Kamis, 06 Mei 2010

Di atas langit

Memaknai di atas langit dengan mata hati.

Kita ketahui sebagian muslim dalam upaya mereka mengikuti Sunnah, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in mereka menggunakan metode pemahaman secara lahiriah atau tekstual atau dengan kata lain ibarat menggunakan “mata kepala”.

Lain dengan umat muslim pada umumnya dalam metode pemahaman dengan “mengambil pelajaran” atau dengan kata lain ibarat menggunakan “mata hati” atau bashirah atau dikatakan juga, metode pemahaman dengan “mendalami”, “merasakan”, “mengalami” sesuai kehendak Allah dan kita berserah diri padaNya, kita tidak bersandar pada ilmu semata. .
Sebagaimana firman Allah, yang artinya, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

Sedangkan sebagian muslim dengan  metode pemahaman secara lahiriah atau tekstual, merupakan atas upaya/kehendak mereka sendiri berdasarkan ilmu yang mereka kuasai. Wallaahu a’lam

Sebagai contoh mereka sangat gemar menggunakan hadits berikut dan dalil-dalil lain yang sama bunyinya sebagai pembenaran pemahaman mereka bahwa Allah “di atas langit”, Subhanallah,  Maha Suci Allah dari kebutuhan tempat maupun arah.

Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”.

Imam An-Nawawi didalam syarah Shahih Muslim ketika menjelaskan hadits Jariyah ( budak perempuan ) yang ditanya Rasulullah SAW ;

“Dimanakah Allah” . ( Shahih Muslim no:537)

Imam Nawawi berkomentar : Hadits ini termasuk hadits-hadits yang menceritakan sifat, dalam permasalahan ini terdapat dua mazhab :

1 - Percaya dengan hadits tersebut tanpa mendalami maknanya, juga beri`tikad bahwa Allah SWT tidak seperti sesuatu, dan Maha suci dari ciri-ciri makhluk.

2 – Menta`wilkan hadits ini dengan apa yang patut kepada Allah, siapa yang berkata seperti ini , maka mereka berkata : Tujuan Rasul bertanya kepada Jariah untuk mencoba keimanannya, apakah dianya beriman dan mengakui yang menjadikan dan yang mengatur dan memperbuat sesuatu adalah Allah, Dialah Allah yang apabila memohon seorang , maka akan menghadap kelangit, sebagaimana apabila shalat seseorang maka akan menghadap ke Ka`bah, bukan maksudnya Allah itu berada di langit sebagaimana juga bukan maksudnya Allah itu berada di arah Ka`bah, bahkan yang yang dimaksud ialah langit adalah qiblat untuk orang berdo`a, dan Ka`bah qiblat orang yang shalat, ataukah dianya ( Jariyah ) termasuk penyembah berhala yang ada dihadapan mereka, maka manakala dia menjawab : dilangit, maka tahulah Rasul bahwa Jariyah itu telah beriman, dan bukan tergolong penyembah berhala.

(Syarah Shahih Muslim karangan Imam Nawawi : 3 / 30 , terbitan Dar al-Hadits, Cairo).

al-Hafiz Abi al-Abbas Ahmad Bin Umar Bin Ibrahim al-Qurthubi di dalam syarah Muslim karangannya :

"Pertanyaan ini diarahkan Rasul kepada Jariyah atas dasar kemampuan pemahamannya, karena Rasul ingin menyatakan darinya bahwa dia bukan penyembah behala, dan batu yang terdapat di bumi, maka Jariyah menjawab dengan demikian ( di langit ), seolah-olah dia menjawab sesungguhnya Allah bukanlah jenis yang berada di bumi.

Kemudian beliau meneruskan perkataannya : " Tidak boleh diucapkan seperti itu kepada Allah secara hakikat, karena Allah suci dari tempat, sebagaimana juga Allah suci dari masa, bahkan dia yang menjadikan masa dan tempat, senantiasa Allah ada tidak diiringi oleh masa dan tempat, dan Dia ( Allah ) juga sekarang demikian".

Kemudian beliau menambahkan perkataanya : " Perlu kamu ketahui ! Sesungguhnya tidak ada perbedaan pendapat diantara umat islam, baik dari golongan ahli hadits, ahli fikih, ahli tauhid, orang yang bertaqlid ( mengikut pendapat ulama ) dan yang seumpama mereka, berpendapat bahwa sebutan yang terdapat didalam al-Qur`an dan hadits, yang mengungkapkan Allah di langit seperti ayat ( أأمنتم من في السماء ) bukan dimaksud secara zhohir ( hakikat), sesungguhnya ayat ini ditakwilkan oleh mereka.

Kemudian beliau menutup keterangannya dengan ungkapan : Siapa yang memahami ayat tersebut dengan secara zhahirnya ( hakikatnya ) maka dia adalah orang yang sesat dari kumpulan orang yang sesat.

( al-Mufham Lima Usykila min Talkhish Kitab Muslim , karangan al-Hafizh Abu Abbas Ahmad Bin Umar Bin Ibrahim al-Qurthubi, : 2 / 113-115 terbitan Maktabah Taufiqiyah, Mesir )

Imam Abu Abdullah Muhammad Bin Ahmad al-Anshori dalam tafsirnya :

Maksudnya ialah membesarkan dan mensucikannya dari tempat bawah dan kerendahan, dan mensifatkannya dengan sifat tinggi dan besar, bukan mensifatkannya dengan tempat, arah, dan batas-batas, karena itu sifat-sifat ajsam ( benda ), adapun sebab di angkatnya tanganva ketika berdoa ke langit, karena langit tempat penurunan wahyu, turunnya hujan, tempat yang suci, tempat makhluk-makhluk yang suci dari malaikat, diatasnya `Arasy dan surganya, sebagaimana Allah menjadikan Ka`bah sebagai qiblat do`a dan shalat, sebab Allah menjadikan tempat tetapi tidak memerlukan tempat, adanya Allah pada Azali sebelum menjadikan tempat dan masa, tidak beserta tempat dan masa, demikian juga setelah terciptanya tempat dan masa tidak bersama tempat dan masa.

( al-Jami` Lil Ahkam al-Qur`an, karangan Imam Abu Abdullah Muhammad Muhammad Bin Ahmad al-Anshori : 9 / 436 , Dar al-Hadits Cairo ) ,

41 komentar:

  1. [...] Allah Mahasuci dari Kebutuhan Tempat dan Arah Memaknai di atas langit dengan mata hati Pembagian Tauhid Menjadi Tiga Tuhan Turun Ke Langit Dunia Setiap malam Taqlid [...]

    BalasHapus
  2. Banyak sekali dalil yang mengatakan Allah berada di atas langit baik dari qur'an maupun hadits dan para salaf yang membenarkannya..

    Nabi SAW pergi ke langit ketujuh untuk menemui Allah

    Fir'aun membangun tembok untuk mencari bukti bahwa Allah ada di atas.


    Kesalahan yang dilakukan Asyariyah adalah pertama menggambarkan caranya, lalu karena tidak masuk ke dalam aqal mereka, maka mereka menolaknya..

    mereka ingin mensucikan Allah tapi caranya salah.

    BalasHapus
  3. Menyatakan bahwa allah berada di arsy sama saja menyatakan allah membutuhkan tempat.Segala sesuatu yang membutuhkan tempat adalah mahluk.sedangkan allah tidak sama dengan mahluk dan tidak ada apapun yang menyerupaiNya.Pemikiran mazhab taimiyah dan wahabi memang keras kepala dan banyak ulama-ulama islam yang sejaman dengan taimiyah menghukum sesat beliau.Hanya saja kebodohan dan kekerasan hati para kaum wahabi yang berkiblat kepada ibnu taimiyah menyebabkan mereka buta terhadap hal ini.
    Tidak akan ada habisnya membicarakan hal seperti ini terhadap orang-orang yang sering mengkafirkan dan menyesatkan golongan lain,seakan-akan merekalah yang paling benar sendiri.

    BalasHapus
  4. bukankah asy'ariyah juga merasa aswaja dan paling benar sendiri? dan mengatakan wahabi dan muta'jilah itu sesat?

    sama saja pemikiran anda juga keras.

    Ngomong-ngomong mengkafirkan, siapa yang menkafirkan dan siapa yang dikafirkan.

    Mestinya kalau ada yang bertanya Allah ada dimana, kalau memang anda asy'ariyah maka tak usah dijawab dong karena pertanyaan itu adalah pertanyaan bid'ah munkar menurut anda, gak usah dijawab bahwa Allah ada dimana-mana.

    Allah itu bersemayam di atas langit, nabi SAW sewaktu isra mi'raj pernah kesana.

    BalasHapus
  5. bukankah asy'ariyah, muta'zilah, syi'ah dan yang sepaham dengannya mengatakan bahwa orang yang mengatakan Allah di langit maka dia KAFIR.

    kalau begitu berapa banyak orang yang dikafirkan oleh anda, dari mulai para nabi, sahabat, para ulama dan bahkan orang awam yang mengatakan "TERSERAH YANG DI ATAS"....berarti mereka KAFIR dong?

    bukankah mereka menuduh wahabi itu mujasimmah yang KAFIR.

    siapa yang mengkafirkan dan siapa yang dikafirkan.

