada sebagian muslim yang menyerukan bahwa kita sebaiknya tidak mengikuti Imam Madzhab yang empat yakni, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali, karena mereka tidak maksum (terjaga dari kesalahan).  Padahal kita tahu bahwa yang maksum adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Imam Madzhab yang empat mengikuti Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam, para Sahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in. Mereka menggali hukum (fikih) berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits.

Begitu pula dengan metode pemahaman mereka secara dzahir, harfiah atau tekstual mereka beralasan kenapa kita tidak perlu mengikut imam madzhab yang empat, karena imam madzhab pernah menyatakan bahwa jika kita menemukan pendapat mereka yang keliru maka kita kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Mereka memahami pernyataan imam-imam madzhab itu dengan apa-adanya atau tekstual atau secara tersurat.

Padahal maksud Imam-Imam madzhab itu adalah agar kita mengikuti mereka tetap  merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits. Yang tersirat dari pernyataan Imam-imam Madzhab itu adalah  sikap tawadhu mereka. Ini adalah suatu tauladan akhlak yang terpuji.

Marilah kita mendalami dan menjalankan pokok-pokok ajaran dalam Islam secara menyeluruh (kaffah), sebaiknya tidak menolak/meningkari satu pokokpun. Pokok-pokok ajaran dalam Islam yakni, , Islam (rukun Islam, fiqih), Iman (rukun Iman, Ushuluddin), Ihsan (akhlak,  Tasawuf). Kita mendalami dan menjalankan keseluruhan pokok-pokok ajaran dalam Islam  agar menjadi muslim yang sholeh, muslim terbaik, muslim yang ihsan atau muhsinin  yakni muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah.

Seolah-olah melihat Allah timbul dari akhlakul karimah = keadaan sadar (kesadaran) atau perbuatan/perilaku secara sadar dan Mengingat Allah.

Setiap perilaku kita / akhlak kita harus dengan mengingat Allah, seluruh waktu kita penuh berinteraksi dengan Alllah

Bagaimana caranya?

Caranya adalah menjadikan Qur’an itu sebagai hidayah,

Artinya setiap perilaku kita / akhlak kita selalu sesuai dengan tuntunan Al Qur’an, dan seluruh waktu kita penuh berinteraksi dengan Al Qur’an.

Contoh:

Kita mendirikan Sholat , sholat sudah mengikuti Al-Qur’an dan Hadits (Fikih), sholat dilakukan diniatkan karena Allah (Ushuluddin) , namun memandang (melihat) selainNya (Tasawuf), misalkan timbul di hati memandang (melihat) manusia agar dianggap sebagai muslim yang sholeh. Sehingga sholatnya lalai. Maka celakalah !

Jadi yang benar adalah,  sholat mengikuti Al-Qur'an dan Hadits (fikih), sholat diniatkan karena Allah (Ushuluddin) dan dilakukan secara sadar dan mengingat Allah (tasawuf) ===> amal ibadah sholat kita akan sampai (wushul) ke hadhirat Allah. Inilah yang disebut sholat adalah mi'raj nya kaum muslimin (Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin ).

Wassalam

Zon di Jonggol

Mengenal Tasawuf

Pengajian rutin mingguan yang diadakan di Masjid Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar, membahas kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah yang disampaikan langsung oleh Syaikh Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi. Pembahasan terakhir kebetulan sampai pada Bab Tasawuf

Sumber : http://myquran.com/forum/showthread.php/11847-Mengenal-Tasawuf-dan-Sufi?p=152432&viewfull=1#post152432

Pertemuan Pertama


Lihat tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/25/istilah-tasawuf/

Pertemuan Kedua


Imam Al-Qusyairi berkata dalam Risalah-nya, "Sesungguhnya kalangan ini (sufi) sudah terlalu populer untuk sekedar membutuhkan identitas dari pecahan kata yang diambil dari bahasa." Artinya, istilah Tasawuf dan identitas Sufi sudah lebih dikenal dan masyhur sehingga tidak membutuhkan definisi lagi. Beliau melanjutkan, "Tasawuf adalah makna (substansi)nya, sedangkan Sufi adalah orang (pelaku)nya. Setiap orang mengungkapkan sesuai dengan apa yang dialaminya. Menyebutkan semuanya satu-persatu hanya akan mengeluarkan kita dari topik pembicaraan sebenarnya, yaitu ringkasan. Saya hanya akan menyinggung beberapa di antaranya saja." Kemudian beliau menyebutkan riwayat-riwayat yang beliau dapatkan mengenai definisi Tasawuf.

Di antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Abu Muhammad Al-Jariri, "Tasawuf adalah masuk ke dalam budi pekerti yang luhur dan keluar dari perilaku yang tercela." Ya, Tasawuf tak lain dan tak bukan adalah akhlaqul karimah alias etika atau moral. Semakin tinggi moral seseorang, semakin tinggi pula kadar Tasawufnya. Tentu saja untuk masuk ke dalam akhlak terpuji, seseorang tidak dapat lepas dari agama, karena agama adalah sumber moral. Maka, sangat keliru jika meneriakkan moral tapi di satu sisi mengabaikan agama.

Riwayat kedua, dari Al-Junaid, beliau berkata ketika beliau ditanya tentang Tasawuf, "Dia (Tasawuf) adalah apabila kau dimatikan oleh Al-Haq (Allah SWT) darimu, dan dihidupkan bersama-Nya." Definisi ini agak dalam maknanya sehingga cukup sulit dicerna. Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud perkataan Al-Junaid bahwa jika Allah telah mematikan segala macam rasa yang ada pada diri seseorang sehingga ia seolah-olah telah mati dan tak merasakan apapun, kemudian ia dihidupkan lagi dan merasa hidup berduaan saja dengan Allah, maka itulah Tasawuf. Kata "darimu" maksudnya adalah dari segala macam keinginan dalam dirimu. Ketika seseorang sudah tidak memiliki keinginan apapun terhadap dunia karena ia telah merasa cukup dengan Allah, maka saat itu ia telah merasakan hakikat Tasawuf.

Definisi lain dikemukakan oleh Al-Husain bin Manshur atau lebih dikenal dengan panggilan Al-Hallaj, beliau berkata ketika ditanya tentang Sufi, "Dia adalah seseorang yang sendirian saja, tidak diterima dan tidak menerima orang lain." Artinya, dalam hidupnya ia tidak merasakan kehadiran apapun dan siapapun. Syaikh Al-Buthi tampaknya agak kurang setuju dengan makna ini. Beliau menyanggah, "Sebenarnya untuk merasakan kesendirian, seseorang tidak perlu harus menyendiri dalam goa-goa atau tempat terpencil karena manusia adalah makhluk sosial. Justru ketika seseorang mampu bergaul dengan orang lain –dengan tetap menjaga kesendirian hati hanya bersama Allah, itulah yang lebih baik." Artinya, untuk menjaga kesendirian bersama Allah, seseorang tidak perlu menyendiri secara fisik. Karena kesendirian itu letaknya di hati, bukan di badan. Jadi yang mesti dikosongkan adalah hati, tidak mesti harus memisahkan jasad dari manusia.

Definisi lain dikemukakan oleh Abu Hamzah Al-Baghdadi, beliau berkata, "Ciri-ciri Sufi sejati adalah merasa fakir setelah kaya, merasa hina setelah mulia dan bersembunyi setelah tenar. Sedangkan ciri-ciri Sufi palsu adalah merasa kaya setelah miskin, merasa mulia setelah hina dan mencari popularitas setelah bersembunyi." Definisi ini juga cukup dalam maknanya. Kalimat "merasa fakir setelah kaya" maksudnya adalah merasa diri tak memiliki apapun. Bagaimana tidak, sedangkan dirinya sendiri adalah milik Tu(h)annya yaitu Allah. Seseorang yang masih merasa bahwa dirinya memiliki sesuatu, maka ia bukan hamba, melainkan orang merdeka. Padahal setiap manusia adalah hamba Allah. Maka, Sufi sejati adalah orang yang merasa tidak memiliki apa-apa alias fakir setelah sebelumnya ia merasa memiliki sesuatu. Selanjutnya, kalimat "merasa hina setelah mulia" maksudnya adalah tawadhu' dan merasa rendah diri di hadapan makhluk, lebih lagi di hadapan Sang Khalik. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tak lebih dari segumpal darah dan daging yang berasal dari setetes air yang hina dan akan kembali menjadi tanah, maka ia telah menjadi seorang Sufi sejati. Kemudian, kalimat "bersembunyi setelah tenar" maksudnya adalah menenggelamkan diri dalam ketiadaan dari pandangan makhluk sehingga ia hanya bersama Allah saja. Hal ini sangat penting untuk menjaga keikhlasan. Itulah ciri-ciri Sufi sejati. Sedangkan Sufi palsu adalah orang yang melakukan sebaliknya, merasa kaya dan tidak membutuhkan Allah lagi setelah ia mengakui kefakirannya, merasa mulia setelah ia mengakui kehinaannya dan mencari popularitas di mata manusia setelah sebelumnya ia adalah orang tak dikenal.

Pertemuan Ketiga


Pada pertemuan ketiga, Syaikh Al-Buthi memulai penjelasan dari ucapan 'Amr bin Utsman Al-Makki tentang tasawuf. Amr bin Utsman Al-Makky ditanya tentang tasawuf, "Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik pada saat itu."

Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud ucapan itu bahwa seorang muslim seharusanya melakukan perbuatan yang terbaik sesuai dengan waktu, situasi dan kondisi di mana ia berada. Beliau mengutip ungkapan Arab yang berbunyi, "Setiap tempat punya perkataannya dan setiap perkataan punya tempatnya."

Beliau memberikan contoh seseorang yang baru pulang dari kerja atau aktivitas di luar rumah, lalu sesampai di rumah langsung memegang buku atau membaca Al-Quran dengan alasan ia punya target ibadah yang harus ia capai dalam waktu tertentu, sehingga ia menggunakan waktu yang semestinya ia gunakan untuk keluarga. Padahal, istrinya sudah lama menunggu kepulangannya dan merindukan kehadirannya.

Syaikh Al-Buthi mengkritik perbuatan semacam itu dan mengatakan bahwa orang itu tidak memahami hakikat ibadah. Padahal, bercanda dan bersenda gurau dengan istri juga merupakan salah satu bentuk ibadah jika dilakukan pada tempat dan waktunya.

Tidakkah kita memperhatikan hadis yang berbunyi, "Setiap yang melenakan seorang muslim adalah kebatilan, kecuali tiga hal: melempar panah, melatih kuda dan bercanda dengan keluarga (istri). Ketiga hal itu adalah haq (kebenaran)" (HR. Tirmidzi)

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, "Dalam kemaluan istrimu ada sedekah." Sebagian sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah seseorang di antara kami mendatangi istrinya lalu mendapatkan pahala?" Rasulullah SAW menjawab, "Tidakkah kau lihat seandainya ia meletakkan kemaluannya di tempat yang haram, apakah ia mendapatkan dosa?" Sahabat menjawab, "Ya." Beliau melanjutkan, "Begitu juga jika ia meletakkannya di tempat yang halal, dia mendapatkan pahala." (HR. Muslim)

Jadi, seorang muslim seharusnya senantiasa melakukan perbuatan yang terbaik dan sesuai dengan tempat, waktu dan kondisinya. Di setiap tempat ada perbuatan dan di setiap waktu ada haknya masing-masing. Adakalanya sebuah ibadah tidak cocok jika dilakukan tidak pada tempat dan waktunya.

Selanjutnya, Muhammad bin Ali Al-Qashab berkata, "Tasawuf adalah akhlak mulia yang muncul di zaman mulia dari pribadi mulia bersama kaum mulia."

Syaikh Al-Buthi menjelaskan bahwa yang dimaksud "zaman mulia" adalah zaman Nabi SAW, "pribadi mulia" adalah Nabi SAW itu sendiri, sedangkan "kaum mulia" adalah para sahabat.

Sumnun pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, "Kau tidak memiliki sesuatu apapun dan kau tak dimiliki oleh sesuatu apapun."

Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud kalimat pertama bahwa seorang muslim seharusnya selalu merasa tidak memiliki sesuatu apapun, karena segala sesuatu adalah milik Allah SWT. Bahkan dirinya sendiri pun hamba milik Allah SWT. Sedangkan kalimat kedua maksudnya adalah seorang muslim seharusnya tidak terikat oleh apapun, baik materi maupun non-materi. Ketika ia terikat oleh sesuatu, maka ia bukan lagi hamba yang taat kepada Allah SWT, karena hanya Allah sajalah satu-satunya Tuhan yang berhak untuk ditaati sehingga ia harus terikat pada Allah SWT semata.

Ruwaim pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, "Melepaskan jiwa bersama apa yang dikehendaki oleh Allah SWT."

Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud "dikehendaki" adalah "diridhoi". Artinya, seorang muslim seharusnya menjadikan hawa nafsunya tunduk kepada apa yang diridhoi Allah saja, meskipun adakalanya tidak sesuai dengan kehendak makhluk.

Al-Junaid pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, "Kau bersama Allah tanpa ada ikatan apapun."

Syaikh Al-Buthi menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya bersama Allah saja tanpa menduakan-Nya dengan sesuatu apapun, itulah yang dimaksud dengan "tanpa ikatan" yaitu tanpa keterikatan dengan selain-Nya.

Ruwaim bin Ahmad Al-Baghdadi berkata, "Tasawuf dibangung di atas tiga hal: komitmen terhadap kefakiran dan ketergantungan kepada Allah, mewujudkan pengorbanan dan pemberian, meninggalkan usaha dan ikhtiar."

Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud kalimat pertama bahwa seharusnya seorang muslim senantiasa berkomitmen dengan rasa kemiskinan dan ketergantungan hanya kepada Allah SWT. Sedangkan kalimat kedua adalah refleksi dari kalimat pertama, yaitu mewujudkan pengorbanan dan pemberian sebanyak mungkin. Sebaik-baik orang adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Sedangkan kalimat ketiga merupakan puncak dari sebelumnya, yaitu menjauhi segala macam campur tangan dan usaha yang dapat menggeser atau menghilangkan makna kalimat sebelumnya.

Ma'ruf Al-Karkhi berkata, "Tasawuf adalah meraih hakikat kebenaran, dan meninggalkan apa yang ada di tangan makhluk."

Demikianlah ringkasan pengajian pada pertemuan ketiga Bab Tasawuf yang diadakan di Masjid Jami Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar oleh Syaikh Prof. Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi hafizhohullah.

Pertemuan Keempat


Al Junayd berkata, "Tasawuf adalah perang tanpa kompromi." Maksudnya adalah kesungguhan tiada akhir. Tasawuf adalah usaha dan kerja keras yang tak kenal henti dalam melaksanakan ketaatan dan kepatuhan terhadap Allah SWT.

Dia berkata pula, "Para Sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka." Maksudnya, mereka memiliki ciri khas yang tak dimiliki oleh selain mereka dalam akhlak, pergaulan dan lain-lain.

Selanjutnya dia juga menjelaskan lagi, "Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang disertai penyimakan, dan tindakan yang didasari Sunnah." Dalam hadis disebutkan, "Sesungguhnya Allah memiliki pasukan malaikat yang bertugas untuk mencari dan mengikuti halaqoh-halaqoh majelis dzikir di bumi." (HR. Al-Hakim, Sahih Al-Isnad)

Al Junayd menyatakan, "Kaum Sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan kecuali segala tumbuhan yang baik." Dia juga mengatakan, "Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang diinjak orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu." Semua itu disebabkan oleh rasa tawadhunya (perasaan hina) di hadapan Allah SWT.

Dia melanjutkan, "Jika engkau melihat seorang Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak." Karena perhatian terhadap lahiriah akan melalaikan perhatian terhadap batin. Seseorang yang disibukkan memperbaiki kulitnya akan terlupakan memperhatikan isinya.

Sahl bin Abdullah berkata, "Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis." Ini adalah kiasan. Maksudnya ia merasa tak memiliki apapun karena dirinya sendiri adalah milik Tuhannya. Bukan berarti ia memanggil setiap orang untuk membunuhnya, karena hal itu mustahil dan dilarang syariat. Juga bukan berarti keputusasaan terhadap rahmat Allah SWT karena hal itu merupakan kekufuran.

Ahmad an-Nury berkata, "Tanda seorang Sufi adalah dia merasa rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada." Artinya ketika dalam keadaan sulit ia diam, rela dan tidak mengeluh, namun ketika dalam keadaan lapang ia mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri.

Muhammad bin Ali al-Kattany menegaskan, "Tasawuf adalah akhlak yang baik. Barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti la melebihimu dalam tasawuf." Ya, tasawuf adalah akhlak yang terpuji, barangsiapa bertambah akhlaknya, bertambah pulalah tasawufnya.

Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary mengatakan, "Tasawuf adalah tinggal di pintu sang kekasih sekalipun engkau diusir." Ini merupakan kiasan. Maksudnya seseorang pasrah di hadapan pintu rahmat Allah SWT, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya tanpa peduli apakah ia akan diterima atau ditolak. Ia hanya percaya terhadap kemurahan Allah dan sama sekali tidak mengandalkan amalannya. Dalam hadis, "Amalan seseorang takkan dapat memasukkannya ke dalam surga." Karena yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga hanyalah kemurahan Allah semata.

Dia juga mengatakan, "Tasawuf adalah sucinya taqarrub setelah kotornya kejauhan dari-Nya." Karena indahnya kedekatan terhadap Allah SWT hanya dapat dirasakan setelah seseorang bersusah-payah dalam mencapainya. Pepatah Arab mengatakan, "Tiada kenikmatan kecuali setelah kelelahan."

Dikatakan, "Orang yang paling kotor adalah seorang Sufi yang amat kikir." Maksudnya seseorang yang mengaku sufi namun kikir, maka sebenarnya ia bukanlah sufi. Karena tidak mungkin bersatu antara seorang sufi dengan sifat kikir.

Dikatakan, "Tasawuf adalah tangan yang kosong dan hati yang baik." Maksudnya tangan yang tidak menyisakan sedikitpun dunia kecuali diinfakkannya di jalan Allah, sedangkan hatinya tetap bersih hanya untuk Allah semata.

Demikianlah ringkasan pengajian pada kali ini. Semoga bermanfaat.

Damaskus, 9 July 2010

Pertemuan Kelima


Ini adalah ringkasan pertemuan kelima dalam serial Mengenal Tasawuf dan Sufi. Disarikan dari pengajian Syaikh Dr. M. Said Ramadan Al-Buthi.

