Sabtu, 03 Juli 2010

Di mana Allah

Sebagian muslim memahami hadits secara dzahir, lahiriah atau tekstual tentang Jariyah ( budak perempuan ) yang ditanya Rasulullah SAW, “Dimanakah Allah” . ( Shahih Muslim no:537).

Kita ketahui bahwa pertanyaan / dakwah disesuaikan dengan keadaan si penerima pertanyaan / dakwah maupun suasana kejadian pada saat itu. Hal ini sudah saya tuliskan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/06/di-atas-langit/

dan dari sumber lain, silahkan baca tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/12/hadits-jariyah/

.

Kali ini saya menyampaikan perkataan Imam Al Qusyairi

Imam al Qusyairi mengatakan,

Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.

Ketika saya sampaikan perkataan Imam al Qusyairi kepada mereka , mereka balik bertanya ”Mengapa mengikuti perkataan Imam al Qusyairi, seorang ulama Sufi  yang wafat tahun 465H, bukan shahabat, bukan tabi'in) yang melarang bertanya "Dimana Allah?"

Inilah yang saya sedihkan, apakah ulama yang bukan sahabat atau tabi'in atau tabi'ut tabi'in jauh dari kebenaran ?

Pendapat ulama, wajib kita periksa dengan Al-Qur'an dan Hadits.

Imam Qusairy tidak melarang , namun beliau mengatakan ”Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya" , ini sangat sesuai dengan firman Allah yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura : 11).

Secara dzahir atau dengan "mata kepala", tidak akan mendapatkan jawaban "bagaimana Dia" atau "dimana Dia". Begitu pula tidak akan mendapatkan jawaban jika hanya dengan diskusi berkepanjangan saja.

Oleh karenanya Imam Qusairy memberitahukan jalan untuk mendapatkan jawaban dimanakah Allah, dengan jalan  kita menjadi “penyaksi” (asy syahid) dengan “mata hati” atau bashirah



Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.

Inipun sesuai dengan Al-qur'an bahwa untuk mengambil pelajaran akan ayat-ayat mutasyabihat adalah orang-orang berakal (ulil albab).

"Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal". (QS Ali Imran : 7)

Allah menyampaikann bahwa orang-orang berakal (ulil albab) adalah,

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).

Dan upaya itupun bukan karena amal, perbuatan manusia namun semata-mata kehendak Allah.

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

Jadi menjadi "penyaksi" (as syahid), ihsan (seolah-olah melihatNya), dapat mengenal Allah (ma'rifatullah), sampai (wushul) ke hadirat Allah adalah semata-mata kehendak Allah.

Begitu juga saya sedih atas sebagian muslim yang anti madzhab dengan alasan bahwa imam-imam madzhab tidak maksum atau tidak terbaik.



Padahal mereka kurang tepat mengartikan Salafush sholeh.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya“. HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635.

Mereka dipanggil sebagai Salafush Sholeh karena mereka sholeh, baik, berakhlak baik, mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya.

Mereka yakin bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.

Mereka adalah yang berserah diri (Islam) kepada Allah.

Sehingga mereka mencapai tingkatan muslim yang terbaik yakni Ihsan (muhsin), seolah-olah mereka melihat-Nya walaupun mereka tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat mereka.

Sekarang kita yang jauh dari masa generasi terbaik itu, mulai timbullah sikap “membela diri” yang sesungguhnya adalah memperturuti hawa nafsu. Nah, memperturuti hawa nafsu inilah yang menghijab kita dari “seolah-olah kita melihatNya

Oleh karenanya orang-orang yang mendalami tasawuf sangat concern dengan masalah menghilangkan hijab, yakni dosa dengan taubat, akhlak, tazkiyatun nafs, dll

Salah satu cara mengingat Allah yang lebih besar keutamaannya adalah Sholat,

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS al Ankabut : 45)

Inilah yang dikatakan "Ash-shalatul Mi'rajul Mu'minin"  , Sholat adalah mi’raj nya kaum mukmin.

Perihal ini sudah saya uraikan dalam tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/20...sholat-khusyu/

Sholat adalah amal / perbuatan yang merupakan kelanjutan atau perwujudan dari syahadat (kesaksian) yang telah diucapkan atau kita janjikan.

Marilah kita wujudkan atau buktikan kepada Allah, apa yang kita ucapkan dan kita janjikan (syahadat) dalam bentuk amal dan perbuatan.

Wassalam

Zon di Jonggol

Lafadz dan Makna Dzahir


Sebagaimana yang disampaikan Salaf, bahwa kami mengimani LAFADZ DZAHIR ayat-ayat Mutasyabihat  (semua dari sisi ALLAH) namun tidak MAKNA DZAHIR dan kami menyerahkan MAKNAnya kepada Allah dan Allah menganugerahkan al-hikmah (pemahaman yang dalam) kepada siapa yang dikehendakiNya, sehingga hambaNya dapat mengambil pelajaran.

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad menyatakan:

"Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri"

“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat mutasyabihat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Klo boleh disimpulkan , kita tidak akan mendapatkan jawaban jika memulai pertanyaan makna dengan awalan di ........

Allah dalam pengertian makna tidak dapat secara dzahir, tekstual atau harfiah, Dia tidak di bumi, tidak di langit dan tidak di mana-mana

Kita tidak bisa berbicara tentang Allah secara bermakna. bagaimana kita bisa memahami tentang Dia, sedang kata-kata yang ada hanya melemparkan kita keluar dari seluruh konsepsi manusia.

Seperti,

Aku adalah dekat, Allah Maha Tinggi

Al awwalu wal akhiru (Dia yang Awal dan yang akhir),

Dia yang tampak dan yang tersembunyi (Al dhahiru wal bathinu),

cahaya-Nya tidak di timur dan tidak di barat (la syarkiya wa la gharbiya),

tidak laki-laki dan tidak tidak perempuan,

tidak serupa dengan ciptaan-Nya dst….

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi'lib Al-Yamani,

"Apakah Anda pernah melihat Tuhan?"

Beliau menjawab, "Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?"

"Bagaimana Anda melihat-Nya?" tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab, "Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, (dzohir atau "mata kepala))

tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan ...". (dilihat oleh hati atau bashirah, "mata hati")

Hakikat keimanan yang dimaksud dengan i'tiqad atau akidah.

Oleh karenanya kita sebagai muslim dapat mengetahui tentang Allah dapat melalui sifatNya yang semuanya Allah berikan petunjuk dalam Al-Qur'an. Ulama-ulama ushuludin mengumpulkan atau merumuskan untuk mengajarkan kepada kita dalam

20 sifat yang wajib (mesti ada) pada Allah

20 sifat yang mustahil (tidak mungkin ada ) pada Allah dan

1 sifat yang harus (boleh ada - boleh tidak) pada Allah.

Ulama yang mengumpulkan atau merumuskan adalah Syaikh Abu Hasan 'Ali al Asy'ari dan Syaikh Abu Mansur al Maturidi

Karena itu orang-orang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal Jama'ah, juga dengan nama kaum Asya'irah , jama' dari Asy'ari.

Tersebut dalam kitab, "Ihtihaf Sadatul Muttaqin" karangan Imam Muhmammad bin Muhammad al Husni az Zabidi, yaitu kitab syarah dari kitab "Ihya Ulummuddin" karangan Imam Ghazali, pada jili II, hal 6 yang artinya,

"Apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama'ah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti rumusan (paham) Asy'ari dan paham Abu Mansur al Maturidi"

Selengkapnya, silahkan baca tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/20...ah-wal-jamaah/

Dan dalam tasawuf didalami bahwa selain mengenal Allah dengan sifatNya, maka mengenal Allah (ma'rifatullah) dengan berupaya mencapai muslim yang Ihsan (muhsin), seolah-olah melihatNya atau bertemu Allah atau sampai (wushul) ke hadhirat Allah.

Sebagaimana yang disampaikan Sayyidina Ali r.a. bahwa "Bagaimana kita menyembah yang tidak pernah kita lihat?"

Sebagaimana firman Allah yang artinya,

"Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu. (QS Fushshilat 41:54)

Untuk itulah , untuk menghilangkan keragu-raguan kita wajib beri'tiqad/akidah sesuai apa yang Allah berikan petunjukNya dalam Al-Qur'an dan penjelasan dalam Hadits. Jangan sekedar atau bahkan "buta" mengikuti metode pemahaman orang lain. Kembalilah kepada Al-Qur'an dan Hadits.

Janganlah kita menyia-nyiakan kehidupan di dunia dan dalam keraguan.

Ikutilah sunnah Rasulullah saw, "Zuhudlah di dunia" sehingga mencapai tingkatan orang arif yakni meninggalkan hal-hal yang menyibukkan seorang hamba sehingga melupakan Allah.

Orang-orang arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan jika Allah yang berkenan dan bukan karena keinginan mereka sendiri. Mari kita gunakan waktu sepenuhnya untuk berbekal bagi kehidupan akhirat dengan menyibukkan diri kepada Allah dengan selalu MENGINGAT ALLAH

.

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/10/mengingat-allah/

Wassalam

Zon di Jonggol

5 komentar:

  1. Allah itu Dzat Wajibul Maulana. tidak di atas dan tidak di bawah, tidak di samping dan tidak di depan tidak pula di belakang.

    Allah tidak usah di bahas, karena Aqal dan fikran mustahil sampai

    BalasHapus
  2. Saya sependapat tidak usah di bahas, namun saya merasa perlu menyampaikan karena ada sebagian muslim memahami masalah akidah atau i'tiqad dengan pemahaman dzahir, tekstual atau harfiah atau dengan "mata kepala". Ini bukan lagi masalah furu'iyah.

    BalasHapus
  3. [...] saya tentang di mana Allah semata-mata untuk mengingatkan kita dengan perkataan Imam al Qusyairi [...]

    BalasHapus
  4. good .......uraian anda sangat bagus andai umat islam dalam berpikir tidak terikat oleh ruang dan waktu akan sempurnalah islam ini .

    edy witanto ......islam dan alquran

    BalasHapus
  5. Maaf, sedikit koreksi mas Edy, mungkin bukan "sempurnalah Islam ini" tapi "sempurnalah umat Islam ini" karena Islam memang sempurna, kitanya saja yang belum dapat memahami Islam dengan sempurna

    BalasHapus