    BalasHapus
  6. Itulah biasanya kaum salafi yang berkedok wahabi menjawabnya.

    Allah ta'ala berfirman: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11).

    Dengan menyatakan bahwa Allah mempunyai sifat dan menyerupakan dengan mahluknya berarti dia mujasimah, dan siapakan kaum mujasimmah itu???

    Saya kira ayat diatas menjawab apa yang selama ini anda yakini. Allah bersemayam di arsy jangan diartikan secara lugas dan harfiah bung. Anda katakan bahwa asy’ariyah, muta’zilah, syi’ah adalah sama,anda sangat keliru sekali. Mengkafirkan???Jelas sekali golongan wahabi banyak mengkafirkan akidah yang tidak sejalan dengan ajaran mereka.

    Sudahlah,,akidah anda milik anda dan akidah saya milik saya,,seperti air dan minyak tidak akan pernah bersatu.Saya yakini apa yang saya benar menurut apa yang saya yakini, dan saya rasa andapun begitu.

    BalasHapus
  7. Allah ada, tidak ada keraguan akan ada-Nya. Ada tanpa
    disifati dengan sifat-sifat makhluk dan ada tanpa tempat dan arah. Dia tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya.

    BalasHapus
  8. Allah ada, tidak ada keraguan akan ada-Nya. Ada tanpa
    disifati dengan sifat-sifat makhluk dan ada tanpa tempat dan arah. Diatidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya.

    BalasHapus
  9. Ya sudah kalo anda lelah & cape ... saya gak cape koq ....

    BalasHapus
  10. Allah mempunyai sifat melihat dan mendengar.
    Sama makhluk juga mempunyai sifat itu, namun tidak bisa disamakan dan diserupakan dari segi kesempurnaannya dan caranya.

    So kenapa susah untuk menerimanya. Nabi SAW juga tidak pernah ragu menyampaikan ayat-ayat samar kepada umatnya. kenapa mereka harus ragu? aneh.

    BalasHapus
  11. karena pemahaman kaum salafi dangkal dan keras kepala..males ah ngeladeni orang kayak lo,,jelas2 banyak ulama jaman sekarang dan dahulu yang mengatakan pemikiran2 seperti anda itu sesat.ngapain juga mesti diikuti.

    BalasHapus
  12. bung dasar yang anda katakan itu dipelajari di sifat 20 yang anda dan kaum anda katakan bid'ah,,dan saya setuju dengan yang anda katakan allah mempunyai sifat melihat bdan mendengan,bukan hanya itu masih ada sifat wajib lainnya yang dimiliki oleh Allah.Tapi yang keliru,jika menyebutkan allah bersemayam di arsy,,jelas itu pemikiran kaum mujasimmah.

    BalasHapus
  13. Tuh kan .. siapa yang sebenarnya nuduh sesat...

    BalasHapus
  14. Allah SWT bersemayam di arsy. banyak dalilnya.

    Kemudian Allah bersemayam di atas arsy.

    sebelum di atas arsy saya gak tau Allah ada dimana.

    karena gak ada beritanya juga.

    tapi kalau ditakwilkan dengan :

    Kemudian Allah menguasai arsy, berarti Arsy waktu itu belum dikuasai Allah.

    kalau ditakwilkan dengan :

    Kemudian Allah menuju arsy.

    berarti kalimat 'menuju' itu pergerakan dari titik A ke titik B. berarti Allah bergerak menuju Arsy.

    mana jawaban yang lebih benar ?

    BalasHapus
  15. bung,ngaji sifat 20 yu,,biar anda faham bahwa faham yang anda yakini saat ini keliru.

    BalasHapus
  16. saya bilang ngaji,,bukan kembali ke buku yah,,beda lohh..kalo kita ngaji ma guru ngaji yang sanadnya bisa ditelusuri sampaim jaman salaf dan ke rosululloh,,itu lebih kuat daripada belajar melalui buku2 yang dikarang oleh orang2 yang mempunyai kepentingan tertentu.Banyak buku2 yang beredar sekarang ini diputarbalikan,sehingga yang diterima dan dibaca adalah hasil rekayasa faham tertentu.bukankah belajar ama buku itu sama aja belajar ama setan

    BalasHapus
  17. Yup benar, Akh Danie, ngaji sifat 20 adalah salah satu sarana mengenal Allah (ma'rifatullah)

    BalasHapus
  18. Kalau baca kitab gak boleh, pastinya imam Asy'ariy gak bakal nyiptain kitab-kitab untuk dibaca dan disebarkan, cukup disuruh ngaji sama dia aja di majlisnya lalu suruh sampaikan ke anak cucunya.

    Perasaan saya pernah dengar metoda itu, yaitu jangan belajar dari buku tapi mesti dari ustad yang sanadnya dijamin langsung dari Rasulullah, kalau gak salah LDII.


    Biar kita perinci masalahnya....

    as'yari mengingkari sifat tangan, kaki, betis, wajah, dll.

    sementara wahabi menetapkan secara zahirnya.

    itu saja ... soal masalah sifat 20 gak ada hubungannya.

    BalasHapus
  19. belajar sama buku dikatakan sama belajar dengan setan ?

    Siapa orang berakal yang pernah menciptakan kata2 seperti itu ?

    BalasHapus
  20. belajar buku tanpa guru maksudnya fi,,gituaja kok marah.....

    BalasHapus
  21. Okelah klo begitu contohkan....

    BalasHapus
  22. oh.. pakai sanad juga ya ... untuk apa sanad shahih kalau dasarnya takwil / akal.

    BalasHapus
  23. dasarnya mengzohirkan semuanya,dimana maknanya dimakan mentah2...wah..wah..wah,,aya2 wae.mengatakan allah berada di arsy????mengzohirkan ayat tersebut???emang dasarnya udah lier,,ya ampe urusan kecil aja jadi lier,,sebab orang2nya lalier...ckckckkkk..fi..fi..fiiii,,malang bgt nasib lo

    BalasHapus
  24. fi,,,,,udah ratusan ulama mentakwilkan ayat2 yang apabila dizohirkan akan bertentangan dengan ayat yang lainnya.lo baca aja dech blog ini,,,jawabanyya udah jelas,,ngapain juga dipermasalahkan,,yang perlu dipermasalahkan adalah kenapa mazhab seperti yang anda pegang tetap dipertahankan..aya-aya wae entemah,,kebanyakan makan daging onta yah ckckckkkkkk

    BalasHapus
  25. Allah kan pencipta...
    ALlah kan maha Esa/ahad
    Allah kan qiyamuhu binafsihi/Allahusshamad
    Allah kan tidak serupa dengan makhluqNya/walam yakun lahu kufuwan ahad..

    jelas sekali surat al Ikhlas ini, maknannya mutlak, sangat mudah dipahami, jelas,,,

    Allah kan Pencipta...
    maka Pencipta pasti bukan tercipta...

    maka bagaimana ada orang yang menggambarkan ALlah seperti makhluqNya, dengan terikat waktu, tempat dan arah...

    Allah diibaratkan terikat makhluq, berarti sama saja mengatakan tangan Allah terbelenggu...

    yahudi mengatakan tangan Allah terbelenggu...

    padahal Allah bukan Dzat yang bertubuh, memiliki anggota tubuh, karena memiliki tubuh adalah ciri khusus makhluq...

    BalasHapus
  26. Sekarang coba perhatikan wahai orang yang berakal, kisah Fir’aun bersama Nabi Allah Musa ‘Alaihis Salam di dalam kitab-Nya yang mulia, dimana Fir’aun telah mendustakan Musa yang telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit :
    Artinya :

    ”Dan berkata Fir’aun : Hai Haman! Buatkanlah untukku satu bangunan yang tinggi supaya aku (dapat) mencapai jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan menuju ke langit supaya aku dapat melihat Tuhan(nya) Musa, karena sesungguhnya aku mengira dia itu telah berdusta”. (Al-Mu’min : 36-37. Al-Qashash : 38).

    Renungkanlah wahai orang yang berakal !. Perintah Fir’aun kepada Haman -menterinya- untuk membuatkan satu bangunan yang tinggi supaya ia dapat jalan ke langit untuk melihat Tuhannya Musa. Hal tsb menunjukkan bahwa Nabi Musa telah memberitahukan kepadanya bahwa Tuhannya -Allah Subhanahu wa Ta’ala- berada di atas langit-.

    Seandainya Nabi Musa mengatakan bahwa Tuhannya ada dimana-mana tempat (karena tidak membutuhkan tempat), tentu Fir’aun yang disebabkan karena kekafirannya dan pengakuannya sebagai Tuhan, akan memerintahkan dan mengerahkan seluruh bala tentaranya untuk mencari Tuhannya Musa di istananya, di rumah-rumah Bani Israil, di pasar-pasar dan di seluruh tempat di timur dan di barat !?. Tetapi tatkala Nabi Musa dengan perkataannya (bahwa Allah berada diatas langit), Fir'aun mengingkari Nabi Musa dengan berkata : ”Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta !”. Yakni tentang perkataan Musa bahwa Tuhannya di atas langit.

    Maka, barangsiapa yg tidak percaya bahwa Allah berada diatas langit, lalu apa bedanya dia dengan Fir'aun?

    Tapi Ingat ! mengimani Allah berada di atas langit tanpa menanyakan bagaimana cara Ia berada di langit karena Imam Malik berkata ketika beliau ditanya :
    ”Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy ?. Beliau menjawab :

    ”Istiwaa itu bukanlah sesuatu yang tidak dikenal (yakni telah kita ketahui artinya), tetapi bagaimana caranya (Allah istiwaa) tidaklah dapat dimengerti, sedang iman dengannya (bahwa Allah istiwaa) wajib, tetapi bertanya tentangnya (bagaimana caranya) adalah bid’ah”.

    (baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 45-46).

    BalasHapus
  27. Ketahuilah ! Bahwa pemahaman di atas bukanklah hasil dari pikiran saya, akan tetapi pemahaman Ulama-ulama kita diantaranya :

    1. Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya ”At-Tauhid” (hal : 114-115) diantara keterangannya :”Perkataan Fir’aun (sesungguhnya aku menyangka/mengira ia termasuk dari orang-orang yang berdusta) terdapat dalil bahwa Musa telah memberitahukan kepada Fir’aun :” Bahwa Tuhannya Yang Maha Besar dan Maha Tinggi berada di tempat yang tinggi dan di atas”.

    2. Berkata Imam Al-Asy’ary setelah membawakan ayat di atas : ”Fir’aun telah mendustakan Musa tentang perkataannya : Sesungguhnya Allah di atas langit” (Al-Ibanah : 48).

    3. Berkata Imam Ad-Daarimi di kitabnya ”Raddu ‘Alal Jahmiyyah hal : 37 Setelah membawakan ayat di atas : ” Di dalam ayat ini terdapat keterangan yang sangat jelas dan dalil yang nyata, bahwa Musa telah mengajak Fir’aun mengenal Allah bahwa Ia berada di atas langit. Oleh karena itu Fir’aun memerintahkan membuat bangunan yang tinggi”.

    4. Berkata Syaikhul Islam Al-Imam As-Shaabuny di kitabnya ”Itiqad Ahlus Sunnah wa Ashabul Hadits wal A’imah ” (hal : 15) : ”Bahwasanya Fir’aun mengatakan demikian (yakni menuduh Musa berdusta) karena ia telah mendengar Nabi Musa menerangkan bahwa Tuhannya berada diatas langit. Tidakkah engkau perhatikan perkataannya : ”Sesungguhnya aku mengira dia itu berdusta” yakni tentang perkataan Musa : ”Sesungguhnya di atas langit ada Tuhan”.

    5. Imam Abu Abdillah Haarits bin Ismail Al-Muhaasiby diantara keterangannya :”Berkata Fir’aun : (Sesungguhnya aku mengira dia itu berdusta) tentang apa yang ia (Musa) katakan kepadaku : ”Sesungguhnya Tuhannya berada di atas langit”. Kemudian beliau menerangkan : ”Kalau sekiranya Musa mengatakan : ”Sesungguhnya Allah berada di tiap-tiap tempat dengan Dzatnya, nisacaya Fir’aun akan mencari di rumahnya, atau di hadapannya atau ia merasakannya, -Maha Tinggi Allah dari yang demikian- tentu Fir’aun tidak akan menyusahkan dirinya membuat bangunan yang tinggi”. (Fatwa Hamawiyyah Kubra : 73).

    6. Berkata Imam Ibnu Abdil Bar : ”Maka (ayat ini) menunjukan sesungguhnya Musa mengatakan (kepada Fir’aun) : ”Tuhanku di atas langit ! sedangkan Fir’aun menuduhnya berdusta”. (baca Ijtimaaul Juyusy Al-Islamiyyah hal : 80).

    7. Berkata Imam Al-Waasithi di kitabnya ”An-Nahihah fi Shifatir Rabbi Jalla wa ‘Alaa” (hal : 23 cetakan ke-3 th 1982 Maktab Al-Islamy) : ”Dan ini menunjukkan bahwa Musa telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya yang Maha Tinggi berada di atas langit. Oleh karena itu Fir’aun berkata : ”Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta”.

    BalasHapus
  28. Dengan memuatnya berarti antum sepemahaman dengan mereka. Sedangkan kami sepemahaman , sebagai contoh dengan ulama sufi yakni Imam Al-Qusyairy.

    BalasHapus
  29. setuju,,tapi sayangnya kaum wahabi hanya membaca buku yang sudah didoktrin oleh kalangan mereka sendiri atau kepada buku2 yang sudah diamputasi yang maknanya telah dipelintirkan,sehingga wawasan mereka terbatas

    BalasHapus
  30. (Kita sebaiknya tidak memaknai dengan “mata kepala”, lahiriah, tekstual, maknailah dengan “mata hati” atau bashirah......)

    komentar saya ;
    perlu dipahami bahwa tidak semua dalil itu harus dipahami dengan 'mata hati', memahami dengan 'mata hati' tidaklah mutlak hukumnya, sangat perlu juga bagi kita (umat muslim) untuk memahami dalil secara tekstual dengan diiringi dengan ilmu pastinya....

    sebagai contohnya adalah ahmadiyah, coba perhatikan cara ahmadiyah dalam memahami dalil Al-Quran dan Hadits yg tidak tekstual dan jauh dari 'cahaya' ilmu, mereka memahami dalil menurut 'mati hati' mereka sendiri...
    kalimat 'khatam' dalam surat Al-Ahzab (33) : 40 yg seharusnya artinya adalah 'penutup', akan tetapi mereka tafsirkan berdasarkan 'mata hati' mereka bahwa maksud 'khatam' disitu adalah 'perhiasan'....

    satu contoh lainnya lagi adalah mengenai Sabda Rasulullah yg berbunyi ;

    "......... Akulah penutup para nabi, tak ada lagi nabi setelahku". [HR. Abu Dawud (4253), At-Tirmidziy (2219), Ahmad (22448), Ibnu Hibban (7238), Al-Hakim (8390), Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8397), dan Musnad Asy-Syamiyyin (2690),Abu Nu’aim (2/289), dan Asy-Syaibaniy dalam Al-Ahad wa Al-Matsaniy (456). Hadits ini di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (5406)]

    Mereka (ahmadiyah) juga menafsirkan bahwa maksud 'penutup para nabi' dalam sabda Rasulullah diatas adalah sebatas penutup para nabi yg membawa syariat saja...
    Lihat ! bagaimana ahmadiyah mengambil 'pelajaran' berdasarkan 'mata hati' mereka dan tidak tekstual dalam memahami dalil.....

    Jadi, cara anda memahami dalil, lebih tepatnya hampir sama dengan cara ahmadiyah dalam memahami dalil yakni dengan mengabaikan pemahaman dalil secara tekstual dan HANYA memahami dalil menurut 'mata hati' anda saja....

    Mengenai surat Al-Baqarah : 269 tentang al-hikmah (kepahaman terhadap Al-Quran dan Sunnah), apakah di dalam ayat itu disebutkan bahwa HANYA orang-orang sufi sajalah yg mendapat al-hikmah dari Allah? sedangkan orang lain tidak !

    Kenapa anda menafsirkan surat Al-Baqarah : 269 tsb seolah-olah HANYA anda dan kelompok andalah yg diberikan al-hikmah dari Allah?

    Bahkan bagi anda, para ulama-ulama terdahulu yg pemahamannya bertentangan dengan anda seolah tidak diberi al-hikmah dari Allah, padahal kadar keilmuan mereka (para ulama) jauh diatas anda pastinya....

    --------------------------------------------
    (kalimat “Allah di atas langit” dimana “di atas langit” tidak seperti yang dipikirkan/dimaknai oleh Fir’aun dengan membangun bangunan yang tinggi menjulang ke langit.)

    komentar saya ;
    apakah perkataan anda itu mengartikan bahwa fir'aun salah paham terhadap apa yg telah disampaikan oleh Musa?
    apakah dakwah Musa terhadap fir'aun masih kurang jelas sehingga fir'aun salah paham terhadap dakwahnya Musa?

    BalasHapus
  31. Memahami Al-Qur'an dan Hadits harus dengan mata hati.
    Apa yang dipahami Ahmadiyah adalah sebagai pembenaran bukanlah kebenaran. Juga untuk urusan itu sudah difatwakan oleh para ulama.

    Perhatikan link berikut http://salafyindependent.wordpress.com/2010/05/22/daftar-60-kyai-al-mukarom-di-tahdzir-tabdi-hizbi-oleh-al-allamah-muhadits-imam-jarh-wat-tadil-asy-syaikh-yahya-al-hajury-hafidhohulloh/
    Juga perhatikan "situasi" yang sudah saya sampaikan di http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/29/tinggalkanlah-salafy/
    Semua situasi menyiratkan situasi yang disebabkan oleh metode pemahaman secara tekstual atau harfiah.

    Sebagian ulama sekarang membuat pendapat, memutuskan, menilai atau bahkan membuat fatwa berdasarkan kemampuan pemahaman mereka semata. Seolah mereka "mewakili" Allah namun tanpa bisa merasakan "keberadaan" Allah.

    Saya mengingatkan saya pribadi dan para pembaca, bahwa dalam memahami Al-Qur'an dan Sunnah / Hadits bukanlah disebabkan semata-mata karena aku atau saya atau ilmu atau keilmuan atau akal/pendapat/asumsi atau apalagi dengan hawa nafsu. Allah telah sampaikan bahwa pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah dilakukan hanya oleh orang-orang yang berakal (ulil albab) sebagaimana firmanNya yang artinya,

    “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

    Semua manusia diciptakan mempunyai akal. Namun yang dimaksud orang-orang yang berakal (ulil albab) sebagaimana firman Allah yang artinya,
    "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka" (Ali Imran: 191).

    Jadi kita memahami Al-Qur'an dan Sunnah hanya melalui cara/jalan "mengingat" Allah. "Berkomunikasi" dengan Allah yang mengeluarkan firman. Syarat untuk "berkomunikasi" dengan Allah adalah dengan "mengenal" Allah terlebih dahulu atau yang dikenal dengan ma'rifatullah. Ujung-ujungnya kita perlu memahami ilmu Tasawuf.

    Sayangnya sebagian ulama sekarang tanpa menyadarinya menolak Ilmu Tasawuf, mereka bersandar pada akal, keakuannya, kemampuannya, keilmuannya. Sehingga mereka tersibukkan dengan "perdebatan" tanpa mendapatkan pembeda (al-furqan).

    Sedangkan ulama-ulama sufi, kembali kepada Allah dengan kebenaran iftiqar (butuh dan menggantung pada kehadiran dan peran Allah) dan hati yang remuk redam karena Allah.
    Sebagaimana yang saya sampaikan dari ulama sufi Al-Qusyairy dalam
    http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/07/kaum-sufi/

    Sungguh benar apa yang telah disampaikan Allah dalam firmanNya yang artinya,
    "Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan" (Al-Fatihah : 5)

    BalasHapus
  32. Ratusan ulama ??? ya iyalah emang ulama asy'ariyah dan para habib ....

    Lalu bagaimana anda membatalkan ucapan nabi muhammad, nabi Musa, seorang budak yang ditanya nabi, Umar bin khatab, Aisyah, Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas arsy ?

    Mau kamu tinggalin demi 'mengagungkan' Allah menurut pemahaman Asy'ariyah?

    BalasHapus
  33. Memaknai Allah di atas langit adalah dengan zahirnya, seperti Nabi Muhammad SAW pergi naik sampai ke langit ketujuh untuk menemui Allah

    BalasHapus
  34. Baiklah saya ulangi kembali walaupun berulang-ulang, agar saudara-saudaraku salaf(i) dapat memahami. Semoga Allah memberikan karunia pemahaman kepada mereka.

    Seluruh nash-nash Al-Qur'an dan Hadits yang mengatakan bahwa Allah ada di atas langit / Arsy, atau Yang di Atas atau perkataan lainnya sehubungan sifat Allah, kami mengimaninya, kami tidak akan pernah menyangkalnya.

    Namun Allah telah berfirman yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura : 11).
    Berdasarkan firman tersebut kita harus "mengambil pelajaran" terhadap ayat-ayat mutasyabihat, tidak mengartikan secara harfiah atau tekstual. Apabila ayat-ayat tersebut dibiarkan mengikuti maksud literalnya, harfiah atau tekstual, akan menimbulkan pengertian yang paradoks, maksud ayat yang satu bertentangan dengan maksud ayat yang lain. Padahal demikian itu tidak boleh terjadi dalam al-Qur’an, berdasarkan firman Allah, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS. al-Nisa’ : 82).
    Oleh karena, terjadinya pertentangan dalam al-Qur’an itu tidak boleh, maka kita harus meninggalkan maksud literal, harfiah ayat-ayat mutasyabihat tersebut, , dan mengembalikan pemahamannya kepada ayat yang muhkamat seperti ayat dalam surah QS.al-Syura : 11 yang terjemahan di atas.

    Allah telah mengingatkan kita untuk mengambil pelajaran pada firman-firmannya, sebagaimana yang Allah sampaikan dalam firmanNya yang artinya
    Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

    Sedangkan yang dapat "mengambil pelajaran" hanyalah orang-orang berakal (ulil albab). Mengenai ulil albab silahkan lihat http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/07/ulil-albab/

    Sedangkan mengenai mi'raj, Nabi Muhammad SAW pergi naik sampai ke langit ketujuh untuk menemui Allah. Kita harus mengimaninya dengan mata hati (bashirah) kita. Ada orang yang mengimani dengan mata kepala, dan mencoba mengihitung-hitung "waktu" perjalanan Nabi Muhammad SAW dengan memperbandingkannya dengan kecepatan cahaya namun mereka berkesimpulan bahwa perihal itu tidak bisa dipahami dengan mata kepala.
    Langit ketujuh adalah untuk menunjukan ke Allah yang Maha Tinggi dan Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.
    Semoga saudara-saudaraku salaf(y) dapat memahaminya dan tidak pusing "tujuh keliling". Oops, jangan antum tanya "tujuh keliling" yang mana.

    BalasHapus
  35. Asalamualaikum
    Bimillah

    Saya orang awam dan sangat awam tentang dunia ini yang kata para salik adalah fana

    semoga apa yang sampaikan bukanlah nafsu dan hanya masukan bagi saudaraku penggemar tasawuf. dan semoga kita semua menjadi benar-benar seorang salik sejati yang khusnul khotimah. Amin

    Membaca tulisan panjenengan saya jadi tahu sebagian dan tidak tahu di banyak bagian

    ketika membahas Al-Qur'an dan Sunnah Rasul ataukah yang lainnya, adakah saudaraku bersama Allah atau hadits Rasul atau kata para Guru maupun mursyid , kita adalah bagianNya, Subhanallah

    saudaraku, saya pernah memahami teori sedikit, bersaman itu pula seringkali diingatkan guru saya bahwa hati-hati dengan akal yang sarat dengan nafsu ini.

    Saya diwaktu muda masih tidak menghirauka, dan ketika tua ini jadinya Alhamdulilah masih diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman, bahwa yang sirr biarlah sirr dan sebaiknya nasehat untuk para salik adalah istiqomah dalam banyak perbuatan dan sedikitlah yang perkatan, agar hari tetap damai dan dengan iman, Islam dan ihsan

    mohon maaf bila saudaraku kurang berkenan
    saranku, sebaiknya cariklah guru yang suluknya kamil, itupun saya peroleh dari buku

    Alhamdulillah
    wassalam

    BalasHapus
  36. [...] Kita ketahui bahwa pertanyaan / dakwah disesuaikan dengan keadaan si penerima pertanyaan / dakwah maupun suasana kejadian pada saat itu. Hal ini sudah saya tuliskan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/06/di-atas-langit/ [...]

    BalasHapus
  37. dimana Allah....?
    kalau menurut pendapat ane..., bukanlah sesuatu yang penting juga untuk mengetahui di mana Allah...! karena toh aturanNya sudah ada dikehidupan kita ini. dan yang harus diingat dalam hal ini adalah..., keberadaan kita disini....., didunia ini, adalah untuk menjalankan aturan yang telah di buatNya.
    "biarlah kita tidak mengetahui di mana sang sutradara berada...., tapi seandainya kita bisa menjalankan skenario yang telah dia tetapkan..., maka mudah-mudahan kita akan mendapatkan upah yang seperti kita harapkan. bahkan lebih mungkin.....! semoga.....!

    BalasHapus
  38. Dimana Allah..? yg pasti di atas arsy..

    Perhatikan.. :

    "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. " (QS Yunus:3)

    Dan ingatlah peristiwa Isra Mi'raj

    Dalam Isra, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam "diberangkatkan" oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi'raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini Beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.

    Kenapa harus dinaikkan ke langit..?

    BalasHapus
  39. Langit maknanya untuk menunjukkan kemuliaan

    BalasHapus
  40. Teman-teman Salafy, sudahlah, jangan meladeni orang yang berpendapat dengan hanya mengandalkan akal, mereka tidak akan bisa menerima kebenaran, yang mereka inginkan adalah kemenangan dan pembenaran atas pendapat mereka.
    Ingatlah: "Barangsiapa yang Alloh beri petunjuk maka tidak akan ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang Alloh sesatkan maka tidak akan ada yang bisa memberinya petunjuk."

    BalasHapus
  41. Kita dikatakan makhluk yang sempurna karena dikarunia akal oleh Allah swt.
    Akal digunakan untuk membedakan kebenaran dan kesesatan.
    Akal digunakan dengan berserah diri kepada Allah swt karena kebenaran berasal dari Allah swt.

    "Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu." (QS Al Baqarah [2]:147 )

    Jika akal tidak digunakan dan sekedar mengikuti atau mentaati perkataan syaikh/ulama tanpa mengetahui/memeriksa dalil dalam Al-Qur'an dan Hadits maka itu merupakan penyembahan kepada syaikh/ulama, menyembah kepada selain Allah swt.
    Maka jawab Nabi s.a.w.: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

    BalasHapus