Senin, 13 Juli 2009

Teguhkan kekuasaan dengan berbohong ?

Beberapa pertanyaan datang kepada saya, mengapa seolah-olah saya tidak dapat  menerima hasil sementara bahwa suara terbanyak yang telah memilih pa SBY sebagai presiden RI periode 2009 s/d 2014.  Bagi saya bukanlah masalah suara terbanyak, bukanlah menang atau kalah, namun bagaimana kita menegakkan kebenaran dalam kehidupan di dunia.  Kadang penegakan kebenaran bisa saja datang dari hanya segelintir orang.  Bagi saya, suara rakyat banyak belum tentu suara Tuhan, karena bisa saja rakyat banyak itu sesungguhnya tidak paham dengan keadaan. Sebagaimana saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya tentang ketidak siapan rakyat Indonesia menjalankan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, mempertimbangkan taraf pendidikan, ekonomi dan faktor lainnya.

Alhamdulillah, sosok yang saya dukung, yakni pa JK belum diperkenankan Allah menjadi pemimpin negeri, karena klo beliau menjadi pemimpin negeri , maka saya harus pula ikut bertanggung jawab terhadap referensi/dukungan yang saya sampaikan kepada publik.

Saya juga sampaikan kepada teman-teman yang telah bersusah payah mendukung dan mereferensikan pa SBY untuk siap-siap ikut bertanggung jawab terhadap hasil kepemimpinan beliau kelak. Mohon maaf, menurut pendapat saya pribadi, saya meragukan kejujuran pa SBY. Untuk menopang "pencitraan"  (jaga image / tidak menjadi dirinya sendiri) dan upaya-upaya meneguhkan kekuasaan, beliau kadang berbohong pada rakyat. Berbohong itu bisa timbul dari diri beliau sendiri karena "keadaan", maupun dari bawahannya yang melaporkan kebohongan (laporan ABS).

Seperti yang disampaikan Rizal Malarangeng (RM) dalam artikelnya di Kompas pada 6 Oktober 1997. Disitu RM menulis, "……Dengan kata lain, ajaran Machiavelli misalnya, Sang Penguasa, dalam mempertahankan kekuasaannya, harus berbohong, menipu, menindas haruslah dimengerti bukan sebagai "nasehat politik" dalam pengertian yang umum. Ia adalah sebuah pernyataan faktual bahwa dunia kekuasaan memang tidak semurni dunia mitologi surgawi jaman pra-Renaisans. Dunia kekuasaan, sebagaimana adanya, adalah sebuah dunia yang penuh intrik, kekejian, ambisi, dan ketololan". Ya, 12 tahun yang silam, pada saat mematangkan konsep neoliberalismenya, RM memahami politik sebagai dunia kekuasaan yang yang penuh intrik, kekejian, ambisi dan ketololan. Tentunya sebelum kembali ke Indonesia, RM telah menyiapkan diri untuk mengakali dunia kekuasaan yang digambarkannya sesuai konsep pemikiran Machiavelli tersebut. Dan Realitas dunia RM yang kejam mengajarkan,dia harus lebih cepat dalam adu intrik, dia harus lebih keji terhadap lawan, dia harus sangat ambisius dan tentu saja dia harus bisa menjadikan politik sebagai parade ketololan. Dalam dunia kekuasaan, Etika akan menjadi sesuatu yang sangat langka. RM sangat percaya dengan itu.

Saya sangat khawatir bahwa pemikiran seperti RM lah yang menghasilkan kemenangan pada pilpres 2009 ini. Artinya kemenangan pilpres 2009 adalah kemenangan kaum cendekia/pintar namun sekuler, terhadap "ketidak-pahaman" rakyat banyak, dan secara tidak langsung adalah "penjajahan" oleh bangsa sendiri.

Untuk itulah di beberapa tulisan saya terdahulu bahwa pemerintah harus sangat memperhatikan keterpenuhan kebutuhan pendidikan bagi rakyat Indonesia sampai jenjang perguruan tinggi dalam bentuk subsidi dan bantuan lainnya. Janganlah seperti pemerintahan Belanda dahulu kala untuk melanggengkan penjajahan, mereka "mempersulit" rakyat Indonesia mendapatkan pendidikan.

Saya sangat berharap kekhawatiran saya bukanlah sesuatu kenyataan, namun waktulah yang akan memperlihatkannya kelak.

Politik dalam Islam berbeda dengan politik sekular yang bersumber kepada spekulasi akal yang rentan berubah, politik Islam bersumber ke pada Wahyu. Jadi, sistem, nilai, visi, misi dan agenda dalam politik Islam juga didasarkan kepada, dan diderivasi dari Wahyu. Politik Islam tidak akan memperjuangkan nilai nilai yang bertentangan dengan Wahyu seperti memperjuangkan kebebasan kesesatan akidah, kebebasan seks seperti gerakan homoseksual, lesbianisme, pornografi, dan lainnya. Sebaliknya, politik sekular bisa melindungi dan menyebarkan kekeliruan-kekeliruan kepada masyarakat dengan mengkambing-hitamkan kebebasan, relativitas nilai dan budaya. Politik sekular berjuang untuk meraih kekuasaan yang dibangun dengan dasar kepentingan. Tiada musuh yang abadi dalam politik karena yang ada adalah kepentingan. Inilah jargon sekular yang sering dilontarkan. Dampaknya, politik sekular tidak memiliki integritas. Dengan konsep moral yang pragmatis, semua serba boleh, asal kan kekuasaan dapat diraih. Jikapun terdapat integritas, maka integritas itupun di bangun di atas filsafat pragmatis. Sedangkan dalam politik Islam, yang diperjuangkan adalah kebenaran, bukan semata-mata kekuasaan. Kebenaran lebih penting dari kemenangan yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Kekuasaan diraih dengan kebenaran dan kekuasaan adalah amanah dan sarana dakwah, untuk menyebarkan rahmat Allah di atas muka bumi. Jadi bukanlah menang atau kalah , namun yang diutamakan adalah benar atau salah.

Saya berdoa agar Presiden terpilih nanti dengan kekuasaan yang ada ditangannya dapat memerintah dengan adil dan tidak zalim pada rakyatnya walaupun kekuasan telah didapat dengan  “berbagai cara”.

3 komentar:

  1. mas, mas..
    yang tahu semua itu cuman sedikit, dan pasti dituding memiliki pikiran jelek, energi negatif, dll..
    suer, saya mirip pemikirannya dengan mas, itu muncul saat gempa dan tsunami di jawa barat (2 minggu setelah gempa yogya) yang langsung melakukan telepon di depan KAMERA dan melakukan perintah NORMATIF dan denderung memberi IMAGE kepada pemirsa..ngapai telepon di depan TV?

    satu lagi, liat beberapa hal :
    kelanjutan Aulia Pohan
    kelanjutan BLT
    pendidikan gratis (iklan pemerintah)
    signifikansi koperasi (iklan pemerintah)
    pengusutan sejumlah "kecurangan" Pileg dan Pilpres...

    dll
    dsb

    dari sejumlah itu, ada yang berani memberi nilai "50" saja pada penyelesaiannya?

    lihat 6 bulan lagi, saya hanya berani memberi nilai "40"..subjektif sih..

    BalasHapus
  2. "Vox populi est vox Dei" secara a contrario justru bermakna internalisasi dan implementasi 'suara Tuhan' oleh rakyat (umat). Kita memaklumi klaim 'suara rakyat' sebagai 'suara Tuhan' bila kebaikan adalah hulu dan muara. Bila tidak, pelakunya mungkin bukan hanya memanfaatkan rakyat, melainkan juga memperalat Tuhan.
    Rakyat mungkin (masih) mudah dibohongi pemimpin yang keblinger, tetapi tak seorang pun mampu membohongi Tuhan yang tak pernah berhenti menyuarakan kebenaran di dalam akal budi dan nurani umat-Nya, sayup-sayup apalagi santer dan banter. :)

    BalasHapus
  3. Sama seperti anda saya juga memilih yang kalah, tapi saya tidak menyesal karena pendirian dan pendapat saya benar dalam memilih.Mudah-2an dimasa depan ini SBY tidak seperti yang kita khawatirkan.
    Wassalam

    BalasHapus