Senin, 27 September 2010

Gigitlah Sunnah

Kesalahpahaman tentang Sunnah Nabi saw dan Perkara Sunnah

Kesalahpahaman-kesalahpahaman telah kami uraikan dan tulisan sebelumnya adalah kesalahpahaman yang mengakibatkan malapetaka dalam dunia Islam atau perihal yang dipermasalahkan sampai saat ini yakni kesalahpahaman tentang bid’ah.

Kesempatan kali ini kami menguraikan kesalahpahaman yang termasuk inti/pokok yakni kesalahpahaman/kerancuan mengenai “sunnah Nabi saw” dan “perkara sunnah”.

Sesungguhnya yang dimaksud “Sunnah Nabi saw” adalah hadits Nabi saw atau as sunnah.

Hadits (bahasa Arab: الحديث ) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad saw. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.

Perkara sunnah adalah perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah yakni perbuatan/ibadah yang dikerjakan/ditaati mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.

Sunnah Nabi saw atau Hadits Nabi saw meliputi perkara syariat (ibadah mahdah atau ibadah ketaatan) dan perkara sunnah (ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan atau amal kebaikan//sholeh )

Pembagian perbuatan/ibadah dalam dua kategori yakni ibadah mahdah dan ghairu mahdah untuk tujuan pengajaran, berlandaskan firman Allah swt dan hadits.

Kami mengkajinya dari Hadits Nabi saw

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

dan firman Allah swt

….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab." (QS Al Mu’min [40]:40 )

dan

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124

Orang dalam keadaan beriman atau orang yang beriman adalah orang dalam ketaatan atau orang yang melaksanakan ibadah mahdah (ibadah ketaatan), orang yang memenuhi syarat sebagai orang beriman atau mukmin.

Orang mengerjakan amal yang shaleh atau amal-amal shaleh adalah orang yang mengerjakan kebaikan atau orang melaksanakan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), orang yang sholeh atau muslim sholeh atau muhsin atau muhsinin atau muslim yang ihsan atau muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah swt atau minimal muslim yang yakin bahwa Allah swt melihat segala perbuatan/perilakunya.

Perbuatan/ibadah seorang muslim ada dua kategori yakni
1. Perbuatan yang Allah swt telah tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman. Kategori ini disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan atau perkara syariat atau “urusan kami” meliputi perkara wajib/fardhu , perkara haram (baik larangan dan pengharaman).

2. Perbuatan yang Allah swt telah diamkan/bolehkan termasuk disini adalah perkara mubah, perkara sunnah (mandub), perkara makruh, kategori ini disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan atau amal kebaikan/sholeh.
Sebagian ulama mendangkalkan/mempersempit kategori ini hanyalah sebagai perkara muamalah.

Contoh sholat wajib termasuk kategori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim, atau hukumnya wajib artinya perbuatan/ibadah yang jika ditinggalkan akan berdosa.

Contoh sholat tarawih (sholat malam di bulan Ramadhan) termasuk kategori ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), amal kebaikan/sholeh merupakan sebuah perbuatan/ibadah hukumnya sunnah artinya perbuatan/ibadah yang jika dikerjakan berpahala jika ditinggalkan tidak berdosa. Level sunnahnya adalah sunnah ghairu muakad (sunnah umum bukan sunnah yang diutamakan atau sunnah muakad).

Rasulullah saw sangat mengkhawatirkan jika sholat tarawih menjadi kewajiban (hukumnya wajib) kalau beliau melaksanakan rutin setiap waktu dan cara/syariat tertentu.

Rasulullah saw menegakkan syariat/hukum sebagaimana yang Allah swt tetapkan dan sholawat tarawih tidak termasuk yang Allah swt tetapkan (ibadah mahdah) mengiringi kewajiban puasa di bulan Ramadhan namun termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt diamkan.

Rasulullah saw pun tidak mengubah hukumnya menjadi sunnah muakad dengan cara tidak menetapkan jumlah ra'kaat atau cara yang sering beliau lakukan.

Hakikatnya menegakkan syariat Islam adalah menegakkan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah swt.

Sebagian muslim salah paham dengan maksud "menegakkan sunnah Nabi saw", yang dimaksud sebenarnya adalah menegakkan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah swt.

Mereka salahpaham/kerancuan apa yang dimaksud "sunnah nabi saw" dengan "perkara sunnah".  Dengan kata lain mereka salah paham antara Sunnah dalam arti hadits Nabi saw dengan Sunnah dalam arti anjuran Nabi saw.

Sunnah dalam arti hadits nabi  yakni perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad Saw, meliputi perkara syariat / wajib  (ibadah mahdah/ibadah ketaatan) maupun perkara sunnah (ibadah ghairu mahdah/ibadah kebaikan).

Sunnah dalam arti anjuran Nabi  adalah perkara sunnah yang dianjurkan/dicontohkan Nabi.

Sehingga akhirnya merekapun salah paham dengan yang dimaksud "Ikutilah / Gigitlah sunnah nabi saw" seolah-olah maknanya kita wajib mengikuti apapun yang dicontohkan oleh Nabi saw.

Padahal makna sebenarnya dari "Gigitlah sunnah nabi saw" adalah tetaplah atau tegakkanlah hukum sesuai yang disampaikan sunnah Nabi / hadits Nabi.

Jadi mengikuti contoh Rasulullah saw itu tidak seluruhnya hukumnya wajib namun sesuai hukum perbuatan/ibadah itu sendiri.

Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang sholat wajib maka hukumnya adalah wajib karena yang dicontohkan adalah perkara/hukum yang wajib

Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang sholat tarawih (sholat malam di bulan Ramadhan) maka hukumnya adalah sunnah karena yang dicontohkan adalah perkara/hukum yang sunnah.

Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang bersholawat maka hukumnya adalah sunnah karena yang dicontohkan adalah perkara/hukum yang sunnah.

Sesungguhnya mendudukan perkara/hukum dalam Islamlah yang dimaksud penegakan syariat Islam. Jadi peneggakan syariat/hukum Islam berlaku atau kewajiban bagi semua muslim tanpa alasan walaupun sistem pemerintahan sebuah negara belum berlandaskan syariat Islam. Apa-apa yang telah ditetapkan/disyariatkan/disyaratkan oleh Allah swt baik berupa kewajiban (perkara/hukum wajib) yang wajib dilaksanakan mapun berupa larangan dan pengharaman (perkara/hukum haram) yang wajib dihindari.

Pengadilan agama di negeri kita dengan wewenang terbatas sebaiknya diperluas untuk perkara syariat Islam baik perkara yang wajib dilaksanakan dan perkara yang wajib dihindari. Sedangkan perkara/perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan atau amal kebaikan/sholeh diserahkan pengerjaan dan ketaatan bagi setiap muslim sesuai kesadaran, keinginan dan kebutuhan masing-masing.

Dalam tulisan diatas dapat kita pahami bahwa Rasulullah saw khawatir apabila perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah berubah/dianggap hukumnya wajib bagi ummat muslim karena Nabi Muhammad saw hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan.

Firman Allah swt yang artinya

Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan". (QS Al Ahqaaf [46]:9 )

Namun kita lihat sekarang sebagian ulama menetapkan/menganggap hukumnya wajib bagi perbuatan/ibadah yang  hukumnya sunnah atau mereka menganggap hukumnya haram/terlarang atau menilai sesat bagi perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah,  inilah yang dinamakan melampaui batas (ghuluw) dan Allah swt tidak menyukai orang yang melampaui batas (ghuluw).

Perhatikanlah firman Allah yang artinya, “Wahai ahli Kitab, janganlah kalian bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian....” (Q.S. an Nisa’: 171)

Nabi Muhammad ShollAllahu Alaihi Wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ

Waspadailah oleh kalian tindakan ghuluw dalam beragama sebab sungguh ghuluw dalam beragama telah menghancurkan orang sebelum kalian.”

Ada satu poin penting yang perlu dicamkan dari hadits ini, yaitu fenomena di mana tak ada satu umat pun (yang pernah ada) yang sepi dari kelompok–kelompok yang bertindak ghuluw (al Mughooliin)”.

"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."  (QS Hud [11]: 112 )



"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui" (QS  Jaatsiyah [45]:18 )

Hakikatnya dikatakan amal shaleh / Kebaikan jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan menjauhi seluruh yang boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai (makruh)

Hakikatnya dikatakan orang beriman jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang wajib dan menghindari seluruh yang dilarang dan yang diharamkan.

Jika seorang muslim menjalankan dan mentaati kedua-duanya sampai akhir hidupnya maka dia dijanjikan Allah swt untuk masuk surga tanpa hisab sebagaimana firmanNya yang artinya

“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )

dan

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124

Sebagai contoh, biasanya kami sampaikan kepada yang merokok bukan bahayanya merokok namun sampaikan apakah mau masuk surga tanpa dihisab. Intinya kami dalam penyampaian membiasakan untuk tidak menakuti-nakuti namun menumbuhkan kesadaran mengingat Allah swt dengan menyampaikan kenikmatan yang akan didapat sesuai janji Allah swt dan Allah swt pasti menepati janjinya. Innallâha lâ yukhliful mî`âd (sesungguhnya Allah Swt. tidak mengingkari janji-Nya) (QS Ali Imran [3]:9 )

"(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka" (QS Al Fatihah [1]:7)

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka". (QS At Taubah [9]:111 )

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

***************

Catatan No: 1

Berikut cara kami memahami kategori ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah.

Hukum perbuatan/ibadah yang telah ditetapkan/disyariatkan/disyaratkan oleh Allah swt adalah perbuatan/ibadah hukumnya wajib dijalankan dan wajib dihindari. Kelompok perbuatan ini adalah ibadah mahdah (ibadah ketaatan).
Hukumnya wajib dijalani adalah perbuatan/ibadah yang hukumnya wajib artinya jika ditinggalkan maka akan berdosa atau mendapat siksa, jika dikerjakan menunjukkan ketaatan atau mendapatkan pahala.
Hukumnya wajib dihindari adalah perbuatan yang hukumnya haram baik yang dilarang maupun yang diharamkan artinya jika dikerjakan atau dilanggar akan berdosa atau mendapat siksa, jika ditinggalkan/dijauhi menunjukkan ketaatan atau mendapatkan pahala

Selain yang telah ditetapkan oleh Allah swt baik yang wajib dijalani dan wajib dihindari adalah perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan sebagai bentuk kecintaan Allah swt kepada hambaNya meliputi perkara boleh yakni boleh-dianjurkan (sunnah/mandub), boleh-boleh (mubah), boleh-tidak disukai (makruh). Kelompok perbuatan ini adalah ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan).

Dikatakan sebagai perbuatan/ibadah yang merupakan amal kebaikan/amal sholeh jika menjalankan perkara boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan sebaiknya menghindari perkara boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai (makruh).

Tahapannya adalah

1. Menjadi Muslim, mengucapkan syahadat,  sholat, puasa, zakat dan haji (rukun Islam)
2. Menjadi Mukmin, menjalankan perbuatan/ibadah yang wajib dijalankan dan wajib dihindari serta meyakini seluruh rukun iman (QS Lukman [31]:4)
3. Menjadi Muhsin (muhsinin), menjalankan perbuatan/ibadah yang boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan berupaya menjauhi perbuatan boleh-boleh (mubah) , boleh-tidak disukai (makruh) (QS Lukman [31]:3)

Muhsin artinya baik, sempurna atau muslim yang terbaik atau muslim yang sholeh , muslim yang selalu didoakan oleh seluruh kaum muslim

Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.

Tahapan tersebut kami pahami dari firman Allah swt yang artinya
(QS Lukman [31]:1-7)
[31:1] Alif Laam Miim
[31:2] Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmah (pemahaman yang dalam).
[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
[31:6] Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
[31:7] Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.

Beberapa firman Allah swt lainnya yang menjelaskan adanya ibadah khusus/Ibadah Mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah umum/ibadah ghairu mahdah/amal sholeh/amal kebaikan
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al Baqarah [2]:277 )
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Baqarah [2]:110 )

dan Janji Allah swt bagi muslim yang menyadari dan menjalankan ibadah mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaiakan) akan masuk surga tanpa hisab

….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )

dan

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa" [4]:124

Dikatakan sebagai Orang beriman (mukmin) adalah bagi muslim yang menjalankan segala ibadah yang wajib dijalankan (hukumnya wajib) dan menjauhi yang wajib dihindari/ditinggalkan (hukumnya haram, baik yang dilarang atau diharamkan)

Dikatakan sebagai Orang yang mengerjakan Amal Shaleh/Kebaikan adalah bagi muslim yang menjalankan ibadah boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan sebaiknya menjauhi ibadah boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai(makruh).

Mukmin = Muslim yang menjalankan Ibadah Mahdah (ibadah ketaatan)

Muhsin/Muhsinin = Mukmin yang menjalalankan Ibadah Ghairu Mahdah (ibadah kebaikan)

*********************************

Catatan No. 2:


Alih-alih kaum Wahabi atau Salaf(i) menggigit sunnah Nabi saw , namun kenyataannya bisa jadi malah mereka menjauhi sunnah Nabi saw

Kaum Wahabi atau Salaf(i) telah melampaui batas (ghuluw) jika yang mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atau jika mereka mencegah/melarang/mengharamkan hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.

Intinya mereka menetapkan perkara/hukum wajib padahal sesungguhnya sunnah/mandub atau menetapkan perkara/hukum terlarang/haram padahal sesungguhnya sunnah/mandub.

Mari kita perhatikan sekali lagi bagian dari makalah Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani tentang ghuluw atau ekstreem atau berlebih-lebihan pada Dialog Nasional kedua di Makkah al Mukarromah
Ekstremisme (Sikap ghuluw) Nashrani tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya, tetapi menjalar pada keyakinan bahwa para pastur dan pendeta berhak menentukan suatu hukum selain (ketentuan hukum) dari Allah. Lebih jauh lagi, mereka bahkan menyatakan kesanggupan secara total untuk patuh kepada pastur dan pendeta dalam segala hal yang bertentangan dengan syariat dan hukum Allah. Ini semua terdorong oleh ulah para pastur dan pendeta yang menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal atas mereka serta menetapkan hukum dan syariat yang sesuai dengan selera dan hawa nafsu sehingga mereka sangat antusias menerima dan menaatinya.

Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah: 31)

Dalam aspek kehidupan dunia, kaum Nashrani juga memiliki banyak sikap yang termasuk dalam kategori tindakan ghuluw yang di antaranya seperti dijelaskan oleh firman Allah:

…وَرَهْبَانِيَّةَ نِابْتَـدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا …“

…. Dan mereka mengada–adakan rohbaaniyyah. Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada–adakannya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya ….“ (Q.S. al Hadid: 27)

Sungguh bibit tindakan ghuluw dari sebagian orang pernah tampak pada masa Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, tetapi segera dicegah dan dibabat sampai ke akarnya meski bibit itu tidak dalam lapangan Aqidah, melainkan dalam medan ibadah.

Dalam masalah ini, Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam benar–benar meneliti dan melakukan pengawasan ketat serta memberikan pengarahan menuju arah yang benar. Hal itu seperti diceritakan oleh Anas ra bahwa ada tiga orang datang ke rumah–rumah isteri Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam guna meminta informasi tentang ibadah beliau.

Setelah mendapat penjelasan, mereka sepertinya menganggap ibadah Nabi SAW terbilang sedikit. Karena itulah, mereka saling berkata, “Di mana kita (dibandingkan) dengan Nabi SAW yang telah diampuni segala yang telah berlalu dan yang akan berlaku.” Seorang kemudian berkata, “Adapun aku, maka sungguh aku akan terus sholat semalam suntuk selamanya!” Yang lain juga berkata, “Aku akan terus berpuasa selamanya dan tak akan berbuka!” Sementara itu, orang ketiga berkata, “Aku menjauh dari wanita dan tak akan pernah menikah selamanya!” Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam datang lalu bersabda yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.

Pengarahan yang diberikan oleh Rasulullah SAW ini kiranya sama sekali tidak menyisakan alasan apa pun bagi mujtahid untuk berijtihad guna menetapkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat, melarang hal yang tidak dilarang oleh syariat atau memfatwakan suatu produk hukum sesuai dengan selera dan pendapatnya.

Hadits tersebut bukan berarti melarang secara mutlak untuk berijtihad dalam beribadah sebab berijtihad dalam ibadah (seperti dimaklumi) merupakan tuntutan syariat selama berada dalam koridor syariat seperti dijelaskan oleh Allah:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْـنَا لَنَهْدِيَنَّـهُمْ سُبُـلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar–benar beserta orang–orang yang berbuat baik.“ (Q.S. al Ankabuut: 69)

Allah juga berfirman, “Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian serta surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang disiapkan bagi orang–orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imron: 133)

“Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang banyak dan sucikanlah Dia di waktu pagi dan sore hari.” (Q.S. al Ahzaab: 41– 42).

Sungguh hadits tersebut hanya mengajak dan mendorong pada keseimbangan (Muwaazanah) dalam segala tuntutan dan kewajiban. Hal ini (sebagai langkah antisipatif atas) tindakan ekstrem (ghuluw) yang mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.

Ini adalah tindakan ghuluw yang sebenarnya. Karena itulah sikap dan sisi pandang (ittijaah) yang diambil dan dianut oleh para sahabat (yang disebut dalam hadits riwayat Anas ra di atas) tidak diakui dan segera ditangani oleh Nabi SAW dengan memberi penjelasan langsung bahwa sikap dan sisi pandang demikian merupakan bentuk ghuluw.

Selanjutnya Nabi SAW memberikan bimbingan bahwa esensi takut dan takwa kepada Allah bukanlah dengan bersikap ekstrem, terlalu, atau teledor, melainkan dengan sikap yang seimbang terhadap aneka ragam tuntutan (mathoolib).

Atas dasar ini, (bisa dimengerti bahwa tabir) perbedaan antara giat (ijtihad) dalam ibadah dan ghuluw sangat tipis.Sungguh sangat disayangkan, ketika sebagian dari para pelaku kebaikan yang getol memperjuangkan kebaikan justru melakukan kekeliruan dalam menggunakan dan menerapkan istilah ini (ghuluw) atas diri mereka dan orang–orang selain mereka.

Hal itu akan berakibat pada terjadinya keburukan yang luas serta pintu–pintu fitnah besar yang terbuka lebar dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dalam bukunya (Iqoomatul Hujjah alaa Annal Iktsaar fil Ibaadah Laisa bi Bid’ah), Syekh Abul Hasanaat Abdul Hayyi al Lacknawi menjelaskan perbedaan dalam topik penting ini dengan tuntas.

Bahkan, termasuk tindakan yang jelas–jelas bagian dari sikap ekstrem adalah klaim sebagai pelaku bid’ah yang ditumpahkan atas sebagian ulama ahli suluk dan tarbiyah yang memfokuskan diri dalam beribadah.

(Sekali lagi ) saya mengatakan, “Hal ini adalah bagian dari sikap ekstrem!! Laa Haula walaa Quwwata illa Billaah al Aliyyil Azhiim”

Inti dari sebagian makalah Abuya ini adalah adanya kecenderungan sebagian ulama (tanpa mereka sadari) bersikap ghuluw/ekstrem/berlebihan/melampaui batas.

Mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah/melarang hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.  Maknanya mereka mengubah hukum perbuatan yang semula sunnah/mandub menjadi wajib atau hukum perbuatan yang semula sunnah/mandub menjadi haram/dilarang

Contoh  ada ulama yang mengharamkan peringatan maulid Nabi saw.

Kalau ada ulama yang mengharamkan/melarang tata cara mengisi peringatan maulid Nabi saw masih dibenarkan karena  dapat kita temukan dalil/hujjah dalam Al-Qur'an dan Hadits, seperti tata cara peringatan Maulid dengan pesta foya-foya dll.

Contoh lain,  keliru jika ada ulama yang melarang/mengharamkan matan/isi sholawat Nabi berdasarkan ungkapan kecintaan pribadi karena sesungguhnya sholawat itu hukum dasarnya/awalnya adalah boleh sehingga perkara baru/bid'ah dalam hal ini sejauh tidak melanggar larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits adalah perkara baik, hasanah atau mahmudah.

Hal yang perlu diinggat bahwa perkara baru (bid'ah) dalam perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan / bolehkan asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits merupakan perkara baik walaupun perbuatan tersebut tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw, Salafush Sholeh maupun ulama salaf.

Oleh karenanya ada ulama berpendapat bahwa hadits dhoif dapat digunakan sebagai landasan amal (ibadah ghairu mahdah ) asalkan matan/isi hadits tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits lainnya.

Namun hadits dhoif dilarang untuk landasan hukum perbuatan, baik hukumnya wajib maupun hukumnya haram

Berikut pemetaan hukum perbuatan/ibadah.

Ibadah mahdah (ibadah ketaatan), ibadah wajib yakni

  • wajib dilakukan (perbuatan/ibadah yang hukumnya wajib)

  • wajib dihindari (perbuatan/ibadah yang hukumnya haram, berupa yang dilarang dan diharamkan)


Ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), ibadah boleh yakni

  • sebaiknya dilakukan (perbuatan/ibadah yang hukumnya boleh-dianjurkan / sunnah / mandub)

  • sebaiknya dihindari (perbuatan/ibadah yang hukumnya boleh-boleh / mubah dan boleh-tidak disukai / makruh)


Pemetaan perbuatan/ibadah ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman terhadap segala perbuatan yang akan kita lakukan.

Dengan tumbuhnya kesadaran sebelum melakukan perbuatan inilah yang merupakan bagian akhlakul karimah atau kesadaran mengingat Allah swt.
Sebagaimana yang telah saya sampaikan bahwa akhlakul karimah adalah kesadaran atau perbuatan/perilaku secara sadar dan mengingat Allah swt.

Dengan pemetaan perbuatan/ibadah ini kita dapat menghindari dari paham sekularisme yang membolehkan perbuatan memperturutkan kepada hawa nafsu atau menghamba kepada hawa nafsu.

Ingat selalu pepatah orang tua kita dahulu, "Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna"

Setiap tindakan atau perbuatan itu hendaknya dipikirkan dahulu baik-baik (mengingat Allah, merujuk kepada petunjukNya) sebelum dikerjakan agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari atau di akhirat kelak.

*******

13 komentar:

  1. Bismillah...

    Menurut saya tidak ada salah paham apalagi jika membaca apa definisi anda tentang sunnah.

    Kita memahami bahwasanya sunnah menurut ulama ushul fiqih ataupun ulama ahli hadits adalah apa-apa yang datang dari Nabi shallallahu'alaihi wa sallam baik itu berupa ucapan, perbuatan, takrir persetujuan, maupun sifat atau karakter beliau shallallahu'alaihi wa sallam. Kemudian anda mengistilahkan definisi ini dengan sunnah Nabi.

    Kemudian, sunnah di kalangan ulama fikih adalah sebuah perkara yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Anda mengistilahkannya dengan perkara sunnah.

    Apakah karena perbedaan istilah antara anda dengan para ulama kemudian dikatakan bahwa di sana ada salah paham tentang sunnah...?

    Selanjutnya, anda menerangkan bahwa ibadah mahdah itu ibadah ketaatan yang berkisar pada perkara melakukan yang wajib atau meninggalkan yang haram. Sedangkan ibadah ghairu mahdah atau amal shalih berkisar pada amalan sunnah, mubah, atau meninggalkan yang mubah atau makruh. Kalau boleh tahu kaidah seperti ini dari mana datangnya, kesimpulan anda sendiri terhadap dalil yang anda datangkan ataukah ada kalangan ulama yang mendahului anda dalam menetapkan kaidah ini...?

    BalasHapus
  2. "Orang dalam keadaan beriman atau orang yang beriman adalah orang dalam ketaatan atau orang yang melaksanakan ibadah mahdah (ibadah ketaatan), orang yang memenuhi syarat sebagai orang beriman atau mukmin.
    Orang mengerjakan amal yang shaleh atau amal-amal shaleh adalah orang yang mengerjakan kebaikan atau orang melaksanakan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), orang yang sholeh atau muslim sholeh atau muhsin atau muhsinin atau muslim yang ihsan atau muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah swt atau minimal muslim yang yakin bahwa Allah swt melihat segala perbuatan/perilakunya."

    Kemudian dari mana anda menyimpulkan kaidah seperti ini, adakah ulama yang mendahului anda dengan kaidah seperti ini...?

    Mengapa keadaan beriman hanya dihubungan dengan perkara mahdhah saja, mengapa tidak dengan ghairu mahdhah juga, bukankah ini menyempitkan perkara yang luas.

    Sekarang bagaimana pendapat anda dengan ibadah menyingkirkan gangguan dari jalan, bukankah ia ibadah yang sifatnya ghairu mahdhah...? Tidakkah kita ingat bahwa Nabi bersabda : “Iman itu enam puluh sekian cabang. Cabang yg paling tingginya adalah ucapan “Laa ilaaha illallah” dan cabang yg paling rendahnya yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah sebagian dari cabang keimanan.”
    Perhatikan bagaimana amalan ghairu mahdhah ini juga bagian dari keimanan, bertolak belakang dengan kaidah yang anda bawakan.

    Atau, hadits yang juga masyhur bahwa beliau shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya"
    Menurut anda, memuliakan tamu ibadah mahdhah atau ghairu mahdhah? Ghairu mahdhah bukan..?! Dalam keadaan demikian ternyata Nabi shallallahu'alaihi wa sallam menghubungkannya dengan keimanan. Bertolak belakang dengan kaidah yang anda sampaikan.

    Pun kita paham bahwa shalat ialah ibadah mahdhah, baik itu shalat wajib maupun shalat sunnah, semuanya jelas tuntunan syarat rukunnya. Tapi mengapa kemudian anda membedakan kalau yang wajib itu mahdhah dan shalat yang sunnah itu ghairu mahdhah...?

    Atau, apa yang anda pahami dari perkara yang Allah diamkan...? Sampai-sampai anda menyebutkan shalat tarawih adalah perkara yang tidak Allah tetapkan tapi perkara yang Ia diamkan... la haula wa la quwwata illa billah...

    Bukankah sangat jelas bahwa tarawih ini telah Allah tetapkan, baik itu dalam Al Qur'an maupun melalui sunnah nabi-Nya shallallahu'alaihi wa sallam. Apa kemudian karena ibadah ini hukumnya sunnah anda mengatakan bahwa Allah mendiamkannya...? Tolong dijelaskan akhi, saya rasa banyak yang bingung membaca tulisan anda.

    Wabillahittaufiq..

    BalasHapus
  3. Saya tidak mengatakan bahwa ibadah ghairu mahdah atau amal kebaikan/sholeh bukanlah bagian dari keimanan seperti menyingkirkan gangguan dari jalan, memuliakan tamu.

    Ibadah Ghairu Mahdah adalah bagian dari keimanan namun bukan hal yang disyaratkan/disyariatkan sebagai orang mukmin

    Ibadah Ghairu Mahdah adalah ibadah bersifat umum atau ibadah tambahan diluar syarat/syariat , sedangkan ibadah mahdah adalah ibadah bersifat khusus sebagai syarat/syariat sebagai orang mukmin yakni melakukan perbuatan/ibadah yang wajib dijalankan dan yang wajib dihindari (perkara/hukum yang haram, baik yang dilarang dan diharamkan).

    Ibadah Ghairu Mahdah merupakan bentuk kecintaan Allah swt kepada hambaNya dengan memberikan kesempatan berbuat kebaikan/pahala melengkapi yang disyaratkan/disyariatkan yakni perbuatan yang wajib dijalankan dan wajib dihindari.

    Tidak seorangpun diperbolehkan menetapkan perbuatan/ibadah yang wajib dijalankan dan yang wajib dihindari oleh hambaNya, kecuali pada hakikatnya mereka merujuk/berlandaskan dalil/hujjah dari Al-Qur'an dan Hadits seperti fatwa ulama atau ijma ulama

    Beberapa firman Allah swt lainnya yang menjelaskan adanya ibadah khusus/Ibadah Mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah umum/ibadah ghairu mahdah/amal sholeh/amal kebaikan
    "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS Al Baqarah [2]:277 )
    "Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan." (QS Al Baqarah [2]:110 )

    Wassalammualaikum Wr Wb.

    BalasHapus
  4. Ibadah Ghairu Mahdah adalah ibadah bersifat umum atau ibadah tambahan diluar syarat/syariat , sedangkan ibadah mahdah adalah ibadah bersifat khusus sebagai syarat/syariat sebagai orang mukmin yakni melakukan perbuatan/ibadah yang wajib dijalankan dan yang wajib dihindari (perkara/hukum yang haram, baik yang dilarang dan diharamkan).

    Ibadah Ghairu Mahdah merupakan bentuk kecintaan Allah swt kepada hambaNya dengan memberikan kesempatan berbuat kebaikan/pahala melengkapi yang disyaratkan/disyariatkan yakni perbuatan yang wajib dijalankan dan wajib dihindari.

    Tidak seorangpun diperbolehkan menetapkan perbuatan/ibadah yang wajib dijalankan dan yang wajib dihindari oleh hambaNya, kecuali pada hakikatnya mereka merujuk/berlandaskan dalil/hujjah dari Al-Qur’an dan Hadits seperti fatwa ulama atau ijma ulama

    Beberapa firman Allah swt lainnya yang menjelaskan adanya ibadah khusus/Ibadah Mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah umum/ibadah ghairu mahdah/amal sholeh/amal kebaikan
    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al Baqarah [2]:277 )
    “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Baqarah [2]:110 )

    Tahapannya adalah

    1. Menjadi Muslim, mengucapkan syahadat.
    2. Menjadi Mukmin, menjalankan perbuatan/ibadah yang wajib dijalankan dan wajib dihindari serta meyakini seluruh rukun iman (QS Lukman [31]:4)
    3. Menjadi Muhsin (muhsinin), menjalankan perbuatan/ibadah yang boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan berupaya menjauhi perbuatan boleh-boleh (mubah) , boleh-tidak disukai (makruh) (QS Lukman [31]:3)

    Muhsin artinya baik, sempurna atau muslim yang terbaik atau muslim yang sholeh , muslim yang selalu didoakan oleh seluruh kaum muslim

    Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
    “Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.

    Tahapan tersebut kami pahami dari firman Allah swt yang artinya
    (QS Lukman [31]:1-7)
    [31:1] Alif Laam Miim
    [31:2] Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmah (pemahaman yang dalam).
    [31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
    [31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
    [31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
    [31:6] Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
    [31:7] Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.

    Wassalammualaikum Wr Wb.

    BalasHapus
  5. Satu lagi mas Zon, kenapa anda berani mengatakan mengikuti Nabi itu tidak seluruhnya wajib, bukankah Allah telah menjadikan Nabi itu sebagai suri teladan yang baik bagi kita...? Dan bukankah ia telah berfirman:
    "Maka hendaknya berhati-hati orang-orang yang menyelisihi perintah Nabi, akan menimpa kepada mereka fitnah atau menimpa kepada mereka adzab yang pedih"

    Maka kalau dikatakan apa hukumnya mengikuti Nabi, maka tentu wajib hukumnya.

    Kemudian jika dibawa kepada satu per satu masalah syariat, maka kita pun wajib mengikuti petunjuk Nabi. Jika Nabi mengatakan shalat 5 waktu hukumnya wajib, maka kita wajib mengikuti Nabi dengan mengatakan shalat 5 waktu hukumnya wajib.

    Jika Nabi menghukumi shalat tarawih sebagai sunnah, maka kita wajib mengikuti Nabi dengan mengatakan shalat tarawih itu sunnah.

    Dari mana hal yang demikian dikatakan salah paham...? Bukankah anda sendiri yang salah paham dengan menyangka pendapat wajibnya mengikuti sunnah Nabi berarti menganggap apa-apa yang Nabi hukumi sebagai perkara sunnah juga kami hukumi sebagai perkara wajib...? Siapa coba yang salah paham jika engaku adalah orang-orang yang jujur.

    Kami mengatakan shalat 5 waktu itu wajib dan shalat tarawih itu sunnah. Apa sebabnya...? Karena kita wajib mengikuti petunjuk Nabi yang menghukumi shalat 5 waktu itu sebagai wajib dan shalat tarawih itu sunnah...

    Bukan malah menghukumi sesuatu yang Nabi sunnahkan menjadi suatu kewajiban sebagaimana kesalahpahaman anda terhadap pendapat yang benar yang menyatakan wajibnya mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam...


    Wabillahittaufiq
    Walhamdulillahirabbil 'alamin...

    BalasHapus
  6. Akhi Abu Salman, yang menjadi kerancuan atau kesalahpahaman adalah wajib mengikuti sunnah Nabi saw dan wajib mengikuti sunnah (anjuran/mandub) Nabi saw.

    Kalau yang dimaksud wajib mengikuti sunnah Nabi saw adalah hadits Nabi saw atau perkataan atau perbuatan Rasulullah saw kita sudah paham karena sebenar-benarnya perkataan adalah firman Allah swt dan perkataan Rasulullah saw. Dalam hal ini yang dimaksud mengikuti sunnah Nabi saw/ hadits Nabi saw adalah menerima dan meyakini kebenaran perkataan/perbuatan Nabi saw.

    Namun menjadi rancu jika dikatakan hukum/perkara wajib untuk mengikuti anjuran/sunnah/mandub yang dicontoh Rasulullah saw.

    Seperti berdoa, ibadah termasuk ghairu mahdah, perkara/hukum boleh-dianjurkan atau sunnah/mandub, dianjurkan berdoa seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw namun bukan perkara/hukumnya wajib untuk mengikuti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw karena hukum dasarnya/asalnya adalah boleh yakni boleh-dianjurkan, jadi kita boleh berdoa menurut kesadaran, kebutuhan dan keinginanan kita sendiri asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits.

    Seperti bersholawat, ibadah termasuk ghairu mahdah, perkara/hukum boleh-dianjurkan atau sunnah/mandub, dianjurkan bersholawat seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw seperti sholawat Ibrahimiyah namun bukan perkara/hukumnya wajib untuk mengikuti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw karena hukum dasarnya/asalnya adalah boleh yakni boleh-dianjurkan, jadi kita boleh bersholawat atau mengungkapkan rasa hormat dan pujian kepada Rasulullah saw menurut kesadaran, kebutuhan dan keinginan kita sendiri asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Contoh sholawat yang cukup terkenal dalam bahasa kita sendiri, "Sholawat dan salam kita haturkan pada Junjungan kita yang mulia Nabi Muhammad Saw"

    dll

    Kami hanya ingin meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman demi menegakkan syariat Islam atau menengakkan hukum perbuatan/ibadah berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt dan telah disampaikan/dijelaskan oleh Rasulullah saw.

    Hukum perbuatan/ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt adalah perbuatan/ibadah hukumnya wajib dijalankan dan wajib dihindari. Kelompok perbuatan ini adalah ibadah mahdah (ibadah ketaatan).
    Hukumnya wajib dijalani adalah perbuatan/ibadah yang hukumnya wajib artinya jika ditinggalkan maka akan berdosa atau mendapat siksa, jika dikerjakan menunjukkan ketaatan atau mendapatkan pahala.
    Hukumnya wajib dihindari adalah perbuatan yang hukumnya haram baik yang dilarang maupun yang diharamkan artinya jika dikerjakan atau dilanggar akan berdosa atau mendapat siksa, jika ditinggalkan/dijauhi menunjukkan ketaatan atau mendapatkan pahala

    Selain yang telah ditetapkan oleh Allah swt baik yang wajib dijalani dan wajib dihindari adalah perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan sebagai bentuk kecintaan Allah swt kepada hambaNya meliputi perkara boleh yakni boleh-dianjurkan (sunnah/mandub), boleh-boleh (mubah), boleh-tidak disukai (makruh). Kelompok perbuatan ini adalah ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan). Dikatakan sebagai perbuatan/ibadah yang merupakan amal kebaikan/amal sholeh jika menjalankan perkara boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan sebaiknya menghindari perkara boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai (makruh).

    Wassalammualaikum wr. wb

    BalasHapus
  7. Baik... sekarang shalat tarawih, yakinkah anda dengan pernyataan anda bahwa ini adalah perkara yang Allah diamkan atau tidak Allah tetapkan...?

    Bukankah ini adalah perkara yang ada anjurannya dari Allah dan Rasul-Nya...?

    BalasHapus
  8. Perkara yang Allah diamkan atau bolehkan meliputi boleh-dianjurkan (sunnah/mandub), boleh-boleh (mubah), boleh-tidak disukai (makruh). Dikatakan sebagai berbuat amal kebaikan/amal sholeh jika mengerjakan ibadah yang hukumnya boleh-dianjurkan dan sebaiknya menghindari perbuatan yang hukumnya boleh-boleh maupun boleh-tidak disukai.
    Perkara yang Allah swt diamkan adalah bentuk kecintaanNya kepada hamba Allah swt memberikan kesempatan bagi hambaNya berbuat kebaikan melengkapi perbuatan/ibadah yang telah diwajibkan (ibadah mahdah/ibadah ketaatan) baik yang wajib dikerjakan (yang hukumnya wajib) dan yang wajib dihindari (yang hukumnya haram, baik larangan atau yang diharamkan).

    Shloawat tarawih bukanlah perkara wajib namun perkara sunnah/mandub artinya boleh dikerjakan dan mendapatkan kebaiakan/pahala, boleh ditinggalkan tidak berdosa.

    BalasHapus
  9. wih mas mutiara zuhud pintere rek ( pintar sekali ) dalam mengemukakan sebuah argumen, kok kayaknya pernah
    mendalami filsafat atau minimal punya pengetahuan eksak
    ya bos !

    salut x 1000

    BalasHapus
  10. Kami sekedar berpegang teguh pada Al-Qur'an dan hadits.
    Kalau masalah filsafat saya ndak paham dan ndak suka, bikin pusing dan dahi berkerut.
    Kalau masalah eksak, 1 0 1 0 1 0 saya agak menyukai , sebagaimana saya memahami haq dan bathil, benar dan salah dan kami yakin bahwa kebenaran adalah bersumber dari Allah swt.

    BalasHapus
  11. Ass wr wb

    Definisi Sunnah adalah jika dijalankan berpahala dan ditinggalkan tidak berdosa (kalau pahala dan dosa itu hak Allah nggak usah terlalu mencampurinya) dan sebaiknya mulai digeser menjadi Jalankanlah Sunnah sekuat kemampuan karena sunnah adalah aplikasi pengamalan Al-Quran secara nyata pada diri rosul untuk menjadi contoh bagi umatnya. Coba perhatikan sholat itu di Alquran hanya perintah dirikanlah sholat dan detilnya adalah sunnah dan sunnah sebenarnya juga dari Allah, rosul dibimbing lewat malaikat Jibril, Kalau defisinya kaya yang lama orang pada menyepelekan amalan utama seperti sholat malam, shalat dhuha dan amalan utama lainnya.

    Semoga Allah memberikan kepahaman atas agama yang hak, Kalau Quran dan Haditsnya sudah jelas jangan diputer-puter cari alasan lain nanti malah kebakaran nggak mau menjalankan hanya suka muter-muter/ senengnya ndebat terus. Kurangi bicara, perbanyak senyum, banyak dzikir, nangis tengah malam.

    Wass wr wb

    BalasHapus
  12. assalamualaikum wr wb..

    pak mustiara zuhud,subhanallah pak, izin follow pak ya...,

    BalasHapus
  13. Walaikumsalam Wr. Wb

    Silahkan disebarluaskan dengan menyampaikan sumber tulisannya, agar jika timbul pertanyaan, dapat menyampaikan kepada kami secara langsung.

    BalasHapus