Asy-Syibly mengatakan, "Tasawuf adalah duduk bersama Allah SWT tanpa kegelisahan." Maksudnya adalah seseorang merasa yakin dengan rahmat dan kasih sayang Allah SWT tanpa ada kekhawatiran sedikit pun. Bagaimana bisa khawatir sedangkan kekasihnya selalu berada di sampingnya.

Ketika ia diberikan kesehatan, ia merasa yakin bahwa kesehatan itu merupakan nikmat yang terbaik untuknya. Begitu juga sebaliknya, ketika ia ditimpa sakit atau musibah lainnya, ia merasa tenang dan yakin bahwa semua itu adalah yang terbaik dari Allah untuk dirinya. Ketika ia diuji dengan kemiskinan, ia yakin bahwa kondisi itulah yang terbaik menurut Allah SWT. Begitu juga ketika ia diuji dengan kekayaan, ia yakin bahwa itulah pemberian terbaik dari Allah SWT.

Allah SWT berfirman, "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus: 62)

Abu Manshur berkata, "Sufi adalah orang yang mengisyaratkan dari Allah SWT, sedangkan manusia mengisyaratkan kepada Allah SWT." Maksudnya, seorang sufi selalu mengingatkan kita tentang nikmat-nikmat yang datangnya dari Allah SWT, sementara orang-orang hanya mengingatkan kita tentang kewajiban-kewajiban kita terhadap Allah SWT.

Asy-Syibly mengatakan, "Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah SWT." Maksudnya adalah hatinya terpisah dari makhluk dan hanya terpaut dengan Allah saja. Keterpisahan ini tidak bermakna keterpisahan secara fisik dan materi. Boleh jadi fisiknya membaur dengan manusia di pasar, kantor, madrasah dan lain-lain, tapi hatinya hanya bersama Allah saja. Ini benar-benar hidup dalam keterasingan di tengah-tengah keramaian. Jasadnya berjalan di muka bumi, namun hatinya melayang-layang di kerajaan Allah. Orang semacam ini seolah-olah diciptakan untuk menjadi kekasih-Nya.

Allah SWT berfirman, "dan Aku telah memilihmu (Musa) untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41). Yaitu memutusnya dari dari semua makhluk.

Kemudian Allah SWT berfirman, "Kau (Musa) takkan dapat melihat-Ku." (QS. Al-A'raf: 143). Karena kedekatan seseorang terhadap kekasih akan mengundang rasa rindu untuk melihatnya. Namun sayang, di dunia ini tak satupun yang diizinkan oleh Sang Kekasih untuk melihat-Nya, bahkan Nabi Musa sekalipun. Hanya di akhirat saja tempat paling indah itu.

Allah SWT berfirman, "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya." (QS. Yunus: 26). Tambahan itu berupa melihat wajah Allah secara langsung. (Tafsir Ibnu Katsir)

Asy-Syibly juga mengatakan, "Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Al-Haq (Allah SWT)." Ini adalah kiasan, karena seorang anak selalu merasa aman dan nyaman bersama ayahnya. Ia merasa tenang dari segala macam gangguan. Ia menyadari kelemahan dirinya, sekaligus mengakui kekuatan ayahnya. Demikian pula keadaan para sufi, mereka merasa tenang dan aman bersama Allah. Mereka menyadari kelemahan diri mereka sekaligus mengakui kekuatan dan kehebatan Allah. Oleh karena itu, mereka menyerupai anak-anak yang berada di pangkuan ayah mereka.

"Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. An-Nahl: 60)

"Dan bagi-Nya lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ar-Rum: 27)

Demikian ringkasan pengajian kali ini. Walhamdulillahi rabbil 'alamin.

Damaskus, 16 July 2010

Pertemuan Keenam


Inilah ringkasan pertemuan keenam dari pengajian Syaikh Dr. M. Said Ramadan Al-Buthi tentang Tasawuf.

Asy-Syibli berkata, "Tasawuf adalah kilat yang menyala." Maksudnya adalah kondisi batin yang berubah-rubah dengan sangat cepat sehingga menyerupai kilat. Kadangkala kondisi roja' (harap) menguasai seorang sufi sehingga ia teringat akan rahmat Allah SWT yang sangat luas, lalu ia pun senang. Di saat seperti itu, tiba-tiba kondisi batinnya berubah menjadi khouf (takut) yang sangat dahsyat sehingga ia teringat akan siksa Allah SWT yang amat pedih, sehingga ia pun gemetar. Kondisi itu berubah-rubah dengan sangat cepat sehingga menyerupai kilat yang menyala.

Asy-Syibli juga berkata, "Tasawuf adalah terlindung dari memandang makhluk." Maksudnya, Allah SWT melindungi penglihatan anda dari memandang makhluk. Ketika anda melihat alam dengan segala macam warna-warninya, langit biru, bumi yang terbentang luas, pepohonan yang rindang, sungai yang mengalir, awan yang berarak, maka anda hanya akan melihat Sang Pencipta jagad raya Yang Maha Besar itu, yaitu Allah SWT. Anda sama sekali tidak melihat makhluk-makhluk itu. Yang ada di pandangan anda hanyalah Dzat yang menciptakan semua itu, yaitu Allah SWT. Lalu bibir anda pun melantunkan kalimat-kalimat pujian yang indah, "Subhanallah. Maha Suci Allah."

Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali Imran: 190-191)

Seorang sufi berjalan di atas muka bumi, berjual-beli dengan manusia di pasar, bercocok tanam di sawah, namun ia tak melihat apa-apa selain Allah SWT. Matanya melihat dunia, namun hatinya melihat Allah SWT yang menciptakan dunia itu. Inilah yang dinamakan dengan Wihdatu Al-Syuhud, yaitu tunggalnya penglihatan. Seorang sufi mengakui adanya wujud selain Allah SWT, yaitu makhluk-makhluk seperti bumi, langit, gunung, manusia, air, batu dan lain-lain, namun ia tidak melihatnya. Yang ia lihat hanyalah Allah SWT.

Berbeda dengan Wihdatu Al-Wujud (tunggalnya wujud) yang menafikan segala wujud selain Allah SWT. Ini berarti menafikan adanya malaikat, nabi, kitab suci dan lain-lain. Jelas ini bukan ajaran Islam. Sedangkan yang pertama tadi merupakan inti ajaran Islam.

Ruwaym berkata, "Para Sufi akan tetap berada dalam kebaikan selama mereka bertengkar satu dengan yang lain. Tapi setelah mereka berdamai, maka tak ada lagi kebaikan pada mereka." Maksud bertengkar di sini adalah saling mengingatkan satu sama lain ketika sedang lalai, seolah-olah tidak ada kompromi di antara mereka. Dalam kondisi seperti itu, mereka berada dalam kebaikan. Namun ketika mereka sudah mulai berbasa-basi dan melupakan nasehat, maka saat itulah kebaikan itu pergi. Rasulullah SAW bersabda, "Agama itu adalah nasehat."

Al Jurairy mengatakan, "Tasawuf adalah memantau setiap kondisi dan berpegang pada adab." Maksudnya memantau kondisi batin agar senantiasa selaras dengan syariat.

Khouf dan roja' adalah dua sikap yang harus seimbang pada diri setiap mukmin, ibarat dua sayap yang tidak boleh pincang salah satunya. Khouf yang berlebihan akan menyebabkan seseorang mengalami Al-Ya's (keputusasaan), sehingga ia terputus dari rahmat Allah SWT. Kita mungkin pernah mendengar seseorang mengatakan, "Sudahlah, Allah tidak akan mungkin mengampuni dosa-dosa saya yang terlampau banyak." Sebaliknya, rasa roja' yang berlebihan juga dapat menyebabkan seseorang tidak sopan terhadap Allah SWT. Orang seperti ini akan mengatakan, "Sudahlah, tidak apa-apa berbuat dosa sebanyak-banyaknya. Allah Maha Luas ampunan-Nya. Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Allah Maha Mengampuni Dosa dan Maha Menerima taubat. Dia tidak akan menyiksa hamba-Nya." Jadi, harus keduanya seimbang. Nah, seorang sufi selalu mengawasi kondisi dirinya sendiri di setiap waktu agar tidak terjadi kepincangan.

Sedangkan makna "berpegang pada adab" adalah berpegang teguh pada syariat. Adab takkan mungkin tegak tanpa syariat, karena adab berdiri di atas syariat. Sufi adalah orang yang paling taat menjalankan syariat, karena tak mungkin ia dapat menjadi seorang sufi tanpa melewati fase syariat. Seseorang yang mengaku sufi namun syariatnya masih terbengkalai bukanlah sufi sebenarnya.

Al-Muzayyin menegaskan, "Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq." Maksudnya adalah kepasrahan kepada Allah SWT dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Abu Turab an-Nakhsyaby menyatakan, "Seorang Sufi tidak dapat dikotori oleh sesuatu pun, bahkan segala sesuatu menjadi jernih karenanya." Ketika seorang sufi dicela, dihina dan dicacimaki, ia tidak bergeming, bahkan mengatakan, "Saya lebih buruk daripada yang anda tuduhkan itu." Ketika ia dipuji, disanjung dan dimuliakan, ia pun tak bergeming dan mengatakan, "Diamlah, saya tidak seperti yang anda sangka itu. Saya lebih tahu diri saya sendiri daripada anda. Anda hanya melihat penampilan luar saya. Adapun dalamnya, hanya saya dan Allah saja yang tahu."

Suatu hari, seorang ustadz bersama para muridnya sedang berjalan. Tiba-tiba mereka tertimpa kotoran dari atas mereka. Siapa yang melemparkan, sengaja atau tidak, tak seorang pun yang tahu. Sebelum para murid mulai berbicara, sang ustadz memulainya terlebih dahulu, "Tahukah kalian bahwa kita masih lebih buruk daripada kotoran ini."

Di tempat lain, dua orang sedang bersengketa mengenai suatu permasalahan. Lalu datanglah seorang sufi menengahi mereka. Tak lama kemudian, masing-masing di antara dua orang yang bersengketa itu berhenti bersengketa dan tidak mau menuntut lawannya.

Demikianlah, semestinya setiap muslim menjadi sosok yang jernih dan menjernihkan. Kehadirannya di komunitas apapun seharusnya dapat memberikan kontribusi positif dan konstruktif. Pujian maupun celaan tak dapat mengotori hatinya.

Allah SWT berfirman:

"…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Maidah: 54)

Demikianlah ringkasan kali ini.

Damaskus, 23 July 2010

Mengenal Allah

Awaluddin makrifatullah (awal-awal agama ialah mengenal ALLAH)

Setiap muslim wajib mengenali Allah ta'ala.

Bagaimana mungkin kita menyembah yang kita tidak kenal ?

Apabila seseorang itu tidak mengenal Allah, segala amal / perbuatan / ibadah tidak akan sampai (wushul) kepada ALLAH SWT.

Paling utama yang harus kita kenali adalah bahwa,

Katakanlah "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa"
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia

(QS al Ikhlas [112]: 1-4)

Selanjutnya bisa mengenali melalui namaNya, sifatNya, perbuatanNya bukan melalui dimanaNya atau bagaimanaNya.

Contoh mengenali melalui sifatNya adalah melalui rumusan yang digali dari Al-Qur'an dan Hadits seperti berikut ini,
20 sifat yang wajib (mesti ada) pada Allah
20 sifat yang mustahil (tidak mungkin ada ) pada Allah dan
1 sifat yang harus (boleh ada – boleh tidak) pada Allah.

Selanjutnya cara kita mengenal Allah adalah dengan mendekat kepada Allah, menemuiNya dan berinteraksi dengan Allah.

Berinteraksi dengan Allah = selalu sadar dan mengingat Allah, setiap perbuatan, perilaku kita / akhlak kita harus secara sadar dan mengingat Allah.
Berinteraksi dengan Allah = berinteraksi dengan firman-firmanNya yakni Al-Qur’an. Seluruh perbuatan, perilaku / akhlak kita harus selalu sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits.

Sebaiknya kita tidak membicarakan atau mendiskusikan tentang dzatNya.

Tulisan  saya tentang di mana Allah semata-mata untuk mengingatkan kita dengan perkataan Imam al Qusyairi bahwa,

Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.

Disitu tegas dikatatakan bahwa "Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya".  Kitapun sebaiknya tidak mengupayakan membicarakan maupun mendiskusikan tentan dzatNya.

Wassalam

Zon di Jonggol

Selasa, 20 Juli 2010

Menolak tentang Ihsan

Mengapa sebagian muslim tidak mengimani bahwa kita dapat seolah-olah melihat Allah ?

Tasawuf adalah salah satu pokok dari tiga pokok ajaran agama Islam yang menguraikan tentang Ihsan. Pokok ajaran lainnya adalah Fikih yang menguraikan tentang Islam (rukun Islam) dan Ushuluddin yang menguraikan tentang Iman (rukun Iman).

Tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan perbuatan yang baik,  akhlak dan budi pekerti, bertobat, bertalian dengan hati (tazkiyatun nafs) , cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, qanaah, tawakal, zuhud, ma’rifatullah dan lain-lain

Namun sebagaian muslim terpengaruh istilah-istilah dari orang lain atau dari yang keliru memahami tentang Tasawuf.

Coba perhatikan pendapat yang sebagian muslim pahami yang berasal dari para ulama kaum mereka,

Tasawuf merupakan gerakan berpola pikir filsafat klasik yang mengekor kepada para filosof dan ahli syair Romawi, India dan Persia. Namun, dalam hal ini, kita akan membatasi kajian masalah sufi dengan berkedok Islam. Kedok Islam ini dikenakan sebagai upaya menutupi hakikatnya. Maka barangsiapa yang meneliti dan mengamati gerak-geriknya, niscaya akan berkesimpulan, bahwa sufi bukan Islam. Baik menyangkut aqidah, prilaku dan pendidikan.

Orang-orang ahli Tasawuf, dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, (mereka) berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nashrani. Yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya. Kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (nabi/rasul) yang terjaga dari kesalahan. Maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli tashawwuf), mereka menjadikan para pemimpin dan guru-gurunya sebagai penentu/pembuat syari'at agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syari'at agama bagi mereka”.

Sesungguhnya Tasawuf itu adalah tipuan / makar paling rendah / hina dan tercela. Setan telah membuatnya menipu para hamba Allah dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan rasulNya. Sesungguhnya tasawuf adalah (sebagai) topeng kaum Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang Rabbani , bahkan juga topeng semua musuh agama ini (Islam). Bila diteliti ke dalam akan ditemui di dalamnya (ajaran sufi itu) Brahmaisme, Budhisme, Zaratuisme, Platoisme, Yahudisme, Nashranisme, dan Paganisme.

Begitulah contoh indoktrinasi dari para ulama mereka yang sesungguhnya kemungkinan para ulama mereka terkena perang pemahaman (ghazwul fikri) dari  orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan terhadap orang-orang mukmin.

Secara tidak disadari para ulama mereka menjauhkan ummatnya dari kemungkinan memperdalami perbuatan-perbuatan baik, akhlakul karimah dan salah satunya adalah tentang zuhud. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.

Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Dari hadits ini bisa kita pahami bahwa ulama-ulama mereka secara tidak disadari menjauhkan ummatnya dari kemungkinan dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.

Sungguh,  dengan mengamalkan Tasawuf ,  kita dapat mencapai muslim tingkatkan Ihsan atau orangnya disebut Muhsin, jamaknya Muhsinin  yaitu kita menyembah kepada Allah seolah-olah  kita melihatNya padahal  kita tidak melihatNya. Yang dimaksud dengan seolah-olah melihat  Allah disini adalah bukan dengan kasat mata (mata kepala) namun dengan mata hati (bashirah).

Rasulullah saw berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.”

Ketika saya sampaikan kepada sebagian muslim bahwa kita dapat seolah-olah melihatNya  sebagaimana tulisan saya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/19/terhalang-melihat-allah/

Ada tanggapan negatif yang diberikan oleh sebagian muslim baik bantahan, olok-olokan, tuduhan, ketidak percayaan dan perbuatan tidak berguna lainnya.

Kenapa mereka tidak mengimani apa yang telah saya sampaikan dari Al-Qur’an dan Hadits ?

Apakah mereka taqlid buta kepada ulama-ulama mereka ?

Padahal ulama mereka pernah ada yang menganjurkan untuk tidak perlu taqlid pada Imam Madzhab yang empat karena kata ulama mereka, Imam Madzhab tidak maksum , lalu mereka sekarang malah taqlid begitu saja pada ulama mereka yang tentu tidak maksum juga.

Coba kita tanya kepada mereka , mana yang lebih banyak kemungkinan menyalahi  Al-Qur’an dan Hadits , ulama-ulama mereka atau Imam Madzhab yang empat ?

Padahal saya sangat yakin perkataan Imam Madzhab bahwa jika kita menemukan pendapat mereka yang keliru maka kita kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits adalah semata-mata agar kita selalu merujuk Al-Qur’an dan Hadits dan sikap tawadhu yang mereka tunjukkan. Suatu akhlak yang terpuji.

Mari kita simak nasihat/diwan salah satu imam madzhab yang empat, yakni Imam Syafi’i tentang tasawuf.

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fikih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fikih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?"
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

Dengan menjalankan Tasawuf ,  kita dapat mencapai muslim tingkatkan Ihsan atau orangnya disebut Muhsin, jamaknya Muhsinin

Pengertian Muhsinin
Al Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang berbuat baik, Ihsan perbuatan atau tingakatannya, orangnya disebut Muhsin, kalau jamak muhsinin, Ihsan itu ialah kita menyembah kepada Allah seolah-olah kita melihatNya padahal kita tidak melihatNya.

Sifat-sifat Muhsinin
Pertama, muhsinin adalah orang yang menjadikan Qur’an itu sebagai hidayah Artinya setiap perilakunya / akhlaknya selalu sesuai dengan tuntunan Al Qur’an, dan seluruh waktunya penuh berinteraksi dengan Al Qur’an.

Allah menjadikan Al Qur’an ini sebagai obat/rujukan untuk orang yang muhsinin,
Mereka itu orang-orang yang selalu berbuat baik dengan mengikuti syari’at.
Kadang-kadang orang memahami syari’at itu sempit, potong tangan, rajam begitu pemahaman sebagian orang ketika syari’at itu akan ditegakan.
Padahal, bersikap adil, qanaah, zuhud, ikhlas, taqarub, dan akhlakul karimah yang lain  juga syari’at.

Tentang muhsinin , lihat QS Lukman 1-7

[31:1] Alif Laam Miim
[31:2] Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmah (pemahaman yang dalam).
[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
[31:6] Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
[31:7] Dan apabila dibacakan kepadanya  ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.

Semoga kita dapat mengimani firman Allah secara menyeluruh, sebaiknya tidak memilah-milah berdasarkan kepentingan atau pembenaran pemahaman saja. Seluruh pokok-pokok ajaran agama Islam harus dapat kita pahami dan jalani.

