Sabtu, 28 November 2009

SBY dan Kegaduhan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan semua pihak, apabila situasi Indonesia gaduh dan panas, maka investor tidak akan datang dan ekonomi tidak akan berkembang.

Sumber:  http://inilah.com/berita/politik/2009/11/25/186082/sby-gaduh-terus-investor-tak-datang/

Suatu pesan Presiden yang sesungguhnya berpulang pada dirinya sendiri.  Kita sadari bahwa kegaduhan dan situasi panas di negeri ini, sesunguhnya merupakan wujud dari kepemimpinan sang Presiden. Rakyat belum dapat sepenuhnya menerima pernyataan Presiden dalam tanggapannya pada hasil rekomendasi Tim 8.

Dalam manajemen kita kenal 4 fungsi pokok, antara lain planning (perencanaan), organizing (pengoranisasian), actuating (pelaksanaan) dan controlling (pengawasan). Dari pernyataan SBY dalam menanggapi rekomendasi tim 8, memperlihatkan hampir setengah kemampuan manejerial pemimpin negara tidak terlihat dikuasai oleh SBY. Hal ini semakin menguatkan masyarakat bahwa SBY sekedar memiliki kemampuan perencanaan/konsep dan retorika. Kemampuan SBY ini juga dipahami oleh perwira-perwira TNI, ketika SBY masih aktif di TNI yang dikenal dengan julukan "perwira kelas".

Kegaduhan yang ditimbulkan karena ketidak-mampuan SBY dalam manajemen sumber daya manusia dapat juga kita lihat salah satunya dalam pengangkatan menteri kesehatan. Proses pengangkatan menkes Endang, sedikit tidak mengikuti standar "fit & proper" yang ditetapkan oleh SBY sendiri dan tidak dipertimbangkan "kesalahan" yang pernah dilakukan Endang sebelumnya. Begitu sulitkah mencari orang tanpa "kesalahan" untuk diangkat menjadi menteri ? Dikalangan pakar intelijen pun berpendapat SBY membuat kegaduhan dengan mengangkat menkes Endang sehubungan keterkaitan dengan riwayat namru II.

Kegaduhan juga terjadi pada kalangan perwira tinggi di tiga angkatan. Penempatan mantan kepala polisi RI sebagai kepala Badan Intelijen Nasional membuat kekuatan militer merasa digembosi. Beberapa perwira tinggi (pati) di tiga unsur angkatan (darat, laut, udara) menyampaikan uneg-uneg. Intinya pembicaraan adalah pengangkatan mantan Kapolri Jenderal (Pol) Sutanto sebagai kepala BIN membuat konsolidasi di tubuh militer menjadi bergejolak.

"Intelijen adalah institusi yang melekat pada militer. Kalau kepalanya dijabat dari kalangan nonmiliter, ini akan membuat sistem informasi intelijen dan sejumlah kebijakan di penggalangan intelijen di lapangan menjadi lemah," kata seorang pati yang tidak bersedia disebut namanya.

Sepanjang sejarah nasional, intelijen adalah pengendali dan pemberi informasi utama kepada Presiden RI. Tugasnya sangat vital karena informasi itu akan menjadi landasan bagi Presiden untuk mengambil keputusan.

"Nah, kalau orang nomor satu di intelijen itu nonmiliter, maka deteksi dan analisis terhadap pergolakan di tingkat lapangan menjadi kurang tajam. Selama ini yang memiliki pendidikan dan kapasitas melakukan deteksi konflik atau membaca potensi bahaya keamanan adalah militer," katanya.

Karena itu, sejak intelijen dibentuk di Indonesia, orang yang memimpin selalu berasal dari kalangan militer. Pada zaman Bung Karno, kepala intelijen dipegang sipil. Hasilnya intelijen malah dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis, bukan untuk kepentingan keamanan dan pertahanan nasional.

"Intelijen bertanggung jawab langsung kepada presiden. Intelijen memiliki tipikal sangat berbeda dengan institusi keamanan lain. Sistem kerja utamanya adalah silence operation. Target kerja intelijen adalah meredam kejadian sebelum menjadi bahaya bagi keamanan nasional," katanya.  Selain itu, doktrin militer dan nonmiliter berbeda. "Ini akan terkait dengan setiap operasi intelijen. Kalau bukan dari kalangan militer, target dan kepentingannya akan berbeda. Sebab doktrin militer itu jelas: keamanan dan keselamatan negara di atas segalanya," kata perwira itu.

Sumber: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=62169:sutanto-kepala-bin-tni-digembosi&catid=77:fokusutama&Itemid=131

Pada saat SBY berduet dengan JK, bisa kita lihat bahwa SBY mampu dibidang konsep dan retorika (planning) , sedangkan JK yang melakukan tindakan (organizing and actuating) dan juga cepat melakukan evaluasi atas tindakan (controlling). Sebenarnya JK juga piawai dalam konsep, ide dan inovasi (planning) sebagaimana pengalaman beliau dalam dunia usaha, namun terbentur pada jabatannya hanya sebagai wakil presiden sehingga beliau hanya "mengusulkan" pada presiden.

Setelah kekuataan (power) berhasil diraih oleh SBY dalam pilpres 2009, SBY mencoba melakukan semuanya sendiri namun kegaduhan yang terjadi sehingga semakin menyadarkan kita bahwa memang "the real presiden" adalah Jusuf Kalla.

73.874.562 rakyat Indonesia yang memberikan suara pada SBY pada pilpres lalu, bisa saja berubah setelah melihat kepimpinan SBY tanpa kehadiran JK disisi beliau.

Kegaduhan Century dapat saja merupakan alasan utama rakyat untuk menarik legitimasi sang presiden. Tidak cukup sampai dengan beberapa pihak dalam pemerintahan yang menjadi korban. SBY harus bertanggung jawab atas kegaduhan Century.

Beliau tidak dapat membebaskan dirinya dari kegaduhan Century sebagaimana yang disampaikan oleh mantan Sekretaris KSSK Raden Pardede, bahwa "Berdasarkan Perppu JPSK (Jaring Pengaman Sektor Keuangan), dalam rangka bailout itu, secara peraturan memang tidak diharuskan meminta persetujuan Presiden dan pada saat itu memang tidak dimintakan karena dalam ruang lingkup KSSK," ujarnya.

Raden juga menegaskan, dari pihak KSSK juga tidak pernah menghubungi Presiden yang saat itu sedang dalam lawatan ke luar negeri untuk menghadiri pertemuan G20, terkait keputusan tersebut. "Presiden tidak kita libatkan dalam persetujuan tanggal 21 November 2008 karena itu wewenang KSSK. Jadi kita sama sekali tidak melibatkan,"

Sumber: http://inilah.com/berita/ekonomi/2009/11/24/184737/raden-keputusan-selamatkan-century-tak-libatkan-presiden/

Dalam dunia manajemen dan organisasi, kita ketahui prinsip dasar bahwa wewenang dapat kita delegasikan dalam organisasi namun tanggung jawab tetap pada pemimpin.

Rakyat tentu ingin selalu mengawasi pertanggung jawaban presiden atas kegaduhan-kegaduhan yang terjadi saat ini dan menggunakan prosedur hukum dengan baik untuk mendeligitimasi sang pemimpin jika diperlukan pada akhirnya .

Lebih baik rakyat terlambat menyadari kesalahan memilih pemimpin (mungkin disebabkan “salah informasi” calon pemimpin, keberhasilan "fox" dalam menutupi dengan pencitraan),  daripada negeri ini terlampau disibukkan dengan urusan kegaduhan.

