Sabtu, 24 Juli 2010

Mengenal Tasawuf

Pengajian rutin mingguan yang diadakan di Masjid Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar, membahas kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah yang disampaikan langsung oleh Syaikh Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi. Pembahasan terakhir kebetulan sampai pada Bab Tasawuf

Sumber : http://myquran.com/forum/showthread.php/11847-Mengenal-Tasawuf-dan-Sufi?p=152432&viewfull=1#post152432

Pertemuan Pertama


Lihat tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/25/istilah-tasawuf/

Pertemuan Kedua


Imam Al-Qusyairi berkata dalam Risalah-nya, "Sesungguhnya kalangan ini (sufi) sudah terlalu populer untuk sekedar membutuhkan identitas dari pecahan kata yang diambil dari bahasa." Artinya, istilah Tasawuf dan identitas Sufi sudah lebih dikenal dan masyhur sehingga tidak membutuhkan definisi lagi. Beliau melanjutkan, "Tasawuf adalah makna (substansi)nya, sedangkan Sufi adalah orang (pelaku)nya. Setiap orang mengungkapkan sesuai dengan apa yang dialaminya. Menyebutkan semuanya satu-persatu hanya akan mengeluarkan kita dari topik pembicaraan sebenarnya, yaitu ringkasan. Saya hanya akan menyinggung beberapa di antaranya saja." Kemudian beliau menyebutkan riwayat-riwayat yang beliau dapatkan mengenai definisi Tasawuf.

Di antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Abu Muhammad Al-Jariri, "Tasawuf adalah masuk ke dalam budi pekerti yang luhur dan keluar dari perilaku yang tercela." Ya, Tasawuf tak lain dan tak bukan adalah akhlaqul karimah alias etika atau moral. Semakin tinggi moral seseorang, semakin tinggi pula kadar Tasawufnya. Tentu saja untuk masuk ke dalam akhlak terpuji, seseorang tidak dapat lepas dari agama, karena agama adalah sumber moral. Maka, sangat keliru jika meneriakkan moral tapi di satu sisi mengabaikan agama.

Riwayat kedua, dari Al-Junaid, beliau berkata ketika beliau ditanya tentang Tasawuf, "Dia (Tasawuf) adalah apabila kau dimatikan oleh Al-Haq (Allah SWT) darimu, dan dihidupkan bersama-Nya." Definisi ini agak dalam maknanya sehingga cukup sulit dicerna. Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud perkataan Al-Junaid bahwa jika Allah telah mematikan segala macam rasa yang ada pada diri seseorang sehingga ia seolah-olah telah mati dan tak merasakan apapun, kemudian ia dihidupkan lagi dan merasa hidup berduaan saja dengan Allah, maka itulah Tasawuf. Kata "darimu" maksudnya adalah dari segala macam keinginan dalam dirimu. Ketika seseorang sudah tidak memiliki keinginan apapun terhadap dunia karena ia telah merasa cukup dengan Allah, maka saat itu ia telah merasakan hakikat Tasawuf.

Definisi lain dikemukakan oleh Al-Husain bin Manshur atau lebih dikenal dengan panggilan Al-Hallaj, beliau berkata ketika ditanya tentang Sufi, "Dia adalah seseorang yang sendirian saja, tidak diterima dan tidak menerima orang lain." Artinya, dalam hidupnya ia tidak merasakan kehadiran apapun dan siapapun. Syaikh Al-Buthi tampaknya agak kurang setuju dengan makna ini. Beliau menyanggah, "Sebenarnya untuk merasakan kesendirian, seseorang tidak perlu harus menyendiri dalam goa-goa atau tempat terpencil karena manusia adalah makhluk sosial. Justru ketika seseorang mampu bergaul dengan orang lain –dengan tetap menjaga kesendirian hati hanya bersama Allah, itulah yang lebih baik." Artinya, untuk menjaga kesendirian bersama Allah, seseorang tidak perlu menyendiri secara fisik. Karena kesendirian itu letaknya di hati, bukan di badan. Jadi yang mesti dikosongkan adalah hati, tidak mesti harus memisahkan jasad dari manusia.

Definisi lain dikemukakan oleh Abu Hamzah Al-Baghdadi, beliau berkata, "Ciri-ciri Sufi sejati adalah merasa fakir setelah kaya, merasa hina setelah mulia dan bersembunyi setelah tenar. Sedangkan ciri-ciri Sufi palsu adalah merasa kaya setelah miskin, merasa mulia setelah hina dan mencari popularitas setelah bersembunyi." Definisi ini juga cukup dalam maknanya. Kalimat "merasa fakir setelah kaya" maksudnya adalah merasa diri tak memiliki apapun. Bagaimana tidak, sedangkan dirinya sendiri adalah milik Tu(h)annya yaitu Allah. Seseorang yang masih merasa bahwa dirinya memiliki sesuatu, maka ia bukan hamba, melainkan orang merdeka. Padahal setiap manusia adalah hamba Allah. Maka, Sufi sejati adalah orang yang merasa tidak memiliki apa-apa alias fakir setelah sebelumnya ia merasa memiliki sesuatu. Selanjutnya, kalimat "merasa hina setelah mulia" maksudnya adalah tawadhu' dan merasa rendah diri di hadapan makhluk, lebih lagi di hadapan Sang Khalik. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tak lebih dari segumpal darah dan daging yang berasal dari setetes air yang hina dan akan kembali menjadi tanah, maka ia telah menjadi seorang Sufi sejati. Kemudian, kalimat "bersembunyi setelah tenar" maksudnya adalah menenggelamkan diri dalam ketiadaan dari pandangan makhluk sehingga ia hanya bersama Allah saja. Hal ini sangat penting untuk menjaga keikhlasan. Itulah ciri-ciri Sufi sejati. Sedangkan Sufi palsu adalah orang yang melakukan sebaliknya, merasa kaya dan tidak membutuhkan Allah lagi setelah ia mengakui kefakirannya, merasa mulia setelah ia mengakui kehinaannya dan mencari popularitas di mata manusia setelah sebelumnya ia adalah orang tak dikenal.

Pertemuan Ketiga


Pada pertemuan ketiga, Syaikh Al-Buthi memulai penjelasan dari ucapan 'Amr bin Utsman Al-Makki tentang tasawuf. Amr bin Utsman Al-Makky ditanya tentang tasawuf, "Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik pada saat itu."

Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud ucapan itu bahwa seorang muslim seharusanya melakukan perbuatan yang terbaik sesuai dengan waktu, situasi dan kondisi di mana ia berada. Beliau mengutip ungkapan Arab yang berbunyi, "Setiap tempat punya perkataannya dan setiap perkataan punya tempatnya."

Beliau memberikan contoh seseorang yang baru pulang dari kerja atau aktivitas di luar rumah, lalu sesampai di rumah langsung memegang buku atau membaca Al-Quran dengan alasan ia punya target ibadah yang harus ia capai dalam waktu tertentu, sehingga ia menggunakan waktu yang semestinya ia gunakan untuk keluarga. Padahal, istrinya sudah lama menunggu kepulangannya dan merindukan kehadirannya.

Syaikh Al-Buthi mengkritik perbuatan semacam itu dan mengatakan bahwa orang itu tidak memahami hakikat ibadah. Padahal, bercanda dan bersenda gurau dengan istri juga merupakan salah satu bentuk ibadah jika dilakukan pada tempat dan waktunya.

Tidakkah kita memperhatikan hadis yang berbunyi, "Setiap yang melenakan seorang muslim adalah kebatilan, kecuali tiga hal: melempar panah, melatih kuda dan bercanda dengan keluarga (istri). Ketiga hal itu adalah haq (kebenaran)" (HR. Tirmidzi)

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, "Dalam kemaluan istrimu ada sedekah." Sebagian sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah seseorang di antara kami mendatangi istrinya lalu mendapatkan pahala?" Rasulullah SAW menjawab, "Tidakkah kau lihat seandainya ia meletakkan kemaluannya di tempat yang haram, apakah ia mendapatkan dosa?" Sahabat menjawab, "Ya." Beliau melanjutkan, "Begitu juga jika ia meletakkannya di tempat yang halal, dia mendapatkan pahala." (HR. Muslim)

Jadi, seorang muslim seharusnya senantiasa melakukan perbuatan yang terbaik dan sesuai dengan tempat, waktu dan kondisinya. Di setiap tempat ada perbuatan dan di setiap waktu ada haknya masing-masing. Adakalanya sebuah ibadah tidak cocok jika dilakukan tidak pada tempat dan waktunya.

Selanjutnya, Muhammad bin Ali Al-Qashab berkata, "Tasawuf adalah akhlak mulia yang muncul di zaman mulia dari pribadi mulia bersama kaum mulia."

Syaikh Al-Buthi menjelaskan bahwa yang dimaksud "zaman mulia" adalah zaman Nabi SAW, "pribadi mulia" adalah Nabi SAW itu sendiri, sedangkan "kaum mulia" adalah para sahabat.

Sumnun pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, "Kau tidak memiliki sesuatu apapun dan kau tak dimiliki oleh sesuatu apapun."

Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud kalimat pertama bahwa seorang muslim seharusnya selalu merasa tidak memiliki sesuatu apapun, karena segala sesuatu adalah milik Allah SWT. Bahkan dirinya sendiri pun hamba milik Allah SWT. Sedangkan kalimat kedua maksudnya adalah seorang muslim seharusnya tidak terikat oleh apapun, baik materi maupun non-materi. Ketika ia terikat oleh sesuatu, maka ia bukan lagi hamba yang taat kepada Allah SWT, karena hanya Allah sajalah satu-satunya Tuhan yang berhak untuk ditaati sehingga ia harus terikat pada Allah SWT semata.

Ruwaim pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, "Melepaskan jiwa bersama apa yang dikehendaki oleh Allah SWT."

Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud "dikehendaki" adalah "diridhoi". Artinya, seorang muslim seharusnya menjadikan hawa nafsunya tunduk kepada apa yang diridhoi Allah saja, meskipun adakalanya tidak sesuai dengan kehendak makhluk.

Al-Junaid pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, "Kau bersama Allah tanpa ada ikatan apapun."

Syaikh Al-Buthi menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya bersama Allah saja tanpa menduakan-Nya dengan sesuatu apapun, itulah yang dimaksud dengan "tanpa ikatan" yaitu tanpa keterikatan dengan selain-Nya.

Ruwaim bin Ahmad Al-Baghdadi berkata, "Tasawuf dibangung di atas tiga hal: komitmen terhadap kefakiran dan ketergantungan kepada Allah, mewujudkan pengorbanan dan pemberian, meninggalkan usaha dan ikhtiar."

Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud kalimat pertama bahwa seharusnya seorang muslim senantiasa berkomitmen dengan rasa kemiskinan dan ketergantungan hanya kepada Allah SWT. Sedangkan kalimat kedua adalah refleksi dari kalimat pertama, yaitu mewujudkan pengorbanan dan pemberian sebanyak mungkin. Sebaik-baik orang adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Sedangkan kalimat ketiga merupakan puncak dari sebelumnya, yaitu menjauhi segala macam campur tangan dan usaha yang dapat menggeser atau menghilangkan makna kalimat sebelumnya.

Ma'ruf Al-Karkhi berkata, "Tasawuf adalah meraih hakikat kebenaran, dan meninggalkan apa yang ada di tangan makhluk."

Demikianlah ringkasan pengajian pada pertemuan ketiga Bab Tasawuf yang diadakan di Masjid Jami Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar oleh Syaikh Prof. Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi hafizhohullah.

Pertemuan Keempat


Al Junayd berkata, "Tasawuf adalah perang tanpa kompromi." Maksudnya adalah kesungguhan tiada akhir. Tasawuf adalah usaha dan kerja keras yang tak kenal henti dalam melaksanakan ketaatan dan kepatuhan terhadap Allah SWT.

Dia berkata pula, "Para Sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka." Maksudnya, mereka memiliki ciri khas yang tak dimiliki oleh selain mereka dalam akhlak, pergaulan dan lain-lain.

Selanjutnya dia juga menjelaskan lagi, "Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang disertai penyimakan, dan tindakan yang didasari Sunnah." Dalam hadis disebutkan, "Sesungguhnya Allah memiliki pasukan malaikat yang bertugas untuk mencari dan mengikuti halaqoh-halaqoh majelis dzikir di bumi." (HR. Al-Hakim, Sahih Al-Isnad)

Al Junayd menyatakan, "Kaum Sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan kecuali segala tumbuhan yang baik." Dia juga mengatakan, "Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang diinjak orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu." Semua itu disebabkan oleh rasa tawadhunya (perasaan hina) di hadapan Allah SWT.

Dia melanjutkan, "Jika engkau melihat seorang Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak." Karena perhatian terhadap lahiriah akan melalaikan perhatian terhadap batin. Seseorang yang disibukkan memperbaiki kulitnya akan terlupakan memperhatikan isinya.

Sahl bin Abdullah berkata, "Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis." Ini adalah kiasan. Maksudnya ia merasa tak memiliki apapun karena dirinya sendiri adalah milik Tuhannya. Bukan berarti ia memanggil setiap orang untuk membunuhnya, karena hal itu mustahil dan dilarang syariat. Juga bukan berarti keputusasaan terhadap rahmat Allah SWT karena hal itu merupakan kekufuran.

Ahmad an-Nury berkata, "Tanda seorang Sufi adalah dia merasa rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada." Artinya ketika dalam keadaan sulit ia diam, rela dan tidak mengeluh, namun ketika dalam keadaan lapang ia mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri.

Muhammad bin Ali al-Kattany menegaskan, "Tasawuf adalah akhlak yang baik. Barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti la melebihimu dalam tasawuf." Ya, tasawuf adalah akhlak yang terpuji, barangsiapa bertambah akhlaknya, bertambah pulalah tasawufnya.

Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary mengatakan, "Tasawuf adalah tinggal di pintu sang kekasih sekalipun engkau diusir." Ini merupakan kiasan. Maksudnya seseorang pasrah di hadapan pintu rahmat Allah SWT, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya tanpa peduli apakah ia akan diterima atau ditolak. Ia hanya percaya terhadap kemurahan Allah dan sama sekali tidak mengandalkan amalannya. Dalam hadis, "Amalan seseorang takkan dapat memasukkannya ke dalam surga." Karena yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga hanyalah kemurahan Allah semata.

Dia juga mengatakan, "Tasawuf adalah sucinya taqarrub setelah kotornya kejauhan dari-Nya." Karena indahnya kedekatan terhadap Allah SWT hanya dapat dirasakan setelah seseorang bersusah-payah dalam mencapainya. Pepatah Arab mengatakan, "Tiada kenikmatan kecuali setelah kelelahan."

Dikatakan, "Orang yang paling kotor adalah seorang Sufi yang amat kikir." Maksudnya seseorang yang mengaku sufi namun kikir, maka sebenarnya ia bukanlah sufi. Karena tidak mungkin bersatu antara seorang sufi dengan sifat kikir.

Dikatakan, "Tasawuf adalah tangan yang kosong dan hati yang baik." Maksudnya tangan yang tidak menyisakan sedikitpun dunia kecuali diinfakkannya di jalan Allah, sedangkan hatinya tetap bersih hanya untuk Allah semata.

Demikianlah ringkasan pengajian pada kali ini. Semoga bermanfaat.

Damaskus, 9 July 2010

Pertemuan Kelima


Ini adalah ringkasan pertemuan kelima dalam serial Mengenal Tasawuf dan Sufi. Disarikan dari pengajian Syaikh Dr. M. Said Ramadan Al-Buthi.

Asy-Syibly mengatakan, "Tasawuf adalah duduk bersama Allah SWT tanpa kegelisahan." Maksudnya adalah seseorang merasa yakin dengan rahmat dan kasih sayang Allah SWT tanpa ada kekhawatiran sedikit pun. Bagaimana bisa khawatir sedangkan kekasihnya selalu berada di sampingnya.

Ketika ia diberikan kesehatan, ia merasa yakin bahwa kesehatan itu merupakan nikmat yang terbaik untuknya. Begitu juga sebaliknya, ketika ia ditimpa sakit atau musibah lainnya, ia merasa tenang dan yakin bahwa semua itu adalah yang terbaik dari Allah untuk dirinya. Ketika ia diuji dengan kemiskinan, ia yakin bahwa kondisi itulah yang terbaik menurut Allah SWT. Begitu juga ketika ia diuji dengan kekayaan, ia yakin bahwa itulah pemberian terbaik dari Allah SWT.

Allah SWT berfirman, "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus: 62)

Abu Manshur berkata, "Sufi adalah orang yang mengisyaratkan dari Allah SWT, sedangkan manusia mengisyaratkan kepada Allah SWT." Maksudnya, seorang sufi selalu mengingatkan kita tentang nikmat-nikmat yang datangnya dari Allah SWT, sementara orang-orang hanya mengingatkan kita tentang kewajiban-kewajiban kita terhadap Allah SWT.

Asy-Syibly mengatakan, "Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah SWT." Maksudnya adalah hatinya terpisah dari makhluk dan hanya terpaut dengan Allah saja. Keterpisahan ini tidak bermakna keterpisahan secara fisik dan materi. Boleh jadi fisiknya membaur dengan manusia di pasar, kantor, madrasah dan lain-lain, tapi hatinya hanya bersama Allah saja. Ini benar-benar hidup dalam keterasingan di tengah-tengah keramaian. Jasadnya berjalan di muka bumi, namun hatinya melayang-layang di kerajaan Allah. Orang semacam ini seolah-olah diciptakan untuk menjadi kekasih-Nya.

Allah SWT berfirman, "dan Aku telah memilihmu (Musa) untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41). Yaitu memutusnya dari dari semua makhluk.

Kemudian Allah SWT berfirman, "Kau (Musa) takkan dapat melihat-Ku." (QS. Al-A'raf: 143). Karena kedekatan seseorang terhadap kekasih akan mengundang rasa rindu untuk melihatnya. Namun sayang, di dunia ini tak satupun yang diizinkan oleh Sang Kekasih untuk melihat-Nya, bahkan Nabi Musa sekalipun. Hanya di akhirat saja tempat paling indah itu.

Allah SWT berfirman, "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya." (QS. Yunus: 26). Tambahan itu berupa melihat wajah Allah secara langsung. (Tafsir Ibnu Katsir)

Asy-Syibly juga mengatakan, "Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Al-Haq (Allah SWT)." Ini adalah kiasan, karena seorang anak selalu merasa aman dan nyaman bersama ayahnya. Ia merasa tenang dari segala macam gangguan. Ia menyadari kelemahan dirinya, sekaligus mengakui kekuatan ayahnya. Demikian pula keadaan para sufi, mereka merasa tenang dan aman bersama Allah. Mereka menyadari kelemahan diri mereka sekaligus mengakui kekuatan dan kehebatan Allah. Oleh karena itu, mereka menyerupai anak-anak yang berada di pangkuan ayah mereka.

"Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. An-Nahl: 60)

"Dan bagi-Nya lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ar-Rum: 27)

Demikian ringkasan pengajian kali ini. Walhamdulillahi rabbil 'alamin.

Damaskus, 16 July 2010

Pertemuan Keenam


Inilah ringkasan pertemuan keenam dari pengajian Syaikh Dr. M. Said Ramadan Al-Buthi tentang Tasawuf.

Asy-Syibli berkata, "Tasawuf adalah kilat yang menyala." Maksudnya adalah kondisi batin yang berubah-rubah dengan sangat cepat sehingga menyerupai kilat. Kadangkala kondisi roja' (harap) menguasai seorang sufi sehingga ia teringat akan rahmat Allah SWT yang sangat luas, lalu ia pun senang. Di saat seperti itu, tiba-tiba kondisi batinnya berubah menjadi khouf (takut) yang sangat dahsyat sehingga ia teringat akan siksa Allah SWT yang amat pedih, sehingga ia pun gemetar. Kondisi itu berubah-rubah dengan sangat cepat sehingga menyerupai kilat yang menyala.

Asy-Syibli juga berkata, "Tasawuf adalah terlindung dari memandang makhluk." Maksudnya, Allah SWT melindungi penglihatan anda dari memandang makhluk. Ketika anda melihat alam dengan segala macam warna-warninya, langit biru, bumi yang terbentang luas, pepohonan yang rindang, sungai yang mengalir, awan yang berarak, maka anda hanya akan melihat Sang Pencipta jagad raya Yang Maha Besar itu, yaitu Allah SWT. Anda sama sekali tidak melihat makhluk-makhluk itu. Yang ada di pandangan anda hanyalah Dzat yang menciptakan semua itu, yaitu Allah SWT. Lalu bibir anda pun melantunkan kalimat-kalimat pujian yang indah, "Subhanallah. Maha Suci Allah."

Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali Imran: 190-191)

Seorang sufi berjalan di atas muka bumi, berjual-beli dengan manusia di pasar, bercocok tanam di sawah, namun ia tak melihat apa-apa selain Allah SWT. Matanya melihat dunia, namun hatinya melihat Allah SWT yang menciptakan dunia itu. Inilah yang dinamakan dengan Wihdatu Al-Syuhud, yaitu tunggalnya penglihatan. Seorang sufi mengakui adanya wujud selain Allah SWT, yaitu makhluk-makhluk seperti bumi, langit, gunung, manusia, air, batu dan lain-lain, namun ia tidak melihatnya. Yang ia lihat hanyalah Allah SWT.

Berbeda dengan Wihdatu Al-Wujud (tunggalnya wujud) yang menafikan segala wujud selain Allah SWT. Ini berarti menafikan adanya malaikat, nabi, kitab suci dan lain-lain. Jelas ini bukan ajaran Islam. Sedangkan yang pertama tadi merupakan inti ajaran Islam.

Ruwaym berkata, "Para Sufi akan tetap berada dalam kebaikan selama mereka bertengkar satu dengan yang lain. Tapi setelah mereka berdamai, maka tak ada lagi kebaikan pada mereka." Maksud bertengkar di sini adalah saling mengingatkan satu sama lain ketika sedang lalai, seolah-olah tidak ada kompromi di antara mereka. Dalam kondisi seperti itu, mereka berada dalam kebaikan. Namun ketika mereka sudah mulai berbasa-basi dan melupakan nasehat, maka saat itulah kebaikan itu pergi. Rasulullah SAW bersabda, "Agama itu adalah nasehat."

Al Jurairy mengatakan, "Tasawuf adalah memantau setiap kondisi dan berpegang pada adab." Maksudnya memantau kondisi batin agar senantiasa selaras dengan syariat.

Khouf dan roja' adalah dua sikap yang harus seimbang pada diri setiap mukmin, ibarat dua sayap yang tidak boleh pincang salah satunya. Khouf yang berlebihan akan menyebabkan seseorang mengalami Al-Ya's (keputusasaan), sehingga ia terputus dari rahmat Allah SWT. Kita mungkin pernah mendengar seseorang mengatakan, "Sudahlah, Allah tidak akan mungkin mengampuni dosa-dosa saya yang terlampau banyak." Sebaliknya, rasa roja' yang berlebihan juga dapat menyebabkan seseorang tidak sopan terhadap Allah SWT. Orang seperti ini akan mengatakan, "Sudahlah, tidak apa-apa berbuat dosa sebanyak-banyaknya. Allah Maha Luas ampunan-Nya. Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Allah Maha Mengampuni Dosa dan Maha Menerima taubat. Dia tidak akan menyiksa hamba-Nya." Jadi, harus keduanya seimbang. Nah, seorang sufi selalu mengawasi kondisi dirinya sendiri di setiap waktu agar tidak terjadi kepincangan.

Sedangkan makna "berpegang pada adab" adalah berpegang teguh pada syariat. Adab takkan mungkin tegak tanpa syariat, karena adab berdiri di atas syariat. Sufi adalah orang yang paling taat menjalankan syariat, karena tak mungkin ia dapat menjadi seorang sufi tanpa melewati fase syariat. Seseorang yang mengaku sufi namun syariatnya masih terbengkalai bukanlah sufi sebenarnya.

Al-Muzayyin menegaskan, "Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq." Maksudnya adalah kepasrahan kepada Allah SWT dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Abu Turab an-Nakhsyaby menyatakan, "Seorang Sufi tidak dapat dikotori oleh sesuatu pun, bahkan segala sesuatu menjadi jernih karenanya." Ketika seorang sufi dicela, dihina dan dicacimaki, ia tidak bergeming, bahkan mengatakan, "Saya lebih buruk daripada yang anda tuduhkan itu." Ketika ia dipuji, disanjung dan dimuliakan, ia pun tak bergeming dan mengatakan, "Diamlah, saya tidak seperti yang anda sangka itu. Saya lebih tahu diri saya sendiri daripada anda. Anda hanya melihat penampilan luar saya. Adapun dalamnya, hanya saya dan Allah saja yang tahu."

Suatu hari, seorang ustadz bersama para muridnya sedang berjalan. Tiba-tiba mereka tertimpa kotoran dari atas mereka. Siapa yang melemparkan, sengaja atau tidak, tak seorang pun yang tahu. Sebelum para murid mulai berbicara, sang ustadz memulainya terlebih dahulu, "Tahukah kalian bahwa kita masih lebih buruk daripada kotoran ini."

Di tempat lain, dua orang sedang bersengketa mengenai suatu permasalahan. Lalu datanglah seorang sufi menengahi mereka. Tak lama kemudian, masing-masing di antara dua orang yang bersengketa itu berhenti bersengketa dan tidak mau menuntut lawannya.

Demikianlah, semestinya setiap muslim menjadi sosok yang jernih dan menjernihkan. Kehadirannya di komunitas apapun seharusnya dapat memberikan kontribusi positif dan konstruktif. Pujian maupun celaan tak dapat mengotori hatinya.

Allah SWT berfirman:

"…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Maidah: 54)

Demikianlah ringkasan kali ini.

Damaskus, 23 July 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar