Sabtu, 21 November 2009

Negeri Penuh Kesepakatan

Negeri Penuh Kesepakatan

Setelah memperhatikan permasalahan  KPK dengan POLRI, permasalahan Antasari dan permasalahan gaya kepemimpinan SBY, semakin menyadari kita bahwa negeri ini adalah negeri penuh kesepakatan, kesepakatan dalam kepentingan. Masih jauh jika mengharapkan tegaknya keadilan atau kebenaran. Klo beberapa pendapat mengatakan telah tegak hukum di negeri ini itu artinya sekedar sesuai aturan hukum, benar atau salah , itu tergantung kesepakatan dan kepentingan.

Perhatikanlah profesi pengacara, kadang dia berada di sisi orang yang “salah”, kadang dia berada di sisi orang yang “benar”. Yang terpenting “sesuai” aturan hukum, professional dan sesuai kesepakatan berdasarkan kepentingan masing-masing pihak. Kebenaran, keadilan, tanggung jawab kepada Tuhan itu masalah nanti.

Kasus BLBI, aspek hukum yang belum optimal, tindak lanjut dari hasil temuan BPK terhadap sejumlah kasus yang menjadi temuan dari audit BPK terhadap BLBI.  Menurut Ketua BPK, dari sekitar 50 pejabat Bank Indonesia dan 300 orang komisaris dan direksi bank yang telah dilaporkan ke Kejaksaan Agung karena tersangkut kasus BLBI, baru tiga orang pejabat BI dan 24 orang komisaris dan direksi bank yang kasusnya sampai ke pengadilan. Sisi aspek ekonomi telah terjadi kesapakatan. Pemerintah menerbitkan surat utang baru sebagai pengganti surat utang Nomor SU-001/ MK/ 1998 dan SU-003/ MK/ 1999.  Nama surat utang baru tersebut adalah Obligasi Negara Nomor Seri SRBI-01/ MK/ 2003 diterbitkan pada 7 Agustus 2003 dan mulai berlaku tanggal 1 Agustus 2003, tanpa indeksasi, berjangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang.

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/Keuangan/2003/0811/keu1.html

Rakyat yang tidak tahu asal muasal kasus BLBI harus menuai getahnya menanggung beban pembayaran melalui APBN, sementara orang-orang yang diduga melakukan penyimpangan masih bebas berkeliaran. Presiden yang pada masa kampanye dikenal kemajuan dalam pemberantasan korupsi, pemimpin yang katanya selalu memperhatikan kebijakan sesuai dengan aturan hukum tampaknya telah bersepakat dalam hal aspek hukum kasus BLBI. Walaupun rakyat sampai saat ini tidak pernah tahu apa “isi” kesepakatan itu. Sebagian pihak menganjurkan dengan polosnya, ”lupakanlah masa lalu, mari kita berpikir untuk pembangunan dan kemajuan masa kini, klo gitu kita ndak akan maju-maju".

Kasus dana non budgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). DKP mengutip pajak, retribusi, iuran, dan aneka pungutan dari rakyat. Sebagian dari uang rakyat itu disulap jadi “dana nonbudgeter” yang jumlahnya bagaikan, seperti kata lagu Bengawan Solo, “Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut.”

Menurut kesaksian mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, sebagian dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) disumbangkan bagi para politisi yang ikut Pemilu dan Pilpres 2004.

Hanya seorang capres yang mengaku yakni Amien Rais. Amien Rais mengaku menerima dana Rp 200 juta langsung dari Rokhmin. Amien memberikan penjelasan pada KPK, bahwa Rokhmin memberikan cek perjalanan (traveller’s check) Rp 200 juta sebagai sumbangan untuk kepentingan pemilihan presiden. Uang itu selanjutnya ia serahkan kepada tim suksesnya, melalui Zulkifli Hasan, yang kini menjabat Sekretaris Jenderal DPP PAN.

Pada saat itu timbul ketegangan yang luar biasa antara Amien dengan SBY, seperti yang diuraikan di
http://www.depkominfo.go.id/2007/05/25/presiden-siap-tuntut-amien-rais-soal-dana-kampanye/

Setelah itu kasus ini tidak terdengar lagi sampai sekarang, mungkin telah terjadi sebuah kesepakatan.

Begitu pula seperti politisi sekarang yang kebanyakan pragmatis tidak lagi idealis, paginya mereka berdebat bahkan menjurus berkelahi, namun malam harinya ada kemungkinan ”bersahabat”.

Zaenal Ma’arif, dengan kepentingannya ingin membeberkan mengenai pernikahan SBY sebelum masuk Akmil, yang kemudian oleh SBY digugat sebagai pencemaran nama baik Presiden, namun akhirnya Zaenal Ma’arif malah masuk dan menjadi anggota DPR dari partai SBY.

Politisi  anggota partai koalisi pendukung SBY pun pada masa pilpres 2009, dengan jelas kita dapat  melihat berulang-ulangnya drama ”teriak” – ”sepakat” – ”teriak” lagi – ”sepakat” lagi - ......

Secara serdahana dan dapat kita mudah temukan, bagaimana kepolisian "membiarkan" penjual CD/VCD/DVD bajakan, yang terkadang berisikan pornografi yang merusak generasi muda. Penjual itu pun kadang kala dapat kita temukan  hanya beberapa meter dari kantor polisi. Entah kesepakatan apa yang terjadi dengan para penegak hukum.

”Kesepakatan” juga tentu timbul dan ”dilanjutkan” dalam masa kepemimpinan presiden SBY, seperti tindak lanjut kasus penculikan /penghilangan paksa aktivis 1997/1998, kasus Munir, Kasus-kasus pelanggaran HAM dll.

Beginilah kemajuan rakyat Indonesia yang semula disebut  bangsa yang ramah, kukuh dengan adat ketimuran, idealis, religius sekarang tanpa kita sadari  telah tercemar dengan apa yang disebut dengan paham kebebasan (liberalisme).  Paham kebebasan inilah yang mendorong dan membudayakan kesepakatan.

Lihatlah dengan paham kebebasan,  mereka berpendapat bahwa pornografi di”benar”kan dalam seni, pentas budaya , dll  Apapun perbuatan, kegiatan, kreasi yang dilakukan secara “damai”, sama-sama menjalankan hak, tidak saling menganggu satu sama lain, disepakati sesama manusia itulah yang menurut mereka kebenaran. Kebenaran yang relatif dan pragmatis. Urusan dengan Tuhan, menurut mereka adalah urusan individu semata dan bahkan itupun urusan “nanti”.

Begitu juga apa yang diteladani pemimpin/raja dari paham “kesepakatan” yakni Amerika Serikat. Demi hak mereka ”merasa aman”, maka dengan dasar sebuah ”kebohongan”, mereka dapat menyerang, menjajah sebuah negara seperti Irak, Afghanistan. Mereka membunuh dan menyiksa ribuan manusia. Mereka melakukan hal tersebut sama sekali bukan untuk menegakkan kebenaran namun mereka menegakkan apa yang telah mereka sepakati dan berdasarkan kepentingan mereka.

Untuk itulah saya mengkhawatirkan rakyat Indonesia yang mengenyam pendidikan di Amerika, sekembalinya mereka dari sana sebagian besar terkontaminasi,  menyebar-luaskan paham ”kesepakatan” yakni paham ”liberalisme”.

Dalam pengangkatan menteri KIB II,  SBY pun entah bagaimana, "sedikit melanggar" prosedur "fit & proper test" yang beliau tetapkan sendiri dalam pengangkatan menkes Endang yang lulusan pendidikan Amerika dan terkenal "dekat" dengan lingkungan Amerika walaupun  ”track record” Endang pernah melakukan ”pelanggaran”.  Begitu sulitnya mencari rakyat Indonesia untuk didudukan sebagai menteri dengan "track record" tanpa "pelanggaran" dalam hidupnya . Porsi menteri yang lulusan Amerika atau ”keterkaitan” dengan Amerika, juga cukup banyak di KIB II. Sumber: http://www.suara-islam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=262:menteri-pesanan-paman-sam&catid=62:suara-utama&Itemid=104

Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan beliau,  “I love the United State, with all its faults. I consider it my second country” ?

Sumber: http://english.aljazeera.net/archive/2004/07/20084913557888718.html

Entah apa sebenarnya kesepakatan dengan Amerika ?

Apakah ini sesuai dengan isyarat Allah dengan bencana-bencana alam di bumi kita tercinta ini ?

Wallahu a’lam

4 komentar:

  1. hehe... teori konspirasi nih kang....

    oiya salam kenal. pegiat P juga.. :D

    BalasHapus
  2. bersama sama bersembunyi dibalik kejahatan

    BalasHapus
  3. Wah, memang pemimpin skarang susah dipercaya. tunggu kamilah generasi muda yg lebih bermoral....

    BalasHapus
  4. antara percaya atau tidak percaya, tapi firasat /feeling saya mengatakan bahwa pemerintahan ini bukan membawa bangsa lebih sejahtera malah sebaliknya......., mengakomodir kepentingan demi kepentingan untuk kemajuan orang yang berkepentingan....... bukan untuk rakyat - rakyat tersingkir

    BalasHapus