Senin, 28 Februari 2011

Tuhan di langit

Cobalah lihat beberapa situs mereka yang mengaku-aku berpemahaman sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh
http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/3351-di-manakah-allah-8.html
atau
http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/76-mengungkap-tipu-muslihat-abu-salafy-cs

Mereka adalah yang memahami Al-Qur'an dan Hadits dengan metodologi yang kami katakan memahami dengan konsep/metodologi "terjemahkan saja". Silahkan baca tulisan kami pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/

Dalih mereka menggunakan metodologi "terjemahkan saja" adalah
dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195).

Itu pulalah inti yang disampaikan oleh syaikh Al-Albani bahwa  semua orang haram hukumnya merujuk kepada ilmu fiqih dan pendapat para ulama. Setiap orang wajib langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan untuk memahaminya, tidak dibutuhkan ilmu dan metodologi apa pun. Keberadaan mazhab-mazhab itu dianggap oleh Al-Albani sebagai bid’ah yang harus dihancurkan, karena semata-mata buatan manusia. Selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/18/paham-anti-mazhab/

Mereka menyeru agar kita wajib langsung merujuk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang dapat dipahami tanpa metodologi apapun alias metodologi "terjemahkan saja".  Untuk itu setiap muslim wajib mengetahui bahasa Arab karena bagi mereka  dengan kemampuan bahasa Arab sudah cukup untuk memahami Al-Qur'an dan Hadits. Hindari taqlid atau mengikuti imam atau orang-orang sholeh dan bagi mereka,  setiap muslim wajib berupaya sendiri untuk memahami Al-Qur'an dan Hadits.

Oleh karenanya mereka berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat di langit dan Allah ta'ala mempunyai tangan, mata, kaki , dll namun tidak serupa dengan makhluk. "Al-Qur'an yang mengatakan seperti itu" kata mereka dan "kita harus berserah diri".

Tuhan di langit ?

Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan "langit" ?

Begitu juga dalam peristiwa mi'raj baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dikatakan melewati "langit dunia".  Apakah yang dimaksud dengan langit dunia ?

Sebagian saudara-saudara kita kaum mengaku-aku berpemahaman sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh, mereka  berkeyakinan Tuhan bertempat di atas langit atau di atas arasy karena mereka  memahami "langit" atau "langit dunia" sebagaimana langit bumi.

Sehingga kalau kita katakan Tuhan tidak di langit, langit sebagaimana yang mereka pahami  maka mereka bertanya apakah Tuhan di bumi ?

Kalau kita katakan Tuhan tidak pula di bumi dan Tuhan tidak bertempat  kemudian mereka bertanya apakah Tuhan ada dimana-mana ?

Kalau kita katakan Tuhan tidak ada di mana-mana dan Tuhan tidak berarah maka mereka bertanya lalu Tuhan ada di mana ?

Jawaban kami,  maha suci Allah Azza wa Jalla dari di mana dan bagaimana.

Allah Azza wa Jalla  ada atau wujud , tidak memerlukan tempat maupun arah.
Allah Azza wa Jalla  ada atau wujud , tidak memerlukan pembuktian.
Dia ada sebelum tempat, arah dan semua bukti itu ada.

"langit" adalah termasuk sesuatu yang ghaib yang tidak dapat diindera oleh panca indera kita seperti alat pembantu untuk melihat (mata), alat pembantu untuk mengecap (lidah), alat pembantu untuk membau (hidung), alat pembantu untuk mendengar (telinga), ataupun alat pembantu untuk merasakan (kulit/indera peraba).

Allah Azza wa Jalla mempunyai nama Az Zahir dan Al Batin.

Begitupula petunjukNya yakni Al-Qur'an, Rasulullah mengatakan bahwa al-Qur'an mempunyai sisi/dimensi/makna lahir dan sisi/dimensi/makna batin.

Jika makna zahir sama dengan makna batin maka disebut muhkamat, jika makna zahir berbeda dengan makna batin atau tidak sama sekali bisa dimakna maka disebut mutasyabihat.

Ayat-ayat muhkamat disebut juga umm al-kitab artinya pokok-pokok isi Al-Qur’an, karena ayat muhkamat tersebut yang menjadi acuan dan rujukan dalam memahamii ayat-ayat mutasyabihat.

Ayat mutasyabihat terbagi menjadi dua.
Pertama, ayat mutasyabihat yang pengertiannya hanya Allah ta’ala yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal ghaib misalnya ayat-ayat mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain atau seperti “Alif laam miim“. Dan kedua, ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhun fi al’ilm). Mereka memahami berdasarkan karunia dari Allah Azza wa Jalla berupa al-hikmah atau pemahaman yang dalam. Mereka adalah yang termasuk “ulil albab”. Siapa yang dimaksud dengan “ulil albab” silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/2010/05/07/ulil-albab/

Jika kita memaknai zahir ayat-ayat mutasyabihat maka itulah salah satu pangkal kekufuran.

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad menyatakan:
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat mutasyabihat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Allah di langit , Allah di atas arasy adalah sesuatu yang dapat diyakini dengan makna batin atau sesuatu yang diyakini namun tidak dapat diindera oleh panca indera kita.

Sesuatu yang tidak dapat diindera oleh panca indera kita maka pada hakikatnya tidak pula dapat didalami dengan akal karena akal bergantung dengan "masukan" dari panca indera.  Maka mereka mengatakan itu tidak ilmiah atau mistik atau ghaib bahkan sebagian mengatakan tahayul atau khurafat.

Kami sangat mengkhawatirkan sebagian keimanan saudara-saudara kami berlandaskan keilmiahan atau ke-masuk akal-an. Mereka kerap bertanya "mana bukti", "mana dalil", "mana contoh". Sehingga kalau mereka mendapatkan "bukti" yang baru dan bertolak belakang dengan apa yang mereka yakini selama ini maka keimanan merekapun goyah. Mereka tanpa disadari terpengaruhi akibat ghazwul fikri dari kaum berpaham materialisme yang berlandaskan ilmiah, bukti dan materi sehingga mereka menolak dimensi/sisi immateri atau ghaib atau batin.

Inilah yang kami khawatirkan ketika Syaikh Ibnu Baz berfatwa bahwa “seseorang yang berkeyakinan Rasulullah mengetahui hal ghaib maka ini adalah keyakinan kufur yang pelakunya dianggap sebagai orang kafir karena melakukan kekufuran yang besar”. Fatwa tersebut termuat salah satunya pada http://fatwaulama-online.blogspot.com/2008/03/hukum-orang-yang-meyakini-bahwa.html .

Fatwa tersebut secara tidak di sadari akan mengakibatkan umat Islam menolak sisi/dimensi immateri atau ghaib atau batin sebagaimana yang diketahui oleh Rasulullah.

Bagi pemahaman kami untuk mengenal Allah Azza wa Jalla (ma'rifatullah) kita tidak dapat lagi "memandangnya"  dari sisi materi/lahiriah/akal dan nafsu namun harus memandangnya pula dari sisi immateri/ghaib/batin atau memandangnya dengan hati atau hakikat keimanan.

Sebagaimana yang diriwayatkan berikut
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”

Kita memandang dari sisi/dimensi hakikat yang semua itu bisa kita dapatkan dalam tasawuf. Tasawuflah yang menguraikan tentang syariat, tarekat, hakikat dan ma'rifat yang tidak bisa ditemukan dalam ilmu fiqih, ushuluddin atau yang lainnya.

Dengan tasawuflah kita akan mencapai muslim tingkatan terbaik atau muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan.

Tasawuflah jalan orang-orang yang ihsan atau orang-orang yang baik atau orang-orang sholeh sebagaimana Salafush Sholeh.

Kita wajib mengikuti jalan orang-orang sholeh karena mereka pada jalan yang lurus dan mereka dikarunia ni'mat oleh Azza wa Jalla.

Landasan kami mengatakan seperti itu adalah:

Tunjukilah kami jalan yang lurus“, (QS Al Fatihah [1]: 6 )

(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. “(QS Al Fatihah [1]:7 )

Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An Nisaa [4]: 69 )

Orang-orang sholeh atau ulama-ulama Tasawuf mengatakan bahwa Mengenal Allah Azza wa Jalla (ma'rifatullah) hanya dapat melalui NamaNya, SifatNya dan PerbuatanNya

Oleh karenanya ketika ada yang bertanya Allah yang mana yang kami sembah maka kami menjawab dengan mengutarakan sifatNya

Kami menyembah Allah ta'ala yang Wujud (ada), Qidam (Terdahulu), Baqo’ (Kekal), Mukhollafatuhu lil hawaadits (Tidak Serupa dengan MakhlukNya), Qiyamuhu Binafsihi (Berdiri dengan sendirinya), Wahdaaniyah (Esa), Qudrat (Kuasa), Iroodah (Berkehendak), Ilmu (Mengetahui), Hayaat (Hidup), Sama’ (Mendengar), Bashor (Melihat), Kalam (Berkata-kata), Qoodirun (Yang Memiliki sifat Qudrat), Muriidun (Yang Memiliki Sifat Iroodah), ‘Aalimun (Yang Mempunyai Ilmu), Hayyun (yang Hidup), Samii’un (Yang Mendengar), Bashiirun (Yang Melihat), Mutakallimun (Yang Berkata-kata).

Kalau mau mengenal Allah ta'ala melalui perbuatanNya, contohnya dapat dipahami melalui tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/02/perbuatan-afal/

Sedangkan mengenal Allah ta'ala melalui namaNya telah banyak diuraikan oleh para ulama baik ulama syariat maupun ulama tasawuf.

Akhirnya kami sampaikan bahwa mengenal Allah ta'ala tidak dapat diyakini melalui "di mana" dan tidak layak ditanyakan "di mana" atau "bagaiamana" bagi  Allah Azza wa Jalla.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

5 komentar:

  1. mamo cemani gombong1 Maret 2011 pukul 05.23

    sepakat bang Zon .....sesuai dong dgn filosofi Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.

    BalasHapus
  2. Sebaiknya tidak berkata begitu. Mereka tetaplah saudara muslim kita, sama-sama telah bersyahdat, kita hanya berbeda pemahaman saja.

    Perbedaan pemahamaan (ikhtilaf) adalah kehendak Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla memberikan karunia pemahaman kepada siapa yang dikehendakiNya sebagaimana firmanNya yang artinya,

    Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]: 269)

    BalasHapus
  3. MZ berkata:
    Begitupula petunjukNya yakni Al -Qur ’ an, Rasulullah mengatakan bahwa al -Qur ’ an mempunyai sisi/ dimensi/makna lahir dan sisi/dimensi /makna batin .
    minta tolong,ni hadist riwayat siapa bang MZ ?dan derajatnya ya..sukron.

    BalasHapus
  4. mamo cemani gombong2 Maret 2011 pukul 00.58

    terimakasih pencerahanya bang Zon ........

    BalasHapus