Senin, 02 November 2009

KPK vs Polri dan Kasus Century

KPK vs Polri dan Kasus Bank Century

Kasus KPK vs Polri, menurut pendapat dan analisa saya berdasarkan pemberitaan yang terkumpul dibawah ini,  sesungguhnya  berawal dari permintaan KPK pada Juli 2009 kepada BPK untuk mengaudit terhadap pengucuran dana kepada Bank Century !

Kita harus mewaspadai kemungkinan ada pihak yang ingin "menggagalkan" upaya selanjutnya dari KPK untuk mengungkap kasus Bank Century.

Pihak itu terlihat (ada kemungkinan) mengupayakan dengan "mencarikan" kasus yang melibatkan pimpinan KPK dan menjadikan tersangka sehingga dapat diberhentikan sementara dan selanjutnya meningkatkan menjadi status "terdakwa" sehingga dapat diberhentikan secara tetap.

Jusuf Kalla, menyatakan baru mendapat laporan pada 25 November. Laporan tidak mungkin dilakukan pada 22 November karena saat itu hari Sabtu. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dan Gubernur (Bank Indonesia), Boediono, melaporkan situasi Bank Century. "Saya langsung mengatakan masalah Century bukan masalah karena krisis tapi itu perampokan, kriminal karena pengendali bank ini merampok dana bank century dengan segala cara termasuk obligasi bodong yang dibawa ke luar negeri," ujarnya.

Dia pun menyarankan Robert Tantular (pemilik   Bank Century) ditangkap. Sehingga, persoalan itu bisa diselesaikan melalui jalur hukum. Kalla meminta Boediono melaporkan kasus itu ke polisi.

"Saya bilang, Pak, penyelesaiannya yang harus ini orang (Robert Tantular) ditangkap dulu karena kriminal dan perampokan. Tapi jawaban BI (Bank Indonesia), ini tidak ada dasar hukumnya," tuturnya.

Ketua Umum Partai Golkar itu mengaku terpaksa langsung menginstruksikan kepala kepolisian Republik Indonesia untuk menangkap Robert Tantular dan sejumlah direksi yang bertanggung jawab dalam waktu dua jam. Dia khawatir Robert Tantular dan direksi-direksi Bank Century melarikan diri bila tak ditangkap dalam waktu dua jam.

"Harus (ditangkap dalam dua jam) dan syukur polri pas dua jam ambil itu. Karena jam tujuh malam dia laporkan itu, jam empat (sore) Saya perintah. Jam tujuh (malam) Pak Kapolri bilang, sudah Pak, tangkap lima orang," katanya.

sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/08/31/brk,20090831-195376,id.html

Wakil Presiden pada waktu itu, Jusuf Kalla menilai penerbitan  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK harus disertai kesungguhan Polri untuk menyelesaikan penyidikan kasus hukum dua pimpinan KPK, yakni WakilKetua KPK Bibit Samad Riyanto, dan Ketua KPK Chandra M Hamzah. “Perppu harus tetap jalan, tapi Polri juga harus mempercepat penyidikan.  Kalau Pak Bibit dan Pak Chandra tidak bersalah, kan otomatis aktif kembali,” katanya di Kantor Wakil Presiden Jumat (25/9).

Jika pada akhirnya Bibit dan Chandra dinyatakan tidak bersalah, maka tentu mereka berdua bersama dua pimpinan KPK lainnya yang bukan "penetapan" presiden akan dapat melanjutkan penyelidikan kasus Bank Century , penyedot uang negara 6.7 Trilyun, kasus terbesar sejak era reformasi !

Ratio kekuatan pimpinan KPK,  4 pimpinan lama dan 1 plt ketua KPK  penetapan presiden untuk memutuskan kasus Bank Century tentu kita harapkan akan lebih adil.

Saya pribadi sampai saat ini masih mengkhawatirkan ratio kekuatan pimpinan KPK saat ini yakni, 2  pimpinan lama dan 3 plt pimpinan KPK berdasarkan penetapan presiden, karena masih adanya kemungkinan "kepentingan"  pemerintah.

Pemerintah mengeluarkan Perppu tentang perubahan UU KPK pada 21 September 2009, Bersamaan dengan  Keppres pemberhentian sementara Chandra dan Bibit dari jabatan pimpinan KPK. Perppu itu memberi kewenangan kepada Presiden Yudhoyono guna menunjuk langsung pelaksana tugas (plt) sementara pimpinan KPK apabila terjadi kekosongan pimpinan kurang dari tiga orang.

Alhamdulillah,  keppres tentang pemberhentian tetap dua pimpinan KPK, belum dapat dilkeluarkan berdasarkan putusan sela MK.

Sampai saat ini saya belum melihat korelasi antara "kegentingan" yang dirasakan pemerintah pada saat mengeluarkan Perppu dan "unjuk kerja" KPK saat ini setelah penetapan plt, terlebih kelanjutan pengungkapan kasus Bank Century yang masih menunggu BPK yang belum juga "disegerakan".

Bukankah ini juga sebuah "kegentingan" yang bisa dirasakan rakyat tentang pertanggung jawaban pemerintah menggunakan uang negara sampai Rp. 6,7 Trilyun?

Mengapakah kepolisian lebih menyibukkan dengan dugaan penyalahgunaan wewenang pimpinan KPK ?

Seberapa besarkah unjuk kerja kepolisian sampai saat ini dalam hal penegakan hukum khususnya kasus korupsi ?

Bukankah para koruptor berkeliaran di luar negeri tanpa dapat disentuh oleh kepolisian ?

Kenapakah koruptor kakap cenderung dapat dengan mudah melarikan diri ke luar negeri ?

Kita harus sadari bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Negara, Bab II, Pasal 8, ayat 1.

Jadi prestasi Presiden dalam pemberantasan korupsi sesungguhnya harus dilihat dari prestasi Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal penegakan hukum pemberantasan korupsi, bukannya pengakuan presiden terhadap prestasi kerja KPK.

Apakah ini termasuk pembohongan publik yang tanpa kita sadari ?

Wassalam

Zon Jonggol

Beberapa pemberitaan yang terkumpul dibawah ini berikut sumber berita

Kasus Bank Century merupakan skandal terbesar sejak reformasi. Apabila kasus Bank Bali merugikan uang negara di bawah Rp 1 triliun, kasus Bank Century menyedot uang negara sampai Rp 6,7 triliun.

Calon presiden di Konvensi Dewan Integritas Bangsa, Yuddy Chrisnandi, mengingatkan hal itu saat ditemui di kediamannya di Jakarta, Jumat (30/10). ”Ini jelas sebuah kejahatan pemerintah,” kata Yuddy.

Sebuah bank kecil, tetapi diberikan fasilitas mendapatkan dana penyehatan Rp 6,7 triliun, menurut  Yuddy, jelas menunjukkan kejanggalan. Apalagi pemberian dana yang sangat besar itu pun dilakukan tanpa melalui sepengetahuan publik, yaitu melalui lembaga Dewan Perwakilan Rakyat.

Uang negara yang merupakan jerih payah seluruh rakyat tidak bisa serta-merta diserahkan pemerintah dengan cara seperti itu. Pemerintah berarti telah mengingkari adanya otoritas rakyat dan seolah-olah tidak ada rakyat.

Sejauh ini pemerintah tidak menunjukkan adanya itikad yang kuat untuk mengusut siapa saja yang terlibat dalam kasus ini, bahkan cenderung menutup-nutupi.

”Ini sebuah skandal terbesar di era reformasi,” ujar Yuddy yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009.
Sumber :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/31/03153618/skandal.terbesar.sejak.reformasi

Beberapa bagian dari testimoni Antasari Azhar.
Suatu ketika saya mendapat informasi dari seseporang, bahwa demi menjaga nama baik saya, dia ingin menyampaikan info bahwa kasus Masaro telah "diselesaikan" oleh oknum KPK dengan PT Masaro.

Selanjutnya pemberi info sanggup memberi kesempatan jika saya ingin mendapat testimoni dari Masaro

Karena pemilik PT Masaro, sdr Anggoro berada di Singapura, maka saya yang mendatangi untuk mendapatkan kepastian dengan dibekali alat perekam (tape recorder).

Karena rincian penyerahan dana ke oknum KPK, sdr Anggoro tidak dapat menjelaskan (ybs menyuruh sdr Toni & Ari), ketika berada di Malang, saya bertemu langsung dengan sdr Ari, di hotel Tugu, dan ybs merinci penyerahan dana (tidak terekam)

Sdr Ari menyatakan bahwa penyerahan dilakukan di Jakarta, beberapa kali dan berbeda tempat kepada pimpinan KPK (2 orang) dan staff sesuai dengan keterangan Anggoro.

Belakangan pemberi info menyampaikan bahwa ada penyerahan tahap-2 kepada salah satu pimpinan.
Demikian testimoni saya dan saya siap bersaksi seperti apa yg tertulis di dlm testimoni ini,
Jakarta , 16 Mei 09
Antasari Azhar.

Dugaan suap kepada oknum KPK yang tersanggah.
Bonaran Situmeang, pengacara Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo,  mengatakan dugaan suap kepada oknum di KPK berawal dari tawaran Ary Muladi dan Eddy Sumarsono yang mengaku sebagai orang suruhan KPK.

"Ary dan Eddy Sumarsono menawarkan bahwa persoalan Masaro dapat diselesaikan dengan memberikan `atensi` kepada pimpinan dan pejabat-pejabat KPK," kata Bonaran.

Bonaran menjelaskan, Anggoro merasa terpaksa menuruti tawaran kedua orang tersebut. Pada akhirnya, Anggoro Widjojo memberikan Rp5,15 miliar kepada kedua orang yang mengaku bisa `mengurus` kasus  tersebut.

Menurut Bonaran, Anggoro memberikan uang itu dengan maksud KPK akan menghentikan pengusutan kasus Masaro dan mencabut status pencegahan Anggoro untuk ke luar negeri.

"Pada tanggal 9 Juni 2009, Ary melaporkan kepada Anggoro dan mengirimkan surat pencabutan pencekalan dari KPK," kata Bonaran.

KPK membantah keras. Sekjen KPK Bambang Sapto Pratomosunu menegaskan, nama Eddy Sumarsono dan Ary Muladi tidak tercantum dalam daftar nama pegawai KPK.

KPK membeberkan sejumlah bukti bahwa surat pencabutan pencegahan itu palsu. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian, Departemen Hukum dan HAM, R. Muchdor yang menegaskan, status pencegahan Anggoro masih berlaku dan belum pernah dicabut.

Dalam surat pencabutan pencegahan palsu bernomor R-45/22/V/I/2009 tertanggal 5 Juni 2009 itu tertera nama dan tandatangan Wakil Ketua KPK, Chandra M. Hamzah.

Chandra membantah mendandatangani surat pencabutan pencegahan Anggoro. "Tanpa pemeriksaan ahlipun, bisa dilihat perbedaan tandatangannya," kata Chandra sambil membandingkan format surat palsu itu dan surat asli format KPK.

"Secara resmi kami sampaikan surat itu palsu," kata Chandra.

KPK telah mengirim surat ke Polri tentang temuan tersebut. Chandra meminta polisi menindaklanjuti surat KPK tersebut

Penangguhan penahanan Ary Muladi
Ary Muladi tersangka kasus dugaan pemerasan dan penggelapan uang milik Direktur PT Masaro, Anggoro Widjojo telah ditangguhkan penahanannya. Namun pihak kepolisian memastikan kasusnya tetap berjalan.

"Bukan berarti perkara ini berhenti, tidak. Ini jalan terus," kata Kapolri Jenderal Pol Bambang

Hendarso Danuri (BHD), usai menghadiri perayaan HUT Bhayangkari ke 57 di Wisma Bhayangkari, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin (19/10/2009).

Ary telah keluar dari tahanan sejak Jumat 16 Oktober. "Kejaksaan sampai H-4 masih berikan petunjuk P19 sehingga tentunya harus kita tangguhkan daripada dia bebas demi hukum," ujar BHD.

Menurut BHD kepolisian dalam memberikan penangguhan penahan terhadap Ary mengacu kepada UU no 8 tahun 1981 tentang pelimpahan berkas perkara kepada Kejaksaan.

Sumber:
http://www.detiknews.com/read/2009/10/19/165550/1224353/10/kapolri-perkara-ary-muladi-jalan-terus

Menurut sumber JPNN, kasus Ari Muladi tersebut sebenarnya sudah selesai. Aliran uang sebenarnya hanya berhenti di Ari Muladi saja. Buktinya, Ari disangka melanggar pasal penggelapan dalam KUH Pidana. “Aliran uang itu sebenarnya hanya ditangan Ari. Saya tidak tahu melalui siapa uang dari Ari sampai ke tangan pimpinan KPK,” jelasnya.

Sumber itu juga menyebutkan bahwa pimpinan KPK juga telah diperiksa dalam kasus itu. Polisi juga telah mengecek handphone beberapa pejabat KPK. Apakah mereka berada di tempat saat penyerahan uang tersebut. “Ternyata mereka tidak ada di tempat saat penyerahan uang itu,” jelasnya. Ari mengaku bahwa uang diserahkan kepada seorang berinisial ER. Dia mengaku bahwa ER seorang pegawai di KPK.

Kenyataannya, setelah ditunjukkan foto ER, Ari mengakui tak mengenal yang bersangkutan. Saat Idul Fitri lalu Bibit Samad Riyanto juga mengaku tak mengetahui ihwal penyerahan uang itu.

Polisi menyebut penyerahan dilakukan di Bellagio Residence tanggal 13 Agustus. “Namun saat itu, saya justru berada di Peru mengikuti konferensi antikorupsi,” jelasnya. Soal ini, Bibit juga telah menyerahkan bukti paspor kepada penyidik. Namun, skenario penyidikan berubah. Disebutkan Bibit tak menerima langsung uang itu namun melalui orang lain, yakni seorang pejabat KPK. “Nanti kalau skenario itu dipatahkan lagi, dicari lagi kesalahannya,” jelasnya.

Sementara itu tim pembela hukum KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan bahwa banyak distorsi dalam penyidikan polisi tersebut. “Polisi tidak pernah menyebutkan siapa yang menyerahkan uang ke Chandra (Chandra M Hamzah). Mengapa tahu-tahu disebutkan ada uang ke dia,” jelas Bambang.

Selain itu, kata Bambang, Kapolri menyebutkan bahwa Chandra meneken surat cekal karena belum menerima uang dari Anggoro. “Ini bukan hanya distorsi tapi manipulasi. Sebab dalam penyidikan apa yang dilakukan Chandra terkait penyalahgunaan kewenangan,” ujarnya.

Bambang menambahkan merujuk pernyataan Kapolri bahwa Antasari sudah pernah diperiksa dalam kasus ini. “Dalam kasus itu Antasari menjadi saksi mahkota, padahal dia menjadi tersangka. Apakah polisi tidak menelaah ada motif  lain dalam kasus itu,” ucapnya.

Ringkasnya, mengapa polisi gampang sekali percaya kepada orang yang bermasalah.

Dalam penyidikan pimpinan KPK, tidak pernah ada pertanyaan soal penyuapan. Bambang khawatir bahwa telah terjadi rekayasa dalam penyidikan itu.

Sedangkan dalam pencabutan cekal Djoko Tjandra, menurut pengakuan Bibit, aliran dana itu tidak terkait dengan Artalyta Suryani. “Tidak ada kaitan dengan Artalyta sehingga dicabut cekalnya,” ujarnya. Bambang mengungkapkan bahwa pihaknya saat ini telah melaporkan polisi ke Kompolnas. Sebab, usai penyidikan dua pimpinan, penyidik menahan berita acara pemeriksaan (BAP).

Sementara Wakil Ketua KPK M Jasin yang sebelumnya juga disebut-sebut menerima aliran dana enggan mengomentari kasus itu. “No comment,” jelasnya.

Ari Muladi: Surat Cekal Palsu Dibuat di Matraman

Tersangka kasus pemerasan Ari Muladi mengaku surat keterangan pencabutan cekal atas Direktur PT Masaro, Anggoro Widjojo dipalsukan.

Dalam keterangan berita acara pemeriksaan tersangka tertanggal 18 Agustus, Ari mengaku membuat surat pencabutan pencekalan dirinya pada 6 Juni 2009. Dalam proses pembuatan surat pencekalan itu nama Yulianto disebut-sebut sebagai orang yang menandatangani surat pencekalan dan mengaku kenal dengan orang dalam KPK.

"Yang membuat surat pencabutan pencekalan adalah saya sendiri. Dibuat di daerah Matraman dekat fly over Jalan Matraman tanggal 6 Juni 2009," kata Ari  kepada penyidik di Jakarta.

Namun, dalam berita acara pemeriksaan lanjutan pada 26 Agustus 2009, Ari menuding Yulianto adalah orang yang membuat surat pencabutan pencekalan di daerah Matraman. Ia juga mengaku tidak mengetahui siapa yang menandatangani surat tersebut, karena Yulianto memberikan surat tersebut telah ditandatangani.

"Saya tidak membuat surat pencabutan cekal Anggoro Cs ke luar negeri, yang membuat adalah Yulianto.

Saya melihat proses pembuatan surat tersebut di Matraman,"  katanya dalam BAP.

Lebih lanjut, Ari mengaku tidak pernah memberikan uang yang diterima Anggodo Wijaja untuk diberikan kepada Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja, sekaligus membantah mengenalnya.

"Saya tidak pernah mendengar secara langsung dari Ade Rahardja bahwa KPK atau Ade Rahardja meminta sejumlah uang untuk pengurusan penyelesaian masalah PT Masaro Radiokom, kerena saya memang idak pernah berkomunikasi atau bertemu dengan saudara Ade Rahardja dalam rangka penyelesaian masalah PT Masaro Radiokom," katanya.

Sumber:

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/10/20/339/267598/ari-muladi-surat-cekal-palsu-dibuat-di-matraman

Mengapa Yulianto Tak Juga Ditangkap?

Identitas maupun sosok Yulianto yang menurut pengakuan Ari Muladi sebagai perantara dirinya dalam memberi uang suap ke pimpinan KPK, hingga kini belum jelas.

Bahkan Ari mengaku hanya tahu bahwa Yulianto atau Anto itu adalah seorang pengusaha asal Surabaya. Ketidakjelasan identitas Yulianto ini menimbulkan anggapan bahwa polisi tidak perlu menghadirkan dia. Hal ini dinilai sebagai masalah baru oleh kuasa hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, Bambang Widjojanto.

"Menurut Ari uang itu diserahkan kepada Yulianto. Yulianto itu sebenernya orang, jadi-jadian, atau hantu kita tak pernah tahu. Polisi tidak pernah merasa perlu menghadirkan Yulianto, itu masalah," ujar Bambang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/10/2009).

Bambang mengaku amat menyayangkan hal ini. "Yulianto tidak pernah ditangkap, apa perlu densus diturunkan untuk menangkap, nggak perlu kan," tandas dia.

Seperti diketahui, Ari menjadi tersangka karena diduga telah menggelapkan dana Anggoro sebesar Rp5,1 miliar. Awalnya Ari menyatakan uang itu digunakan untuk menyuap pimpinan KPK, guna "membebaskan" Anggoro yang telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap pada proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan.

Namun belakangan, Ari mencabut pernyataannya itu. Dia mengaku uang itu tidak sampai ke pimpinan KPK,  melainkan dia memberikan uang itu ke pengusaha asal Surabaya, Yulianto atau Anto yang mengaku kenal dekat dengan pimpinan KPK. Dengan harapan, Yulianto menyampaikan uang itu ke pimpinan KPK.
sumber:http://news.okezone.com/read/2009/10/29/339/270414/339/mengapa-yulianto-tak-juga-ditangkap

Pemberhentian sementara dua pimpinan KPK dan pengangkatan pelaksana tugas sementara pimpinan KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seperti diakui oleh Ketua BPK Anwar Nasution, pada Juli 2009 meminta audit terhadap pengucuran dana kepada Bank Century. BPK, menurut Anwar, telah memulai audit pengucuran dana tersebut atas permintaan KPK bahkan sebelum DPR meributkan kasus tersebut dan meminta BPK untuk mengaudit.

Dari mulut Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto, pada 9 September 2009 kemudian terucap bahwa KPK tengah menyelidiki keterlibatan seseorang berinisial SD dalam kasus pengucuran dana Bank Century. Inisial SD ini kemudian ditujukan kepada Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komjen Pol Susno Duadji, yang jelas ditolak mentah-mentah oleh perwira tinggi polisi tersebut.

Nama Susno muncul ketika nasabah besar Bank Century, Budi Sampurno, tidak bisa mencairkan uang miliknya senilai 18 juta dolar AS karena uang tersebut masuk ke kas Bank Century, bukan ke sertifikat deposito atas namanya.

Oleh Robert Tantular, uang milik Budi Sampurno itu dimasukkan ke kas valas Bank Century untuk menutupi penggelapan valas mulai Januari hingga Oktober 2008.

Bank Century baru mau mencairkan dana itu jika mendapatkan surat keterangan dari Mabes Polri. Untuk itu, Susno mengaku mengeluarkan surat ke Bank Century yang menyatakan dana milik Budi Sampurnotersebut tidak bermasalah.

Susno menyatakan surat tersebut bukan berisi perintah pencairan dana dan ia membantah menerima Rp10 miliar sebagai komisi karena telah membantu pencairan dana.

Di tengah riuh kasus Bank Century, Bareskrim Mabes Polri melayangkan surat panggilan pemeriksaan terhadap pimpinan KPK atas dasar keterangan Ketua KPK non aktif Antasari Azhar, yang telah menjadi pesakitan dalam kasus pembunuhan terhadap Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, bahwa telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pimpinan KPK.

Awalnya adalah tuduhan penerimaan suap dari Direktur Utama PT Masaro, Anggoro Widjojo, sebesar Rp5 miliar yang diterima oleh pimpinan KPK. Namun, tuduhan itu urung berlanjut karena kesaksian Ary Muladi sebagai perantara yang mengatakan uang suap itu “dimakannya” sendiri alias tidak sampai ke pimpinan KPK.

Namun, Bareskrim Mabes Polri tetap maju. Kali ini tuduhannya adalah penyalahgunaan wewenang atas pengeluaran surat cekal terhadap Anggoro Widjojo dan pengeluaran serta pencabutan surat cekal terhadap Direktur Utama PT Era Giat Prima, Djoko Tjandra.

Mabes Polri menuduh terjadi salah prosedur yang dilakukan oleh dua pimpinan KPK, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, karena surat cekal tersebut tidak dikeluarkan atas keputusan kolegial pimpinan KPK.

Tiga kali pemeriksaan, Chandra dan Hamzah langsung ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri pada 16 September 2009. Menyusul rekan mereka, Antasari Azhar, UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK pun berlaku, yaitu apabila pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka, maka harus diberhentikan sementara.

Belum jelas unsur pidana apa yang dituduhkan oleh Mabes Polri kepada Chandra dan Bibit. Seperti penilaian Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, ia tidak melihat tindak pidana pada dugaan penyalahgunaan wewenang yang disangkakan kepada Chandra dan Bibit. Kalau pun terjadi kesalahan prosedur dalam pengeluaran surat cekal oleh KPK, Mahfud menyatakan, maka ranah yang tepat untuk memperkarakannya adalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau praperadilan yang harus diajukan oleh pihak yang dirugikan, yaitu Anggoro dan Djoko Tjandra yang saat ini statusnya masih buron.

Namun, status tersangka yang disandang oleh Chandra dan Bibit terlanjur menjadi genting di mata Presiden. Dengan alasan khawatir kerja KPK tidak efektif hanya dipimpin oleh dua pimpinan tersisa, yaitu M Jasin dan Haryono Umar, tongkat sakti kembali berayun.

Di tengah suasana libur Lebaran, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Perppu tentang perubahan UU KPK pada 21 September 2009, hanya berselang lima hari dari penetapan Chandra dan Bibit sebagai tersangka.

Bersamaan dengan terbitnya Perppu itu, ditandatangani juga Keppres pemberhentian sementara Chandra dan Bibit dari jabatan pimpinan KPK. Perppu itu memberi kewenangan kepada Presiden Yudhoyono guna menunjuk langsung pelaksana tugas (plt) sementara pimpinan KPK apabila terjadi kekosongan pimpinan kurang dari tiga orang.

Setelah perppu itu memancing kontroversi, akhirnya Presiden membentuk tim seleksi untuk menilai calon dianggap layak guna menduduki plt sementara pimpinan KPK dengan keputusan akhir tetap ditangan kepala negara. Tim terdiri atas Menko Polhukam Widodo AS, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution, praktisi hukum senior Todung Mulya Lubis, dan mantan Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki, itu diberi waktu bekerja selama sepekan guna menyodorkan tiga nama calon plt sementara pimpinan KPK kepada Presiden. Presiden ingin pada 2 Oktober 2009 tiga plt sementara pimpinan KPK yang ditunjuk sudah mengucapkan sumpah jabatan di hadapannya.

Belum selesai publik dibuat bingung oleh perkara pengucuran dana kepada Bank Century yang kini mulai redup dari pemberitaan, masyarakat kini kembali dibuat bertanya-tanya. Febri Diansyah dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan kepasifan Presiden Yudhoyono sebagai atasan Kapolri yang seharusnya memperjelas duduk perkara status tersangka Chandra dan Bibit.
“Apalagi, diketahui KPK sedang melakukan pemeriksaan terhadap salah seorang petinggi Mabes Polri.

Sepatutnya dugaan konflik kepentingan ini merupakan alasan cukup untuk meragukan keseriusan dan motivasi di balik penetapan tersangka tersebut. Tapi, kenapa Presiden terlihat pasif?” katanya.

Seraya mengingatkan Presiden agar tidak tergoda menjadi penguasa absolut atas KPK yang merupakan komisi independen, ICW meminta Presiden melalui Polri untuk menghentikan proses kriminalisasi dua pimpinan KPK apabila dalam waktu dekat tidak ditemukan bukti kuat dalam perkara mereka yang mengarahkepada tindak pidana. Namun, tidak ada tanda-tanda kasus hukum Chandra dan Bibit ditinjau ulang. Pemerintah justru tancap gas mencari pengganti untuk keduanya. Bagi kekuasaan di atas sana, mengganti pimpinan KPK ternyata lebih genting.
Sumber: http://hariansib.com/?p=93813

Wapres Minta Selesaikan Status Bibit-Chandra

Di bagian lain, Wakil Presiden yang sekaligus Pejabat Presiden Jusuf Kalla menilai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK harus disertai kesungguhan Polri untuk menyelesaikan penyidikan kasus hukum dua pimpinan KPK, yakni Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto, dan Ketua KPK Chandra M Hamzah. “Perppu harus tetap jalan, tapi Polri juga harus mempercepat penyidikan. Kalau Pak Bibit dan Pak Chandra tidak bersalah, kan otomatis aktif kembali,” katanya di Kantor Wakil Presiden Jumat (25/9).

Dari dua langkah strategis tersebut, Kalla menilai penyidikan polisi yang paling penting. Polri harus segera menyelesaikan penyidikan sehingga status Bibit dan Chandra dapat klir. Percepatan penyidikan dinilai wakil presiden sebagai tuntutan masyarakat.

“Katakanlah, kalau kasus penyalahgunaan wewenang di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan, Red), berarti keduanya dapat aktif kembali, sehingga Perppu (pelaksana tugas pimpinan KPK) tidak diperlukan,” katanya.

“Namun, kalau memang ada tindak pidana, lantas (Bibit dan Chandra) ditetapkan sebagai terdakwa, dengan klir-nya status (Bibit-Chandra), DPR dapat segera memulai pemilihan pimpinan KPK yang baru,” lanjutnya.
Sumber:
http://www.riaupos.com/berita.php?act=full&id=3011&kat=13

Presiden belum dapat mengeluarkan kepres pemberhentian tetap dua pimpinan KPK.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan provisi (sela) yang diajukan oleh Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah dalam permohonan pengujian Pasal 32 ayat (1) huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Pasal 32 ayat (1) huruf (c) UU KPK pada pokoknya mengatur bahwa pimpinan KPK diberhentikan tetap apabila menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana.

MK meminta Presiden agar tidak memberhentikan secara tetap kedua Pemohon apabila dalam penyelidikan

Polri terkait kasus dugaan penyalahgunaan kewenangan dan penyuapan menjadikan kedua komisioner KPKtersebut sebagai terdakwa. Putusan sela tersebut dibacakan oleh 8 orang hakim MK dipimpin oleh Mahfud MD, Kamis (29/10).
Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=3448

--------

News Update: 6  November 2009

Akhirnya apa yang saya tulis diatas menjadi perhatian banyak pihak. Marilah dukung KPK untuk lanjutkan mengusut tuntas kasus Bank Century, sambil pararel/bersamaan dengan menunggu audit BPK.

Juga mohon DPR sebagai perwakilan rakyat dapat menggunakan mekanisme yang ada untuk mendukung usut tuntas kasus Bank Century atau klo DPR tidak peduli maka rakyatlah yang bergerak.

News: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/06/04003571/isu.beralih.ke.century
Isu Beralih ke Century

Klarifikasi Audit, Komisi XI DPR Panggil Sekjen BPK

Jumat, 6 November 2009 | 04:00 WIB

Jakarta, Kompas - Desakan masyarakat agar Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut tuntas kasus Bank Century kian menguat, baik di Jakarta maupun di daerah. Pengunjuk rasa meminta Badan Pemeriksa Keuangan segera menyelesaikan audit investigasinya.

Hampir semua pengunjuk rasa yang datang bergantian di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaitkan kasus yang menimpa Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah dengan masalah aliran dana ke Bank Century.

Rifki Arsilan, juru bicara Komunitas Mahasiswa Raya yang berunjuk rasa di Gedung KPK, Kamis (5/11), menuntut agar kasus Bank Century diusut tuntas. Kasus itu merupakan salah satu simpul penting yang menyebabkan terjadinya upaya pelemahan terhadap KPK.

Mario Sitompul, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia, juga mendesak supaya KPK membongkar kasus Century. ”Selain mencuri uang rakyat triliunan rupiah, pengusutan tuntas terhadap kasus ini adalah juga untuk membongkar mafia peradilan,” kata dia.

Mario menambahkan, partai politik di DPR harus konsisten mendukung pengungkapan kasus Bank Century. ”Jika mereka tak memenuhi harapan ini, kami tidak akan memilih mereka lagi dalam pemilu. Parpol harus penuhi harapan rakyat,” katanya.

Kelompok Kerja Organisasi Kemasyarakatan Islam melalui ketuanya, Asri Harahap, mendesak agar BPK segera menyelesaikan audit investigasi Bank Centry sehingga kasus ini bisa segera ditangani KPK.

Ismed Hasan Putro, Ketua Masyarakat Profesional Madani, yang mendatangi KPK bersama sejumlah pengusaha, mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak lepas tangan sebelum rakyat menggelar kekuatannya (people power), yang sangat berbahaya bagi stabilitas politik dan ekonomi.

Dari Solo, Jawa Tengah, Kamis, dilaporkan, aktivis 1998 dan beberapa elemen masyarakat lainnya menuntut pengusutan tuntas kasus Bank Century. Aktivis itu berasal, antara lain, dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yaphi Solo dan menyuarakan tuntutannya di Markas Poltabes Surakarta, Kamis.

”Uang negara yang dirugikan dalam kasus Bank Century tidak main-main, Rp 6,7 triliun. Isu penahanan pimpinan KPK hanya untuk mengalihkan dari isu utama, yakni kasus Bank Century,” kata Winarso dari LBH Yaphi.

Di Jember, Jawa Timur, massa dari HMI beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta di kabupaten itu berunjuk rasa. Mereka mensinyalir ada ”tangan gaib” yang ingin mengerdilkan institusi KPK. Unjuk rasa itu diikuti sekitar 100 orang di Gedung DPRD Jember, Kamis.

Di Yogyakarta, sekitar seratus orang dari berbagai organisasi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk KPK, Kamis, berunjuk rasa di depan Kantor Pos Besar Yogyakarta. Mereka kian prihatin dengan penegakan hukum yang terjadi saat ini.

Pengunjuk rasa juga meminta Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji mundur dari jabatannya karena dipandang tidak bisa melakukan penegakan hukum sesuai harapan rakyat.

Panggil Sekjen BPK

Secara terpisah, Kamis di Jakarta, Komisi XI DPR Bidang Keuangan dan Perbankan pada pekan depan akan memanggil Sekretaris Jenderal BPK Dharma Bakti untuk meminta klarifikasi terkait penyelesaian laporan audit investigasi dana talangan Bank Century. Setelah itu, Komisi XI DPR akan mengadakan rapat konsultasi dengan BPK untuk memastikan kapan laporan audit investigasi itu selesai.

Ketua Komisi XI DPR Emir Moeis menandaskan, sebelum 5 Desember 2009 atau saat dimulainya masa reses, DPR harus mempunyai kesimpulan terkait laporan audit investigasi Bank Century.

Dalam catatan Kompas, BPK di bawah kepemimpinan Anwar Nasution menjanjikan laporan final audit investigasi Bank Century selesai sebelum berakhirnya masa jabatan BPK periode itu, yakni 19-20 Oktober. Namun, BPK baru di bawah pimpinan Hadi Purnomo menyatakan, laporan final audit investigasi Bank Century diupayakan selesai pada Desember 2009.

Di Jakarta, Kamis, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR, T Gayus Lumbuun, berjanji akan menyerahkan usulan penggunaan hak angket kasus Bank Century ke Badan Musyawarah DPR, Selasa depan. Persyaratan administrasi usulan itu lengkap sebab 26 anggota DPR dari enam fraksi sudah menandatanganinya. Di DPR saat ini terdapat sembilan fraksi.(EKI/SIR/WER/NWO/HAR/AIK)

 



 

4 komentar:

  1. Belum tahukah bahwa hampir setiap Departemen dan instasi di neg.ini disetir mafia, karena P.Hukum nya bermain kotor. Secerca harapan muncul dari M. Konstitusi yang bertindak profesional dan bijak. Cobalah tatap dg nurani antara wajah P.bibit,P candra , P.Susno Duadji,&wajah2 pejabat kejaksaan,ahli psikiater tentu tahu wjh2 bohong

    BalasHapus
  2. kata temen saya... kalo korupsi / MALING / NYOLONG UANG di indonesia jangan sedikit2 nanti mudah di tangkap... sekalian yang banyak biar bisa buat beli polisi, kejaksaan bahkan presiden sekalian :mrgreen:

    BalasHapus
  3. g jelas tuh yang mana yang benar... jangan mau kena fitnah... bisa chaos lagi bangsa kita... bolak balik chaos kok mau... bodohx

    BalasHapus