Selasa, 04 Januari 2011

Wahabi Syiah Liberal

Dalam sebuah diskusi ada pertanyaan yang diajukan kepada kami

Apa beda antara kaum Wahabi/Salafi, syiah dan Liberal??
manakah yg benar / bisa diikuti??



Jawaban kami adalah

Mengapa harus menjadi kaum Wahabi/Salafi, kaum Syiah atau Kaum Liberal ?

Setiap kaum tersebut mempunyai "ciri khas" sehingga mereka berbeda dengan umat muslim pada umumnya.

Bagi kami jadilah seorang muslim, mukmin dan yang terbaik adalah muhsin (muslim yang ihsan) atau muslim yang sholeh atau ‘ibaadillaahish shoolihiin

Jika kita bisa mencapai muslim yang terbaik atau muhsin atau muslim yang sholeh maka kita akan didoakan / disholawatkan oleh umat muslim sampai akhir zaman.

Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.

Muslim yang sholeh dijamin masuk surga tanpa di hisab.

Berikut uraian singkat kami mengenai ketiga kaum tersebut,

Kaum Liberalisme, Pluralisme, sekularisme, sudah ada fatwanya dari MUI

Kaum Syiah.

Imam ‘Ali رضي الله عنه berkata: aku bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah ciri-ciri mereka? Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم bersabda: "Mereka menyanjungimu dengan sesuatu yang tidak ada padamu".

Kaum Wahabi/Salafi
Kaum yang dicetuskan oleh Syaikh Ibnu Abdul Wahab yang berguru secara tidak langsung dengan Syaikh Ibnu Taimiyah. Berguru tidak langsung artinya mereka tidak pernah bertemu karena zaman kehidupannya berbeda ratusan tahun. Pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah yang menisbatkan kepada pemahaman Salafush Sholeh. Perhatikan menisbatkan bukan berarti apa yang dipahami oleh Syaikh Ibnu Taimiyah adalah serupa apa yang dipahami oleh Salafush Sholeh. Lalu kemudian dalam perjalanannya apa yang dipahami oleh kaum Wahabi pada masa sekarangpun belum tentu serupa dengan yang dimaksud Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau Syaikh Ibnu Taimiyah

Berikut cuplikan tanggapan  Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasan terhadap kaum Wahabi/Salafi masa sekarang.
Banyak kita lihat di dunia Islam para pemuda yang mengaku salafiyah (pengikut jejak para ulama terdahulu).

Sungguh, pengakuan itu sangat mulia apabila pengakuan itu mereka realisasikan.

Beberapa golongan lainnya mengaku ahli hadits (berpegang teguh kepada hadits).

Pengakuan ini pun sangat mulia.

Sebagian yang lain mengatakan tidak perlunya bermadhzab dan hanya berpegang teguh dengan al Qur’an dan as Sunnah saja karena al Qur’an dan as Sunnah adalah pilar-pilar agung berdirinya agama Islam sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. إِنِّى قَدْ خَلَفْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا مَا أَخَذْ تُمْ بِهِمَا أَوْ عَمِلْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ الله وَسُنَّتِى وَلَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَي الْحَوْضِ (رواه البيهقى في السنن

“Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh atau mengamalkan keduanya, yaitu al Qur’an dan Sunnahku. Keduanya tidak terpisahkan sampai mengantarkan aku ke al-haudl/telaga.”(H.R. al Baihaqy).

Pengakuan ini pada hakikatnya sangat terpuji.

Namun, pengakuan-pengakuan ini hanya pengakuan dari orang-orang yang bukan ahlinya. Pengakuan dari orang-orang yang berfatwa secara individual tanpa ada dasar ataupun sandaran dari para ulama yang terpercaya. Pendapat dan fatwa-fatwa mereka terlontar begitu saja tanpa adanya batasan, keterikatan kaidah-kaidah, bahkan asal-usulnya.

Oleh karena itu, mereka mengingkari dan menyanggah keyakinan orang-orang selain mereka.

Mereka beranggapan, “hanya merekalah yang berada dalam jalan kebenaran dan selain mereka telah terjerumus dalam kesesatan.”

Hal ini adalah salah satu pijakan atas apa-apa yang kita dengar dari mereka dalam mengafirkan, memusyrikkan, dan menuduhkan hukum-hukum dengan memberikan julukan-julukan dan sifat-sifat yang tidak pantas bagi seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah ta’ala dan bahwa Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala.