Dengan tulisan ini saya sekedar ingin menyampaikan bahwa kita harus memahami ketiga pokok ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah).
Kenyataan yang ada saat ini, kerusakan telah timbul banyak dikarenakan akhlak yang buruk,  seperti tawuran. materialisme, individualisme, hubud dunya, al wahan, rakus, tamak, bakhil, tidak malu, tidak jujur, kerusuhan pilkada, bunuh diri, lebih baik mereka lapar daripada tidak bisa mengikuti gaya hidup dll.

Semua ini karena kita dan para ulama secara tidak sadar melupakan salah satu pokok ajaran Islam yakni tentang ihsan yang semuanya diuraikan dalam kitab Tasawuf. Kita mau saja dibodohi oleh orang-orang yang mempunyai rasa permusuhuan besar terhadap kaum mukmin, bahwa kitab Tasawuf adalah klasik, kolot, melemahkan semangat, menghambat modernisasi agama dan stigma negatif yang lainnya.

Ulama-ulama kita dahulu yang mengajarkan kitab Tasawuf, bisa kita temukan  masyarakat yang terkenal santun, ramah dan teguh berpendirian. Para ulama dan umara pun diakui di kancah dunia.

Untuk itulah saya mengajak baik diri pribadi saya maupun para pembaca untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits secara menyeluruh.

Apapun profesi kita lakukanlah dengan profesional, istiqomah, tawakal dan berakhlakul karimah.

Akhlakul karimah, akhlak yang selalu sadar dan mengingat Allah.

Wassalam

Zon di Jonggol

Tasawuf dalam Islam

Kesalahpahaman muslim tentang Tasawuf


Sebagian ulama tanpa disadari membingungkan ummat mereka dengan pernyataan bahwa Tasawuf adalah dari Nasrani, Budha atau dari ajaran atau agama lainnya.

Pernyataan sebenarnya adalah Tasawuf ada di Nasrani, Budha, di ajaran atau agama lainnya, begitu pula dalam Islam

Lho,  koq ulama kaumku bisa salah paham?
Tentu saja bukankah  kita yakin bahwa ulama tentu tidak maksum (terjaga dari segala kesalahan).

Oleh karenanya kita sebaiknya mengikuti atau taat kepada ulama yang sudah disepakati oleh jumhur ulama.

Kalau jumhur (banyak) ulama menyelisihi pendapat ulama yang kita ikuti maka kita harus lebih berhati-hati mengikuti ulama itu dengan selalu merujuk kepada Al-Qur'an dan Hadits.

Apakah konten Tasawuf dalam Islam ?

yakni, tentang akhlak dan budi pekerti, bertobat, bertalian dengan hati (tazkiyatun nafs) , cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, qanaah, tawakal, zuhud, ma’rifatullah dan lain-lain

Apakah nama program studinya pada sekolah tinggi / universitas Islam ? Nama program studinya Akhlak / Tasawuf
Selengkapnya baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/

Jadi Tasawuf adalah hanya sekedar nama atau istilah saja yang telah disepakati oleh banyak orang.

Lalu apakah konten Tasawuf serupa disemua agama ?

Ya, tentu nama atau istilah sepakat dipergunakan untuk sesuatu yang sama atau hampir sama.

Jadi konten Tasawuf hampir sama disemua ajaran atau agama , tentang akhlak, jiwa, mengenal yang disembah. Yang berbeda adalah tuhan yang disembah.
Dalam Islam , Tiada Tuhan selain Allah

Coba kita perhatikan , di zaman modern ini , banyak kita dapati sekolah-sekolah nasrani menghasilkan murid-murid yang berhasil dalam belajarnya karena akhlak mereka yang baik seperti disiplin, tertib, gigih, tekun dan akhlak-akhlak baik lainnya

Ini sunnatullah, mereka mendapat apa yang mereka usahakan
Apapun di alam dunia berlaku hubungan sebab-akibat.

firman Allah, yang artinya,
Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami penuhi balasan pekerjaan-pekerjaannya di dunia dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun. Tetapi di akhirat tidak ada bagi mereka bagian selain neraka. Dan sia-sialah apa-apa yang mereka perbuat di dunia dan batallah apa-apa yang mereka amalkan”. (QS. Hud : 15-16)

Mereka mendapatkan hasil dari segala upaya pekerjaan di dunia, namun karena mereka menyembah selainNya maka mereka diakhirat mendapatkan neraka. Naudzubillah min zalik.

Lalu mengapa kita yang telah bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah, tidak berupaya berakhlakul karimah ?

Mungkinkah kesalahpahaman tentang Tasawuf ini merupakan upaya untuk menjauhkan dari Allah ?

Mungkinkah menjauhkan muslim dari Tasawuf merupakan upaya agar muslim tidak dapat berkomunikasi dengan Allah, bertemu dengan Allah, berinteraksi dengan Allah ?

Sadarilah bahwa orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan pada mukmin sangat berkeingingan untuk "memisahkan" muslim dengan tasawuf/akhlakul karimah dengan cara membuat cerita-cerita mistik berlebihan, memberikan paradigma, stigma, definisi negatif pada tasawuf dalam Islam.

Sungguh seorang muslim yang mengenal tasawuf dalam Islam atau akhlakul karimah maka mereka akan mempunyai kesadaran pada realitas peran dan fungsi di dunia. Kesadaran inilah yang sangat ditakuti oleh orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan pada mukmin. Kesadaran akan peran dan fungsi manusia di dunia sebagai hamba Allah. Kesadaran bahwa tiada daya upaya selain pertolongan/izin Allah.

Marilah kita mendalami dan menjalankan pokok-pokok ajaran dalam Islam secara menyeluruh (kaffah), sebaiknya tidak menolak/meningkari satu pokokpun. Pokok-pokok ajaran dalam Islam yakni, , Islam (rukun Islam, fiqih), Iman (rukun Iman, Ushuluddin), Ihsan (akhlak, Tasawuf).

Kita mendalami dan menjalankan keseluruhan pokok-pokok ajaran dalam Islam agar menjadi muslim yang sholeh, muslim terbaik, muslim yang ihsan atau muhsinin yakni muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah.

Seolah-olah melihat Allah yang timbul dari akhlakul karimah = keadaan sadar (kesadaran) atau perbuatan/perilaku secara sadar dan Mengingat Allah.

Setiap perilaku kita / akhlak kita harus dengan mengingat Allah, seluruh waktu kita penuh berinteraksi dengan Alllah

Berinteraksi dengan Allah dengan cara berinteraksi dengan firman-firmanNya yakni Al-Qur’an. Seluruh perbuatan / akhlak kita harus selalu sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits.

Rasulullah mengatakan “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S Al-Ahzab : 21).

Marilah kita dalami dan jalankan Tasawuf dalam Islam.

Wassalam

Zon di Jonggol

Senin, 19 Juli 2010

Terhalang melihat Allah swt

Kita menyembah Allah swt sebaiknya dapat memandang (melihat) Allah swt atau kalau belum mampu kita wajib yakin bahwa Allah swt melihat kita, agar amal (perbuatan) kita sampai (wushul) ke hadhirat Allah swt bukan kepada selainNya. Yang dimaksud dengan memandang (melihat) Allah swt disini adalah dengan mata hati (bashirah). Sebagaimana riwayat berikut ini,

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.


Contoh sederhana akan hadits ini, jika kita mendirikan Sholat , sholat sudah mengikuti Al-Qur'an dan Hadits (Fikih), sholat dilakukan diniatkan karena Allah swt (Ushuluddin) , namun memandang (melihat) selainNya (Tasawuf), misalkan timbul di hati memandang (melihat) manusia agar dianggap sebagai muslim yang sholeh. Sehingga sholatnya lalai. Maka celakalah !

Ini sebuah contoh yang memuat seluruh pokok-pokok ajaran agama Islam, Islam (rukun Islam/ Kitab Fikih), Iman (rukun Iman, kitab Ushuluddin), Ihsan (akhlak, kitab Tasawuf).

Rasulullah saw berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.”

Imam Qusyairi mengatakan
Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.

Secara sederhana kita bisa kita tangkap makna perkataan Imam Qusyairi,

sesuatu hadir dalam hati ===> selalu sadar dan ingat ==> seakan-akan senantiasa melihat dan meyaksikanNya

Dengan selalu sadar dan ingat kepada Allah swt (mengingat Allah), seorang muslim dapat mencapai tingkatan Ihsan (muhsin), ”seolah-olah melihat-Nya”.

Jadi "seolah-olah melihatNya" timbul dari akhlakul karimah = keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah.

Penuhilah hati kita dengan selalu mengingat Allah, kita akan mencapai muslim yang Ihsan (muhsin), “seolah-olah melihat-Nya”.

Sebagaimana yang dikisahkan seorang pemuda dengan kekasih wanita nya. Di mana pemuda itu setiap akan makan, mandi, tidur dan perbuatan lainnya selalu mengingat sang kekasih dan hatinya dipenuhi kekasihnya atau kekasihnya selalu hadir di hati pemuda itu, maka pemuda itu akan ”seolah-olah melihat kekasihnya”. Pemuda tersebut “seolah-olah” menjadi hamba sang kekasih.

