Selasa, 17 Agustus 2010

Ekstrem dalam Pemikiran Agama

Ekstrem (Ghuluw) dalam Pemikiran Agama


Nama lengkap beliau adalah Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili. Sehari-hari beliau dipanggil Abuya.

Abuya lahir di Makkah Almukarramah, pada tahun 1362 H / 1943 M. Ayah beliau bernama Assayyid Alwi Bin Abbas Almaliki, seorang ulama terkemuka di Makkah Almukarramah, dan seorang mudarris (pengajar) di Masjid Alharam.

Sepeninggal sang ayah,tanggal 25 Safar 1391, Abuya ditunjuk menjadi pengajar di Masjid Alharam menggantikan sang ayah. Keputusan ini merupakan hasil kesepakatan para ulama Makkah, di antaranya Syeikh Hasan Almassyath, Syeikh Muhammad Nur Saif, Syeikh Muhammad Salim Rahmatullah, Assayyid Amin Kutbi, dan sebagainya.

Ayah dan kakek beliau, adalah ketua para khatib dan da’i di kota Makkah.

Demikian juga dengan Abuya, profesi tersebut digeluti yakni sejak tahun 1971 dan harus berakhir pada tahun 1983, saat beliau dicekal dari kedudukan terhormat itu akibat penerbitan kitabnya yang berjudul;  Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan),

Sebuah kitab yang banyak meluruskan paham yang selama ini diyakini oleh ulama-ulama Wahabi. Paham Wahabi sangat menguasai keyakinan mayoritas ulama Saudi Arabia dan mempunyai peran pesar dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Setelah pencekalan beliau dari pengajian umum dan khutbah, beliau mendedikasikan dirinya dalam pendidikan secara privat kepada ratusan murid-muridnya, dengan penekanan murid-murid dari Asia Tenggara, di kediaman di jalan Al Maliki di distrik Rushaifah Makkah.

Berikut ini kehadiran Beliau dalam undangan resmi dari pemerintahan setelah sekian lama dicekal.

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam semoga tetap atas utusan paling mulia, junjungan kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya sekalian.

Undangan untuk ikut serta dalam Dialog Nasional kedua di Makkah al Mukarromah datang kepadaku.

Maju selangkah dan mundur dua langkah.

Inilah yang aku alami menanggapi undangan tersebut sebab aku sendiri telah lupa tentang dasar–dasar dialog dan tukar pikiran. Bahkan, aku juga telah lupa tentang tata tertib dan prinsip-prinsip seminar di dalam negeri sejak aku hanya ikut serta dalam seminar di luar negeri dan tak pernah lagi ikut ambil bagian pada seminar dalam negeri karena aku ditinggalkan dari keikutsertaan mulai tahun 1400 H.

Setelah sholat istikhoroh seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, terbukalah hati untuk menghadiri undangan yang diprakarsai oleh yang mulia, Amir Abdulloh bin Abdul Aziz tersebut dari awal hingga selesai dalam rentang waktu lima hari tepatnya pada 5/11/1424 H sampai dengan 9/11/1424 H.

Dalam keikutsertaan ini aku memaparkan pembahasan yang sederhana dan insya Allah diberkahi yang semuanya ada di tangan Anda sekalian (para pembaca).

Pertemuan Nasional dan Dialog Pemikiran Kedua

Judul Pertemuan,“Ekstrem dan Moderat:  Sisi Pandang Sistematis dan Universal”

Tanggal Pertemuan: 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H

EKSTREM DALAM PEMIKIRAN AGAMA


PENGARUHNYA PADA KEMUNCULAN TINDAKAN


TERORIS DAN ANARKIS


Kajian yang disampaikan oleh :

Imam Ahlussunnah wal Jamaah Abad - 21

Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani

Bismillahirrohmaanirrohiim

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam atas utusan termulia, junjungan kita, Nabi Muhammad SAW dan keluarga serta seluruh sahabat. Amma Ba’du.

Tahiyyat Islam kami persembahkan kepada Anda sekalian:

Assalaamu Alaikum Warohmatulloh Wabarokaatuh.

Saya menyambut gembira terhadap undangan yang mulia ini. Saya merasa sangat senang dengan munculnya ide yang agung ini. Betapapun itu terlambat, tetapi urgen dan harus dilaksanakan andai saja hal ini dilaksanakan sebelum percikan api membesar dan sebelum bahaya menggurita.

Saya ingin mengingatkan kembali bahwa seruan dan ajakan untuk berkumpul dan berdialog menyamakan persepsi dan pemahaman telah kami lontarkan sejak dua puluh tahun lalu dalam buku saya “Mafaahim Yajibu an Tushohhah”. Saya juga telah memberikan peringatan akan masalah–masalah yang muncul dan dampak negatif yang mesti terjadi sebagai akibat dari sikap ekstrem (ghuluw/tathorruf) yang dibiarkan dan tidak dipedulikan dalam buku saya “at Tahdziir Minal Mujaazafah bit Takfiir” yang telah dicetak sepuluh tahun lalu. Sungguh langkah yang mulia ini datang tepat pada waktunya.

Kenyataan memang telah membuktikan pada tempatnya dan datang dari pihak yang memang berkompeten. Sungguh langkah ini dinanti oleh seluruh penduduk dunia sebab semua menggantungkan harapan dan prasangka baik mereka pada kerajaan (mamlakah), para penguasa, politikus, dan ulamanya.

Mereka juga menganggap semuanya sebagai suatu standar (miizan), komentar dan fatwanya sebagai hikmah hasanah, akal yang sempurna serta pendapat yang paling tepat. Sungguh realitas ini adalah bagian dari nikmat Allah.Saya sendiri yakin bahwa langkah–langkah bijak yang dilakukan dengan serius oleh pemerintah ini akan memberikan penjelasan yang memuaskan sebelum keluarnya penjelasan yang dinantikan dari Anda sekalian.

Dan satu hal yang mesti disepakati, ditetapkan, dan disiarkan ---sebelum dialog dan diskusi ini berjalan lebih lanjut-- adalah penjelasan global bahwa tindakan teror dan pengafiran yang terjadi di negeri ini dengan mengatasnamakan agama harus dihentikan. Klaim sepihak dan ulah brutal, penghinaan terhadap para imam kaum muslimin, pelecehan atas al Qur’an dan as Sunnah, mengapling surga dan neraka untuk orang-orang yang mereka kehendaki dengan seenaknya, dan semboyan mati syahid bagi siapa saja yang ikut dan menjadi simpatisan mereka harus segera diberantas. Sungguh telah banyak kaum yang lemah dan yang miskin yang lenyap menjadi korban masalah ini.

Padahal, sebenarnya mereka adalah orang–orang yang penanya tidak memiliki ruang gerak, tak ada suara bergelombang dari mereka yang bisa didengarkan dan sama sekali tak ada hasil pemikiran mereka yang layak disebarluaskan dalam media informasi model apapun. Mereka telah termakan kezholiman.

Mereka pergi begitu cepat dan hilang dalam sekejap, justru saat lawan–lawan mereka bisa duduk dan berdiri dan bisa bebas melakukan gerakan. Benarlah jika ada orang yang berkata, “Udara telah kosong untukmu maka cetaklah putih atau kuning (sesuai seleramu)”. Dalam situasi pintu tertutup, ruang gerak dibatasi, dan pusat komando dihentikan seolah terdapat sebuah peraturan dan keputusan pemerintah yang tidak bisa diganti atau diganggu gugat. Mengomentari kondisi seperti ini sangat layak bila dikatakan,

“Kondisi ini seperti nash Allah Azza wajalla, keputusan Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam yang tidak bisa dilawan dengan pendapat, masukan, perdebatan, atau protes apapun.” Sungguh Allah telah memberikan pertolongan-Nya kepada para pemegang kebijakan (instansi pemerintahan), utamanya yang mulia, Khodimul Haromain, yang memprakarsai dan memberikan perhatian istimewa pada Muktamar Pemikiran dan Dialog Ilmiah yang tenang (dan menyenangkan) ini.

Sungguh, (sekali lagi ini) adalah usaha mulia yang mendapatkan taufik dari-Nya dalam mengantisipasi bahaya besar dan memberikan manfaat yang besar pula. Langkah dan usaha semacam ini pasti membawa manfaat berupa terhindarkannya pertumpahan darah, kehormatan yang terjaga, aib dan cela yang terlindungi, dan lubang- lubang mengangah yang tertutupi.

Formalitas seperti ini juga menjadi pertanda jelas akan kemuliaan yang dikirimkan oleh Allah ke negeri kita yang berupa para penguasa yang sejak semula memiliki komitmen kuat untuk menyebarluaskan agama, ilmu dan kekayaan ilmiah, dan membangun peradaban manusia yang modern dengan aroma rasa sosial yang kuat dengan dasar–dasar yang kokoh dan metode yang jelas.

Kemuliaan yang dikirimkan Allah tersebut telah berlangsung sejak masa almarhum Raja Abdul Aziz yang telah mengikis fanatisme, mempersatukan dan menghilangkan perbedaan–perbedaan, dan merobohkan sekat–sekat latar belakang. Usaha tersebut sama sekali tidak menyisakan tempat bagi para penyeru keburukan maupun agen–agen asing untuk bisa masuk dan menjadi benalu dalam tatanan masyarakat Saudi yang kokoh dan bersatu yang sangat loyal dengan kepemimpinan beliau yang penuh dengan cinta dan kredibelitas.

Seperti disaksikan, perpecahan dan tindakan teror merupakan bencana dan keburukan (yang muncul dari para ekstremis ) yang saat ini menjadi beban berat banyak masyarakat. Dalam situasi seperti ini, para pengacau (penyeru keburukan) akan dengan mudah membuat dan menyebarluaskan fitnah, memperkeruh suasana, dan mencari kesempatan dalam iklim perdebatan pemikiran dan ilmu yang sedang terjadi di antara kita.

Hal ini sangat mungkin untuk memunculkan masalah, membuat semuanya menjadi rumit serta memunculkan kasus–kasus yang tidak bermanfaat dan tidak pula mempersatukan. Bahkan sebaliknya, hal itu akan membahayakan dan menjadi penyebab perpecahan serta tak ada apapun yang bisa dibanggakan dari awal hingga akhir sebab terlanjur banyak pihak yang dewasa ini merasa tersakiti dan terbakar oleh apinya yang membara yang terkadang terlihat dan pada suatu saat tersembunyi begitu rapi.

Ekstrem dalam Mengafirkan

Uraian topik ini merupakan salah satu agenda pokok muktamar dan dialog kali ini. Akan tetapi, saya tidak ingin mengulas dan menjabarkan arti secara etimologi dari kata ini (ghuluw) sebab telah diungkap dan dijelaskan oleh yang lain. Hanya saja, di sini kami ingin memberikan definisi ghuluw sebagai suatu tindakan keluar dari batas sedang dan tengah–tengah yang sudah digariskan dan dianjurkan oleh Islam serta sangat ditekankan agar dipegang dengan teguh dan jangan sampai dilepaskan sebagaimana disebut dalam firman Allah:

وَكَذَلِكَ جَعَلْناَكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ...

Dan demikian (pula) Kami jadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia... “ (Q.S. al Baqoroh: 142)

Dengan pengertian seperti ini, bisa disimpulkan bahwa ghuluw (sikap ekstrem) bukanlah suatu hal baru, tetapi telah sangat lama dan berumur tua sejajar dengan umur manusia.

Perhatikanlah firman Allah yang artinya, “Wahai ahli Kitab, janganlah kalian bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian....” (Q.S. an Nisa’: 171)

Nabi Muhammad ShollAllahu Alaihi Wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ

Waspadailah oleh kalian tindakan ghuluw dalam beragama sebab sungguh ghuluw dalam beragama telah menghancurkan orang sebelum kalian.”

Ada satu poin penting yang perlu dicamkan dari hadits ini, yaitu fenomena di mana tak ada satu umat pun (yang pernah ada) yang sepi dari kelompok–kelompok yang bertindak ghuluw (al Mughooliin)”.

Jadi, ghuluw merupakan bencana lama yang terbukti menjadi sebab kehancuran banyak umat. Yahudi, misalnya, sejarah menceritakan betapa banyak kisah–kisah seputar kehadiran mereka yang sangat aktif dalam lapangan tindakan ekstrem yang berbentuk aksi teror, kebiadaban, dan keangkuhan yang salah satunya terwujud dalam aksi mendustakan (takdziib), mengintimidasi, dan bahkan membunuh sebagian para nabi.

Al Qur’an telah mencatat dan menyuguhkan aksi–aksi penghinaan tersebut dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan al Kitab (Taurot) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut–turut) sesudah itu dengan rasul –rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruuhul Qudus. Apakah setiap datang kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian angkuh, maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh.“ (Q.S. al Baqarah: 87)

Dalam berakidah, orang Nashrani juga bertindak ghuluw dengan mengangkat Isa bin Maryam alaihissalaam sampai pada tingkat ketuhanan dan mereka pun menyembahnya. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya telah kafirlah orang–orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al Masih putera Maryam’, padahal al Masih sendiri berkata, ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada seorang penolong pun bagi orang–orang zholim itu. Sesungguhnya kafirlah orang–orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’. Padahal, sekali–kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang–orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (Q.S. al Maidah: 72 – 74).

Ekstremisme Nashrani tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya, tetapi menjalar pada keyakinan bahwa para pastur dan pendeta berhak menentukan suatu hukum selain (ketentuan hukum) dari Allah. Lebih jauh lagi, mereka bahkan menyatakan kesanggupan secara total untuk patuh kepada pastur dan pendeta dalam segala hal yang bertentangan dengan syariat dan hukum Allah. Ini semua terdorong oleh ulah para pastur dan pendeta yang menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal atas mereka serta menetapkan hukum dan syariat yang sesuai dengan selera dan hawa nafsu sehingga mereka sangat antusias menerima dan menaatinya.

Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah: 31)

Dalam aspek kehidupan dunia, kaum Nashrani juga memiliki banyak sikap yang termasuk dalam kategori tindakan ghuluw yang di antaranya seperti dijelaskan oleh firman Allah:

...وَرَهْبَانِيَّةَ نِابْتَـدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ...“

.... Dan mereka mengada–adakan rohbaaniyyah. Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada–adakannya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya ....“ (Q.S. al Hadid: 27)

Sungguh bibit tindakan ghuluw dari sebagian orang pernah tampak pada masa Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, tetapi segera dicegah dan dibabat sampai ke akarnya meski bibit itu tidak dalam lapangan Aqidah, melainkan dalam medan ibadah.

Dalam masalah ini, Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam benar–benar meneliti dan melakukan pengawasan ketat serta memberikan pengarahan menuju arah yang benar. Hal itu seperti diceritakan oleh Anas ra bahwa ada tiga orang datang ke rumah–rumah isteri Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam guna meminta informasi tentang ibadah beliau.

Setelah mendapat penjelasan, mereka sepertinya menganggap ibadah Nabi SAW terbilang sedikit. Karena itulah, mereka saling berkata, “Di mana kita (dibandingkan) dengan Nabi SAW yang telah diampuni segala yang telah berlalu dan yang akan berlaku.” Seorang kemudian berkata, “Adapun aku, maka sungguh aku akan terus sholat semalam suntuk selamanya!” Yang lain juga berkata, “Aku akan terus berpuasa selamanya dan tak akan berbuka!” Sementara itu, orang ketiga berkata, “Aku menjauh dari wanita dan tak akan pernah menikah selamanya!” Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam datang lalu bersabda yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.

Pengarahan yang diberikan oleh Rasulullah SAW ini kiranya sama sekali tidak menyisakan alasan apa pun bagi mujtahid untuk berijtihad guna menetapkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat, melarang hal yang tidak dilarang oleh syariat atau memfatwakan suatu produk hukum sesuai dengan selera dan pendapatnya.

Hadits tersebut bukan berarti melarang secara mutlak untuk berijtihad dalam beribadah sebab berijtihad dalam ibadah (seperti dimaklumi) merupakan tuntutan syariat selama berada dalam koridor syariat seperti dijelaskan oleh Allah:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْـنَا لَنَهْدِيَنَّـهُمْ سُبُـلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

"Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar–benar beserta orang–orang yang berbuat baik.“ (Q.S. al Ankabuut: 69)

Allah juga berfirman, “Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian serta surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang disiapkan bagi orang–orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imron: 133)

Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang banyak dan sucikanlah Dia di waktu pagi dan sore hari.” (Q.S. al Ahzaab: 41-- 42).

Sungguh hadits tersebut hanya mengajak dan mendorong pada keseimbangan (Muwaazanah) dalam segala tuntutan dan kewajiban. Hal ini (sebagai langkah antisipatif atas) tindakan ekstrem (ghuluw) yang mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.

Ini adalah tindakan ghuluw yang sebenarnya. Karena itulah sikap dan sisi pandang (ittijaah) yang diambil dan dianut oleh para sahabat (yang disebut dalam hadits riwayat Anas ra di atas) tidak diakui dan segera ditangani oleh Nabi SAW dengan memberi penjelasan langsung bahwa sikap dan sisi pandang demikian merupakan bentuk ghuluw.

Selanjutnya Nabi SAW memberikan bimbingan bahwa esensi takut dan takwa kepada Allah bukanlah dengan bersikap ekstrem, terlalu, atau teledor, melainkan dengan sikap yang seimbang terhadap aneka ragam tuntutan (mathoolib).

Atas dasar ini, (bisa dimengerti bahwa tabir) perbedaan antara giat (ijtihad) dalam ibadah dan ghuluw sangat tipis.Sungguh sangat disayangkan, ketika sebagian dari para pelaku kebaikan yang getol memperjuangkan kebaikan justru melakukan kekeliruan dalam menggunakan dan menerapkan istilah ini (ghuluw) atas diri mereka dan orang–orang selain mereka.

Hal itu akan berakibat pada terjadinya keburukan yang luas serta pintu–pintu fitnah besar yang terbuka lebar dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dalam bukunya (Iqoomatul Hujjah alaa Annal Iktsaar fil Ibaadah Laisa bi Bid’ah), Syekh Abul Hasanaat Abdul Hayyi al Lacknawi menjelaskan perbedaan dalam topik penting ini dengan tuntas.

Bahkan, termasuk tindakan yang jelas–jelas bagian dari sikap ekstrem adalah klaim sebagai pelaku bid’ah yang ditumpahkan atas sebagian ulama ahli suluk dan tarbiyah yang memfokuskan diri dalam beribadah.

(Sekali lagi ) saya mengatakan, “Hal ini adalah bagian dari sikap ekstrem!! Laa Haula walaa Quwwata illa Billaah al Aliyyil Azhiim”

Model Performa Ekstremisme (Ghuluw)

Di antara performa–performa (mazhoohir) tindakan ghuluw adalah apa yang kita saksikan dari perilaku sebagian orang yang melakukan hujatan dan serangan sadis terhadap mayoritas ulama umat Islam yang berhaluan Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Syiah, Ibadhiyyah dan Shuufiyyah serta mengklaim secara mutlak bahwa seluruh mereka adalah kafir, syirik, sesat, keluar dari agama dan seterusnya tanpa terkecuali. Meski demikian, dalam kesempatan ini kami tidak berkehendak ikut campur dalam menguraikan klaim tersebut beserta maksud, tujuan, perkembangan, dan sejarahnya, (apalagi memberi penjelasan dengan) rinci tentang madzhab dan aliran ini.

Sebab hal ini tentu ada tempat dan medan yang spesifik untuknya, yaitu pembahasan ilmiah dan sisi pandang yang ada untuk kemudian dibahas secara bebas serta independen.Hal penting bagi kita (di sini) adalah mendukung dan memantapkan langkah dan usaha memberikan peringatan agar waspada dan tidak gegabah mengafirkan kelompok ini, madzhab itu, dan madzhab ini, serta (waspada akan) dampak dari pengafiran ini yang berupa munculnya aksi teror (irhaab) dan perusakan (ifsaad) di bumi.

Sungguh, aksi teror telah banyak memakan korban nyawa manusia hanya karena perselisihan ini. Sementara aksi perusakan maka bukti–buktinya bisa disaksikan dengan nyata yang berupa tindakan anarkis dan penghancuran hingga buku–buku ilmiah pun tidak selamat dan turut menjadi korban.

Betapa sangat disayangkan ketika ada sebuah kelompok yang senantiasa berjihad untuk Islam ternyata melakukan pembakaran terhadap kitab–kitab dan ensiklopedi yang di antaranya adalah Fathul Baari Syarah Shohih Bukhori milik al Hafizh Ibnu Hajar hanya karena alasan bahwa penulis berhaluan dan mengikuti jejak Imam Asy’ari dalam menafsirkan hadits–hadits tentang sifat–sifat-Nya yang terdapat dalam Shohih Bukhori.

Di sini kami mengatakan, “Sebelum mencela dan mencaci mereka maka wajib bagi kita semua mengerti sebab yang menjadikan mereka bertindak semacam itu. Jika sebab diketahui maka hilanglah keheranan. Anda sekalian tidak akan lama tenggelam dalam keheranan jika Anda sekalian mengetahui bahwa sebagian orang pandai yang mengaku sebagai pelayan ilmu telah mengeluarkan fatwa dan memutuskan hukum bahwa Asy’ariyyah adalah kafir.

Fatwa itu kemudian disebarkan dalam tulisan–tulisan ataupun ceramah–ceramah yang mereka berikan. Inilah sebab langsung dari munculnya dampak–dampak (negatif tersebut). Orang pandai itulah yang telah membuat dan memproduksi kunci di pabriknya kemudian menyerahkan kunci tersebut kepada mereka (para pelaku tindakan teror). Dialah yang menyiapkan dan membuka pintu (tindakan ghuluw/terorisme).

Akan tetapi, ketika kedua daun pintu telah terbuka lebar, dia berpaling dan mengatakan, “Sungguh aku berlepas diri dari kalian. Sungguh aku melihat apa yang tidak kalian lihat.” Akan tetapi, (ini) setelah Khaibar sudah hancur.

Syekh Ibnu Taimiyyah berkata: Dalam fatwa–fatwa al Faqiih Abu Muhammad, terdapat banyak hal bagus. Aneka permasalahan ditanyakan kepada beliau dan di sana beliau mengatakan, “Adapun para ulama yang melaknat para Imam Asy’ariyyah, maka barang siapa yang melaknat mereka maka ia harus dita’zir (diberi hukuman) dan laknat pasti kembali kepada dirinya sendiri. Barang siapa melaknat seseorang yang tidak berhak dilaknat maka laknat itu pasti menimpa dirinya sendiri.

Sungguh ulama adalah penolong agama (anshoorud diin) sementara Asy’ariyyah adalah penolong dasar–dasar agama (anshoor ushuuliddiin)”.

Sulthonul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdussalaam menyebutkan, “Sesungguhnya Akidah Imam al Asy’ari telah disepakati oleh seluruh pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan para petinggi madzhab Hambali. Di antaranya adalah guru besar madzhab Maliki, Syekh Abu Amar bin al Hajib, yang hidup sezaman dengan Imam Asy’ari serta guru besar madzhab Hanafi, Syekh Jamaluddin al Hushoiri.

Sementara Imam al Khoyaali dalam catatan kaki (Hasyiyah) Syarhul Aqo’id mengatakan, “Orang–orang madzhab Asy’ari (Asyaa’iroh), mereka adalah ahlu sunnah wal jamaah.”  Di sini kita tidak sedang melakukan studi terhadap madzhab ini atau aliran itu dengan segala prinsipnya untuk kemudian memberikan penilaian, tanggapan, dan komentar sebagai hasil akhir dari studi tersebut.

Hal ini ada saat dan tempat, dan tokoh–tokoh di bidangnya sendiri. Karena itu, wajib atas mereka --sebagai tanggung jawab keilmuan, negara, dan sejarah-- mencurahkan usaha dengan maksimal untuk mewujudkannya sebagai sumbangsih dan pelayanan kepada riset ilmiah. Di dalam riset tersebut, setiap hal dalam masalah ini bisa diterima dengan lapang dada dan nalar yang luas terbuka selama maksud dan tujuan terarah pada menampakkan kebenaran (ihqoqul haqq) dan menjelaskan kebatilan (ibthoolul baathil) seperti disebut dalam sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ“

“Jika hakim memberi keputusan dan berijtihad kemudian tepat (sesuai kebenaran) maka baginya dua pahala. Jika dia memutuskan hukum lalu berijtihad dan (ternyata) salah maka baginya satu pahala.” (Muttafaq alaih)

Tentu saja, semua ini harus disertai kesadaran bahwa semua pintu di medan ini (medan pemikiran, aliran, dan pendapat ) tidak bisa terlepas dari kritik, sanggahan, dan garis bawah (dari pihak lain). Sebab, terjaga dari kesalahan (ishmah) hanya berlaku bagi Kitab Allah yang tidak bisa didatangi kebatilan dari depan maupun belakang, dan berlaku bagi Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam yang tidak berkata atas dasar keinginan, melainkan wahyu yang diwahyukan.

Dalam masalah ini, Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) telah menggariskan satu standar ideal dan ungkapan yang tepat yang bisa dijadikan ukuran keadilan. Beliau mengatakan, “Setiap dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.

Pembagian Klaim Syirik & Kufur kepada Kelompok–Kelompok Islam dalam Kurikulum Pembelajaran, dalam pertemuan dan kesempatan yang baik ini, saya ingin mengingatkan kepada Anda sekalian tentang sebagian kurikulum sekolah, khususnya materi tauhid.

Dalam materi tersebut terdapat pengafiran, tuduhan syirik dan sesat terhadap kelompok-kelompok Islam sebagaimana dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiy (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah yang berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari agama.

Materi kurikulum tersebut menjadikan sebagian pengajar terus memperdalam luka dan memperlebar wilayah perselisihan. Padahal, 3/4 penduduk muslim seluruh dunia adalah Shuufiyyah dan seluruhnya terikat dan meramaikan padepokan (zaawiyah) mereka dengan tashowwuf.

Bahkan, harus dimengerti bahwa zawiyah–zawiyah tersebut memiliki jasa besar dalam memerangi penjajahan, membela negara, menyebarkan agama, dan memberikan pengajaran kepada kaum muslimin. Inilah sikap dan perilaku zawiyah Sanusiyyah, Idrisiyyah, Tijaaniyyah, Qoodiriyyah, Rifaa’iyyah, Syadziliyyah, Mahdiyyah, Naqsyabandiyyah, dan Marghoniyyah.

Sejarah yang objektif dan terpercaya mengakui akan hal ini. Sementara itu, generasi berikut dari para imam thoriqot tersebut seperti Syekh Umar al Mukhtar, Syekh Abdul Qodir al Jazairi, al Imam al Mahdi, Syekh Umar al Fauti at Tiijani, Syekh Utsman bin Faudi al Qodiri juga mempunyai jasa–jasa yang perlu dihargai dalam berjihad di jalan Allah. Para imam tersebut melayani agama dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan untuk memerangi kebodohan dan tindakan bid’ah.

Adapun (lebih jauh lagi) para imam tashowwuf pendahulu mereka yang terkenal dalam abad–abad terdahulu seperti Imam Rifai, Imam al Badawi, Imam Syadzili, dan para imam lain setingkat mereka serta para imam dari generasi tabi’in dan para pengikutnya dari para ahli Hilyah, Shofwah, Risalah dan Madarijis saalikin. Usaha dan jihad mereka semua di jalan Allah merupakan suatu hal yang banyak memenuhi sejarah dan telah banyak dikisahkan oleh buku–buku biografi (Manaaqib/Taroojim).

Meskipun begitu, kita tidak mengatakan mereka ma’shum sebab setiap kita dan mereka (adalah sama,) diambil dan juga ditolak. Ijtihad yang mereka lakukan juga berputar antara daerah kebenaran dan kesalahan, diterima dan dibantah.

Kendati begitu, kita semua tidak ingin mereka dihujat dengan tuduhan keluar dari Islam, kafir, syirik, dan fanatik dalam bermadzhab.

Saya ingin bertanya kepada Saudara–Saudara yang berijtihad dalam menetapkan hukum dan klaim–klaim tersebut, dalam hitungan mereka berapa banyak mereka akan kehilangan saudara sesama kaum muslimin?

Dengan hukum mereka yang menyimpang, berapa banyak tali silaturrahim dan persaudaraan Islam yang akan mereka putuskan di antara ratusan juta kaum muslimin yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah?

Karena itulah, marilah kembali meninjau perhitungan kita bersama saudara–saudara kita!

Tiga Pembagian Tauhid sebagai Faktor Dominan

Di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajaran tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi tiga bagian:

1) Tauhid Rububiyyah,

2) Tauhid Uluhiyyah,

3) Tauhid Asma’ was Shifaat.

(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa sahabat, tabi’in maupun tabi’it taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.

Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid.

Selanjutnya taqsiim ini juga akan senantiasa menjadi sarana yang mudah didapat untuk terus mengeluarkan klaim–klaim dan keputusan seenaknya tanpa didasari pemikiran dan perenungan.

Taqsiim ini, terlepas dari penelitian apakah memiliki dasar dalam aqidah Islaamiyyah atau tidak, yang jelas dan sangat disayangkan kini telah menjadi dasar kuat (dan alat) untuk mengafirkan banyak kelompok Islam. Andai saja yang menjadi korban dari taqsiim ini hanya sebagian orang, tentu bencana sangat ringan dan mudah diatasi.

Akan tetapi, musibah ini ternyata menimpa mayoritas umat: ulama dan awam, pemikir, juga para sastrawan. (Dengan demikian), pada hakikatnya taqsiim ini merupakan goresan yang memotong tali hubungan di antara umat Islam.

Jika kita berniat membersihkan Makkah Madinah --dengan standar pendapat mereka-- dari orang–orang yang dicurigai sebagai pemilik kesyirikan, penyembah para wali, pengagum Ahlul Bait, dan pengikut pemahaman umum dalam sifat–sifat-Nya, tentu akan terjadi penolakan terhadap banyak jamaah haji dan para peziarah.

Para jamaah haji dan para peziarah tersebut, dalam musim–musim agama, berasal dari berbagai kelompok umat Islam yang seluruhnya mendapat sambutan dan pelayanan dari pemerintah serta kebebasan menjalankan apapun sesuai dengan prinsip (madzhab) mereka yang sedikitpun tidak bertentangan dengan syariat Islam.

(Sungguh, betapapun perbedaan itu ada), tetapi hanya berputar dalam masalah khilaafiyyah, hal di luar yang sudah disepakati bersama (ijma’) seperti halnya para pelaku kesalahan dan pelanggaran syariat. Para ulama tidak pernah sepakat (berijma’) mengafirkan para pelakunya, karena termasuk dalam firman-Nya:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni apabila Dia disekutukan dan Dia memberikan ampunan kepada selain itu kepada orang yang Dia kehendaki.” (QS an Nisa’: 48)

Telah kami jelaskan di awal sambutan bahwa semua pihak dituntut untuk melakukan penjernihan (tashfiyah), pembersihan (tanqiyah), saling mengingatkan, mengoreksi, dan dengar pendapat (murooja’ah), berusaha saling memahami (mufaahamah), dan mengadakan dialog (muhaawaroh) dengan memegang satu prinsip, “

Sesungguhnya setiap jalan pemikiran ilmiah dalam agama, cabang–cabang, dan rinciannya yang masuk dalam medan ijtihad harus mau dikoreksi untuk perbaikan, pergantian, dan perubahan. Pemiliknya tidak boleh meyakini cabang dan rincian tersebut sebagai suatu masalah pasti yang wajib diterima dan dihormati seperti dua dasar pokok, yaitu al Qur’an dan al Hadits.

Jika semua pihak memegang prinsip ini, niscaya semuanya bisa bertemu, saling mendekat, menerima alasan orang lain, dan saling memaafkan satu sama lain. Sudah barang tentu, ini merupakan pondasi langkah–langkah pertama untuk membangun persatuan Islam yang diinginkan dan didambakan serta menjadi keinginan kuat setiap muslim. Kendati begitu, ini tidak lantas harus menghapus, memberantas, membuang, dan menolak secara total serta tidak memberikan pengakuan akan keberadaan komunitas yang berbeda yang telah ada di muka bumi dan memiliki akar kuat, para penjaga, dan pengikut yang loyal dan siap menjadi pembela.

Sesungguhnya mayoritas kaum muslimin, dari saudara–saudara kita yang dikenal dengan tashowwuf dan meresapi betapa tashowwuf telah menyematkan kemulian dan keagungan besar kepada mereka serta merasa bangga memiliki hubungan dengannya. Itulah tashowwuf yang benar dan sesuai syariat serta berdiri di atas landasan maqom ihsan, maqom yang dibanggakan.

Semestinya, setiap orang Islam berusaha mengenal dan memiliki hubungan denganNya yang digambarkan dalam sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam:

...أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ...

“…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim)

Sungguh, mereka semua dituntut untuk kembali meneliti dan meninjau ulang kurikulum kemudian mengoreksi, membenarkan, dan meluruskan sesuai kebenaran, keadaan, kenyataan, dan selaras dengan semangat persatuan nasional dalam perlindungan dan perawatan satu pemerintahan yang melihat semuanya dengan satu pandangan keadilan.

Ibaratnya seperti anak–anak seorang lelaki yang semuanya harus memperoleh hak–hak dan kewajibannya masing–masing. Mereka mendapat kesempatan yang sama, perhatian dan kasih sayang yang seimbang. Semuanya berhak mengingatkan, “Takutlah kepada Allah dan berbuatlah adil terhadap anak–anak kalian.”

Model Ghuluw

Di antara rupa dan performa yang terlihat sangat buruk dalam lapangan ghuluw pada era ini adalah apa yang kita saksikan dilakukan oleh para pemuda yang terseret memasuki pintu ini oleh faktor husnuz zhon, pemahaman yang salah atau kealpaan. Semua itu membawa mereka terjatuh dalam bahaya besar, menyeret mereka untuk terperosok dalam banyak problema yang semestinya tidak perlu terjadi jika saja kebanyakan orang mau menanganinya.

Para pemuda tersebut mencela, mencaci, dan meremehkan para salaf yang sholeh, generasi yang membawa agama ini sampai kepada kita dan telah menghabiskan seluruh umur untuk membela syariat pemimpin para utusan, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.

Generasi itu pula satu–satunya kelompok yang menjadi pelayan sunnah nabawiyyah sehingga bisa sampai kepada kita dalam keaadaan putih dan bersih.

Imam Abu Hanifah, misalnya, oleh mereka (para pemuda) dikatakan sebagai seorang Jahmiyyah Murji’ah, seorang ahli bid’ah yang sesat dan pembawa naas bagi Islam dan pemeluknya.

Begitu pula Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al Asqolani, Imam Ghozali, Imam Juned, Imam Ibrahim bin Adham, Imam Fudhel bin Iyadh, Imam Sahl at Tustari, Imam Dzahabi, Sulthonul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdussalam, dan lainnya.

Sungguh, pena merasa malu untuk menulis caci maki yang mereka keluarkan dan julukan–julukan jelek yang mereka lontarkan terdengar begitu risih oleh telinga orang yang mendengarkan.

Dan hal ini terdapat dalam seluruh isi buku dan sepanjang isi kaset yang telah disebarkan. (Jika perlakuan demikian diterima oleh para generasi salaf), maka sudah barang tentu caci maki itu juga dilontarkan terhadap ulama–ulama masa sekarang. Laa Haula walaa Quwwata illaa billaah.

Kedangkalan Tsaqafah dan Pengertian Agama

Sudah barang tentu kita semua sepakat bahwa penghinaan, hujatan, dan caci maki kepada para ulama seluruhnya bersumber dari ketidakluasan ilmu dan pengertian agama, atau belajar tanpa adanya pengajar.

Hal inilah yang menyeret sebagian para pemuda kita pada ketidaktepatan dalam menggali sebagian hukum, cenderung memusuhi setiap orang yang berbeda dengan mereka, dan menganggap pendapat pihak yang bertentangan dengan mereka sebagai hal yang bodoh.

Fanatik Pendapat

Kedangkalan wawasan keagamaan, seperti kita saksikan dewasa ini, juga membawa sebagian dari para pemuda kita bersikap fanatik (ta’assub) dan menuhankan pendapat sendiri (istibdad bir ro’yi) khususnya dalam masalah–masalah yang sebetulnya di situ ijtihad bisa diterima.Orang–orang yang biasa berdebat, bertukar pendapat, dan berdialog pasti mengenal ungkapan, “Pendapatku benar, tetapi mungkin juga salah. Dan pendapat lawanku salah, tetapi mungkin juga benar.”

Adapun tidak mengakui pendapat dan mengingkari kebenaran yang dimiliki orang lain yang bersilang pendapat dengannya maka sungguh itu adalah salah satu bencana besar yang diakibatkan oleh ghuluw, khususnya pada saat ini. Kiranya tak ada satu pun orang berakal yang mengingkari bahwa jika manusia tidak mengerti akan sesuatu maka pasti memusuhi sesuatu tersebut.

Faktor bencana ini, (sekali lagi adalah), minimnya pengetahuan agama, bangga dengan pendapat sendiri (i’jaab bir ro’yi) dan cenderung menuruti hawa nafsu. Sebagian dari kaum ekstremis bahkan sampai bertindak kelewat batas dengan membodohkan orang lain dan menuduhnya sesat dan keluar dari agama.

Ini pun disebabkan oleh fanatik dan keyakinan bahwa hanya pendapat sendiri yang paling benar serta berusaha mempertahankan egonya. Sudah barang tentu bahwa hal tersebut merupakan bentuk fanatik yang paling dominan, eksklusif, dan semaunya. Karena itu, wajib bagi para ulama untuk menyelamatkan para pemuda dari fanatisme. Wajib pula bagi para ulama menyadari bahwa hal ini merupakan tantangan yang harus mereka hadapi. Mereka harus memiliki semangat tinggi untuk memberikan perhatian dan terapi kepada pasien-pasien yang sudah terlanjur terjangkit wabah ini agar mereka bisa segera sembuh.

Jika hal itu dibiarkan, akan berdampak pada kehancuran, umat tercabik, dan terpecah belah. Padahal, Allah telah berfirman, “Jangan kalian saling berselisih karena itu membuat kalian lemah dan hilang bau kalian.” (Q.S. al Anfaal: 46)

Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dengan berjama’ah dan jangan berpecah belah.” (Q.S. Ali Imran: 103)

Model  Ghuluw

Termasuk contoh dari berlebih-lebihan dalam beragama adalah banyak kita lihat di dunia Islam para pemuda yang mengaku salafiyah (pengikut jejak para ulama terdahulu).

Sungguh, pengakuan itu sangat mulia apabila pengakuan itu mereka realisasikan.

Beberapa golongan lainnya mengaku ahli hadits (berpegang teguh kepada hadits).

Pengakuan ini pun sangat mulia.

Sebagian yang lain mengatakan tidak perlunya bermadhzab dan hanya berpegang teguh dengan al Qur’an dan as Sunnah saja karena al Qur’an dan as Sunnah adalah pilar-pilar agung berdirinya agama Islam sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. إِنِّى قَدْ خَلَفْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا مَا أَخَذْ تُمْ بِهِمَا أَوْ عَمِلْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ الله وَسُنَّتِى وَلَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَي الْحَوْضِ (رواه البيهقى في السنن

“Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh atau mengamalkan keduanya, yaitu al Qur’an dan Sunnahku. Keduanya tidak terpisahkan sampai mengantarkan aku ke al-haudl/telaga.”(H.R. al Baihaqy).

Pengakuan ini pada hakikatnya sangat terpuji.

Namun, pengakuan-pengakuan ini hanya pengakuan dari orang-orang yang bukan ahlinya. Pengakuan dari orang-orang yang berfatwa secara individual tanpa ada dasar ataupun sandaran dari para ulama yang terpercaya. Pendapat dan fatwa-fatwa mereka terlontar begitu saja tanpa adanya batasan, keterikatan kaidah-kaidah, bahkan asal-usulnya.

Oleh karena itu, mereka mengingkari dan menyanggah keyakinan orang-orang selain mereka.

Mereka beranggapan, “hanya merekalah yang berada dalam jalan kebenaran dan selain mereka telah terjerumus dalam kesesatan.”

Hal ini adalah salah satu pijakan atas apa-apa yang kita dengar dari mereka dalam mengafirkan, memusyrikkan, dan menuduhkan hukum-hukum dengan memberikan julukan-julukan dan sifat-sifat yang tidak pantas bagi seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah ta’ala dan bahwa Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala.

Misalnya, tuduhan mereka dengan mengatakan kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dengan sebutan ”perusak! dajjal! ahli bid’ah! Bahkan, pada akhirnya mereka mengatakan “musyrik, kafir, dan lainnya. Sungguh, sangat sering kita dengar dari orang-orang yang mengaku berakidah, mereka membabi buta mengucapkan kata-kata keji di atas.

Bahkan, sebagian dari mereka menuduh orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dengan berkata,

”Wahai orang yang mengajak kepada kemusyrikan dan kesesatan di zaman ini”.

“Wahai pembaharu agama, Amr bin Luhai!”

Begitulah, sering kita dengar mereka melontarkan hinaan dan ejekan yang tidak sepantasnya terlontar dari mulut seorang pelajar apalagi dari mulut seorang ahli ilmu yang seyogyanya memilih cara-cara terbaik dalam berdakwah dan bersopan santun dalam berdiskusi.

Kemudian setelah itu, mereka mengaku pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka menjadikan beliau sebagai pintu atas segala perilaku mereka, sandaran hukum bagi pendapat mereka, dan mengajak manusia seraya menakut-nakuti mereka dengan berlindung pada nama besar beliau.

Dalam kesempatan ini akan saya paparkan perkataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab yang membebaskan dirinya dari orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya. Mereka melakukan segala kehendak mereka dengan berlindung kepada beliau. Mereka membunuh siapa saja yang mereka kehendaki dengan menggunakan tajamnya pedang beliau.

Mereka mengafirkan siapa saja yang mereka kehendaki dengan bersandar pada fatwa beliau. Mereka membagi segolongan manusia di surga dan sebagian yang lain di neraka hanya menurut pendapat mereka.

Al Imam Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam suratnya yang dikirim kepada orang-orang al Qashim: ”Telah kalian ketahui bahwasanya aku mendengar Sulaiman bin Suhaim telah mengirim surat kepada kalian. Bahkan, kalangan orang-orang berilmu di daerah kalian menerima dan membenarkan isi surat itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui bahwasannya orang itu (Sulaiman bin Suhaim) telah berbohong mengatasnamakan aku dalam beberapa perkara yang aku tidak pernah mengucapkannya. Bahkan, tidak pernah terlintas dalam hatiku.

Di antara isi surat itu yang dia tulis bahwa aku mengingkari kitab-kitab empat madzhab yang ada dan aku berkata, ‘sesungguhnya manusia selama 600 tahun telah hidup dalam keadaan sia-sia dan bahwa aku mengaku sebagai mujtahid, aku tidak bertaqlid, dan aku berkata bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama adalah bencana dan bahwa aku mengafirkan orang-orang yang bertawasul dengan orang sholeh, dan bahwa aku mengafirkan al Bushiri karena dia berkata, ‘Wahai makhluk termulia!’ Dan bahwa aku berkata, ‘andai aku mampu menghancurkan kubah Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam, niscaya akan aku hancurkan dan andai aku mampu, aku akan mengambil talang emas ka’bah dan aku ganti dengan talang kayu, dan aku mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam dan aku mengingkari ziarah kepada kedua orang tua dan lainnya, dan aku bersumpah dengan selain nama Allah ta’ala dan aku mengafirkan Ibnu al Faridl dan Ibnu ‘Arobiy, dan aku membakar kitab Dalailul Khoirot dan kitab Roudur Royyahin dan menamainya Roudus Syaithan. “

Aku jawab semua masalah ini seraya aku katakan, ”Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang besar dan sebelumnya telah ada orang yang mendustakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, juga ada orang yang telah menghina Isa bin Maryam dan orang-orang sholeh sehingga hati mereka menjadi serupa dalam kedustaan dan kebohongan.

Allah ta’ala berfirman:

إِِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِآيَاتِ اللهِ

Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta.”(Q.S. An Nahl:105)

Mereka semua telah mendustakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam bahwa para malaikat, Isa, dan Uzair akan masuk neraka.

Maka Allah swt menjawab perkataan mereka dengan firman-Nya:

إِنَّ الَّذِيْنَ سَبَقَتْ لَهُمُ ِّمنَّا الْحُسْنَى أُولئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.” (Q.S. Al Anbiya’: 101)

Surat Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab lainnya:

Surat ini dikirim oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada as Suwaidi, seorang ulama di Iraq, sebagai  jawaban dari surat as Suwaidi kepadanya.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam suratnya berkata: “Sungguh, menyebarkan kebohongan adalah hal yang memalukan bagi orang yang berakal apalagi mengadakan kebohongan. Adapun yang Anda katakan bahwasanya aku mengafirkan segenap manusia kecuali pengikutku sungguh mengherankan. Bagaimana hal ini bisa terpikirkan oleh orang yang berakal? Apakah pantas seorang muslim berkata demikian?

Adapun yang Anda katakan bahwa aku berkata, ’Andai aku mampu menghancurkan kubah Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, niscaya akan aku hancurkan. Juga tentang Kitab Dalailul Khairot, bahwa aku melarang untuk bersholawat kepada Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. Hal itu semua adalah dusta belaka dan seorang muslim tidak akan berkeyakinan adanya hal yang lebih mulia dari pada kitab Allah (al Qur’an).

Sumber: http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=profil&id=28

15 komentar:

  1. [...] pada pertemuan Dialog Nasional kedua di Makkah al Mukarromah Selengkapnya silahkan baca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/ Definisi ghuluw sebagai suatu tindakan keluar dari batas sedang dan tengah–tengah yang sudah [...]

    BalasHapus
  2. [...] Namun kita lihat sekarang sebagian ulama menetapkan/menganggap hukumnya wajib bagi perbuatan/ibadah yang  hukumnya sunnah atau mereka menganggap hukumnya haram/terlarang atau menilai sesat bagi perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah,  inilah yang dinamakan melampaui batas (ghuluw) dan Allah swt tidak menyukai orang yang melampaui batas (ghuluw). [...]

    BalasHapus
  3. Penulis ini mengutip hadis :

    "Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Kalian tidak
    akan tersesat selagi berpegang teguh atau mengamalkan keduanya, yaitu
    al Qur'an dan Sunnahku ( SUNNATI ). Keduanya tidak terpisahkan sampai mengantarkan
    aku ke al-haudl/telaga."(H.R. al Baihaqy).

    Bagaimana 'status/kekuatan' dari hadis ini ?

    Dalam penelitian saya , semua hadis dengan redaksi atau mirip redaksi hadis " Kitabullah Wa Sunnati " seperti di atas tidak ada yang sahih, semuanya lemah !.

    Riwayat Al Baihaqy - seperti dikutip oleh penulis- dinukil dari Sunan Baihaqy,bersumber dari Ibnu Abbas dan Abu Hirairah. Kedua riwayat ini lemah karena terdapat perawi yang bernama Ibnu Abu Uwais dan Shaleh bin Musa. Kedua orang ini dinilai 'cacat' oleh para ahli jarh wa ta'dil.

    Jadi, hadis yang dikutip oleh penulis in tidak kuat, tidak sahih alias lemah.

    Kalau ada yang tahu hadis 'Kitabullah Wa Sunnati' yang sahih, tolong saya diberitahu.

    Wassalam
    Sofyan Samaun

    BalasHapus
  4. Menurut pendapat kami, andaikata hadits itu lemah (dhaif) maka selajutnya kita periksa adalah matan/isi nya apakah bertentangan dengan hadits lain atau Al-Qur'an. Matan dari hadits itu sejalan dengan hadits-hadits lain maupun Al-Qur'an bahwa kita harus berpegang teguh (sampai di-ibaratkan gigitlah) pada perkataan Allah ta'ala (al-Quran) dan Sunnah Rasulullah saw dalam hal ini adalah hadits nabi.

    BalasHapus
  5. Sebaiknya Pak Zon Jonggol jangan berandai - andai.Hadis ini tidak pernah diriwayatkan di dalam kitab - kitab hadis terkenal, kutubus sittah.

    Seandainya hadis itu lemah ( dhaif ) maka konsekwensinya ialah sabda Nabi SAW yang menyatakan ' meninggalkan 2 pusaka ( ATS TSAQOLAIN ) yaitu KITABULLAH ( AL QUR'AN ) dan SUNNAH- ku adalah tidak benar. Dari belasan hadis Nabi dengan redaksi seperti itu, semuanya lemah ( dhaif ) dan harus ditinggalkan

    Pak Zon Jonggol, ada hadis lain yang mirip dengan redaksi hadis di atas. Bunyinya ( dengan berbagai macam redaksi ) sbb : Rasulullah SAW bersabda : "Aku tinggalkan kepada kalian 2 pusaka ( Ats Tsaqolain/Khalifatain ) yang jika kalian berpegang kepada keduanya kalian tidak akan tersesat, yaitu KITABULLAH dan KETURUNANKU, AHLULBAITKU, keduanya tidak akan berpisah sampai bertemu denganku di Al Haudh".

    Hadis ini diriwayatkan oleh banyak ahli hadis terkemuka diantaranya Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Turmidzi, Al Hakim dan lain -lain. Status hadis ini sahih, hampir mencapai tingkat mutawatir. Bahkan dedengkot 'wahabi/salafi' ( yang diklaim oleh para pengikutnya sebagai muhaddist abad ini )yaitu Alm. Nashiruddin Al Albani, menegaskan kesahihan hadis "Kitabullah Wal Itrati, Ahlulbaiti" di dalam kitabnya Silsilah Hadist Sahih.

    Yang menarik dari pernyataan Pak Zon Jonggol adalah .... Sunnah Rasulullah SAW dalam hal ini adalah hadist Nabi SAW...... Pertanyaan saya, apakah Sunnah Nabi SAW itu identik dengan Hadist Nabi SAW seperti tertulis di dalam kitab - kitab hadis ?. Jika Sunnah identik dengan Hadist Nabi SAW ( yang tertulis di dalam kitab -kitab hadis ), maka konsekwensinya ialah KITA HARUS DAN WAJIB MENGIKUTI SEMUA YANG TERTULIS DI DALAM KITAB - KITAB HADIS. Dan, ini sangat musykil dan sangat mustahil !.

    Salam persaudaraan

    Sofyan Samaun

    BalasHapus
  6. Benar kita harus berpegang hanya pada Al-Qur'an dan Hadits, sebagaimana firmanNya,
    "...maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( Al Hadits), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya” ( QS. An nisa’, 59 ).

    “Sebenar benar perkataan adalah kitabullah(alquran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam..”(HR.Muslim).

    @Akhi, Sofyan
    You wrote:
    Yang menarik dari pernyataan Pak Zon Jonggol adalah …. Sunnah Rasulullah SAW dalam hal ini adalah hadist Nabi SAW…… Pertanyaan saya, apakah Sunnah Nabi SAW itu identik dengan Hadist Nabi SAW seperti tertulis di dalam kitab – kitab hadis ?. Jika Sunnah identik dengan Hadist Nabi SAW ( yang tertulis di dalam kitab -kitab hadis ), maka konsekwensinya ialah KITA HARUS DAN WAJIB MENGIKUTI SEMUA YANG TERTULIS DI DALAM KITAB – KITAB HADIS. Dan, ini sangat musykil dan sangat mustahil !.

    Hal ini sudah saya uraikan kesalahpahaman Wahabi/Salafi dalam mengartikan SUNNAH dalam arti hadits Nabi dan SUNNAH dalam arti anjuran Nabi (mandub)
    http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/2010/09/27/gigitlah-sunnah/

    BalasHapus
  7. “…maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul........

    “Sebenar benar perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam..”(HR.Muslim).

    Setuju. Kita harus kembali kepada Rasul dan sebaik - baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW. Lalu, perhatikan Sabda dan Petunjuk Rasulullah yang mengatakan :

    "AKU TINGGALKAN BUAT KALIAN 2 PUSAKA ( ATS TSAQOLAIN/KHALIFATAIN ) YANG JIKA KALIAN BERPEGANG TEGUH KEPADA KEDUANYA KALIAN TIDAK AKAN TERSESAT, YAITU KITABULLAH DAN ITRAHKU, AHLULBAITKU. KEDUANYA TIDAK AKAN BERPISAH SAMPAI BERTEMU DENGANKU DI AL HAUDH

    ( Hadis Sahih , riwayat Muslim, Al Hakim, Ahmad dll ).

    Maka,dengan mengikuti jalan fikiran Zon Jonggol, konsekwensinya ialah kita harus mengikuti sabda beliau ini jika kita meyakini keharusan kembali kepada Rasulullah SAW dan bahwa petunjuk beliau adalah sebaik - baik petunjuk.

    Sayang, hadis yang sahih dan diriwayatkan oleh belasan ahli hadis terkemuka ini ditinggalkan begitu saja oleh Zon Jonggol dan tidak disinggung singgung olehnya. Ana la a'rafu bi dzalik, saya nggak tahu kenapa ??!!

    Salam persaudaraan

    BalasHapus
  8. Maaf, saudaraku. Kami hanya kembali sebatas kepada Allah ta'ala dan RasulNya. Inilah yang paling pokok, paling awal.

    Setelah Rasulnya (itrah / ahlulbait / keturunan Nabi saw), kita sudah saling memahami bahwa telah terjadi perbedaan pendapat.

    Bagi pemahaman kami yang maksum hanyalah RasulNya namun kami sangat menghormati ahlulbait / keturunan Nabi saw.

    BalasHapus
  9. sofyan samaun ini ahli Hadist dari mana ya ?
    mulai kapan dia jadi ahli Hadist, berapa hadist sih yang dia hafal ? Muhadist tanpa sanad kaya Al-albani saja

    BalasHapus
  10. Apa hubungan komentar saya dengan pertanyaan anda?.

    BalasHapus
  11. [...] Dengan tulisan ini, kita dapat memahami adalah sebuah keliruan besar telah terjadi pada ulama-ulama Wahhabi  dan penguasa kerajaan dinasti Saudi yang berpemahaman bahwa muslim yang menjalankan tasawuf  / tentang ihsan / berakhlak adalah telah keluar dari Islam atau telah sesat.  Bahkan sebagaimana yang disampaikan oleh alm Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani bahwa Wahhabi telah memasukkan kedalam kurikulum pendidikan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari agama. Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/ [...]

    BalasHapus
  12. [...] Dengan tulisan ini, kita dapat memahami adalah sebuah keliruan besar telah terjadi pada ulama-ulama Wahhabi  dan penguasa kerajaan dinasti Saudi yang berpemahaman bahwa muslim yang menjalankan tasawuf  / tentang ihsan / berakhlak adalah telah keluar dari Islam atau telah sesat.  Bahkan sebagaimana yang disampaikan oleh alm Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani bahwa Wahhabi telah memasukkan kedalam kurikulum pendidikan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari agama. Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/ [...]

    BalasHapus