Misalnya, tuduhan mereka dengan mengatakan kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dengan sebutan ”perusak! dajjal! ahli bid’ah! Bahkan, pada akhirnya mereka mengatakan “musyrik, kafir, dan lainnya. Sungguh, sangat sering kita dengar dari orang-orang yang mengaku berakidah, mereka membabi buta mengucapkan kata-kata keji di atas.

Bahkan, sebagian dari mereka menuduh orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dengan berkata,

”Wahai orang yang mengajak kepada kemusyrikan dan kesesatan di zaman ini”.

“Wahai pembaharu agama, Amr bin Luhai!”

Begitulah, sering kita dengar mereka melontarkan hinaan dan ejekan yang tidak sepantasnya terlontar dari mulut seorang pelajar apalagi dari mulut seorang ahli ilmu yang seyogyanya memilih cara-cara terbaik dalam berdakwah dan bersopan santun dalam berdiskusi.

Kemudian setelah itu, mereka mengaku pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka menjadikan beliau sebagai pintu atas segala perilaku mereka, sandaran hukum bagi pendapat mereka, dan mengajak manusia seraya menakut-nakuti mereka dengan berlindung pada nama besar beliau.

Dalam kesempatan ini akan saya paparkan perkataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab yang membebaskan dirinya dari orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya. Mereka melakukan segala kehendak mereka dengan berlindung kepada beliau. Mereka membunuh siapa saja yang mereka kehendaki dengan menggunakan tajamnya pedang beliau.

Mereka mengafirkan siapa saja yang mereka kehendaki dengan bersandar pada fatwa beliau. Mereka membagi segolongan manusia di surga dan sebagian yang lain di neraka hanya menurut pendapat mereka.

Al Imam Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam suratnya yang dikirim kepada orang-orang al Qashim: ”Telah kalian ketahui bahwasanya aku mendengar Sulaiman bin Suhaim telah mengirim surat kepada kalian. Bahkan, kalangan orang-orang berilmu di daerah kalian menerima dan membenarkan isi surat itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui bahwasannya orang itu (Sulaiman bin Suhaim) telah berbohong mengatasnamakan aku dalam beberapa perkara yang aku tidak pernah mengucapkannya. Bahkan, tidak pernah terlintas dalam hatiku.

Di antara isi surat itu yang dia tulis bahwa aku mengingkari kitab-kitab empat madzhab yang ada dan aku berkata, ‘sesungguhnya manusia selama 600 tahun telah hidup dalam keadaan sia-sia dan bahwa aku mengaku sebagai mujtahid, aku tidak bertaqlid, dan aku berkata bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama adalah bencana dan bahwa aku mengafirkan orang-orang yang bertawasul dengan orang sholeh, dan bahwa aku mengafirkan al Bushiri karena dia berkata, ‘Wahai makhluk termulia!’ Dan bahwa aku berkata, ‘andai aku mampu menghancurkan kubah Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam, niscaya akan aku hancurkan dan andai aku mampu, aku akan mengambil talang emas ka’bah dan aku ganti dengan talang kayu, dan aku mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam dan aku mengingkari ziarah kepada kedua orang tua dan lainnya, dan aku bersumpah dengan selain nama Allah ta’ala dan aku mengafirkan Ibnu al Faridl dan Ibnu ‘Arobiy, dan aku membakar kitab Dalailul Khoirot dan kitab Roudur Royyahin dan menamainya Roudus Syaithan. “

Aku jawab semua masalah ini seraya aku katakan, ”Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang besar dan sebelumnya telah ada orang yang mendustakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, juga ada orang yang telah menghina Isa bin Maryam dan orang-orang sholeh sehingga hati mereka menjadi serupa dalam kedustaan dan kebohongan.

Allah ta’ala berfirman:

إِِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِآيَاتِ اللهِ

”Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta.”(Q.S. An Nahl:105)

Mereka semua telah mendustakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam bahwa para malaikat, Isa, dan Uzair akan masuk neraka.

Maka Allah swt menjawab perkataan mereka dengan firman-Nya:

إِنَّ الَّذِيْنَ سَبَقَتْ لَهُمُ ِّمنَّا الْحُسْنَى أُولئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُوْنَ

”Sesungguhnya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.” (Q.S. Al Anbiya’: 101)

Surat Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab lainnya:

Surat ini dikirim oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada as Suwaidi, seorang ulama di Iraq, sebagai jawaban dari surat as Suwaidi kepadanya.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam suratnya berkata: “Sungguh, menyebarkan kebohongan adalah hal yang memalukan bagi orang yang berakal apalagi mengadakan kebohongan. Adapun yang Anda katakan bahwasanya aku mengafirkan segenap manusia kecuali pengikutku sungguh mengherankan. Bagaimana hal ini bisa terpikirkan oleh orang yang berakal? Apakah pantas seorang muslim berkata demikian?

Adapun yang Anda katakan bahwa aku berkata, ’Andai aku mampu menghancurkan kubah Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, niscaya akan aku hancurkan. Juga tentang Kitab Dalailul Khairot, bahwa aku melarang untuk bersholawat kepada Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. Hal itu semua adalah dusta belaka dan seorang muslim tidak akan berkeyakinan adanya hal yang lebih mulia dari pada kitab Allah (al Qur’an). ”

Selengkapnya silahkan baca pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/

Lalu mereka bertanya,
Apakah penjelasan anda itu dapat disimpulkan bahwa Wahabi,Syiah dan Liberal itu sudah menyimpang dari ajaran Islam??
mohon tdk terprovokasi dgn pertanyaan saya...


Jawaban kami,

Kalau kaum Liberalisme kita sudah sepakat dengan apa yang telah difatwakan oleh MUI

Sedangkan untuk kaum Wahabi/Salafi dan kaum Syiah sejauh ini MUI belum ada keterangan atau bahkan fatwa bahwa mereka menyimpang dari ajaran Islam.

Namun yang kita perlu cermati adalah sikap ghuluw atau fanatik dengan pemahaman kaum sendiri sehingga beranggap bahwa hamba Allah lainnya yang tidak sesuai pemahaman dengan kaumnya adalah tidak pada jalan yang lurus atau jauh dari kebenaran.

Sayyid Muhammad Alwi alMaliki mengatakan:
"Perlu adanya kesadaran bahwa semua pintu di medan ini (medan pemikiran, aliran, pemahaman dan pendapat ) tidak bisa terlepas dari kritik, sanggahan, dan garis bawah (dari pihak lain).

Sebab, terjaga dari kesalahan (ishmah) hanya berlaku bagi Kitab Allah yang tidak bisa didatangi kebatilan dari depan maupun belakang, dan berlaku bagi Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam yang tidak berkata atas dasar keinginan, melainkan wahyu yang diwahyukan.

Dalam masalah ini, Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) telah menggariskan satu standar ideal dan ungkapan yang tepat yang bisa dijadikan ukuran keadilan. Beliau mengatakan, “Setiap dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. "

Selengkapnya silahkan baca pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/

Kalau hanya pengertian Syiah Ali hanyalah pengikut Imam Sayyidina Ali ra, maka kami pun Syiah Ali namun tidak dalam pengertian kaum Syiah dengan segenap ciri khasnya termasuk 12 Imam ataupun kepercayaan bahwa Sayyidina Abu Bakar ra dan Sayyidina Umar ra dan Sayyidina Ustman ra telah berkhianat kepada Rasulullah karena menyalahi ketetapan Rasululullah di Ghaidir khum.

Begitu pula jika pengertiaan Salafiyyah adalah menisbatkan pada Salafush Sholeh, maka kamipun Salafiyyah namun tidak dalam pegertian/pemahaman secara dzahir kaum Wahabi/Salafi atau sifat/karakter kaum Wahabi/Salafi yang mereka perlihatkan bahwa hanya manhaj. mereka yang benar.

Apakah pasti masuk neraka bagi muslim yang tidak kenal dengan 12 imam di kaum Syiah atau tidak kenal Syaikh Muhammad ibnu Abdul Wahab di kaum Wahabi/Salafi atau tidak kenal syaikh-syaikh di Wahabi/Salafi yang mengatakan hanya manhaj kami yang benar ?
Pertanyaan ini membuktikan bahwa memang ada pemahaman/ijtihad terhadap Al-Qur’an dan Hadits selain kaum mereka.

Contoh kaum muslim yang bermadzhab Syafi’i mereka tidak pernah mengklaim bahwa hanya mereka yang benar dan madzhab yang lain seperti madzhab Maliki adalah sesat karena kaum muslim pada umumnya menyadari bahwa memang ada perbedaan pemahaam/ijtihad namun ijtihad/pemahaman hanya dilakukan oleh Imam Mujtahid dengan berbagai syarat untuk menjadi Imam Mujtahid.

Hal inilah yang mendorong saya untuk menuliskan tulisan ini, dengan diawali bentuk pertanyaan, mengapa harus menjadi kaum Syiah atau mengapa harus menjadi kaum Wahabi/Salafi.

Realitanya kita diantara kaum muslim bersyahadat menjadi berbeda dalam beberapa kaum, terjadi perbedaan/perselisihan/perdebatan maka kita diminta untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits dimana di dalamnya ada petunjuk jadilah muslim sholeh, musim yang baik dan terbaik (ihsan), muhsin/muhsinin.

