Senin, 26 Juli 2010

Salahpaham Pemahaman

Kesalahpahaman tentang pemahaman
( manhaj salaf(i) atau wahabi ).


Berikut ini tulisan merupakan kelanjutan tulisan saya sebelumnya, kesalahpahaman tentang generasi terbaik, http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/24/generasi-terbaik/

Suatu kesalahpahaman lainnya yang telah berlarut-larut dan masih terjadi sampai zaman modern ini adalah kesalahpahaman tentang pemahaman (manhaj).  Kesalahpahaman yang telah membuat umat muslim kebingungan, dalam keraguan dan bahkan menimbulkan konflik antara umat muslim sendiri.

Sebagian muslim atau kaum muslim mengikuti pemahaman  ulama Muhammad  bin Abdul Wahab, ulama yang mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyah. Mereka disebut kaum Wahabi atau Salaf(i).

Kesalahpahaman terjadi karena mereka menyatakan bahwa pemahaman mereka adalah sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh. Mereka mengatasnamakan pemahaman mereka sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh. Lihat tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/01/atasnama-salaf/

Begitu juga , saya agak risih jika menemukan tulisan dimulai dengan
"Pemahaman dalam Islam ..........", secara tidak disadari merupakan tulisan yang mengatasnamakan Islam, yang bisa mengakibatkan bahwa klo berbeda pemahamannya maka pemahaman yang berbeda bisa diartikan pemahaman di luar Islam ?

Kita sebaiknya tidak mengatasnamakan pemahaman kita atau kaum kita pada muslim lainnya atau kaum muslim lainnya. Kita harus tegas mengatakan atau mengakui sebagai pemahaman kita atau sebagai pemahaman kaum kita.  Begitu juga harus tegas mengatakan atau mengakui sebagai penafsiran kita, yang umumnya mengikuti nama yang menafsirkan atau yang memahaminya. Contoh Mazhab Syafi’i, Manhaj Asy’ariah, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir , Tafsir Buya Hamka dll.

Bagaimana pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh menjadi termasuk perihal yang ghaib karena waktunya sudah berlalu (Al-Ghaibul Madhi) yaitu segala sesuatu atau kejadian yang terjadi pada zaman dahulu, yang mana kita tidak hidup sezaman dengannya. Sehingga kita tidak bisa melakukan konfirmasi (temu-muka) akan pemahaman mereka sesungguhnya.

Apa yang kita lakukan adalah upaya pemahaman (ijtihad) terhadap tulisan, riwayat, lafadz, nash Al-Qur’an , Hadits, riwayat atau perkataan Salafush Sholeh, yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan juga pemahaman-pemahaman ulama–ulama terdahulu.

Pendapat/Pemahaman/Pemikiran seorang muslim bisa  benar dan bisa salah namun perkataan dalam Al-Qur’an dan Hadits adalah yang pasti benar.

Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) berkata “Setiap (pendapat) dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaih

Sebenar benar perkataan adalah kitabullah(alquran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam..”(HR.Muslim)

Upaya pemahaman yang telah dilakukan dan disampaikan kepada muslim lainnya atau kaum muslim lainnya harus diakui oleh orang yang melakukan pemahaman  yang kelak harus mempertanggungjawabkan di akhirat nanti.  Kita tahu apapun lisan maupun tulisan kita harus mempertanggung jawabkan di akhirat nanti. Apalagi pemahaman kita menjadi dasar amal atau perbuatan muslim lainnya.

Oleh karenanya pemahaman dengan sistem guru-murid secara temu muka atau lisan, turun temurun (memperhatikan sanad/keterhubungan), sistem peng-ijazah-an pada suatu thariqah lebih baik dibandingkan pemahaman yang digali berdasarkan tulisan atau tekstual semata.

Bayangkan kemungkinan distorsi yang terjadi antara ulama Muhammad bin Abdul Wahab dengan ulama Ibnu Taimiyah yang terpaut ratusan tahun zamannya. Oleh karananya saya katakan bahwa ulama Muhammad bin Abdul Wahab, "mengangkat kembali" metode pemahaman ulama Ibnu Taimiyah dan dicampur dengan pemahaman pribadi beliau sendiri.