Salam

Zon

======================================================

Berikut sumber lain tentang bagaimana SBY  menurut pendapat sebagian orang adalah tipe orang yang tak bisa membuat keputusan (indecisive)

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/127939 atau  http://erensdh.wordpress.com/2009/06/17/kilas-balik-langkah-politik-sby/

Ketika itu, tahun 2001, di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, stabilitas politik dan keamanan betul-betul goyah. Di Jakarta, atau kota besar lainnya, ancaman perampokan, pembunuhan, atau pencurian, merajalela. lampu merah (lampu lalu lintas) adalah daerah bahaya satu, karena di situ beroperasi kelompok `'Kapak Merah''. Ketika lampu merah menyala, tiba-tiba saja serombongan anak muda bersenjata kapak, pisau, atau golok -terkadang bersenjata api-menyatroni mobil yang sedang berhenti, memecahkan kacanya, lalu merampok penumpangnya, dan pergi seenaknya saja meninggalkan korban, yang tak jarang sudah dianiaya terlebih dulu. Polisi seakan tak berdaya. Itu menyebabkan rakyat terpancing menjadi main hakim sendiri. Maling motor yang tertangkap, dibakar hidup-hidup. Adegan mengerikan itu, merupakan pemandangan sehari-hari di mana-mana.

Itu belum seberapa. Berbagai daerah bergolak. Aceh, misalnya,seakan sudah terpisah dari Republik. Bayangkan, Presiden Abdurrahman Wahid, datang ke Banda Aceh, ketika itu, hanya berani sampai Masjid Raya. Bicara sebentar, ia langsung balik ke bandar udara, terbang pulang ke Jakarta. Di Ambon, Maluku, `'perang'' Islam - Kristen, mencapai puncaknya. Tak terhitung nyawa yang melayang, bangunan yang terbakar, atau perkantoran yang dimusnahkan. Peristiwa serupa terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Di berbagai daerah di Kalimantan, orang Dayak `'perang'' melawan suku pendatang, Madura. Korban tak lagi terhitung.

Nah, ketika itu yang menjadi Menko Polkam adalah Jenderal (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang berambisi menjadi Presiden RI. Sebagai penanggungjawab stabilitas politik dan keamanan di kabinet, apa yang SBY lakukan? `'Ooh dia rapat terus, diskusi terus, sampai berbulan-bulan,'' ujar seorang Menteri yang ketika itu masuk jajaran Polkam. Sebagai hasil rapat-rapat yang melelahkan yang dipimpin SBY itu, dibentuklah Desk Aceh, Desk Ambon, Desk Poso, Desk Sampit, dan entah Desk apa lagi. Apa kerja Desk itu? Jangan tanya, karena mereka rapat terus, diskusi terus, seminar terus. `'Saya lihat orang-orang yang bunuh-bunuhan di Ambon, Poso, atau Sampit, sudah mulai capek. Mereka juga sudah capek membakar rumah, saking banyaknya rumah yang dibakar. Tapi rapat belum menghasilkan keputusan apa pun,'' kata Menteri tadi.

Suatu hari rapat berlangsung, dipimpin SBY. Seperti biasa, diskusi berlangsung seru di antara peserta rapat, dan SBY menjadi moderatornya, persis seperti diskusi atau seminar yang biasa dilakukan di hotel-hotel. Tiba-tiba, SBY memerintahkan Mayjen. Aqlani Maja, Staf Ahli Menhankam, yang bertugas mewakili Menhankam Mahfud MD, untuk memberikan pendapat. Konon, Aqlani langsung bicara, `'Pak Menteri, saya kira sudah lebih 3 bulan kita rapat terus. Semua kita diskusikan. Orang yang bunuh-bunuhan di Poso, Ambon, atau Kalimantan, tampaknya sudah capek, mereka sudah berhenti sendiri.Tapi rapat belum mengambil keputusan apa pun. Kalau Pak Menteri minta pendapat saya, apa saja yang Pak Menteri putuskan saya setuju. Yang penting, kita harus punya keputusan. Saya kira itu yang penting.'' Wajah SBY langsung merah-padam. Mungkin merasa malu, sekaligus marah, karena merasa dihina. `'Ini bukan rapat kedai kopi, yang hadir di sini, para Menteri,'' teriak SBY. Semua terdiam. Tapi beberapa Menteri, di antaranya, Menteri Otonomi, Prof. Ryaas Rasyid, secara sembunyi-sembunyi menunjukkan jempol jari tangannya kepada Aqlani, sebagai tanda mendukung. Rapat pun akhirnya bubar, sekali lagi: tanpa keputusan apa pun.

Menurut sebuah sumber, Aqlani berani bicara seperti itu, selain karena sudah kesal, mengikuti rapat yang melelahkan tanpa keputusan itu, ia memang sudah lama kenal watak atau kepribadian SBY. Ia dan SBY, sama-sama mengikuti pendidikan militer di Port Leavenworth, Amerika. Di sana pula, mereka sama mengikuti pendidikan S2, dan sama pula lulusnya. Sebelumnya, mereka pernah pula menjadi dosen di Seskoad, Bandung, ketika Komandan Seskoad dijabat Feisal Tanjung. Jadi rupanya, ia tahu betul, bahwa SBY itu adalah tipe orang yang tak bisa membuat keputusan (indecisive), apalagi keputusan itu berisiko.  Karena cacat personalitinya itulah, semasa menjadi Menko Polkam, nyaris tak satu pun keputusan penting -apalagi yang berisiko tinggi-datang dari kantor Menko Polkam. Kantor Menko Polkam, di kalangan para Menteri, sering diejek sebagai kantor `'Seminar''. Seperti diketahui, masalah Poso dan Ambon, akhirnya ditangani oleh Yusuf Kalla, yang ketika itu menjabat Menko Kesra yang kemudian muncul Perjanjian Malino I dan II.

Kalau saja SBY punya rasa malu, seharusnya ia mengundurkan diri dari kabinet, saat Malino I dan II ditandatangani, dan mendapat restu dari Presiden. Memang gara-gara Malino itu, SBY marah besar kepada Yusuf Kalla, yang telah mengambil alih wewenang dan tanggung jawabnya, tapi untuk mundur dari kabinet, tentu saja orang seperti SBY tak akan mau.

Ada lagi kisah dramatis, sekaligus memalukan. Sewaktu Aceh diputuskan menjadi daerah darurat militer, SBY menjadi pelaksana hariannya, pimpinan tertinggi adalah Presiden Megawati. Sejumlah pasukan yang dikirim dengan kapal, sampai setengah bulan terkatung-katung di tengah laut, karena SBY tak juga memutuskan sikap pemerintah untuk pendaratan pasukan itu. Malah ada yang bilang, pasukan itu sempat tiga hari kelaparan, karena persediaan makanan sudah habis.

Akhirnya, di tengah moral pasukan yang sudah hancur seperti itu, barulah mereka didaratkan, konon setelah Presiden Megawati turun tangan. SBY? Seperti biasa, tak bisa membuat keputusan berisiko seperti itu. Hobinya, cuma berbusa-busa bicara di TV dan koran, dengan bahasa yang selalu normatif karena takut berisiko kalau ucapannya salah- tapi disusun sesuai kaedah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Tanyakanlah pada kawan dan lawannya, tentang cacat SBY itu.

Jawabannya pasti tak jauh berbeda: SBY tak bisa mengambil keputusan. Mana mungkin seorang bisa menjadi pemimpin apalagi menjadi Presiden, pengambil keputusan tertinggi yang sering penuh risiko dengan cacat personaliti yang sangat fatal seperti itu? Ini menjadi alasan pertama dan utama bagi rakyat untuk tidak memilih SBY si peragu.

4 komentar:

  1. Maka berlaku pepatah, "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari".

    BalasHapus
  2. masyarakat luas dibuat bingung oleh tanggapan pak SBY mengenai hasil rekomendasi tim yang beliau bentuk tersebut...
    beliau seolah2 tidak memberikan solusi apapun terhadap rekomendasi yang tim 8 serahkan...

    sementara itu masyarakat luas sangat menunggu ketegasan pak SBY ini dalam menindaklanjuti kasus yang menimpa KPK vs POLRI.
    tanggapan yang beliau hanya untuk memberikan jalan tengah, tanpa memberikan pernyataan bahwa siapa yang salah dan yang harus ditindak lanjuti.
    sedangkan kita yang hanya masyarakat luas sudah mengetahua bahwa kasus yang menimpa KPK adalah semata2 hanya ingin mengkerdilkan KPK.

    semoga saja keadilan bisa selalu ditegakan.

    BalasHapus
  3. sby itu sebetulnya baik.
    cuma systemnya yang korup.

    BalasHapus