Begitu pula bagi seorang muslim, yang mengingat Allah setiap melakukan perbuatan seperti ketika makan, mandi, tidur, mengadakan perjalanan dan perbuatan yang lain, muslim yang selalu mengingat Allah, sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi akan mencapai tingkatan ihsan, “seolah-olah melihatNya”. Muslim yang menjadi hamba Allah.

Mengingat Allah setiap melakukan perbuatan ====>> doa sebelum makan, tidur, berjalan, berwudhu, dll.  Minimal dengan

Bismillahirohmanirohim

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang

Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda, “Setiap perbuatan, jika tidak dimulai dengan “Bismillah” (menyebut nama Allah) maka (pekerjaan tersebut) akan terputus (dari keberkahan Allah)”.

Perbuatan (amal)  yang tidak dilakukan dengan sadar dan mengingat Allah akan terputus  atau tidak sampai (wushul) ke hadhirat Allah, perbuatan (amal) yang sia-sia.

Amal walaupun dengan Ilmu namun tanpa Akhlak maka akan sia-sia.

Contoh  sederhana lainnya, di dunia maya(internet) kita menulis (AMAL) dalam forum diskusi , milis, jaringan sosial, email, dengan dukungan ILMU yang kita ketahui namun disampaikan dengan AKHLAK yang buruk (terhalang memandang Allah) maka kita dapat celaka.

Lalu, ada yang bertanya, bahwa dia sudah menulis dengan berbagai sindiran, hujatan, olok-olok, fitnah, dengan kemarahan, namun dia yakin bahwa dia dalam kebenaran karena dia yakin Allah setuju, dikarenakan Allah swt tidak memberikan teguran,hukuman/balasan.

Kita harus yakin bahwa al-Haq (kebenaran) tidak akan bercampur dengan kebathilan.

Kebenaran tidak disampaikan dengan hujatan, olok-olok, fitnah maupun kemarahan.

Ingatlah, bisa saja Allah swt mengundur teguran/hukuman/balasan kepada waktu nanti di Akhirat, maka ini adalah sebenar-benarnya kerugian.

Jika Allah swt mencintai hambaNya , bisa Dia menegur seketika itu juga, agar hambaNya mempunyai waktu untuk meminta ampunanNya. Teguran langsung dari Allah swt dapat menunjukkan kedekatan hambaNya kepada Allah swt.

Lalu kenapa kita terhalang melihatNya ?

  • Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.

  • Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa

  • Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta'ala oleh kegelapan memandang ibadahnya


Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta'ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.

Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.

Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah.  Inilah yang dinamakan buta mata hati.

Sebagaimana firman Allah swt yang artinya,

Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)

maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)

Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita sehingga tidak dapat memandang Allah swt ?

Di zaman modern ini, sebagian ulama hanya terfokus mengajarkan tentang Islam (rukun Islam / Kitab Fikih),  Iman (rukun Iman / Kitab Ushuluddin) namun sedikit yang mengajarkan tentang Ihsan (akhlak / Kitab Tasawuf).

Bahkan sebagian ulama anti mendalami/mengajarkan kitab Tasawuf hanya karena istilah Tasawuf atau memaknai tasawuf dengan keliru,  atau melihat kepada orang/kaum yang keliru mendalami Tasawuf dalam Islam.

Sehingga kita dapat temukan sebagian muslim yang tahu tentang sholat (ilmu) , menjalankan sholat dengan rajin (amal) namun terhalang memandang Allah (akhlak) sehingga mereka berani melakukan perbuatan korupsi, zina, setengah bugil atau bugil di depan kamera, memimpin dengan zalim, memperkaya diri sendiri dan kelompok, dll.

Oleh karenanya para ulama harus mendalami dan mengajarkan seluruh pokok-pokok ajaran agama Islam, termasuk tentang Ihsan (akhlak / kitab Tasawuf).

Kelirulah jika terpengaruh himbauan sebagian ulama untuk modernisasi Agama, atau terpengaruh ulama yang mengaku sebagai pembaharu (mujaddid), karena mereka hanya fokus mendalami dan mengajarkan kitab fikih dan kitab ushuluddin saja dengan meninggalkan kitab Tasawuf yang menguraikan tentang akhlak, tazkiyatun nafs, ma’rifatullah dan lain-lain.

Sehingga dengan mengabaikan salah satu pokok ajaran agama Islam, yakni tentang Ihsan maka sesungguhnya mereka secara tidak disadari mengupayakan pendangkalan ajaran agama Islam.  Mereka menamai kitab Tasawuf sebagai kitab klasik atau kitab tradisionil  atau kolot yang bagi mereka layak untuk dilupakan karena zaman sudah modern.

Dalam soal kegamaan, soal syariat, soal ibadah, soal i’tiqad (aqidah), soal hakikat, soal ma’rifat  maka kita menolak sekuat-kuatnya akan modernisasi. Agama adalah dari Allah swt  dan RasulNya, kita wajib menerima bagaimana adanya, sebagai yang diajarkan Rasulullah saw.

Allah swt telah memberikan petunjuk bahwa kita dalam pengajaran harus mengajarkan tentang akhlak (tentang Ihsan) agar terbuka mata hati orang yang akan kita ajarkan, sebagaimana firmanNya yang artinya,

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah orang-orang yang berserah diri (kepada Kami).” (QS Ar ruum 30 : 53)

Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?” (QS As Zukhruf 43:40)

Alhamdulillah, adanya kesadaran dari pemerintah melalui melalui Kementerian Pendidikan Nasional yang sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi .

Namun pendidikan karakter bukanlah pendekatan melalui filsafat, psikologi, motivasi, menurut prasangka manusia atau hubungan antar manusia semata, yang terbaik adalah pendekatan melalui pendidikan akhlakul karimah, menghubungkan kembali manusia dengan Allah, mendidik manusia untuk dapat menghilangkan hijabnya dengan Allah sehingga dapat merasakan kedekatan atau kebersamaan dengan Allah yang memotivasi untuk mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Solusi pendidikan agama yang harus diselenggarakan pemerintah adalah  kembali mengajarkan apa yang diajarkan ulama-ulama kita terdahulu yang mengajarkan  kitab-kitab klasik atau kitab-kitab Tasawuf.

Silahkan baca juga tulisan tentang pendidikan dan akhlak pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/

Wassalam

Zon di Jonggol

Kamis, 15 Juli 2010

Muslim tingkatan Ihsan

Bagaimanakah agar kita mencapai tingkatan muslim yang Ihsan (muhsinin)

Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut:
Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw.

Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata,

“Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.”
Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.”

Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang iman.”
Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.”

Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan.”
Rasulullah berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.

Dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang Assa’ah (azab kiamat).”
Rasulullah menjawab, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab, “Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat.” Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata.

Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah Saw lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” (HR. Muslim)

Dari hadits diatas kita dapat memahami pokok ajaran dari Agama Islam yakni tentang Islam (rukun Islam), Iman (rukun Iman) dan Ihsan (seolah-olah melihatNya).

Dimanakah kita dapat kita pelajari atau kita dalami ke tiga pokok ajaran Agama Islam itu?

Islam (rukun Islam) bisa kita dapati dengan mendalami fiqh / hukum.

Klo tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad maka bolehlah kita mengikuti ulama yang berkompetensi / ahli atau dikenal sebagai Imam Mujtahid.

Jumhur ulama sepakat ada empat Imam Besar yang kita kenal. salah satunya adalah Imam Syafi'i.

Iman (rukum Iman) bisa kita dapati dengan mendalami ushuluddin atau tentang i'tiqad /akidah. Imam yang telah menggali dan merumuskan dari Al-Qur'an dan Hadist, juga disepekati oleh jumhur ulama, salah satunya adalah Imam Abu Hasan al Asy'ari dan Imam Mansur al Maturidi yang dikenal dan disepakati sebagai ulama Ahlussunah Wal Jam'ah yang kaumnya dinamai kaum Ahlussunnah atau kaum Sunni.

Ihsan (seolah-olah melihatNya) bisa kita dapati dengan mendalami tentang akhlak, tazkiyatun nafs, ma'rifatullah yang secara umumnya dinamai Tasawuf. Banyak ulama yang telah menguraikan atau menceritakan pengalaman mereka  tentang Tasawuf , antara lain adalah Syaikh Ibnu Athoillah.

Ihsan adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kesempurnaan” atau “terbaik.”

Sebagian muslim ternyata tidak pernah mencita-citakan untuk menjadi muslim yang terbaik, yakni yang mencapai tingkatan Ihsan (muhsin), seolah-olah melihatNya. Yang umumnya dan awamnya diketahui adalah Rukun Islam dan Rukun Iman semata.

Kenyataan yang ada, memang sebagian ulama hanya fokus pada fiqh dan ushuluddin saja.

Mereka jarang mendalami tentang Ihsan (seolah-olah melihatNya), bahkan sebagian menolak mendalami Tasawuf yang merupakan pendalaman tentang Ihsan , hanya semata-mata karena alergi dengan istilah Tasawuf. Menurut mereka, tasawuf adalah mistik, khurafat, tahakyul, kolot, tidak modern atau tidak dapat mengikuti zaman.

Inilah yang kami sedihkan melihat kenyataan bahwa dalam zaman modern ini sebagian muslim tanpa disadari terpengaruh dengan slogan modernisasi agama, pembaharuan, pemahaman/ijtihad baru dengan metode pemahaman tekstual, dzahir, harfiah atau menurut mereka secara ilmiah dan modern yang bersandarkan dalil dan masuk akal.

Setelah kami lakukan pengkajian, ternyata apa yang dimaksud dengan slogan-slogan diatas , secara tidak disadari adalah pendangkalan agama Islam semata karena hanya menguraikan seputar fiqh dan ushuluddin saja. Dengan metode pemahaman secara dzahir, tekstual atau lahiriah mereka tidak dapat mendalami tentang Ihsan atau tasawuf, karena pendalaman Tasawuf adalah semata-mata bergantung kepada karunia Allah dalam bentuk al-hikmah (pemahaman yang dalam).

Kita sesungguhnya tidak menolak seluruh modernisasi. Modernisasi dianjurkan untuk bidang-bidang keduniaan yang belum ada aturannya dari Allah dan Rasul. Namun dalam soal kegamaan, soal syariat, soal ibadah, soal i’tiqad (aqidah), soal hakikat, soal ma’rifat  maka kita menolak sekuat-kuatnya akan modernisasi. Agama adalah dari Allah dan Rasul, kita wajib menerima bagaimana adanya, sebagai yang diajarkan Rasulullah.

Nabi Rasulullah bersabda: “Dari Anas bin Malik Rda, beliau berkata, Rasulullah telah bersabda: Apabila ada sesuatu urusan duniamu maka kamu yang lebih tahu, tetapi apabila dalam urusan agamamu maka Saya yang mengaturnya”. (HR Imam Ahmad bin Hanbal).
Agama tidaklah mengikuti zaman tetapi sebaliknya zaman yang harus tunduk kepada agama.

Slogan modernisasi agama dihembuskan dan sepertinya memang ada pihak yang "mengangkat" atau "mengupayakan" untuk memasyarakatkan metode pemahaman secara dzahir, tekstual atau harfiah. Mereka mengaku sebagai pembaharu (mujaddid)  dan seolah-olah mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad atau menjadi imam mujtahid.

Padahal banyak syarat harus dipenuhi untuk  melakukan ijtihad maupun menjadi imam mujtahid. Silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/31/imam-mujtahid/

Bagaimana proses pendalaman Tasawuf (tentang ihsan, seolah-olah melihatNya) ?

Tasawuf dalam Islam, sesungguhnya sangat mudah untuk dijalani. Tasawuf bukanlah pemahaman namun amalan atau perbuatan. Sehingga muslim yang telah mendalami Tasawuf bukannya mengajarkan pemahaman namun menceritakan pengalaman mereka atau perjalanan mereka. Kadang-kadang tulisan tidak lagi sanggup mengungkapkan pengalaman atau perjalanan mereka, oleh karenanya sebagian dari mereka mengungkapkan dengan syair , hikmah (pernyataan yang dalam maknanya)  atau nasehat.

Tasawuf dalam Islam, prinsip dasarnya adalah melakukan perbuatan apapun di alam dunia dalam rangka memenuhi keinginan Allah yakni beribadah atau menyembah kepadaNya atau selalu mengingat Allah.

Keinginan Allah, sebagaimana firmanNya yang artinya
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Az Zariyat : 56)
Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (al Hijr: 99)

Setelah kesadaran ini dapat dipahami maka langkah selanjutnya adalah sebagaimana perkataan Rasulullah SAW,
Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji, dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah)

Pakaian yang baru adalah bertobat, kemudian mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs), akhlak yang baik, adab yang mulia dalam perjalanan hidup kita, mengantarkan kita kembali sebenar-benarnya bersaksi (syahid) sebagaimana pada awal mula kejadian kita (ketika bayi dalam kandungan).

Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan, agar dirinya dapat kembali menemui Allah.

Setiap manusia sudah bersaksi bahwa Allah adalah sebagai Rabbnya ketika masih dalam alam kandungan. Sebagaimana yang disampaikan Allah dalam firman yang artinya. “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)

Sebagaimana yang disampaikan imam Al Qusyairi bahwa,
Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.

Jadi langkah selanjutnya adalah selalu mengingat Allah, apapun yang kita lakukan di alam dunia wajib kita selalu mengingat Allah.

Silahkan baca tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/10/mengingat-allah/

Dan tulisan-tulisan lainnya di blog ini,  lihat indeks pada kolom paling kanan dengan judul "Perjalanan Hidup"

Firman Allah, yang artinya,

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui” (QS al Maaidah  5 : 54).

Suatu kaum yang Allah mencintai mereka. Dan merekapun mencintaiNya.

Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Imam Ahmad berkata, “Zuhud ada tiga macam:

  • Pertama, meninggalkan perkara haram, dan ini adalah zuhudnya orang awam.

  • Kedua, meninggalkan perkara halal yang tidak berguna, dan ini adalah zuhudnya orang khas / khusus.

  • Ketiga, meninggalkan perkara yang menyibukkan seorang hamba sehingga melupakan Allah atau tidak mengingat Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”


Orang-orang arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan dengan selalu mengingat Allah sehingga mereka adalah muslim yang mencapai tingakatan Ihsan (muhsin), seolah-olah melihatNya.

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi'lib Al-Yamani,
"Apakah Anda pernah melihat Tuhan?"
Beliau menjawab, "Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?"
"Bagaimana Anda melihat-Nya?" tanyanya kembali.  Sayyidina Ali ra menjawab, "Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, (dzohir atau "mata kepala”)
tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan ...". (dilihat oleh hati atau bashirah, "mata hati")

Kita harus yakin bahwa kita menyembah kepada Tuhan yang kita lihat (dengan mata hati) agar kita tidak tersesat atau salah menyembah.

Sebagaimana firman Allah yang artinya,

"Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)." (QS Al Isra 17 : 72)

"maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada." (al Hajj 22 : 46)

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah orang-orang yang berserah diri (kepada Kami)." (QS Ar ruum 30 : 53)

"Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?" (QS As Zukhruf 43:40)

Dengan mengamalkan Tasawuf yang diantaranya Zuhudlah di didunia, maka kita akan dicintai Allah.

Jika Allah mencintai kita maka sebagaimana sabda Rasulullah SAW, dalam sebuah hadits qudsi, bahwa Allah SWT, berfirman:

Apabila Aku (Allah) mencintai seorang hamba, maka pendengarannya adalah pendengaran untuk-Ku, penglihatannya adalah penglihatan-Ku, tangannya (kekuasaannya) adalah kekuasaan-Ku, perjalanan kakinya adalah perjalanan untuk-Ku

kesimpulan: bahwa dengan sadar dan selalu mengingat Allah , kita dapat seolah-olah melihatNya, mencapai muslim tingkatan Ihsan  (Muhsinin).

Tentang muhsinin , lihat QS Lukman 1-7
[31:1] Alif Laam Miim
[31:2] Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmat
[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
[31:6] Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
[31:7] Dan apabila dibacakan kepadanya  ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.

Pengertian Muhsinin

Al Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang berbuat baik, Ihsan perbuatan atau tingakatannya, orangnya disebut Muhsin, kalau jamak muhsinin, Ihsan itu ialah kita menyembah kepada Allah seolah-olah kita melihatNya padahal kita tidak melihatNya.

Sifat-sifat Muhsinin
Pertama, muhsinin adalah orang yang menjadikan Qur’an itu sebagai hidayah Artinya setiap perilakunya selalu sesuai dengan tuntunan Al Qur’an, dan seluruh waktunya penuh berinteraksi dengan Al Qur’an.

Allah menjadikan Al Qur’an ini sebagai obat/rujukan untuk orang yang muhsinin,
Mereka itu orang-orang yang selalu berbuat baik dengan mengikuti syari’at.
Kadang-kadang orang memahami syari’at itu sempit, potong tangan, rajam begitu pemahaman sebagian orang ketika syari’at itu akan ditegakan.
Padahal, bersikap adil, qanaah, zuhud, ikhlas, taqarub, dan akhlakul karimah yang lain  juga syari’at.

Wassalam

Zon di Jonggol

Jumat, 09 Juli 2010

Mengingat Allah

Revolusi akhlak bagi muslim di negeri kita dengan solusi selalu mengingat Allah


Kita sebagai muslim yang mengadakan “perjalanan” di alam dunia, secara tidak disadari menggantungkan cita-cita maupun tujuan hidup yang umumnya hubud dunya, cinta dunia.

Padahal Allah, telah memperingatkan kita dalam firmanNya, yang artinya

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami penuhi balasan pekerjaan-pekerjaannya di dunia dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun. Tetapi di akhirat tidak ada bagi mereka bagian selain neraka. Dan sia-sialah apa-apa yang mereka perbuat di dunia dan batallah apa-apa yang mereka amalkan”. (QS. Hud : 15-16)

Sebaiknya kita sebagai muslim harus berupaya atau bercita-cita menjadi muslim yang terbaik. Inilah perwujudan apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yakni menjadi muslim yang Ihsan (muhsin). Ihsan adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kesempurnaan” atau “terbaik.”

Sewaktu Jibril bertanya-jawab dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di depan para sahabat, Ihsan maksudnya adalah ”seolah-olah kita melihat-Nya walaupun kita tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat kita

Keadaan muslim yang Ihsan , “seolah-olah melihatNya” akan memotivasi kita untuk melaksanakan perintahNya, menjauhi laranganNya.

Muslim yang “seolah-olah melihatNya”, akan menjauhi laranganNya seperti, sombong, riya, ujub,  bohong, korupsi, mafia kasus/hukum, membuka aurat di depan orang yang tidak berhak, pornografi atau pornoaksi, zina, narkoba, riba  dll. Inilah solusi untuk revolusi akhlak bagi muslim di negeri kita ini.

Bagaimanakah kita mewujudkan “seolah-olah melihatNya” atau bertemu Allah atau dekat dengan Allah atau  bersama Allah (billah) ?

Imam Qusyairi mengatakan
“Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.

Dengan selalu sadar dan ingat kepada Allah (mengingat Allah), seorang muslim dapat mencapai tingkatan Ihsan, ”seolah-olah melihat-Nya”.

Penuhilah hati kita dengan selalu mengingat Allah, kita akan mencapai muslim yang Ihsan (muhsin), “seolah-olah melihat-Nya”.

Sebagaimana yang dikisahkan seorang pemuda dengan kekasih wanita nya. Di mana pemuda itu  setiap akan makan, mandi, tidur dan perbuatan lainnya selalu mengingat sang kekasih dan hatinya dipenuhi kekasihnya atau kekasihnya selalu hadir di hati pemuda itu, maka pemuda itu akan ”seolah-olah melihat kekasihnya”. Pemuda tersebut “seolah-olah” menjadi hamba sang kekasih.

Begitu pula bagi seorang muslim, yang mengingat Allah setiap melakukan perbuatan seperti ketika makan, mandi, tidur, mengadakan perjalanan dan perbuatan yang lain, muslim yang selalu mengingat Allah, sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi akan mencapai tingkatan ihsan, “seolah-olah melihatNya”.  Muslim yang menjadi hamba Allah.

Agar kehidupan kita di alam dunia ini selalu mengingat Allah maka seluruh perbuatan kita di alam dunia harus dengan sadar dan selalu mengingat Allah. Semua perbuatan muslim di alam dunia harus karena Allah (lillah) dan bersama atau dengan pertolongan Allah (billah).

Ini sekaligus bantahan bagi kaum sekuler yang memisahkan urusan dunia dengan urusan dengan Tuhan atau agama. Sehingga kelirulah bagi muslim yang mengatakan Agama Islam : Yes,  Partai Islam : No.

Apapun perbuatan, profesi, organisasi, institusi, lembaga, partai politik, jama’ah minal muslimin, harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits. Para pendiri negeri inipun menyadari bahwa pendirian atau kemerdekaan negara adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Oleh karenanya kelirulah manusia yang merasa hidup seorang diri dan segala sesuatu merupakan adalah upaya manusia sendiri sehingga lupa mengingat Allah. Sehingga ada yang merasa gagal dalam upaya dan hidupnya serta merasa seorang diri menjalankan kehidupannya, akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara bunuh diri.

Padahal Allah, setelah menciptakan Manusia, Dia tidak membiarkan ciptaanNya begitu saja. Dia mengurusi manusia dengan ke Maha Pemurah dan Maha Penyayang Nya. Sungguh seorang manusia dalam perjalanannya di alam dunia tidaklah seorang diri, kita selalu dekat dengan Allah, hanya kita menghijabi diri dari Allah. Salah satu hijabnya adalah ego diri atau kesombongan diri.

Firman Allah yang artinya,

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur” (QS al Baqarah 2 : 255) .

Katakanlah: "Siapakah yang dapat memelihara kamu di waktu malam dan siang hari dari (azab Allah) Yang Maha Pemurah?" Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang berpaling dari mengingati Tuhan mereka. (QS al Anbiyaa 21:42)

“Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)” (QS. An Naml 27 : 62)

Berikut sebagian langkah-langkah kita sebagai muslim agar dalam perjalanan di alam dunia, seluruh waktunya dalam kesadaran dan selalu  mengingat Allah.

1. Tobat

Salah satu yang menghijabi manusia dari kedekatan atau bersama Allah (billah) adalah dosa. Segeralah mengingat Allah dengan bertobat yang sesungguhnya.

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS Ali Imran 3 : 135)

Allah dengan tegas menyatakan dalam ayat diatas bahwa salah satu ciri orang yang bertaqwa kepada Allah yaitu mereka yang apabila melakukan kesalahan, mereka kemudian mengingat Allah serta bertaubat atas segala kesalahan yang dilakukannya dan tidak akan meneruskan atau mengulangi kesalahan.

Mengingat manusia adalah tempat salah dan lupa maka Allah dengan sifat Rahman dan RahimNya senantiasa membuka pintu taubat dan ampunanNya sampai kelak matahari terbit dari arah barat saat dimana kiamat kubra akan terjadi.

Nabi Muhammad SAW menjelaskan akan hal itu dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim yang artinya: “ Sesungguhnya Allah taala membentangkan tanganNya pada waktu malam untuk menerima taubat orang yang berdosa pada waktu siang, dan Ia membentangkan tanganNya pada waktu siang untuk menerima taubat orang yang berdosa pada waktu malam, sehingga matahari terbit dari arah barat (sampai kiamat).” ( H.R. Muslim )

2. Akhlakul karimah
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dalam Bahasa Arab kata akhlak (akhlaq) diartikan sebagai tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama.

Akhlak atau etika islami merupakan tema penting yang seringkali dibahas dalam kajian tazkiyatunnufus (pensucian diri), akhlak juga merupakan salah satu poin penting yang karenanya diturunkan Rasul pilihan, Nabi akhir zaman Muhammad Saw. "sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak".

Akhlak Islami merupakan sifat kepribadian yang sangat dianjurkan oleh agama yang hanif ini, dan menyerukan kepada segenap kaum muslimin untuk menghiasi diri mereka dengannya.

Akhlak adalah manifestasi batin seorang muslim yang mana pada hari akhir nanti akan ditampakkan segala hakikatnya. Sebagaimana pada diri manusia ada sisi jasmani yang dhohir, yang merupakan postur tubuh manusia itu sendiri manusia juga memiliki kerangka rohaniyahnya yang jika ditempa dengan baik dan dirawat maka akan menghasilkan bentuknya yang indah sebagaimana jasmani kita yang sering kita rawat dengan telitinya. Tetapi Allah hanya menilai bentuk rohaniyah dari seorang hamba-Nya saja, "seseunggunhnya Allah Swt tidak melihat kepada bentuk tubuh kalian melainkan pada hati kalian".

Akhlakul karimah merupakan akhlak muslim yang selalu dalam kesadaran dan mengingat Allah antara lain, menahan amarah, pemaaf, berprasangka baik, jujur, amanah, sabar, ikhlas, qanaah, wara’, tawadhu, dll

Alhamdulillah, adanya kesadaran dari pemerintah melalui melalui Kementerian Pendidikan Nasional yang sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi . Namun pendidikan karakter bukanlah pendekatan melalui filsafat, psikologi, motivasi, menurut prasangka manusia atau hubungan antar manusia semata, yang terbaik adalah pendekatan melalui pendidikan akhlakul karimah, menghubungkan kembali manusia dengan Allah, mendidik manusia untuk dapat menghilangkan hijabnya dengan Allah sehingga dapat merasakan kedekatan atau kebersamaan dengan Allah yang memotivasi untuk mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Silahkan baca juga tulisan tentang pendidikan dan akhlak pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/

3. Dzikir dan Doa

Dzikir jahar dan dzikir khofi kita lakukan dalam upaya untuk selalu mengingat Allah yang merupakan sebuah latihan untuk memunculkan akhlakul karimah karena selalu merasa dilihat Allah sampai meningkat kepada keadaan seolah-olah melihatNya.

4  Sholat wajib dan Sholat Sunnah, waktu terhubung kita dengan Allah pada waktu-waktu yang telah ditentukan..

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.”  (QS  Thaha 20: 14)

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS al Ankabut 29: 45)

Nabi Muhammad Saw bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi'rajul Mu'minin , “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Selengkapnya bacalah tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/20...sholat-khusyu/

2. Puasa, biasakanlah puasa senin-kamis atau yang lainnya, sehingga "keadaan" sedang berpuasa menambah waktu kita terhubung dengan Allah. Bukan sekedar menahan lapar dan haus saja.

Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari)

Begitu juga selalu menjaga wudhu  atau selalu dalam keadaan berwudhu, menambah waktu kita terhubung dengan Allah.

3.  Zuhudlah di dunia, menambahah waktu kita terhubung dengan Allah, bahkan bisa dikatakan sepanjang kehidupan di alam dunia.

Selengkapnya, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/30/zuhudlah-di-dunia/

Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Jika Allah mencintai kita maka sebagaimana sabda Rasulullah SAW, dalam sebuah hadits qudsi, bahwa Allah SWT, berfirman:

“Apabila Aku (Allah) mencintai seorang hamba, maka pendengarannya adalah pendengaran untuk-Ku, penglihatannya adalah penglihatan-Ku, tangannya (kekuasaannya) adalah kekuasaan-Ku, perjalanan kakinya adalah perjalanan untuk-Ku”

Imam Ahmad berkata, “Zuhud ada tiga macam:

  • Pertama, meninggalkan perkara haram, dan ini adalah zuhudnya orang awam.

  • Kedua, meninggalkan perkara halal yang tidak berguna, dan ini adalah zuhudnya orang khas / khusus.

  • Ketiga, meninggalkan perkara yang menyibukkan seorang hamba sehingga melupakan Allah (lupa mengingat Allah), dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”


Kita harus menjadi seorang arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan jika Allah yang berkenan dan bukan karena keinginan kita sendiri. Dengan zuhud di dunia ,  kita dapat mencapai keadaan manusia yang terhubung sampai (wushul) kehadhirat Allah.

Silahkan baca juga tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/20...adhirat-allah/

Wassalam

Zon di Jonggol