Selasa, 06 Juli 2010

Tanpa arah dan tempat

Perbedaan pemahaman saat ini , sebagian sudah tidak lagi dalam hal furuiyah/khilafiyah (cabang) namun sudah merambah pada tataran aqidah atau i’tiqad.

Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya?”, “Di mana Dia?  ” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat“.

Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya  tanpa  tempat dan arah  setelah  terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.

Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat,  hlm.  506,  mengatakan:  “Sebagian  sahabat  kami  dalam menafikan  tempat  bagi  Allah mengambil  dalil  dari  sabda  Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam:

Maknanya:  “Engkau  azh-Zhahir  (yang  segala  sesuatu menunjukkan akan  ada-Nya),    tidak  ada  sesuatu  di  atas-Mu  dan  Engkaulah  al Bathin  (yang  tidak  dapat  dibayangkan)  tidak  ada  sesuatu  di  bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).

Jika  tidak  ada  sesuatu  di  atas-Nya  dan  tidak  ada  sesuatu  di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.

Hadits Jariyah
Sedangkan salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya memberi persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak boleh diambil  secara  zhahirnya,  tetapi  harus  ditakwil  dengan makna yang sesuai dengan  sifat-sifat Allah,  jadi maknanya adalah Dzat yang sangat  tinggi derajat-Nya  sebagaimana  dikatakan  oleh  ulama Ahlussunnah Wal  Jama’ah, di  antaranya  adalah  al  Imam  an-Nawawi dalam  Syarh  Shahih  Muslim.

Sementara  riwayat  hadits  Jariyah  yang maknanya shahih adalah:

Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah  seorang  sahabat  Anshar  datang  kepada  Rasulullah Shallallahu  ‘alayhi  wasallam   dengan  membawa  seorang  hamba sahaya  berkulit  hitam,  dan  berkata:  “Wahai  Rasulullah sesungguhnya  saya mempunyai kewajiban memerdekakan  seorang hamba sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku akan memerdekakannya,
kemudian Rasulullah berkata  kepadanya:  Apakah  engkau  bersaksi  tiada  Tuhan  yang berhak  disembah  kecuali  Allah?  Ia  (budak)  menjawab:  “Ya”,
Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah  Rasul  (utusan)  Allah?  Ia  menjawab:  “Ya”,
kemudian Rasulullah  berkata:  Apakah  engkau  beriman  terhadap  hari
kebangkitan  setelah  kematian?  ia  menjawab  :  “Ya”,  kemudian
Rasulullah berkata: Merdekakanlah dia”.

Al Hafizh  al Haytsami  (W.  807 H)  dalam kitabnya Majma’  az-Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad  dan  perawi-perawinya  adalah perawi-perawi  shahih”.

Riwayat inilah  yang  sesuai  dengan  prinsip-prinsip  dan  dasar  ajaran  Islam,
karena di  antara dasar-dasar  Islam bahwa orang yang hendak masuk Islam maka  ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang lain.

Tidak  Boleh  dikatakan  Allah  ada  di  atas  ‘Arsy  atau  ada  di mana-mana

Senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari di atas perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah  meridlainya-:

Maknanya:  “Allah  ada (pada  azal)  dan  belum  ada  tempat  dan Dia (Allah)  sekarang  (setelah menciptakan  tempat)  tetap  seperti  semula, ada tanpa  tempat“  (Dituturkan  oleh  al  Imam  Abu  Manshur  al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).

Karenanya  tidak boleh dikatakan Allah ada di  satu tempat atau di mana-mana, juga  tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua  arah  penjuru.  Syekh Abdul Wahhab  asy-Sya’rani  (W.  973 H) dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash: “Tidak  boleh  dikatakan  bahwa Allah  ada  di mana-mana”.

Aqidah  yang mesti  diyakini  bahwa  Allah  ada  tanpa  arah  dan  tanpa tempat.

Al  Imam  Ali -semoga  Allah  meridlainya-  mengatakan  yang maknanya:  “Sesungguhnya Allah  menciptakan  ‘Arsy  (makhluk Allah  yang paling  besar)  untuk  menampakkan  kekuasaan-Nya  bukan  untuk menjadikannya tempat  bagi Dzat-Nya“  (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333)

Sayyidina  Ali -semoga  Allah  meridlainya-  juga  mengatakan  yang maknanya:  “Sesungguhnya  yang  menciptakan  ayna  (tempat)  tidak  boleh dikatakan  bagi-Nya  di  mana  (pertanyaan  tentang  tempat),  dan  yang menciptakan  kayfa  (sifat-sifat  makhluk)  tidak  boleh  dikatakan  bagi-Nya bagaimana“  (diriwayatkan  oleh Abu  al Muzhaffar  al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)

Selengkapnya silahkan baca pada sumber yakni,

Aqidah_Ahlussunnah Wal Jama’ah

.

Wassalam

Zon di Jonggol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar