Selasa, 23 Juni 2009

Pemikiran JK Bag 1 - Tentang Konflik

Alhamdulillah saya diberikan oleh kawan 2 buah buku kumpulan pidato tanpa teks pa' JK seputar tahun 2007 yang direkam kemudian ditranskripsikan.

Buku ke 1, Mengurai benang kusut
Buku ke 2, Krisis membuahkan kemajuan.

Saya ambilkan salah contoh dibawah ini, pemikiran beliau tentang konflik.

Selamat menikmati

Wassalam

========================================================
Memecahkan Konflik (Buku ke 1, hal 447)

Kenapa tidak bisa berdamai atau selalu konflik?
Banyak sebabnya, bukan hanya satu sebab. Ada karena masalah ekonomi, ketidakadilan atau memang suatu kesengajaan. Baru saja kita mendengar bahwa perang Irak terjadi karena minyak, atau perang di Afghanistan karena gas bumi. Konflik sering terjadi juga karena ketidakadilan. Ada pula karena ideologi politik, seperti di negara-negara Timur Tengah.

Karena itu, saya ingin membagi dulu konflik menjadi dua: antarnegara dan intranegara. Kekuasaan, kenapa terbagi dua? Pertama dan kedua adalah karena kekuasaan, ketiga karena agama. Ini sudah terjadi sejak dahulu kala. Ada perang Salib, ada perang Sabit. Hal seperti inilah yang sulit diatasi, dan itu adalah sejarah manusia. Konflik dan perang sudah ada sepanjang sejarah manusia, bukan hal yang yang baru. Zaman nabi pun banyak konflik, banyak perang, dan sampai sekarang masih berlangsung. Perang pun mempunyai tahapan. Zaman dulu sudah meminta banyak korban manusia, sekarang lebih banyak lagi yang dikorbankan. Manusia menjadi korban, ekonomi dan teknologi hancur. Tidak mudah menyelesaikannya karena tiap orang mempunyai ambisi yang berbeda-beda.

Macam Konflik
Konflik intranegara juga bermacam-macam dan dapat kita kelompokan menjadi tiga macam konflik yang membuat masyarakat terpecah-pecah..
Pertama, konflik yang timbul karena ada pemberontakan melawan negara. Setidak-tidaknya perang melawan negara di Indonesia terjadi 11 kali. Sejak kemerdekaan terus terjadi pemberontakan, mulai dari pemberontakan PKI, RMS, PRRI, DI/TII tiga kali di Jawa Barat, Sulawesi, Aceh, Permesta, sampai Papua dan GAM. Konflik adalah ancaman terhadap negara.

Kedua, terjadi juga antarmasyarakat yang timbul karena SARA. Poso, Ambon, Kalimantan, antara suku yang satu dan yang lain, dan juga konflik kecil lokal antarmasyarakat.

Ketiga, konflik melawan apa saja, itulah yang kita sebut terror. Meletakan bom, lalu kena siapa saja yang berada di dekatnya.
Jadi, ada tiga jenis konflik nasional yang ada di negara kita.

Konflik melawan negara juga sebabnya bermacam-macam; ada karena masalah ideologi. Kali pertama adalah RMS, lalu komunis yang ingin negara berpaham komunis. Idaeologi atau politik seperti RMS di Maluku, OPM di Papua, dan juga di Timor Timur. Kemudian yang dasarnya karena ketidakadilan ekonomi yang akhirnya berkembang menjadi macam-macam, tetapi dasarnya adalah karena merasa di perlakukan tidak adil, seperti PRRI,Permesta, yang merasa punya kemampuan tetapi menghadapi pilih kasih. Awalnya GAM pada dasarnya juga akibat ketidakadilan ekonomi. DI/TII dasarnya agama karena mereka ingin membangun negara Islam. Jadi, ada berbagai macam latar belakang terjadinya konflik. Karena itu, marilah kita selesaikan sebab-sebab itu. Kalau sebabnya agama, kita selesaikan dengan cara agama.

Dari 11 koflik  melawan negara delapan di pecahkan dengan perang dan selesai. Artinya, negara menang. Mulai dari PKI, RMS, DI/TII, PRRI, Permesta. Dua di selesaikan negara dengan damai. Dua-duanya di Aceh. DI/TII damai, DI/TII yang lain, pimpinanya meningal, Kartosuwiryo meningal. Aceh di selesaikan dengan damai, GAM damai. Jadi justru di Aceh, penyelesaiannya damai terjadi. Sekeras-kerasnya hati orang Aceh, ternyata ada jalan damai. Justru di lain tempat tidak seperti itu. Konflik di timor timur kita kalah, kalahya secara politik, bukan kalah perang. Itulah peta koflik negara kita.

Jadi, kita menyelesaikan semua tersebut dengan melihat sebab-sebab konfliknya. Karena itu, ideologi yang di benarkan adalah ideologi pancasila yang ada di hati semua orang, ada keterbukaan. Kalau dirasakan ada ketidak adilan. Cara yang dianggp terbaik adalah dengan otonomi, yakni otonomi khusus.

Ketidakadilan ekonomi adalah pemicu terjadinya pemberontakan PRRI, Permesta. Di Papua dan Aceh juga karena ketidak adilan ekonomi. Menyadari hal itu, satnya kita memberikan otonomi pembangunan yang lebih besar kepada daerah. DI/TII dengan keterbukaan agama yang moderat.

Penyelesaian konflik bisa dilakukan dengan dua cara, seperti yang dikatakan tadi, yakni dengan perang dan dialog atau perundingan. Jika pilihannya perang, hanya satu ujungnya: siapa yang kalah atau menang. Namun, dalam sejarah negara tidak pernah kalah. Masalahya, perang memakan waktu lama, banyak korban, dan ongkosnya besar. Jika pilihannya dialog atau perundingan, hasil akhirya kompromi, harus kompromi. Kita selama ini memakai dua hal ini, menggabungkan keduanya. Perang sambil berunding. Itu terjadi, dimanapun bisa terjadi.

Itulah satu karakteristik dalam mengelola kemampuan negara. Sekarang kita megatakan “oh ini yang menjadi pemicu kemaran rakyat ,” maka pilihannya adalah kita menghilangkan pemicunya, menghilangkan sebabnya. Kita menata kembali pemerintahan agar lebih terbuka, lebih demokratis, kita menata ekonomi yang lebih adil kepada semua orang. Pembangunan yang merakyat, hasil otonomi yang lebih baik, dengan begiu tidak akan ada lagi orang yang marah. Sebab itu, kita harus mecari penyebabnya, apapun, bagaimanapun, dan dimanapun persoalan itu.

Ada juga konflik antar masyarakat akibat SARA. Di beberapa wiayah negara ini terjadi konflik horizontal yag pemicunya adalh SARA, yaitu di Poso antara pemeluk Islam dan pemeluk Kristen, di Sambas antara orang suku dayak dan Madura. Orang Madura yang muslim melawan oleh suku Dayak yang Kristen, dibantu oleh orang Melayu dan Bugis perantauan yang Muslim. Di kota-kota lain seperti Surabaya dan Makassar juga terjadi konflik, tetapi hanya berlagsung singkat, tidak seperti yang terjadi di Poso dan Ambon yang berlang sung lama sekali.

Ketakadilan
Agama tidak pernah mengajarkan orang berkonflik. Konflik-konflik antar pemeluk agama itu dasarnya bukan agama, hanya saja disangkutkan ke persoalan agama. Awalnya tentu ada sebab yang sudah lama di rasakan tetapi kemudian dipicu oleh hal lain seperti perkelahian pemuda. Penyebab yang sebenarnya adalah karena ketidakadilan yang dirasakan dan karena ada suasana demokratis maka orang berani menyuarakan pendapatnya. Di Poso sebabnya adalah orang berkelahi karena mabuk, tetapi sebenarnya kalau di teliti lebih cermat bukan itu sebabnya. Itu hanya alasan yang di cari-cari dan letusan pemicu.

Di Ambon memang ada perkelahian orang Bugis dan orang Ambon. Tetapi sebabnya bukan karena alasan kesukuan, melainkan karena ketidakadilan dalam posisi politik. Semua konflik ini adalah akibat demokrasi yang tiba-tiba dirasakan dan ingin selalu di terapkan. Pada survey tentang demokrasi yang teratur; bukan yang teratur tetapi diatur. Kalau gubernurnya beragama Islam, biasanya sekretarisnya Kristen. Di Poso bupatinya beragama Islam, wakilnya Kristen, atau kebalikannya, hidup harmonis. Tiba- tiba diajarkan demokrasi Barat pada pemilu 1998 yang mengatakan ”The winner takes it all”. Demokrasi yang kita jalankan dengan tiba-tiba itu menjadi tidak terkendali sehingga yang terjadi adalah mayoritas itulah yang berkuasa, memonopoli kekuasan, yang penduduknya banyak itulah yang memegang kendali. Yang terjadi di Ambon adalah pada waktu itu penduduknya penduduk Islam lebih besar karena pendatang. Demikian juga penduduk muslim Maluku lebih banyak disbanding Kristen, apalagi masih bergabung dengan Maluku Utara. Saya kira perbandingannya 60-40, maka otomatis anggota DPR lebih banyak yang Islam. Maka gubernur-wakil gubernur, sekwilda yang dipilih semuanya beragama Islam. The winner takes it all. maka timbullah perasaan terpinggirkan, maka tiba-tiba muncullah konflik perasaan yang luar biasa. Lalu tiba-tiba ada orang berkelahi seolah akibat SARA, tetapi pada dasarnya bukan itu sebabnya.

Demokrasi liberal yang tiba-tiba diterapkan yang menyebabkan semua itu terjadi, disamping tentunya akibat dari keadaan ekonomi sebelumnya, eknomi monopoli. Demokrasi terpimpin yang menyebabkan ekonomi termonopoli. Kemudian, tiba-tiba ada kebebasan politik yang luar biasa, tanpa arah, yang memicu konflik besar, dan akhirnya disangkutkan ke agama. Yang tadinya bukan agama di buat menjadi konflik keagamaan. Ketika dibuat menjadi konflik agama maka konflik itu menjadi berbahaya.

Kenapa konflik keagamaan berbahaya? Dalam dua tahun korban di Maluku sekitar 5.000, di Poso sekitar 2.000 dalam waktu 2 sampai 3 tahun, di Aceh yang begitu kerasnya perlu 30 tahun perang dan korban yang dicatat 15.000, jadi pertahunya 500 jiwa melayang. Tetapi di Ambon yang wilayahnya kecil, satu tahun makan korban 2.000 karena di sana sambil tersenyum orang membunuh, membakar rumah, membakar gereja, membakar masjid.

Paham seperti itu membuat masing-masing kelompok merasa yang paling benar. Ketika masjid atau gereja mereka di bakar orang maka dengan gampang mereka membalasnya dengan membunuh kelompok lain. Akibatnya, bunuh-membunuh tak ada habisnya. Itulah sebabnya konflik ini sulit berakhir. Mereka memainkan surga dan neraka  maka kita juga seperti itu.

Dengan dasar pemikiran tersebut, prinsip dasar perundingan Poso hanya di kerjakan dalam 15 hari. Saya mengatakan dengan sangat keras soal surga dan neraka. Di Ambon pun sama akhirnya kita selesaikan konflik Ambon dalam waktu 17 hari di Malino.

Sedangkan konflik di Kalimantan terjadi karena perilaku orang Madura yang pekerja keras. Karena pekerja keras tentu mereka mendapat lebih banyak, tetapi sayangnya, sedikit “kurang peduli dengan lingkungan yang lain”, akibatnya timbulah konflik. Orang Dayak merasa ini daerah saya, kenapa hutan di habiskan orang lain? Lalu timbul pemikiran bahwa tidak boleh lagi membiarkan orang lain membabat hutan mereka. Hal itu akhirnya di selesaikan dengan tidak boleh membabat hutan.

Jadi, semua masalah harus di cari penyebabnya, akan persoalannya.
Kemudian tentu ketidakdamaian yang lebih dahsyat adalah terror. Terror itu paling murah. Kenapa paling murah? Terror Bom di Bali ongkosnya kira-kira hanya Rp 50 juta, tetapi korbannya triliunan. Dengan satu Bom saja di ledakan, habislah ekonomi Bali. Selama tiga tahun, tidak ada turis, begitu juga ekonomi Yogya, yang berkaitan dengan itu, belum lagi korban jiwa. Bom di Jakarta membuat orang asing takut datang. Ongkosnya paling murah, korbannya paling besar, itulah terror.

Kalau perang atau konflik, masih besar ongkosnya. Harus beli senjata, harus ada pasukan. Kalau terror, hanya dengan 2 atau 3 orang memasang Bom, lalu mereka berlari, kemudian meledak. Beritanya sampai ke seluruh dunia. Hanya dengan begitu saja, ekonomi kita hancur. Oleh karena itu, kita harus memahami ideologi dan sejalan dengan itu mengurangi angka kemiskinan.

Konflik melawan negara, konflik antar masyarakat, dan terror, al hamdulillah dalam dua tahun terakhir ini dapat kita redakan, kita mengupayakan perdamaian. Kita bersyukur dapat memahami masalah yang sebenarnya. Namun, keadaan seperti ini harus kita jaga dan menjaganya adalah dengan mengupayakan negara yang rakyatnya sejahtera. Kalu negara sejahtera,  saya kira tidak akan ada yang berbuat macam-macam lagi.

Kita juga harus mencapai keadilan secara politik dan ekonomi. Kalau kita bisa mewujudkan sebuah negara yang sejahtera, maka aka nada keadilan politik dan ekonomi, insya Allah. Agama tentu harus kuat, maka pemahaman dan ibadah kita juga kuat. Denga dukungan pendidikan yang baik, maka kita akan mencapai negara yang makmur.

Negara yang makmur otomatis polisinya baik, hukumnya baik, semua akn lebih terjaga. Hal seperti ini terjadi di Amerika, tidak terjadi diAustralia, tidak terjadi di Singapur, tidak terjadi di Malaysia, karena negaranya makmur, adil. Jadi, semua ada sebabnya. Kalau bicara upaya perdamaian, maka tentu perlu mencari sebab-sebab terjadinya konflik sehngga mengerti bahw hal-hal seperti itulah yang harus kita hindari.

1 komentar: