Kamis, 09 Juli 2009

Presiden populer

Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un, kemungkinan pemenang pilpres 2009 kali ini, menurut pendapat saya bukanlah yang terbaik, namun yang terpopuler dan "tercitra" baik. Layaknya sebuah acara "idol" di beberapa stasiun tv. Tim pemenang pilpres berupaya dengan segala cara untuk memenuhi persepsi rakyat banyak sehingga apa yang tampil di acara debat capres/cawapres menjadi tidak ada relevansi sama sekali dengan pilihan rakyat banyak.

Untuk itu perlu dikaji ulang pemilihan presiden secara langsung, karena kesiapan rakyat pemilih belum lah memadai. Lebih baik untuk kembali ke sistem perwakilan sesuai amanat Pancasila, bahwa Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Keputusan diwakilkan kepada yang ahli/berkompentensi dan juga bermoral baik. Lihat tulisan saya sebelumnya http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/05/25/kedaulatan/

Allah tentu mempunyai kehendak lain, misalkan dengan kejadian ini, maka berkuranglah beban tanggung jawab pa JK di akhirat nanti sebagai pemimpin negeri. Beban tanggung jawab akan ditanggung oleh pasangan SBY/Boediono nanti setelah dilantik. Beban tanggung jawab juga akan diemban oleh para pendukungnya yang telah menempuh upaya berbagai cara. Jikalau pasangan SBY/Boediono dalam kepemimpinan mereka kelak, ternyata tidak adil dan zalim maka para pendukung juga turut bertanggung jawab di akhirat kelak. Wallahu a'lam.

Point-point yang harus diperhatikan pemerintah kelak antara lain,

1. Bagaimana pemerintah melakukan pemerataan pendapatan agar indikator pendapatan penduduk perkapita sebesar 1.8 juta per bulan menjadi real/nyata, karena pada saat ini upah minimum regional rata-rata saja masih berkisar dibawah 1 juta per bulan. Apalagi pekerja-pekerja non formil atau setengah pengangguran mempunyai pendapatan yang berkisar 600 ribu per bulan atau 20ribu per hari. Indikator pendapatan penduduk perkapita terjadi dikarenakan kesenjangan pendapatan antra penduduk berpendapatan tinggi dengan penduduk berpendapatan rendah terlampau jauh.

2. Pemerintah kelak harus terus mendukung upaya KPK atau lembaga pengganti untuk memberantas korupsi. Juga terus berupaya peningkatan penegakan hukum oleh lembaga kepolisian dan kejaksaan. Keberhasilan kedua lembaga ini  ini merupakan alat ukur sesungguhnya bagi keberhasilan pemerintahan dalam mencegah dan memberantas korupsi bukanlah hasil kerja KPK sebagai indikator keberhasilan pemerintahan.

3. Sangat perlu memperhatikan implementasi dan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN yang seperti diamanatkan oleh UUD 1945 dengan perubahan. Menurut pendapat saya , anggaran yang cukup besar ini sangat rentan dari korupsi. Alokasi anggaran pendidikan yang sangat besar ini diamanatkan agar rakyat indonesia dapat memperoleh pendidikan dengan biaya relatif murah, untuk itu perlu sekali subsidi biaya pendidikan sampai perguruan tinggi. Sebagai contoh negara India, dengan jumlah penduduk berkali-kali lipat penduduk Indonesia, sangat mengutamakan subsidi biaya pendidikan bagi rakyatnya sampai jenjang perguruan tinggi, bahkan biaya trasportasi pelajar dan mahasiswa , masih dapat disubsidi oleh pemerintah. Sekarang sebagai contoh memasuki pendidikan SMA Negeri di kab. Bogor, biaya permulaan yang harus disiapkan rakyat Indonesia berkisar Rp. 1.5 juta s/d Rp. 2.5 juta bahkan bisa lebih. Belum lagi biaya transportasi, BP3 perbulan dan lain-lain. Apalagi biaya memasuki perguruan tinggi negeri yang memerlukan biaya yang sangat besar.

4. Pemerintah harus terus berupaya mengurangi hutang negara. Saat ini negara berhutang relatif untuk membayar hutang negara baik pokok maup;un bunga. Pemerintah harus terus berpupaya agar rakyat Indonesia dapat "menjemput" rezeki nya masing-masing. Agar mereka dapati kemandirian ekonomi yang kemudian berdasarkan pendapatan mereka akan sanggup membayar pajak yang merupakan penerimaan negara. Kecepatan penambahan hutang negara sebesar Rp. 400 T (400 ribu Milyar) dalam tempo 5 tahun merupakan penambahan hutang negara yang luar biasa besar. Indikator pendapatan penduduk per kapita sebesar Rp. 1.8 juta perbulan yang sesungguhnya tidak nyata, janganlah menjadi patokan sebagai kesanggupan membayar hutang atau menambah hutang baru. Jikalau diperlukan ajukan peninjauan kembali hutang atau pemunduran jangka waktu agar alokasi APBN untuk pembayaran pokok dan bunga hutang negara, sebagian bisa dialihkan untuk pembangungan dan perawatan infrastruktur. Marilah pemerintah mengupayakan rakyat Indonesia menjadi "produsen" bukannya menjadikan "konsumen" bagi pihak asing maupun kaum kapitalis.

1 komentar:

  1. Setuju untuk dicatat ,diingatkan kalau sampai 4 point tersebut tidak ditepati teruskan ke DPR lewat wakil-2 kita.

    BalasHapus