Oleh karenanya, bagi kami (admin blog) cara menguji sebuah pemahaman/ijtihad adalah memeriksa apakah benar akan menghantarkan kita menuju kepada tujuan yakni menjadi muslim yang terbaik (ihsan).

Muslim yang terbaik atau muslim yang ihsan atau muhsin/muhsinin adalah minimal mereka yang selalu yakin bahwa Allah ta'ala melihat perbuatan kita dan yang terbaik adalah mereka yang seolah-olah melihat Allah ta'ala.

…أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ …

“…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim)

Contoh, mereka yang mengaku beriman, menjalankan seluruh rukun Islam sampai dengan menunaikan ibadah haji namun mereka korupsi, memimpin dengan tidak adil dan perbuatan-perbuatan lain yang telah dilarang oleh Allah ta'ala, hal ini sesungguhnya terjadi karena mereka tidak mencapai tingkatan muslim yang Ihsan. Mereka seperti tidak yakin bahwa Allah ta'ala melihat segala perbuatan mereka atau dengan kata lain mereka sebagai hamba Allah yang berakhlak tidak baik terhadap Allah yang menciptakan mereka. Ihsan adalah bagaimana kita berakhlak baik terhadap Allah ta'ala dan berakhlak baik kepada ciptaan Allah ta'ala lainnya termasuk kepada sesama manusia. Inilah yang disebut akhlakul karimah atau juga disebut menuju muslim yang sholeh sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dan Salafush Sholeh.

“Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).

Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S Al-Ahzab : 21)

Wassalam

1 komentar:

  1. Mutiara Zuhud mengutip hadis :


    إِنِّى قَدْ خَلَفْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا مَا أَخَذْ تُمْ بِهِمَا أَوْ عَمِلْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ الله وَسُنَّتِى وَلَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَي الْحَوْضِ (رواه البيهقى في السنن

    “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh atau mengamalkan keduanya, yaitu al Qur’an dan Sunnahku. Keduanya tidak terpisahkan sampai mengantarkan aku ke al-haudl/telaga.”(H.R. al Baihaqy).


    Hadis Nabi SAW ini terdapat di dalam riwayat Al Baihaqi dalam Sunan Kubra juz 10 halaman 114.

    Hadis ini adalah hadis yang lemah.


    Mari kita lihat jalur periwayatannya


    Dari Abu Al Husain bin Bisyam Al Adl, dari Abu Ahmad Hamzah bin Muhammad bin Abbas, dari Abu Karim bin Haitsam, dari Abbas bin Haitsam, dari Shaleh bin Musa Ath Thalhi, dari Abdul Aziz bin Rafi, dari Abu Shaleh, dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : ......


    Riwayat dari Abu Hurairah ini memiliki banyak perawi yang lemah, salah satunya adalah Shalih bin Musa Ath Thalhi Al Kufi. Di bawah ini saya sebutkan komentar para ulama yang disebutkan oleh Ibnu Hajar, di dalam Kitab Tadzib At Tahdzib, juz 4 halaman 354, sebagai berikut :


    Ibnu Ma'in berkata : "Ia tidak berharga sedikitpun dan hadisnya tidak pantas ditulis"


    Hasyim bin Martsad menukil Ibnu Ma'in sebagai mengatakan : "Ia bukan seorang tsiqah"


    Ibnu Al Jauzajani berkata : "Ia orang yang lemah dalam periwayatan hadis".


    Ibnu Abi Hatim menukil ayahnya sebagai berkata : "Ia sangat lemah dalam periwayatan hadis, banyak meriwayatkan hadis - hadis munkar" dari orang - orang tsiqah. Ketika ditanya, apakah hadis riwayatnya boleh ( pantas ) ditulis, ia menjawab : "Hadis riwayatnya tidak kusukai"


    Imam Bukhari berkomentar : "Ia adalah orang yang banyak membawa hadis munkar dari Suhail bin Abi Shaleh"


    An Nasa'i berkata : "Ia orang yang lemah dan hadisnya tidak perlu ditulis"

    Dalam kesempatan lain ia berkata : "Hadis riwayatnya harus dibuang"


    At Turmudzi berkata : "Banyak tokoh ulama yang membicarakan kelemahan - kelemahannya"


    Abu Nu'aim berkata juga : "Hadisnya harus dibuang dan ia meriwayatkan hadis - hadis munkar.


    Masih banyak lagi komentar dari para tokoh Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang men'cacat' / memberatkan terhadap Shalih bin Musa Ath Thalhi Al Kufi

    BalasHapus