Jadi harus kita katakan dengan tegas dan mengakui bahwa  apa yang telah dipahami oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahab ataupun ulama Ibnu Taimiyah adalah pemahaman mereka masing-masing

Sehingga jika kita menemukan perbedaan pemahaman, kita masing-masing harus memutuskan dengan merujuk kepada  Al-Qur’an dan Hadits.

Kenapa saya katakan masing-masing pribadi yang memutuskan, karena kita bertanggung jawab pada pemahaman kita masing-masing, tidak bisa kita membebankan tanggung jawab kepada orang lain yang telah mengutarakan pemahamannya.  Pemahaman adalah dasar dari sebuah amal / perbuatan. Di akhirat nanti kita tidak bisa mengatakan bahwa perbuatan kita didunia dikarenakan buah dari pemahaman si fulan

Firman Allah,

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)

Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)

Oleh karenanya, jika kita mengeluarkan sebuah pemahaman, kita wajib mengingatkan orang yang menerima pemahaman itu  untuk selalu merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits.

Kesalahpahaman lain yang berhubungan dengan kesalahpahaman diatas adalah kesalahpahaman memahami hadits berikut,

Nabi bersabda yang artinya, “Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditanganNya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah,  yang satu masuk surga  dan yang lain masuk neraka”.
Berkata para Sahabat : ” Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu Ya Rasulullah ?”
Nabi menjawab :
(nama firqah) .

Kita dapat menemukan matan nama firqah yang berbeda  pada hadits atau riwayat lainnya.

Sebagian umat muslim “menggunakan” hadits di atas sebagai “keputusan” bahwa jama’ah  mereka adalah firqah “yang satu masuk surga”. Bahkan lebih keji dengan menyatakan bahwa diluar jamaah mereka adalah sesat, ahlu bid’ah dan kafir. Naudzubillah min zalik.

Sangat berbahaya jika mengukur, menilai saudara muslim atau jamaah lainnya dengan batasan ukuran ilmu atau pemahaman kita sendiri, karena sesungguhnya tingkat pemahaman muslim terhadap agama adalah sangat berbeda-beda tergantung anugerah / karunia yang telah Allah berikan.

Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (Al-Baqarah – 269).

Kita harus menghormati perbedaan pemahaman saudara-saudara muslim lainnya.

Hadits-hadits, riwayat-riwayat yang senada dengan di atas , kita pergunakan untuk selalu sadar dan merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Sebaiknya kita harus meyakini bahwa “keputusan” atau hasil bahwa “firqah yang masuk surga” adalah hak Allah sedangkan hak manusia hanyalah pada proses, upaya atau ikhtiar pemahaman semata.

Sedangkan petunjuk Allah dalam al-Qur’an  tentang kaum yang dicintaiNya ada dalam firmaNya  yang artinya,

"…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Maidah: 54)

Pada zaman modern ini, malah kita dapatkan menemukan suatu kaum yang bersikap keras kepada orang muslim dan berlemah-lembut kepada orang-orang kafir. Kitapun dapat menemukan para penguasa negeri yang muslim namun seolah-olah  keras/tegas terhadap rakyatnya yang muslim dan tetap melanjutkan perjanjian dengan orang-orang kafir untuk mengolah anugerah Allah yakni hasil bumi, pertambangan dll.

Padahal Allah telah memperingatkan  kita lewat firmanNya yang artinya,

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).

Kita harus berupaya untuk termasuk kedalam kaum yang Allah cintai itu

Bagaimana agar kita  atau kaum kita dicintai Allah ?

Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Selengkapnya tentang zuhud, silahkan baca tulisan pada,

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/30/zuhudlah-di-dunia/

Inti dari zuhud itu adalah menjadi muslim yang memahami dan menjalankan seluruh pokok-pokok dalam ajaran agama Islam secara menyeluruh (kaffah), sebaiknya tidak menolak/meningkari satu pokokpun. Pokok-pokok ajaran dalam Islam yakni, , Islam (rukun Islam, fiqih), Iman (rukun Iman, Ushuluddin), Ihsan (akhlak,  Tasawuf).

Upaya untuk menjadi muslim yang terbaik, muslim sholeh, muslim berakhlakul karimah, muslim yang ihsan atau muhsin/muhsinin yakni muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah atau minimal muslim yang yakin bahwa segala perbuatan di lihat Allah.

Muslim yang sholeh, sebagaimana Tauladan  kita, Junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ketika mi'raj dan bertemu dengan para Nabi terdahulu disambut dengan sambutan "Saudaraku yang sholeh", "Nabi yang sholeh" atau "Anakku yang sholeh".

Begitu juga ketika mi'raj dan menghadap Allah Subhaanahu wa Ta'ala, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam membaca, "Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin" yang artinya  "Keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh".  Do'a yang selalu kita baca pula setiap sholat.

Muslim yang sholeh yakni muslim yang selalu sadar dan mengingat Allah. Setiap perilaku kita / akhlak kita harus dengan mengingat Allah, seluruh waktu kita penuh berinteraksi dengan Allah.

Berinteraksi dengan Allah dengan cara berinteraksi dengan firman-firmanNya yakni Al-Qur’an. Seluruh perbuatan / akhlak kita harus selalu sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits

Dengan kitab (al Qur’an) itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus” (QS-al Maaidah [5]: 16).

Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS Al-Baqarah [2] : 2).

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”(QS  al Baqarah [2] : 147)

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quraan) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quraan itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu” (QS al An’aam [6]: 114)

Wassalam

Zon di Jonggol

20 komentar:

  1. betul akh....semoga kita terhindar dari ANA KHAIRUM MINHU =saya lebih baik dari dia, yang terkadang itu ada pada kelompok2, harakah...

    BalasHapus
  2. assalamu'alaykum akhi Zon...

    sekedar mengingatkan... apakah akhi tidak terlalu berlebihan dengan tulisan "Kesalahpahaman tentang pemahaman
    (manhaj salaf)" padahal kalau melihat ulama dan para tabi'in tidak ada yang berani atau mengatakan ulama dan tabi'in yang lain salah.
    bagaimana sejarah2 4 imam mahzab saling menghormati.. dan tidak menyalahkan pendapat yang salah.

    Alloh maha kuasa mengatur alam semesta ini dengan teratur, bumi, bulan danbintang, dan mengatur rejeki manusia, burung dan binatang dari laut terdalam hingga langit ke 7
    tidak sama sekali kesulitan..

    hingga nanti, apa yang kita lakukan dan kita kemukakan akan tidak sulit, mudah sekali menghisapnya.

    maka akhi Zon, hati-hati dengan berbicara dan menyalahkan sesama muslim. karena omongan kita akan di pertanggungjawabkan... dihadapan Alloh tidak lah sulit minghisabnya seperti mudahnya Alloh mengatur alam semesta ini..


    Diriwayatkan bahwa Umar Radhiyallahu 'Anhu berkata : “Ada tiga yang bisa merusak manusia : para pemimpin yang menyesatkan, debatnya seorang munafik menggunakan Alqur’an (sedangkan Alqur’an adalah haq) dan kesalahan seorang alim”

    BalasHapus
  3. salafi itu artinya pengikut salaf mas, pendahulu, pendahulu yang mana?pendahulu kita yg shalih, safunash shalih... Kita mengikuti pemahaman mereka dlm memahami al qur'an dan as sunnah, krn merekalah yg telah mendapat pujian sebagai generasi terbaik, mereka pula yg Allah telah puji dengan keridla'an, Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepada Allah. Itulah mereka pendahulu, salaf kita yg shalih yg hendaknya kita beraga sebagaimana mereka beragama. Dan demikianlah yg dimaukan dgn istilah salafy, pengikut salaf, salaf yg shalih. Jadi, berlebihan jika anda mempermasalahkan manhaj salaf, salaf siapa yg diikuti?salaf ada yg baik dan ada yg buruk. Masa anda tidak mendapati penjelasan yg seperti ini dari para ustadz yg menisbahkan dirinya kpd manhaj salafy, jika anda memang jujur? Jika anda belum mengetahuinya, semoga penjelasan yg masih ringkas d atas dpt membuat anda paham apa yg dimaukan dengan salafy, amin...
    Tentu ini lebih baik dr pada anda memaksakan diri kepada sebuah pendapat yg sebenarnya jauh dari keadaan yg sebenarnya tentang pendapat yg anda yakini... Lain hanya jika ada niatan cuma ingin menjelek-jelekkan, meskipun dgn cara yg tidak ilmiah...

    BalasHapus
  4. [...] Itulah yang saya telah uraikan dalam tulisan kesalahpahaman tentang pemahaman http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/26/salahpaham-pemahaman/ [...]

    BalasHapus
  5. mengapa hanya dibatasi dgn muhammad bin abdul wahhab dan ibnu taimiyah saja, di mana para ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan tabiuttabi'in yang mereka menjadi rujukan salafiyyin dalam memahami al qur'an dan assunnah jika anda bersikap adil dan jujur? Atau lagi2 anda belum mengetahui tetapi memaksakan diri mengambil kesimpan tentang salafy? Coba anda baca kembali komentar singkat saya, kemudian ikhlaskan diri ngaji kepada ustadz salafy, insya Allah anda akan dapati penjelasan mengikuti pemahaman para ulama salafush shalih.

    BalasHapus
  6. Rujukan salaf(i) ?
    Apakah antum menganggap muslim yang lain tidak merujuk kepada Salafush Sholeh ?
    Mengaji kepada salaf(i)?
    Sebagian muslim telah berkonsultasi dengan saya dan juga menceritakan kepada saya, apa yang terjadi kepada mereka setelah mengikuti pengajian kaum salaf(i). Mungin juga mereka mengaji dengan ulama para pengaku salaf(i), wallahu a'alam

    Silahkan baca tulisan yang lain
    http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/01/ideologi-salafisme/
    http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/29/tinggalkanlah-salafy/
    atau
    http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/02/mereka-bukan-musyrik/

    BalasHapus
  7. Tentu saja orang yang Anda kategorikan sebagai Wahabi meradang, lah Anda yang katanya juga tidak sepakat dengan Islam Liberal hanya mengetengahkan bantahan dan ajakan keluar dari wahabi tapi tidak ada rubrik khusus bantahan terhadap IslamLib dan ajakan untuk meninggalkan Islam Lib.
    Kalau Anda mau terlihat imparsial, sila menghadirkan bantahan terhadap dua-duanya, IslamLib dan wahabi. Juga sekalian dengan muslim yang sering menyernag-nyerang itu, itu juga perlu dinasehati....
    Saya harap Anda bisa menjadi imparsial....
    Wallohu a'alm.

    BalasHapus
  8. Lha memang demikian yang dimaukan dengan istilah salafy, pengikut salafush shalih... Maka siapapun dari kalangan kaum muslimin, di tempat dan di waktu manapun, yang ia memahami dalil2 syariat dengan pemahaman salafush shalih, maka itulah yg dimaukan dengan istilah salafy. Jadi bukanlah yg dimaksud salafy itu kelompok tertentu atau pemikiran tertentu dari kelompok-kelompok yang ada dalam tubuh umat Islam, bukan sama sekali...

    BalasHapus
  9. bismillah...
    Pembagian tauhid menjadi tiga adalah hasil dari penelitian thd nash al qur'an dan as sunnah. Sebagaimana dalam hal fiqih, shalat misalnya, dahulunya tidak dikenal istilah syarat shalat, wajib shalat, rukun shalat, dsb. Kemudian, para ulama melakukan penelitian thd dalil2 tentang shalat dan agar umat lebih mudah mempelajari dan mengamalkannya, maka muncullah konsep tentang rukun shalat, syarat syah shalat, dll. Maka demikian pula dengan pembagian tauhid menjadi tiga. Tauhid asalnya satu, mengesakan Allah. Akan tetapi, agar umat lebih mudah memahami dan merealisasikan tauhid tsb maka para ulama yg melakukan penelitian thd nash2 membagi tauhid mjd 3. Bahwasanya ayat2 tentang tauhid datang dalam berbagai bentuk, ada yg menerangkan perbuatan-perbuatan Allah seperti mencipta alam semesta, mengaturnya, memberi rizki, menurunkan hujan, dan sebagainya, yang kemudian diistilahkan dengan tauhid rububiyah. Datang juga ayat dalam bentuk keterangan tentang nama-nama dan sifat-Nya yang mulia lagi agung yg kemudian dikenal dgn tauhid asma dan sifat. Juga ayat ayat yang datang menerangkan kewajiban hamba agar beribadah hanya kepada Allah semata, menyembah kepada-Nya dan meninggalkan peribadahan kepada yang selain Dia, yang kemudian dikenal dengan tauhid uluhiyyah. Jadi pembagian ini bukan sesuatu yg mengada-ada akan tetapi dia adalah hasil dari penelitian terhadap al qur'an dan as sunnah tentang tauhid.
    Terkait ayat-ayat sifat, maka kita menerimanya sebagaimana datangnya, kita maknai ayat tersebut sebagaimana adanya, adapun bagaimananya atau kaifiyahnya, kita serahkan hal itu kepada Allah. Akan tetapi untuk maknanya, maka kita tetapkan sebagaimana ia datang, Allah menetapkan bahwa Ia mempunyai tangan, maka kita tetapkan bahwa Ia punya tangan. Seperti apa tangan Allah, itu yg kita tidak tahu dan tidak mengatakan bagaimananya, karena Allah tidak mengabarkan bagaimana tangannya, sehingga kita tidak boleh berangan-angan bagaimana tangan Allah. Tapi kita tetapkan Allah mempunyai tangan yang sesuai dengan keagungan dan ketinggian-Nya, kenapa? Karena Allah sendirilah yang menerangkan bahwa Ia mempunyai tangan. Maka apa alasannya kita menolak sifat tangan sementara Allah sendiri menetapkan.
    Sebagian kita barangkali mengatakan kalau kita tetapkan Allah punya tangan berati kita menyamakan Allah dengan mahluk, dong.. Jawabannya tidak demikian. Allah berfirman: 'Tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat'. Kita sering mendapati potongan ayat 'tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya' dibawakan penulis ketika berbicara tentang ayat sifat, tetapi sayang tidak dibawakan potongan selanjut-Nya 'dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat'. Padahal dari ayat ini ada kaidah penting yg diambil para ulama dalam membahas asma dan sifat. Yang pertama dalam potongan ayat 'tidak ada sesuatu yg serupa dengan-Nya' kita mensucikan sifat Allah dari sama dengan mahluk-Nya. Allah tidak sama dengan mahluk-Nya, akan sifatnya sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Meskipun demikian, kita

    BalasHapus
  10. meskiun demikian, kita mensucikan Ia dari sama dengan mahluk-Nya bukan berati kita menolak sifat yang telah Ia tetapkan sendiri dalam firman-Nya, karena kelanjutan dari ayat ini adalah 'dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat'. Dalam ayat ini Allah menetapkan bahwa Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Jika Allah telah menetapkan, maka untuk alasan apa kita menolaknya, atau memalingkan kepada makna yang lain dalam keadaan al qur'an turun dalam bahasa yang jelas, yang bisa dipahami maknanya? Maka kita tetapkan sebagaimana Allah tetapkan, termasuk sifat tangan bagi-Nya, adapun hakikat bagaimana tangan Allah, kita tidak mengetahuinya, hal itulah yang kita serahkan kepada Allah. Pasti tidak sama dengan mahluk-Nya, akan tetapi sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
    Wallahu a'lam..

    BalasHapus
  11. Benar, Dia telah menetapkan, namun ulil albab mengambil pelajaran akan firman Allah atas kehendakNya, dalam bentuk karunia pemahaman yang dalam (al-hikmah) bukan pemahaman secara dzahir.

    BalasHapus
  12. Adalah para sahabat, mereka juga ulil albab, bahkan lebih utama dari orang-orang yang datang setelah mereka. Dan Al Qur'an, turun dalam bahasa mereka, bahasa arab yang tentu mereka sangat paham makna-maknanya. Dalam keadaan demikian, ternyata kita tidak dapati riwayat bahwa mereka mamaknai ayat-ayat tentang sifat Allah, mereka palingkan maknanya kepada makna yang lain yang tidak sesuai dengan lafadz ayat yang datang. Tidak kita dapati, ketika Allah menerangkan bahwa ia punya tangan, mereka memalingkan makna tangan kepada kekuasaan misalnya. Ketika Allah terangkan bahwa Ia mempunyai sifat wajah, tidak kita dapati bahwa mereka memalingkan makna wajah kepada makna yang lain.

    Apakah kemudian kita akan mengatakan bahwa yang demikian itu berati menyamakan Allah dengan mahluk, jawabannya tidak. Kita tetapkan apa yang Allah tetapkan bagi-Nya, dan kita nafikan apa yang Allah nafikan bagi-Nya. Maka jika Allah telah tetapkan bahwa ia mempunyai tangan, maka kita harus mengimaninya, kita tetapkan bahwa Allah mempunyai tangan. Ketika Allah tetapkan bahwa Ia mempunyai wajah, maka kitapun harus mengimaninya, dan menetapkan bahwa Allah mempunyai wajah. Jika demikian, apakah berati kita menyamakan Allah dengan mahluk-Nya. Tentu tidak? Kita tetapkan sifat yang demikian karena Allah telah tetapkan sifat tersebut bagi-Nya, tetapi kita juga katakan bahwa tangan Allah tidak seperti tangan mahluk-Nya, wajah Allah tidak seperti wajah mahluk-Nya, akan tetapi sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.

    Allah berfirman :"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat".

    Dan sungguh beruntung, seseorang yang diberi kemudahan oleh Allah untuk mampu mengambil pelajaran dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, misalnya ketika Allah terangkan bahwa Ia Maha Melihat, maka iapun meyakininya dan mengambil pelajaran darinya sehingga bertambahlah rasa takutnya kepada Allah, ketika ia hendak berbuat maksiat, ia teringat bahwa Allah Maha Melihat perbuatan hamba-hamba-Nya. Maka iapun mengurungkan niatan maksiatnya karena merasa perbuatan-Nya dilihat oleh yang Maha Melihat, Allah Subhanahu wa Ta'ala.

    Tentu, yang demikian bukan dengan memalingkan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya. Akan tetapi, ia tetapkan sifat tersebut bagi Allah, dan ia sucikan sifat Allah tersebut dari sama dengan mahluk-Nya.

    Wallahu a'lam...

    BalasHapus
  13. Salah paham?wajar, yg penting ada keinginan utk introspeksi diri dengan belajar dan belajar lagi. Yg tdk salah paham sesama ulama sufi/tasawuf,terkecuali disalah pahami oleh pentafsir kitab. Dan yg demikian juga wajar,karena orang lain yg mengarang orang lain yg mentafsir.

    BalasHapus
  14. blog yang bagus dan santun, mohon ijin kang saya mo copy / download artikelnya

    BalasHapus
  15. Alhamdulillah, silahkan disebarluaskan agar kita dapat turut meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman yang ada.

    BalasHapus
  16. Mohon izin untuk saya bagikan di facebook yang saya miliki

    BalasHapus
  17. Silahkan. Semoga Allah ta'ala memudahkan dan meridhoi terhadap keinginan antum menyebarluaskannya.
    Tulisan terkait
    http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/13/pemahaman-salaf/

    BalasHapus
  18. proses metamorfosa7 Januari 2011 pukul 06.00

    Tanpa disadari oleh sdr2 anda sendirilah yang telah memecah umat ini melalui artikel yang menyudutkan, berserah dirilah kepada Allah Doakan yang terbaik buat umat ini agar kelak kita sama sama menghadap kepadaNya dalam keadaan Islam dan Iman, Silahkan anda mempercayai ajaran Islam menurut ilmu yang sdr dapat dari ulama anda tapi tidak usah mengkritik pendapat yang lain

    BalasHapus
  19. mamo cemani gombong10 Januari 2011 pukul 07.29

    he....he....abu salman apa ngga bid'ah itu pembagian Tauhid jad 3 .....semua bid'ah dholalah kata nt di blog lain ...????

    BalasHapus